ABSTRAK
Kebijakan tataguna tanah nasional merupakan kebijakan strategis bagi pembangunan setiap sektor. Tataguna tanah nasional saat ini dengan rasio: 27-73 dimana hanya 27 persen luas daratan dialokasikan untuk ruang sektor-sektor pembangunan dan 73 persen kawasan kehutanan. Tataguna tanah dengan rasio tersebut sangat tidak rasional dilihat dari kebutuhan ruang untuk pembangunan sektor-sektor, maupun dibandingkan dengan negara-negara lain.
Kajian ini merekomendasikan tataguna tanah nasional kedepan adalah dengan rasio 66-34.
Sekitar 66 persen luas daratan digunakan untuk sektor-sektor pembangunan (sektor komersial) dan 34 persen luas daratan di pertahankan sebagai kawasan hutan. Porsi kawasan hutan tersebut, mempertahankan semua hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi tetap.
Keyword : Tataguna Tanah, Kawasan Hutan, Kawasan Komersial
MENUJU TATAGUNA TANAH NASIONAL
YANG SUSTAINABLE: DARI 27-73 MENJADI 66-33
Oleh Tim Riset PASPI
PASPI
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
www.paspi.web.id
m nitor
Analisis Isu Strategis Sawit Vol. I, No. 8/2015
PENDAHULUAN
Menurut data Statistik Kementerian Kehutanan 2013 (Kemenhut, 2014), seluruh daratan Provinsi Riau adalah kawasan hutan.
Kota Pekan Baru, Bandara Sultan Syarif Khasim II dan kompleks TNI-AU, seluruh ko- ta-kota dan seluruh sektor-sektor pemba- ngunan Riau diklaim Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai kawasan hutan. Mungkin juga banyak provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia masih atau sebagian besar masih termasuk kawasan hutan.
Secara nasional, tataguna tanah (land use) nasional sangat tidak rasional dan tidak berkelanjutan (unsustainable). Sekitar 70 per- sen daratan Indonesia masih diklaim Kemen- terian Kehutanan sebagai kawasan hutan.
Dan hanya 30 persen atau sekitar 50 juta hek- tar yang disebut sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Dalam APL seluas itulah semua sektor-sektor pembangunan yang ada di Indonesia. Sektor Kehutanan yang hanya me- nyumbang sekitar 0.6 persen PDB nasional tahun 2013, memperoleh alokasi lahan 70 persen dari daratan Indonesia. Sementara sektor-sektor di luar kehutanan yang me- nyumbang 99.4 persen PDB nasional dan me- nampung 250 juta penduduk hanya mempe- roleh jatah 30 persen.
Keterbatasan ketersediaan lahan bagi sektor-sektor pembangunan yang demikian menyebabkan berbagai masalah yang diaki- batkan oleh tekanan penduduk yang berle- bihan pada ruang. Di wilayah perkotaan akibat keterbatasan lahan telah menyebab- kan tekanan berlebihan pada ruang perko-
taan dan maraknya pemukiman kumuh pen- duduk di pinggir sungai. Sementara di wila- yah pedesaan kekurangan lahan pertanian telah memaksa petani bertani di lahan miring sampai ke bukit-bukit dan masyarakat pun menggempur lahan hutan. Berbagai fakta dan historis, menunjukkan bahwa maraknya pe- manfaatan lahan gambut pertanian untuk ke- giatan pertanian/perkebunan selama ini me- rupakan fenomena keterbatasan lahan yang sangat terkait tataguna tanah yang tidak rasional. Dengan kata lain, akibat tataguna tanah yang tidak rasional tersebut telah mela- hirkan berbagai bentuk dampak pemba- ngunan yang tidak berkelanjutan seperti tekanan ruang berlebihan diperkotaan, urba- nisasi, ketimpangan pembangunan, ketahan pangan yang keropos, kemiskinan dan lain- lain.
Kedepan, kebutuhan lahan untuk pemba- ngunan berbagai sektor pembangunan terma- suk kedaulatan pangan, kemandirian eko- nomi sangat diperlukan. Apalagi pemerintah saat ini menargetkan pertumbuhan ekonomi diatas 7 persen per tahun, jelas memerlukan ruang yang lebih luas. Oleh karena itu, tata- guna tanah yang tidak rasional saat ini harus dirubah secepat mungkin menuju tataguna tanah yang lebih rasional dan berkelanjutan.
Kajian ini mendiskusikan bagaimana tataguna tanah nasional saat ini. Perban- dingan beberapa negara juga dilihat untuk melihat rasionalitas tataguna tanah kedepan.
Kemudian, usulan roadmap menuju tataguna tanah yang rasional dan berkelanjutan juga akan didiskusikan.
RATIO 27-73 DAN PERBANDINGAN NEGARA LAIN
Berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2011, luas daratan Indonesia adalah sekitar 187.84 juta hektar (Kemenhut, 2014). Dari luas daratan tersebut sekitar 70 persen (128.8 juta Ha) merupakan Kawasan Hutan (yang merupakan wilayah tertentu yang ditetapkan (Menteri Kehu- tanan) dan dipertahankan sebagai Hutan
Tetap). Sedangkan sisanya yakni 30 persen (59.4 juta Ha) Bukan Kawasan Hutan atau dikenal dengan APL (Tabel 1). Mengacu pada UU No. 41/1999, Kawasan Hutan tersebut dikelompokkan menjadi Hutan Konservasi/
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam (KSA-KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Tetap (HT), Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Dapat Dikonversi (HK).
Tabel 1. Tataguna Tanah Nasional Menurut Statistik Kementerian Kehutanan 2013 (Kemenhut, 2014)
INDONESIA Berhutan
Subtotal Tidak
Berhutan Total Primer Sekunder Tanaman
A. KAWASAN HUTAN
Hutan Konservasi (KSA-KPA) 12,795 4,294 136 17,256 4,832 22,058
Hutan Lindung (HL) 14,684 8,236 305 23,224 7,164 30,388
Sub Total (HL+KSA) 27,479 12,530 440 40,480 11,997 52,446
Hutan Produski Tetap (HPT) 9,758 12,156 552 22,465 5,443 27,908 Sub Total (HL+HPT+KSA) 37,237 24,686 992 62,945 17,440 80,354 Hutan Produksi (HP) 4,761 11,077 1,933 17,771 12,397 30,168 Hutan Produksi DPT Konversi (HK) 3,189 5,060 119 8,367 9,496 17,863 Sub Total (KSA+HL+ HPT+ HP+HK) 45,187 40,823 3,045 89,083 39,332 128,385 B. BUKAN KAWASAN HUTAN
Areal Penggunaan Lahan (APL) 1,524 5,606 1,889 9,019 50,435 59,455 TOTAL LUAS DARATAN 46,710 46,429 4,934 98,103 89,768 187,841
Dari luas daratan tersebut sekitar 52.2 persen (98,1 juta Ha) merupakan areal Ber- hutan dan 47.8 persen (89.7 juta Ha) areal yang Tidak Berhutan. Areal Berhutan terse- but berdasarkan kondisi penutupan lahan/
vegetasi terdiri atas Hutan Primer seluas 46.7 juta Ha (45.1 juta Ha di dalam kawasan hutan, 1.52 juta Ha di APL), Hutan Sekunder 46.4 juta Ha (40.8 juta Ha di kawasan hutan, 5.6 juta Ha di APL) dan Hutan Tanaman (hutan tanaman industri hasil reboisasi) seluas 4.9 juta Ha (3.04 juta Ha dikawasan hutan, 1.89 di APL). Sedangkan Areal Tak Berhutan sekitar 56 persen berada di APL dan 44 persen ber- ada di Kawasan Hutan.
Dengan demikian, luas wilayah yang benar-benar digunakan oleh sektor-sektor pembangunan (diluar sektor kehutanan) ha- nyalah seluas 50.4 juta Ha atau hanya sekitar 27 persen dari luas daratan Indonesia. Se- dangkan yang digunakan sektor kehutanan sendiri (kawasan hutan dan hutan di APL) adalah 137.4 juta Ha atau sekitar 73 persen dari luas daratan Indonesia.
Tataguna tanah yang demikian sangat tidak rasional. Sektor-sektor pembangunan yang menghidupi 250 juta penduduk, pe- nyumbang 99.4 persen PDB nasional dan menyumbang USD 190 miliar ekspor nasio- nal, hanya memperoleh alokasi lahan 27 per- sen daratan nasional. Sementara sektor kehu- tanan yang hanya menyumbang 0.6 persen PDB nasional dan USD 4.5 miliar ekspor,
memperoleh alokasi 73 persen dari daratan nasional.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain (Tabel 2), makin terlihat bahwa ratio tataguna tanah nasional jauh dari apa yang diterima sebagai rasional seperti yang terjadi di negara lain. Persentasi hutan Indonesia jauh lebih tinggi yakni 52 persen dari luas daratan. Dan hutan yang dimiliki Indonesia tersebut sekitar 50 persen merupakan hutan primer. Jerman dan Amerika Serikat hanya memiliki areal hutan masing-masing 32 dan 33 persen dari luas daratannya. Bahkan Perancis dan Belanda lebih rendah lagi yakni hanya 29 dan 11 persen dari luas daratan.
Area hutan negara-negara Kawasan Ero- pa maupun Amerika Serikat tersebut bukan lagi hutan primer (kecuali sebagian di Alas- ka). Negara-negara sub-tropis seperti Eropa, Amerika Serikat sudah lama menghabiskan hutan alam. Mathew (1983) mengemukakan sejak tahun 1600-1980-an negara-negara sub tropis telah menghabiskan hutan alam primer seluas 653 juta Ha. Amerika Serikat juga telah menghabiskan hutan alam primer selama kurun waktu tersebut (www.wordresouces/
virgin-forest-southern-usa) untuk pembangu- nan. Sehingga saat ini negara-negara tersebut menjadi negara industri maju dan menikmati pendapatan per kapita USD 53 ribu per kapita Amerika Serikat) dan USD 34 ribu (Uni Eropa).
Tabel 2. Perbandingan Beberapa Negara Proporsi Hutan dan Lahan Pertanian dari Land Area (FAO, 2013)
Negara Luas Hutan dari Land Area (%)
Luas Hutan Primer dari Total Hutan (%)
Luas Lahan Pertanian dari Land Area (%)
Indonesia 52 50 23.7
India 23 23 60.3
China 22 6 54.8
Perancis 29 0 52.7
Jerman 32 0 47.8
Belanda 11 0 54.6
Amerika Serikat 33 25 44.7
Di Kawasan Asia juga, persentasi hutan dari luas daratan lebih rendah dari Indonesia.
India hanya memiliki area hutan 23 persen dari luas daratan. Demikian juga China hanya 22 persen dari luas daratan.
Besarnya persentasi hutan dari luas daratan di Indonesia menyebabkan luas areal pertanian (agricultural land) menjadi relatif kecil dan terendah dibandingkan negara- negara tersebut. Indonesia sebagai negara agraris dan perekonomiannya masih berbasis pertanian hanya mengalokasikan lahan perta- nian sekitar 23.7 persen dari luas daratan.
Sementara India dan China mengalokasikan untuk lahan pertanian berturut-turut 60.3 dan 54.8 persen dari luas daratan. Amerika Serikat, Jerman, Perancis dan Belanda sebagai negara industri maju dan memiliki penda- patan per kapita 10 kali lipat dari Indonesia, masih mengalokasikan lahan pertanian diatas 40 persen dari luas daratan.
Dengan ukuran rasionalitas relatif de- ngan negara lain tersebut, sangat jelas bahwa tataguna tanah di Indonesia masih jauh dari rasional. Proporsi hutan dari luas daratan ter- lalu besar sementara proporsi lahan perta- nian terlalu kecil. Oleh karena itu, kebijakan tataguna tanah di Indonesia kedepan perlu dirubah menuju tataguna tanah yang lebih rasional.
TATAGUNA TANAH SUSTAINABLE: 66-34
Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa proporsi hu- tan yang harus dipertahankan untuk menja- min pembangunan yang berkelanjutan adalah minimum 30 persen dari luas daratan. Oleh
karena itu, merubah tataguna tanah dari ratio Kawasan Komersial dengan Kawasan hutan 27-73 saat ini, secara konstitusional dapat dirubah menjadi ratio 66-34. Dengan sasaran 34 persen areal hutan sudah diatas yang dipersyaratkan undang-undang tersebut.
Tentu saja untuk menuju ratio rasional 66-34 tersebut harus memperhatikan keles- tarian alam dan biodiversity (High Concer- vation Value dan High Carbon Stock) yakni hutan lindung dan hutan konservasi. Kedua jenis hutan tersebut harus dipertahankan dan diperbaiki.
Dengan mempertimbangkan hal-hal dia- tas, maka peta jalan (roadmap) menuju tata- guna tanah rasional 66-34 diusulkan sebagai berikut (Gambar 1).
Tahap pertama, merubah dari 27-73 ke 52-48. Kawasan kehutanan yang tidak Ber- hutan saat ini dikonversi menjadi Kawasan Komersial (untuk seluruh sektor-sektor pem- bangunan). Dari tahap pertama ini akan ter- dapat sekitar 98.79 juta hektar Kawasan Komersial, yang berasal dari APL (59.45 juta hektar) dan dari areal Tidak Berhutan (dari KSA-KPA, HL, HPT, HP, HK) seluas sekitar 39.33 juta Ha.
Tambahan Kawasan Komersial 39.33 ju- ta tersebut (di luar APL selama ini) sebagian mungkin sudah digunakan oleh sektor-sektor pembangunan (namun belum secara adminis- trasi masih diklaim masuk Kawasan Hutan).
Oleh karena itu tahap pertama ini juga seka- ligus pengukuhan Kawasan tersebut sebagai Kawasan Komersial sehingga sektor-sektor pembangunan yang telah berkembang di kawasan tersebut selama ini tidak tersandera oleh ketidakpastian hukum tata ruang/tata- guna tanah.
Gambar 1. Skenario Perubahan Tataguna Tanah Nasional dari 27-68 Menuju 66-34
Luas hutan Indonesia hasil tahap perta- ma ini adalah 89.08 juta hektar. Luas hutan tersebut sama dengan luas hutan yang dila- porkan oleh pemerintah (Kementerian Kehu- tanan) ke FAO (FAO, 2013). Artinya, Kemen- terian Kehutanan secara faktual telah menga- kui luasan hutan tersebut. Sehingga kawasan hutan yang Tidak Berhutan seharusnya ting- gal mengadministrasikan dari kawasan hutan menjadi kawasan komersial.
Tahap Kedua, melanjutkan dari 52-48 ke 66-34 yakni mengkonversi seluruh Hutan Produksi dapat di konversi (HK) dan Hutan Produksi (HP) menjadi Kawasan Komersial.
Tahap Kedua ini akan menghasilkan tamba- han Kawasan Komersial sekitar 26.14 juta hektar. Sehingga total Kawasan Komersial sasaran terakhir adalah sekitar 124 juta hektar atau 66 persen dari luas daratan.
Dengan demikian, Kawasan Hutan yang dipertahankan dalam jangka panjang adalah seluas 63.12 juta hektar atau 34 persen dari luas daratan. Kawasan Hutan seluas tersebut adalah benar-benar berhutan yakni Hutan KSA-KPA seluas 17.26 juta Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 23.22 juta hektar dan Hutan Produksi Tetap (HPT) 22.46 juta hektar (sama dengan luasan Berhutan KSA-KPA, HL, HP saat ini). Selain itu, dari luasan Kawasan Hutan tersebut sekitar 58 persen merupakan hutan primer dan sisanya berupa hutan sekunder dan hutan tanaman.
Kawasan Hutan 63.12 juta hektar ter- sebut, selain benar-benar dipertahankan juga dijadikan menjadi satu-kesatuan sebagai Hu- tan konservasi dan Lindung (termasuk Hutan
Produksi Tetap, dan Hutan Tanaman yang ada didalamnya saat ini) dan dilindungi dengan undang-undang tersendiri. Pada Ka- wasan Hutan yang baru tersebut, sebaiknya tidak diperkenankan lagi kegiatan Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti selama ini.
Hutan sekunder dan Hutan tanaman yang ada pada Kawasan Hutan yang baru tersebut dila- kukan reforestrasi (mereforestrasi 22.46 juta hektar) menjadi/setara hutan primer, sehing- ga Kawasan Hutan baru tersebut 100 persen benar-benar/mendekati hutan primer.
Pada tataguna tanah nasional yang baru tersebut (66-34), HTI yang selama ini dikem- bangkan di kawasan hutan dan APL, kedepan diusulkan hanya dikembangkan di dalam Ka- wasan Komersial, agar tidak mengganggu Hutan Lindung dan Konservasi. Dengan demi- kian HTI ditambah dengan Perkebunan tahu- nan seperti kelapa sawit, karet, kakao, kopi dan tanaman tahunan lainya, (diperkirakan akan mencapai sekitar 50 juta hektar dari 124 juta hektar kawasan komersial) juga berfungsi parsial "hutan" di Kawasan Komer- sial. Di berbagai negara juga mengadopsi kon- sep dan definisi hutan seperti itu (Lund, 2012).
Tanaman tahunan (HTI, perkebunan) yang berfungsi parsial "hutan" dikawasan Komersial sangat diperlukan dan menjadi ba- gian penting dari upaya memperbaiki neraca Gas Rumah Kaca (GRK) nasional. Untuk mem- perbaiki neraca GRK, selain meminimumkan emisi GRK juga diperlukan mekanisme penye- rapan kembali GRK dari atmosfir (Pretty, 2008; Hobbs, et al, 2008; Smith, et al, 2008).
Untuk fungsi penyerapan kembali CO2
(carbon sequestration) dari atmosfir, kemam- puan hutan primer sangat terbatas karena laju fotosintesis hampir sama dengan laju respirasi pohon, sehingga secara netto tam- bahan karbon stok relatif kecil (Sumarwoto, 1992). Sebaliknya, pada tanaman tahunan (tanaman perkebunan, HTI) karena masih bertumbuh dan berproduksi selama umur ekonomisnya, laju fotosintesis masih lebih besar dari laju respirasi tanaman sehingga secara netto masih menyerap CO2, atau per- tumbuhan karbon stok dipermukaan bumi masih relatif tinggi (Sumarwoto, 1992;
Henson, 1999; Chan, 2002; Fairhurst, 2004).
Dengan demikian, tataguna tanah nasi- onal 66-34 dapat disebut sebagai tataguna yang sustainable dimana kepentingan eko- nomi/pembanguan dan pelestarian lingku- ngan hidup berjalan secara simultan. Kawa- san Hutan 34 persen dari luas daratan meru- pakan Hutan lindung dan konservasi yang berfungsi sebagai pelestarian biodiversity, penyimpanan stok karbon dan penyanggah lingkungan. Sementara, Kawasan Komersial berfungsi yakni: (1) sekitar 26 persen berupa tanaman tahunan perkebunan dan HTI de- ngan fungsi ganda yakni fungsi ekologis (menyerap kembali CO2 dari atmosfir) dan fungsi ekonomi, dan (2) sekitar 40 persen dari daratan untuk sektor-sektor pemba- ngunan lainya. Tataguna tanah yang demikian akan memungkinkan Indonesia mencapai
pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelan- jutan kedepan.
Menuju tataguna tanah nasional yang bekelanjutan (66-34) tersebut memerlukan komitmen dan keberanian pemerintah. Peme- rintah harus realistis dan benar-benar meli- hat masalah tataguna tanah nasional sebagai prioritas tinggi. Kebijakan tataguna tanah nasional menyangkut keberlanjutan sektor- sektor pembangunan nasional yang didalam- nya menyangkut kepentingan kesejahteraan 250 juta penduduk saat ini. Kebijakan tata- guna tanah yang sustainable tersebut juga untuk menyediakan ruang bagi kegiatan pem- bangunan dan pertambahan penduduk yang akan mencapai lebih 300 juta orang menuju tahun 2050.
Barangkali, pada kebijakan tataguna tanah inilah akan teruji Kesaktian Trisakti (Berdaulat Secara Politik, Berdikari Secara Ekonomi dan Berkepribadian Secara Sosial Budaya) yang kini sedang diusung Presiden Joko Widodo. Kesaktian Trisakti tidak boleh tunduk dari tekanan negara negara Barat yang telah melakukan kesalahan besar dalam sejarah masa lalunya. Indonesia sebaiknya tidak mengikuti kesalahan besar kesalahan Barat seperti menghabiskan hutan alamnya.
Usulan tataguna tanah 66-34 tersebut diatas, bukan mengikuti sejarah Barat karena hutan yang dipertahankan tersebut (34 persen dari luas daratan) merupakan hutan alam (virgin forest).
KESIMPULAN
Tataguna tanah nasional saat ini (27-73) dimana 27 persen daratan digunakan untuk ruang sektor-sektor pembangunan dan 73 persen kawasan kehutanan. Tataguna tanah dengan rasio tersebut sangat tidak rasional, tidak berkelanjutan dan dibandingkan de- ngan negara-negara lain.
Untuk memenuhi kebutuhan ruang/la- han yang diperlukan dalam pembangunan sektor-sektor nasional maupun pertambahan penduduk, diperlukan perubahan tataguna tanah nasional yang lebih rasional dan ber- kelanjutan. Kajian ini merekomendasikan tataguna tanah nasional kedepan adalah 66- 34. Sekitar 66 persen luas daratan digunakan
untuk sektor-sektor pembangunan (sektor komersial) dan 34 persen luas daratan di per- tahankan sebagai kawasan hutan. Porsi kawa- san hutan tersebut, mempertahankan semua hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi tetap yang ada dalam kawasan hutan yang masih berhutan saat ini.
Untuk menuju tataguna tanah 66-34 tersebut, disarankan dilakukan bertahap. Ta- hap pertama (dari 27-73 ke 52-48) yakni mengkonversi semua areal Tak Berhutan di kawasan hutan menjadi kawasan komersial.
Dan tahap kedua (52-48 ke 66-34) yakni mengkonversi hutan produksi yang dapat dikonversi (HK) dan hutan produksi (HP) menjadi kawasan komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Chan, K. W. 2002: Oil Palm Carbon Seques- tration and Carbon Accounting: Our Global Strength. MPOA.
Fairhurst. T. and R. Hardter, 2004: Oil Palm:
Management for Large and Sustai- nable Yields. Oxford Graphic Printers, Pte Ltd.
FAO, 2013. FAO Statistical Yearbook 2013.
FAO United Nation. Rome
FAO. 2013. Global Forest Resources Asses- ment. Rome
Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest.
Oil Palm and Environment A Malaysian Perspective. Malaysian Oil Palm Brower Council. Kuala Lumpur.
Hobbs, P. R., Sayre, K & Gupta, R.2008 The Role Of Conservation Agriculture In Sus- Tainnable Agiculture. Phil.Trans. R. Soc.
B363, 543-555
Kemenhut, 2014. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Kementerian Kehutanan RI. Jakarta
Lund, G. H. 2012. State of The Forest of The World. Forestry Department. FAO. Rome Mathew. E. 1983. Global Vegetation and Land
Use: New High Resolution Data Based for Climate Study. Journal of Climate and Applied Meteorology 22: (474- 487)
Pretty, J. 2008. Agricultural Sustainability:
Concepts Principles and Evidence Phil.
Trans. R. Soc. B363, 447-465
Smith, P. et al, 2008. Greenhouse Gas Mitigation in Agriculture. Phil.Trans.
R.Soc.B363, 789-813
Sumarwoto. O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Undang-undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
www.wordresouces/virgin-forest-southern- usa