• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Tanggapan Umat Terhadap Ekaristi Yang Menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Deskripsi Tanggapan Umat Terhadap Ekaristi Yang Menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

i

DESKRIPSI TANGGAPAN UMAT TERHADAP EKARISTI YANG MENGGUNAKAN GONDANG DAN TORTOR BATAK

DI PAROKI KATEDRAL SANTA THERESIA LISIEUX SIBOLGA

S K R I P S I

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Disusun Oleh:

Yola Sofia Loren Purba NIM: 181124021

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2022

(2)

ii

HALAMAN P ERSETUJUAN PEMBIMBING

(3)

iii

(4)

iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(5)

v

(6)

vi

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu

itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku diberikan- Nya kepadamu.”

(Yohanes 15:16)

(7)

vii Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai aku dalam setiap langkah hidupku, dan selalu memberikan pernyertaan dalam menyusun tugas akhir skripsi.

2. Kedua orang tua yang saya cintai, Bapak Maruli Tua Purba dan Ibu Riris Nababan, yang senantiasa selalu memberikan dorongan dan semangat serta kasih sayang yang tulus kepada saya hingga kini saya dapat mencapai gelar sarjana.

3. Adik pertama saya, Vinensi Patricia Purba yang selalu memberikan dukungan dalam menyusun skripsi ini.

4. Romo Dr. B. A. Rukiyanto yang telah membimbing dan selalu memberikan arahan supaya dapat segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Umat paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga yang telah bersedia terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

6. Semua teman-teman yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh kerabat yang mendukung serta mendoakan untuk dapat lulus tepat waktu.

8. Almamaterku Universitas Sanata Dharma.

(8)

viii Puji syukur penulis haturkan kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa, atas berkat dan pendampingan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DESKRIPSI TANGGAPAN UMAT TERHADAP EKARISTI YANG MENGGUNAKAN GONDANG DAN TORTOR BATAK DI PAROKI KATEDRAL SANTA THERESIA LISIEUX SIBOLGA. Skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan umat terkait Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak. Selain itu, penyusunan skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, dengan penuh syukur dan tulus hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. B. A. Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing, yang selalu memberikan waktu, perhatian dan masukan serta saran-saran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan susunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

3. F.X. Dapiyanta SFK, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

4. Bapak Maruli Tua Purba dan Ibu Riris Nababan sebagai orang tua yang selalu memberikan dan mengusahakan yang terbaik, memberikan dukungan, arahan

(9)

ix

(10)

x DESKRIPSI TANGGAPAN UMAT TERRHADAP EKARISTI YANG

MENGGUNAKAN GONDANG DAN TORTOR BATAK DI PAROKI KATEDRAL SANTA THERESIA LISIEUX SIBOLGA

Yola Sofia Loren Purba Universitas Sanata Dharma

2022

Dipilih berdasarkan rasa keingintahuan penulis akan tanggapan umat mengenai Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak. Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga merupakan salah satu paroki yang hingga saat ini masih mempertahankan penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam perayaan Ekaristi. Penulis ingin menguraikan tanggapan umat terkait ingatan terhadap apa yang dilihat, apa yang didengar maupun apa yang dirasakan umat saat mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak.

Penulisan skripsi ini bertolak dari Sacrosanctum Concilium (SC) art. 40 yang mengatakan bahwa perlu adanya pertimbangan terhadap tradisi-tradisi dan ciri khas dari masing-masing bangsa yang sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi, terutama pada daerah misi yang memiliki tradisi musik tersendiri, di mana hal ini dapat membantu mempermudah umat dalam menghayati iman akan Yesus Kristus. Persoalan pokok dalam tulisan ini ialah bagaimana tanggapan umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, baik itu ingatan terhadap apa yang dilihat, didengar maupun dirasakan. Untuk mengkaji permasalahan tersebut, maka diperlukanlah data yang akurat, di mana penulis menggunakan pengamatan dan wawancara dalam memperoleh data.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, diperoleh hasil bahwa Gondang dan Tortor Batak biasanya dipakai pada perayaan-perayaan tertentu saja. Gondang Batak memiliki fungsi yang sama seperti alat musik organ, di mana bisa dipakai untuk mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan dalam Ekaristi, sedangkan Tarian Tortor Batak biasanya ditampilkan pada perarakan masuk dan saat menghantarkan persembahan ke depan Altar. Dengan mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, umat merasakan kegembiraan dan penuh semangat, hal ini juga dipengaruhi musik Gondang yang dapat membangun suasana yang gembira.

Kata-kata kunci: Inkulturasi, Ekaristi, Gondang dan Tortor Batak

(11)

xi Congregation Responses to Eucharistic Using Bataknese Gondang and Tortor

in Cathedral Santa Theresia Lisieux Sibolga Parish Yola Sofia Loren Purba

Sanata Dharma University 2022

Is chosen as the title of this undergraduate thesis based on the curiosity of the writer reagarding with how the congregations respond to the Eucharist using Gondang and Tortor Batak. Cathedral Santa Theresia Lisieux Sibolga Parish is one of the Chatedral Parish remaining using Bataknese Gondang and Tortor in Eucharistic celebration. The writer will elaborate the responses based on their remembrance of the congregation of what they have seen, what they have heard and what they have felt while following the Eucharistic celebration using Bataknese Gondang and Tortor.

The undergraduate thesis is grounded from Sacrosanctum Concilium (SC) art.40 saying that it is needed to consider the traditions and cultural characteristics from any nations to accomodated in divine worship especially in mission areas which have their own cultures such musical tradition so it will be easier for them to live the faith in Jesus Christ. The main issue laid on how the congregation responded to the Eucharist celebration using Bataknese Gondang and Tortor either based on their memories of what was seen, heard and felt. In order to collect the accurate data concerning with the issue, the writer observes and interviewed the member of congregation.

According to research, it was found that Bataknese Gondang and Tortor was usually used in only in several church celebrations on which Bataknese Gondang had function as music instrument while singing in the Eucharist and Bataknese Tortor was usually performed while opening the ceremoney and delivering the offering to front of Altar. In addition, the congregations felt enthusiastic and joyful because of the ambience created by Bataknese Gondang and Tortor used in Eucharistic celebration.

Keywords: Eucharistic, Inculturation, Gondang and Tortor.

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penulisan ... 5

1.4 Manfaat Penulisan ... 5

1.5 Metode Penulisan ... 6

1.6 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II PENGGUNAAAN GONDANG DAN TORTOR BATAK ... 8

(13)

xiii

2.2 Ekaristi Sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja ... 9

2.3 Pembaharuan Liturgi dalam Gereja Katolik ... 12

2.4 Inkulturasi ... 15

2.4.1 Istilah Inkulturasi ... 15

2.4.2 Definisi Inkulturasi ... 15

2.4.3 Tahap-tahap dan Tujuan Inkulturasi ... 19

2.4.4 Inkulturasi dalam Ekaristi ... 21

2.5 Gondang dan Tortor Batak ... 22

2.5.1 Gondang ... 22

2.5.2 Tortor Batak ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Pendekatan Penelitian ... 27

3.2 Desain Penelitian ... 28

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.4 Informan Penelitian ... 28

3.5 Instrumen Penelitian ... 28

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.7 Analisis Data ... 32

3.8 Keabsahan Data (Triangulasi) ... 33

3.9 Penelitian Yang Relevan ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Hasil Penelitian ... 37

(14)

xiv 4.1.2 Umat mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang

dan Tortor Batak ... 38

4.1.3 Perasaan Umat ketika mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak. ... 40

4.1.4 Penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam perayaan Ekaristi ... 41

4.1.5 Suasana perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak ... 43

4.2 Pembahasan ... 45

4.2.1 Sejarah Singkat Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga .... 45

4.2.2 Tanggapan Umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga ... 47

4.2.3 Faktor Pendukung dan Penghambat Penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga. ... 51

4.2.4 Harapan/saran dari Umat Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga. ... 52

4.2.5 Validasi Data ... 53

4.2.6 Kesimpulan Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 55

4.2.7 Keterbatasan Penelitian ... 57

4.2.8 Refleksi Kateketis ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

(15)

xv

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 65

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 27

(16)

xvi Gambar 1. Alat Musik Gondang Batak ... 24 Gambar 2. Tarian Tortor Batak ... 26 Gambar 3. Tarian Tortor Batak di Stasi Santo Petrus Mela pada acara ... 38

(17)

xvii A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Kor. : Korintus Luk : Lukas Mat. : Matius Mrk. : Markus

B. Daftar Singkatan Dokumen Gereja

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, 21 November 1964.

RM : Redemptoris Missio, Ensiklik Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963.

KGK : Katekismus Gereja Katolik, 2009.

(18)

xviii Art. : Artikel

Dep P dan K : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Komkat : Komisi Kateketik

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

MB : Madah Bakti

Mgr. : Monsinyur

PML : Pusat Musik Liturgi NIM : Nomor Induk Mahasiswa

(19)

xix Lampiran 1: Surat Ijin Penelitian ... (1) Lampiran 2: Panduan Pertanyaan Wawancara ... (2) Lampiran 3: Transkip Wawancara ... (3)

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada Pada zaman ini Gereja Katolik telah mengalami banyak pembaharuan, yang salah satunya ialah pembaharuan terhadap Ekaristi Ekaristi.

Pembaharuan ini dilakukan untuk dapat membantu umat Katolik yang berada di daerah-daerah misi untuk dapat lebih mudah dalam mengimani Yesus Kristus.

Salah satu contoh pembaharuan dalam Liturgi ialah melibatkannya kebudayaan setempat dalam Liturgi Ekaristi. Pembaharuan ini dijabarkan dalam sebuah dokumen yang diperoleh pada Konsili Vatikan II (1961), yakni dokumen Gereja Sacrosanctum Concilium. Dokumen ini menjelaskan bahwa perlunya diadakan pembaharuan Liturgi yang harus diatur sedemikian rupa dengan cara yang khas, dengan melibatkan kebudayaan yang diharapkan dapat membantu umat untuk semakin terlibat dalam Liturgi, terutama dalam penghayatan iman akan Yesus Kristus itu sendiri.

Dalam SC art. 40 juga dijelaskan bahwa hendaknya terdapat pertimbangan terhadap unsur-unsur dari tradisi-tradisi dan ciri khas dari masing- masing bangsa yang sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Di wilayah- wilayah tertentu, terutama pada daerah-daerah misi terdapat tradisi musik sendiri yang memiliki peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat setempat.

(21)

Musik itu hendaknya mendapatkan penghargaan dan tempat yang layak dan sewajarnya baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka (SC 119). Misalnya pada daerah misi Sumatera Utara, daerah ini tidak hanya terdapat unsur bahasa saja tetapi juga terdapat unsur-unsur lain seperti musik dan tariannya, misalnya musik Gondang dan tarian Tortor yang dikenal berasal dari Sumatera Utara, di mana di daerah ini sebagian besar penduduknya adalah suku Batak. Dikarenakan Sumatera Utara yang merupakan daerah misi, tentunya bentuk peribadatan kepada Allah juga seringkali melibatkan unsur-unsur kebudayaan Batak.

Proses yang melibatkannya unsur-unsur tradisi maupun budaya setempat dalam Ekaristi atau peribadatan kepada Allah disebut dengan istilah inkulturasi, yang hal ini akan sangat membantu dan mempermudah umat dalam menghayati iman akan Yesus Kristus. Juga dalam dokumen Gerejawi De Liturgia Romana Et Inculturatione dijelaskan bahwa Inkulturasi merupakan proses di mana kebudayaan masuk dalam kehidupan menggereja (art.4).

Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga merupakan salah satu paroki yang ada di keuskupan Sibolga yang terletak di provinsi Sumatera Utara.

Provinsi ini sangat melekat dengan kebudayaan adat Batak, sehingga tidak jarang bila dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Gereja Katolik juga sering melibatkan berbagai hal yang berkaitan dengan budaya Batak. Misalnya, adanya tarian Tortor yang diiringi Gondang pada saat mengantarkan persembahan ke

(22)

depan altar. Hal lain yang melibatkan budaya Batak juga terlihat pada saat penggunaan ulos pada dekorasi gereja, penggunaan bahasa Batak dalam kegiatan Ekaristi dan lain sebagainya.

Dalam budaya Batak, Tortor dan Gondang Batak merupakan alat musik maupun tarian yang kerap kali digunakan dalam Ekaristi. Tortor merupakan suatu tarian adat Batak yang memiliki beberapa aturan gerakan dan memiliki makna tertentu disetiap gerakannya, sedangkan Gondang Batak atau yang sering dikenal sebagai Gondang Sabangunan merupakan kumpulan beberapa alat musik yang dimainkan secara bersama-sama dengan ritme tertentu untuk mengasilkan bunyi nada yang khas dalam budaya Batak. Bunyi dari alat musik inilah yang akan mengiringi gerakan tari Tortor. Salah satu kekhasan dari tarian Tortor ini ialah yang selalu memakai pakaian adat atau ulos saat manortor (menari Tortor), dan ulos yang dipakai pun harus sesuai dengan acara kegiatan yang dilaksanakan, misalnya apabila manortor saat mengantarkan persembahan ke depan Altar maka menggunakan ulos tertentu, karena setiap ulos juga memiliki makna tertentu. Selain itu kekhasan dari kebudayaan ini ialah musik Gondangnya sendiri yang beberapa alat musiknya tidak dimiliki oleh kebudayaan lain, misalnya Garantung, Garantung mirip dengan Gambang (dalam budaya Jawa) bedanya ialah terdapat 5-11 bilah kayu yang digantung pada kotak penyimpan udara, untuk nada garantung dimulai dari nada tinggi (sebelah kiri) ke nada rendah (sebelah kanan) sedangkan gambang terdiri dari 18-21 bilah kayu dan tidak digantung pada kotak udara melainkan salah satu sisi masing-masing

(23)

bilah kayunya dipakukan pada bagian atas kotak penyimpan udara, dan nadanya pun dimulai dari nada rendah (sebelah kiri) ke nada tinggi (sebelah kanan).

Hal lain yang menjadi kekhasan lain dari kebudayaan Batak ialah dalam konsep adat Batak Toba dunia dibagi menjadi tiga bagian yaitu: dunia bawah (banua toru), dunia tempat manusia hidup (banua tonga), dan dunia atas (banua ginjang). Banua toru adalah tempat seseorang yang sudah mati, yang hal ini akan mengakibatkan komunikasinya akan terputus dengan banua ginjang, di mana banua ginjang merupakan tempat Mula Jadi Nabolon atau Sang Penguasa berada. Saat upacara kematian dilangsungkan, Gondang berfungsi sebagai media penyampaian doa-doa kepada Mula Jadi Nabolon.

Melihat hal ini, penulis memiliki ketertarikan ingin mengetahui bagaimana tanggapan umat saat menggunakan Gondang dan Tortor dalam Ekaristi Gereja Katolik Paroki Santa Theresia Lisieux Sibolga, apakah umat semakin bersemangat dalam mengikuti perayaan Ekaristi terlebih dalam menghayati iman dan relasi akan Yesus Kristus, atau malah sebaliknya. Selain itu juga ingin melihat apakah tujuan inkulturasi sendiri dapat tercapai, dalam hal ini secara khusus adalah dengan adanya penggunakan Gondang dan Tortor Batak dalam perayaan Ekaristi. Dengan adanya ketertarikan tersebut maka pada tulisan ini penulis mengambil judul “Deskripsi tanggapan umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga”.

(24)

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tanggapan umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis sendiri yakni mengetahui tanggapan umat Paroki Katedral Santa Theresia Lisiuex Sibolga terhadap perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah:

1. Bagi Penulis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan wawasan penulis dapat semakin bertambah terkait penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi.

2. Bagi pembaca

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah wawasan para pembaca akan pentingnya inkulturasi dalam Ekaristi Gereja Katolik. Selain itu diharapkan juga agar pembaca mendapatkan wawasan yang baru terhadap budaya Batak terutama terhadap Godang dan Tortor Batak sendiri.

3. Bagi Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga

(25)

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat membantu para pengurus Gereja paroki dalam mengembangkan berbagai upaya yang dapat membantu umat dalam menghayati iman akan Yesus Kristus melalui kebudayaan.

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini ialah menggunakan metode penulisan deskriptif. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang di mana penulis mengumpulkan data dengan melakukan observasi dan wawancara terhadap pihak-pihak terkait atas apa yang terjadi di lapangan dan kemudian akan didapatkan data berupa deskriptif.

1.6 Sistematika Penulisan

Pada penulisan skripsi ini, penulis mengambil judul “Deskripsi tanggapan umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga”, di mana akan dikembangkan menjadi beberapa bab, yakni sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematikan penulisan.

BAB II: Landasan teori terdiri dari kajian pustaka dan jabaran mengenai pengertian tanggapan/respon, Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan

(26)

Gereja, pembaharuan Liturgi dalam Gereja Katolik, penjabaran tentang inkulturasi, inkulturasi dalam Ekaristi, serta defenisi Gondang dan Tortor Batak.

BAB III: Metode penelitian. Pada bagian ini terdiri dari paparan mengenai metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data yang akan digunakan.

BAB IV: Pada bab ini terdapat paparan mengenai hasil penelitian dan pembahasan atas deskripsi tanggapan umat terhadap Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak. Selain itu, bab ini juga berisi tentang keterbatasan penelitian dan Refleksi Kateketis.

BAB V: Bab ini memaparkan penutup yang memuat kesimpulan dan saran.

(27)

8 BAB II

PENGGUNAAAN GONDANG DAN TORTOR BATAK

2.1 Pengertian Tanggapan

Menurut Sumadi Suryabatra (1989:36), tanggapan adalah bayangan yang tinggal di dalam ingatan berdasarkan pengamatan terhadap suatu objek. Menurut Kartini Kartono (1996:57), Tanggapan merupakan kesan-kesan yang dialami seseorang, yang didapatkan melalui pengamatan yang sudah dilakukan terhadap suatu peristiwa. Adapun menurut Westy Soemanto (1990:23), tanggapan ialah bayangan yang menjadi kesan, di mana bayangan tersebut dihasilkan dari adanya pengamatan. Selain itu tanggapan/respon juga dipahami sebagai proses seseorang dalam mengetahui berbagai hal melalui indera yang dimilikinya (Dep P dan K, 1989:6754).

Menurut Agus Sujanto (2004:31), terdapat beberapa jenis-jenis tanggapan menurut indera yang mengamati, yakni:

1. Tanggapan pelihat atau tanggapan visual, yakni jenis tanggapan terhadap apa yang dilihat.

2. Tanggapan suara atau tanggapan auditif, yakni jenis tanggapan terhadap apa yang didengar.

3. Tanggapan peraba atau perasa, yakni jenis tanggapan terhadap sesuatu yang diraba atau dialami.

(28)

Menurut Steven M. Chaferespon (dalam Jalaludin Rakhmat, 1999:118), respon terbagi menjadi tiga, yakni:

1) Kognitif : respon kognitif ialah respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan, keterampilan, dan informasi seseorang mengenai sesuatu.

2) Afektif : respon afektif merupakan respon yang berkaitan dengan emosi, sikap, dan penilaian seseorang terhadap sesuatu.

3) Konatif (psikomotorik) : respon konatif ialah respon yang berhubungan dengan perilaku nyata yang meliputi tindakan seseorang terhadap sesuatu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggapan/respon adalah kesan-kesan yang dialami dan tinggal di dalam ingatan seseorang, meliputi apa yang telah diterima melalui panca inderanya sendiri (indera pelihat, indera pendengar dan indera peraba/perasa), emosi, sikap, perilaku maupun tindakan nyata seseorang terhadap sesuatu.

2.2 Ekaristi Sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja

Ekaristi merupakan salah satu sakramen yang terdapat dalam Gereja Katolik, namun perlu diketahui bahwa Ekaristi merupakan sakramen utama. Hal ini juga sesuai dengan Konsili Vatikan II yang menyebutkan bahwa Ekaristi merupakan “sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani” (KWI, 1996:401).

Pernyataan tersebut juga didukung dalam dokumen Gereja LG 11 yang mengatakan bahwa umat mempersembahkan dirinya bersama dengan Anak

(29)

Domba Ilahi kepada Allah, di mana dengan hal ini Ekaristi merupakan sakramen (tanda dan sarana) persatuan Allah dengan manusia (KWI, 1996:402). Ekaristi tidak hanya menghubungan antara pribadi umat dengan Alah, melainkan juga mengubungkan serta mengeratkan hubungan antar umat sendiri. Hal ini terlihat dalam bentuk ibadat yang pada dasarnya berasal dari agama Yahudi yakni melalui Perjamuan Terakhir. Kisah Perjamuan Terakhir ini tertulis dalam Injil sinoptik yakni Mat 26:26-29, Mrk 14:22-25, Luk 22:15-20 dan pada Paulus yakni pada 1Kor 11:23-25, di mana dalam kisah tersebut mengisahkan tentang perjamuan Yesus dengan para murid-Nya. Berdasarkan keempat kisah tersebut, terdapat sepuluh unsur pokok yang terdapat di dalamnya (KWI, 1996:403), yakni:

a. Yesus mengambil roti b. Yesus mengucap doa syukur

c. Yesus memecahkan roti dan memberikannya kepada murid d. Yesus membagikan roti itu Yesus bersabda: Inilah tubuh-Ku e. Sesudah perjamuan Yesus mengambil piala

f. Yesus mengucap syukur lagi

g. Piala diberikan kepada para rasul, dan mereka minum dari padanya

h. Waktu mengedarkan piala, Yesus bersabda: Piala ini adalah Perjanjian Baru dalam darah-Ku

i. Yesus memberi perintah pengenangan

j. Sesudah itu Yesus masih berbicara mengenai Kerajaan Allah

(30)

Dalam kisah Perjamuan Terakhir tersebut menampakkan persekutuan yang dilakukan antara Yesus dengan para murid. Kemudian hal ini diangkat menjadi sebuah perayaan Ekaristi hingga saat ini, di mana umat mengenang peristiwa tersebut dan ikut melibatkan diri dalam persekutuan tersebut melalui Ekaristi.

Dalam perayaan Ekaristi, umat dapat menanggapi undangan Allah Tritunggal Maha Kudus. Tanggapan ini dapat dilihat dari ungkapan syukur atas anugerah Allah atas pengalaman-pengalaman dan anugerah yang diberikan oleh Allah.

Dalam Ekaristi, umat juga dapat memohon ampun atas segala kealahan dan dosa- dosa yang telah diperbuat. Melalui perayaan Ekaristi umat diajak untuk merefleksikan pengalaman hidup umat dalam terang sabda sehingga iman umat dapat selalui diperbaharui (credo). Dalam perayaan Ekaristi umat menerima komuni yang berarti bahwa umat menerima Kristus dan siap untuk meneladani Yesus Kristus. Serta siap diutus untuk menjadi pribadi-pribadi dan komunitas Ekaristis. Ekaristi merupakan sumber dan puncak kehidupan Gereja, hal ini disebabkan adanya usaha-usaha yang ingin dicapai tujuan tertentu, yakni supaya semua orang yang melalui iman dan Baptis menjadi putra-putri Allah, kemudian berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, serta ikut dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan (SC 10). Dalam perayaan Ekaristi akan menjadi hidup apabila umat memahami Ekaristi yang dirayakan dan ikut serta mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, hal ini dikarenakan perayaan Ekaristi bukan hanya tugas atau tanggungjawab dari kerus saja, melainkan juga tugas dan

(31)

tanggungjawab seluruh anggota Gereja yakni umat Allah itu sendiri (Martasudjita, 2011:78-79).

Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan kristiani karena Kristuslah yang hadir dalam Ekaristi dan di dalam Ekaristi jugalah kita dapat bersatu dengan Kristus. Kehidupan kristiani ialah kehidupan yang penuh kasih, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Untuk dapat mengasihi Allah dan sesama, manusia membutuhkan kekuatan rahmat. Kekuatan rahmat dapat diperoleh melalui Ekaristi, di mana Kristus bersatu dengan manusia. Kekuatan rahmat diperoleh agar manusia dapat bertumbuh dalam iman, harap dan kasih. Tujuan utama hidup kristiani ialah persatuan Allah untuk selama-lamanya. Ekaristi sebagai “sumber” berarti bahwa Ekaristi menjadi sumber kekuatan yang memampukan manusia untuk mengasihi dan melayani, dan Ekaristi sebagai

“puncak” berarti seluruh karya dalam kehidupan manusia ditujukan serta diarahkan pada persatuan dengan Allah (KGK 1324).

2.3 Pembaharuan Liturgi dalam Gereja Katolik

Paus Pius X merupakan seorang Paus yang pada awalnya adalah seorang pastor paroki. Ia mengenal dengan baik suasana umat yang ada di paroki-paroki serta mengetahui benar-benar suasana Gereja yang dinilai pada zaman itu sangat membutuhkan adanya suatu pembaharuan. Melihat hal ini, paus Pius X mendesak akan perlunya “suatu peran serta aktif (participation actuosa) dari umat beriman dalam misteri-misteri dan doa resmi Liturgi Gereja”. Istilah participation actuosa

(32)

ini ditanggapi oleh seorang rahib Benediktin dari Belgia bernama Lambert Beauddin (1873-1960) dengan sangat baik. Kata ini ia gunakan menjadi program utamanya dalam gerakan pembaharuan yang ia motori. Karya pastoralnya ini bertujuan untuk menyadarkan umat bahwa Liturgi merupakan urusan seluruh umat dan warga Gereja dan bukan hanya urusan klerus saja. Dalam peristiwa sidang di Mechelen, ceramahnya disambut dengan penuh antusias, dan sidang itu pula menyetujui adanya usaha dalam penerjemahan teks Misa dan ibadat sore ke dalam bahasa pribumi, yang pada akhirnya sidang ini dipandang sebagai hari lahirnya gerakan pembaharuan Liturgi (Martasudjita, 2011:77-78).

Pada abad ke-20 sasaran utama gerakan pembaharuan Liturgi ialah agar umat memahami Liturgi yang mereka rayakan dan agar umat dapat mengambil bagian dalam Liturgi secara aktif. Pius XII mengeluarkan ensiklik Mediator Dei pada tahun 1947, yang di mana ensiklik ini merupakan tanggapan resmi pertama dari Roma mengenai gerakan pembaharuan Liturgi ini, dan ternyata Mediator Dei berisi pengakuan dan persetujuan atas usaha gerakan pembaharuan Liturgi.

Mediator Dei menyebut pembaharuan Liturgi sebagai suatu penyelenggaraan ilahi pada zaman ini. Dalam hal ini Pius XII memberikan peringatan akan segala usaha pembaharuan yang berlebihan (Martasudjita, 2011:79).

Martasudjita (2011:80) juga melanjutkan penjelasannya bahwa pada tahun 1958, Kardinar Angelo Roncalli terpilih menjadi Paus pada usianya yang ke-77 tahun, dan ia mengambil nama Paus Yohanes XXIII. Paus Yohanes XXIII

(33)

memanggil sebuah konsili ekumenis pada 25 Januari 1959. Orang banyak terkejut mendengar keputusan tersebut, sebab Paus tersebut sendiri sudah tua dan diragukan akan keputusannya yang akan mengadakan konsili yang amat besar tersebut, yang di mana akan menghadirkan oleh semua uskup dari seluruh dunia.

Pada saat itu atas pengamatannya, Paus Yohanes XXIII meyakini bahwa Gereja sangat memerlukan adanya pembaharuan diri dengan situasi dan tuntun zaman sekarang.

Dalam Konsili Vatikan II, untuk sejarah Liturgi lahirnya dokumen Sacrosanctum Concilium (SC) yang merupakan konstitusi tentang Liturgi Suci.

Berikut ini beberapa pokok pembaharuan terhadap Liturgi Gereja berdasarkan hasil sidang-sidang Konsili Vatikan II (Martasudjita, 2011:81).

1. Kini Liturgi mendapatkan tempat yang istimewa dalam Gereja, di mana Liturgi merupakan puncak dan sumber kehidupan Gereja (SC art. 10).

2. Umat atau seluruh anggota Gereja sepenuhnya secara sadar dan aktif dituntut dalam perayaan Ekaristi (SC art. 14).

3. Ilmu Liturgi dan pendidikan Liturgi mendapatkan peran dan penghargaan tinggi (SC art. 15-19).

4. Pembaharuan Liturgi di berbagai bidang dan unsurnya (SC art. 21-40), seperti penyesuaian Liturgi dengan tradisi bangsa-bangsa.

5. Adanya izin penggunaan bahasa pribumi dalam Liturgi (SC art. 36).

(34)

6. Dikehendakinya adanya pembaharuan Liturgi sakramen-sakramen, ibadat harian, keterbukaan Gereja akan karya kesenian religius dari aneka budaya manusiawi yang sekiranya cocok dengan jiwa Liturgi Gereja.

2.4 Inkulturasi

2.4.1 Istilah Inkulturasi

Istilah inkulturasi dipopulerkan oleh seorang misiolegi dari Beligia pada tahun 1959 yang bernama Jaseph Mason. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam khazanah diskusi teologis, kemudian digunakan dalam dokumen Yesuit pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/1975. Lalu pada sinode para uskup tahun 1997, istilah inkulturasi diterima dan kemudian digunakan dalam suatu dokumen resmi Gereja. Setelahnya, Sri Paus Yohanes Paulus II dalam beberapa ajarannya menggunakan istilah inkulturasi. Istilah inkulturasi muncul dengan berpangkal dari konsepsi dalam anthropologi, yakni enkulturasi, yang memiliki arti yakni penyesuaian diri seorang pribadi manusia ke dalam suatu budaya tertentu agar dia menjadi bagian budaya tersebut (Martasudjita, 2011:265-266).

2.4.2 Definisi Inkulturasi

Istilah inkulturasi secara etimologi terdiri dari dua kata, yakni “in” dan

“cultura”. In mengandung arti ke dalam dan cultura mengandung arti kebudayaan. Dengan ini dapat dipahami bahwa inkulturasi adalah masuk ke dalam kebudayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, inkulturasi merupakan

(35)

usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam sebuah jurnal dengan judul "Inkulturasi Gondang dan Tortor Batak Pada Liturgi Gereja Katolik Paroki Santa Maria Tarutung”, Mgr. John Liku dalam Manalu G.J (2020:184) mengatakan bahwa:

Walaupun kata “inculturati” tidak terdapat dalam bahasa Latin klasik, jelaslah istilah tersebut berasal usul dari bahasa Latin. Dibentuk dari kata depan in (menunjukkan di mana sesuatu ada/berlangsung: di (dalam), di (atas); atau menunjukkan kemana sesatu bergerak: ke. Ke arah, ke dalam, ke atas); dan kata kerja colo, colore, cultum (=menanami, mengolah, mengerjakan, mendiami, memelihara, menghormati, menyembah, beribadat). Dari kata kerja ini berasal kata benda cultura (=pengusahaan, penanaman, tanah pertanian, pendidikan, penggemblengan, pemujaan, penyembahan); tampaknya dari gabungan semua arti tersebutlah kata cultura mendapatkan arti kebudayaan. Maka “inculturatio”

secara harfiah berarti “penyisipan ke dalam suatu kebudayaan.

Dalam dokumen Gerejawi De Liturgia Romana Et Inculturatione, dirumuskan bahwa inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan menggereja, juga dijelaskan bahwa inkulturasi berarti transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda (art.4). Rumusan ini juga mendapat dukungan dari Paus Yohanes Paulus II, di mana Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi bahwa adanya transformasi yang mendalam dari nilai-nilai kebudayaan asli dan kemudian integrasinya ke dalam kristianitas yang memungkinkan adanya penjelmaan injil dalam budaya setempat, sehingga pada akhirnya kekristenan akan sungguh berakar di dalam budaya asli para orang-orang yang menganut iman kristiani.

(36)

Paus Yohanes Paulus II juga beberapa kali menyebut tema inkulturasi dalam ajaran-ajarannya. Beliau menekankan pentingnya proses panjang yang mendalam dan menyeluruh, yang mencakup pesan Kristen dan refleksi serta praktik Gereja (RM art. 52). Paus Yohanes Paulus II juga menuliskan bahwa dengan melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan Injil ke dalam kebudayaan- kebudayaan yang berbeda-beda dan sekaligus secara serentak membawa masuk para bangsa dan kebudayaan-kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri (RM art. 52).

Romo Boli (Katolisitas.org) dalam tulisannya yang berjudul “Penyesuaian dan Inkulturasi Ekaristi” mengutip Shorter yang menjelaskan bahwa inkulturasi merupakan hubungan yang kreatif dan dinamis antara iman kristen dengan satu atau lebih budaya. Ia juga memberikan 3 poin penting yang berkaitan dengan inkulturasi. Pertama, inkulturasi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan selalu memiliki nilai yang relevan untuk setiap bangsa maupun wilayah di mana iman kristiani bertumbuh. Kedua, iman kristiani hanya akan ada bila telah membentuk ekspresi budaya. Ketiga, antara iman kristiani dan kebudayaan haruslah terdapat interaksi dan asimilasi terhadap satu dengan yang lain.

Romo Boli (Katolisitas.org) dalam tulisannya yang berjudul “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi” juga mengutip Chupungco yang memberikan penjelasan bahwa inkulturasi merupakan proses di mana upacara pra-kristiani diberi arti

(37)

kristiani. Hal ini berarti bahwa susunan asli dari upacara pra-kristiani tidak diubah secara radikal tetapi artinya diubah untuk mengungkapkan misteri iman kristiani.

Inkulturasi bertitik tolak dari sifat kekhasan budaya setempat, dan berusaha membuat perubahan-perubahan di dalam kebudayaan itu dengan memasukkan pewartaan kristiani.

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, E. Martasudjita menuliskan bahwa inkulturasi sebaiknya dipahami sebagai “suatu proses yang terus menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.” (Martasudjita, 2005:131). Ia juga menjelaskan beberapa poin penting yang didapat berdasarkan pemahaman atas inkulturasi, yakni:

a. Inkulturasi bukanlah hanya sekedar suatu cara pengungkapan iman Gereja universal kedalam tata cara budaya maupun bahasa tertentu, tetapi juga menyangkut penghayatan iman dalam kehidupan konkret yang mendasar dan ditransformasikan oleh injil Yesus Kristus yang diimani.

b. Inkulturasi bukan hanya tentang masalah teori, otak, maupun pemikiran, namun yang terpenting ialah menyangkut penghayatan iman itu sendiri.

c. Inkulturasi itu merupakan proses transformasi budaya yang didorong, diarahkan dan dijiwai oleh injil. Para Bapa Konsili Vatikan II memiliki

(38)

pandangan bahwa kebudayaan adalah segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat dan pembawaan jiwa-raganya (GS art. 53).

Berdasarkan beberapa pemaparan definisi inkulturasi diatas, maka dapat ditarik garis besar bahwa inti dari inkulturasi ialah Liturgi menjadi suatu perayaan iman yang hidup, yang memungkinkan umat Allah untuk berjumpa dengan Allah dalam kondisi dan budaya setempat, sehingga mereka mampu melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat untuk bekerjasama dengan Allah melanjutkan karya dan keselamatan-Nya.

2.4.3 Tahap-tahap dan Tujuan Inkulturasi

Martasudjita (2005:139-140) dalam tulisannya menuliskan terdapat empat tahap inkulturasi, yakni sebagai berikut:

Tahap pertama adalah pengambil-alihan (imposition). Maksud dari tahap ini adalah bahwa teologi dan Liturgi asing (misalnya Eropa) dipakai dan digunakan dengan bergitu saja secara utuh di daerah lain (misalnya, di Asia).

tahap ini menjadi tahap pertama dikarenakan bagaimanapun umat yang merayakan Ekaristi tersebut dapat menghayatinya menurut jiwa dan hati mereka sendiri.

Tahap kedua adalah tahap penerjemahan. Pada tahap ini terjadi adanya penerjemahan teks Liturgi dari bahasa asing (Latin) ke bahasa Pribumi.

(39)

Tahap ketiga ialah tahap penyesuaian (adaptatio atau accomodatio). Tahap ini diatur dalam dokumen Gereja Sacrosanctum Concillium art. 37-39, di mana suatu penyesuaian maupun suatu perubahan tertentu (memiliki batasan) dengan kondisi dan budaya setempat diizinkan. Dalam tahap ini, maka dimungkinkan masuknya unsur-unsur budaya setempat ke dalam Liturgi, namun dengan catatan

“Asal selaras dengan hakikat semangat Ekaristi yang sejati dan asli” (SC art. 37).

Contoh tahap penyesuaian Liturgi di Indonesia ialah adanya tarian pada prosesi awal dan perarakan bahan persembahan, penggunaan alat-alat musik daerah dalam Liturgi, penggunaan pakaian adat dalam Liturgi, gedung gereja yang menggunakan corak lokal, dan lain sebagainya.

Tahap keempat ialah inkulturasi yang paling mendalam. Dalam SC 40, Konsili Vatikan II menyebut suatu “penyesuaian Liturgi secara lebih mendalam”.

Inkulturasi yang sejati adalah inkulturasi yang bertolak dari budaya setempat.

Gereja memberi rambu-rambu untuk semua usaha inkulturasi yang lebih mendalam. Dibawah ini terdapat tiga ketentuan yang terdapat dalam SC 40.

a. Pemimpin Gereja setempat harus dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang sebaiknya ditampung dalam Liturgi.

b. Suatu penyesuaian dengan seizin Takhta Suci bisa diujicoba atau dilaksanakan secara ad experimentum untuk waktu dan tempat tertentu.

(40)

c. Karena tantangan dan kesulitan penyesuaian seperti ini jelas sulit dan berat, maka perlulah tersedianya para ahli untuk bidang tersebut, misalnya ahli dalam bidang Ekaristi, teologi, musik, budaya, bahasa, dan sastra).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan terdapat tiga poin penting tujuan dari inkulturasi Ekaristi, yakni:

a. Injil dapat diungkapkan atau disampaikan dengan lebih jelas.

b. Umat dapat memahami dan menangkap Injil dengan lebih jelas.

c. Umat dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif menurut cara khas umat.

2.4.4 Inkulturasi dalam Ekaristi

Di daerah Sumatera Utara, secara khusus di daerah Tapanuli, Gereja Katolik mulai hadir pada tahun 1991. Dalam prosesnya, Gereja melibatkan kebudayaan Batak untuk membantu umat untuk lebih mudah mengerti apa yang disampaikan oleh Allah dalam perayaan Ekaristi. Salah satu bentuk dari kebudayaan Batak ini ialah adanya penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi. Romo Prier dalam bukunya yang berjudul “Inkulturasi Musik Ekaristi I”, mengatakan bahwa:

Saya terpesona dengan bunyi solo Sarunai waktu konsekrasi untuk ganti lonceng/gong. Terdapat pula tari perarakan masuk, tari perarakan persiapan persembahan, dan tari perarakan keluar/penutup yang diiringi Gondang Sabangunan (Prier. 2014:29).

(41)

Romo Prier menambahkan bahwa ditenkannya ciri-ciri khas yang terdapat dalam musik Batak, yakni musik Batak Toba yang berifat hidup, kuat/energik dan sedikit bobastis. Musik Gondang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian (Prier, 2014:28). Dalam lokakarya-lokakarya yang dilaksanakan oleh tim PML Yogyakarta diperoleh banyak sekali lagu-lagu yang bersifat inkulturatif, walaupun tidak seluruhnya diterjemahkan ke dalam bahasa Batak, dengan kata lain bahwa sebagian lagu-lagu tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Dari sekitar 171 lagu yang dihasilkan, tedapat sebuah lagu yang digemari oleh umat setempat, yakni lagu dengan judul “Tinggallah Dalam Hati”, MB 701 (Prier, 2014:30).

Musik Batak Toba yang menghasilkan nuansa musik yang gembira, kuat, dan ritmis juga dirasa cocok untuk membantu umat dalam mengungkapkan iman, keberanian serta memberikan kesaksian akan Allah yang diimani (Prier, 2014:31)

2.5 Gondang dan Tortor Batak 2.5.1 Gondang

Dalam adat Batak Toba terdapat dua intrumentarium yakni Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Gondang Sabangunan merupakan alat musik tradisional suku Batak yang terdiri dari gabungan beberapa alat musik yakni, sarunai (seruling) dan tataganing yang terdiri dari 5 buah gendang kecil untuk melodi dan 1 buah gendang dengan ukuran yang lebih besar untuk pola irama, gong doal dan panggora yang dipegang ditangan dan tidak bergema, gong ogung yang tergantung sebagai irama tetap serta hesek-hesek yang terbuat dari besi/botol

(42)

untuk sebagai ketukan tetap (Prier, 2014:28) namun terkadang juga ditambahkan dengan alat musik garantung. Taganing ini dimainkan dengan menggunakan stik yang terbuat dari kayu [Proses Pembuatan Alat Musik Taganing, Heffri Hutapea Blog (Februari 2020)] . Pemusik yang memainkan taganing disebut Partaganing, pemusik yang memainkan Gondang disebut Panggordangi, dan pemusik yang memainkan sarune disebut Parsarune [Ansambel Gondang Sabangunan, Budaya Indonesia (22 Oktober 2017)]. Selain Gondang Sabangunan juga terdapat Gondang Hasapi yang terdiri dari satu atau dua sarunai (seruling), dua atau tiga hasapi (alat berdawai yang dipetik), garantung dan hesek-hesek. Dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada Gondang sabangunan saja.

Menurut Nixon Manurung (2015:21) Gondang Sabangunan memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Sebagai pengungkapan emosional.

b. Sebagai fungsi penghayatan etnis c. Sebagai hiburan

d. Sebagai sarana komunikasi e. Sebagai perlambangan

f. Sebagai fungsi raksi dan jasmani

g. Sebagai fungsi yang berkaitan dengan norma sosial h. Sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara agama

(43)

i. Sebagai kesinambungan kebudayaan dan sebagai sarana penginteraksian masyarakat.

2.5.2 Tortor Batak

Tortor merupakan tarian yang berasal dari Sumatera Utara. Pada awalnya manortor hanya diadakan pada acara-acara adat marGondang, namun seiring berkembangnya zaman kegiatan manortor sudah dilakukan pada acara-acara hiburan. Pada zaman Batak purba Tortor digunakan sebagai tari persembahan bagi para roh leluhur. Dalam artikel SiBatakJalanJalan [Tari Tor-Tor Batak, SiBatakJalanJalan (9 November 2018)], jika diamati terdapat delapan seni gerak dasar tari Tortor yakni:

a. Mangurdot. Gerakan ini mengikuti irama Gondang Batak tanpa adanya gerakan berpindah tempat. Gerakan ini melambangkan sifat dan karakter orang Batak yang harus patuh, sopan, rajin dan dapat diatur.

b. Tortor Mula-mula. Gerakan ini dilakukan dengan sepasang laki-laki dan perempuan. Gerakan ini merupakan lambang bahwa suatu pekerjaan harus

Gambar 1. Alat Musik Gondang Batak

(44)

dilakukan bersama dan diawali dengan ketulusan dan keikhlasan hati, dengan demikian berkat yang kuasa akan diberikan kepada manusia.

c. Tortor Somba. Gerakan ini dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan ataupun keduanya. Gerakan ini melambangkan manusia yang harus saling menghormati, terutama menghormati Sang Pencipta. Gerakan ini juga melambangkan bahwa manusia harus menghormati raja atau pemimpin, para leluhur dan tentunya juga menghormati seluruh alam semesta. Dengan hal itu manusia akan dilimpahkan berkat dan perlindungan diamana pun manusia berada.

d. Gerakan Tortor Raja. Gerakan ini dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan ataupun keduanya. Gerakan ini melambangkan sifat dan karakter seorang raja atau pemimpin dan boru ni raja ialah harus mau dan siap berkorban akan setiap hal yang ditangguhkan atau diberikan kepadanya.

Mereka harus mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan jujur, bijak dan adil.

e. Gerakan Tortor Siboru. Gerakan ini melambangkan sifat dan karakter seorang wanita Batak yang sabar, penyayang dan mampu berlaku bijak kepada keluarga serta lingkungannya.

f. Gerakan Tortor Hahuasion. Gerakan ini hanya dilakukan oleh laki-laki saja.

Gerakan ini melambangkan sifat seorang kepala rumah tangga ataupun pemimpin yang harus bijak, jujur dan adil dalam memimpin, rendah hati,

(45)

tidak menyombongkan kekuasaannya serta tanpa adanya pembeda-bedaan rasa kasih dan sayang.

g. Manerser. Gerakan ini biasanya hanya dilakukan oleh perempuan saja.

Gerakan ini melambangkan kebersamaan para perempuan duku Batak terutama dalam hal bekerja serta tolong menolong.

h. Gerakan Tortor Pasu-pasu. Gerakan ini melambangkan berkat yang akan diberikan oleh Allah yang maha kuasa yang disampaikan melalui raja dan hula-hula atau kerabat keluarga dari terdiri dari tulang/paman, opung/kakek- nenek, dan juga tentunya orang tua.

Gambar 2. Tarian Tortor Batak

(46)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Dengan mengandalkan fenomena yang ada dan terjadi dilapangan, penelitian didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa deskriptif.

Menurut Lexy J. Moleong (2007:6) Penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk memahami suatu fonomena yang dialami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, motivasi, persepsi, maupun tindakan dan lain- lain. Penelitian ini menggunakan berbagai metode alamiah yang datanya disajikan secara deskripsi dalam bentuk kata-kata pada konteks yang khusus dan alamiah.

Dengan berdasarkan pengertian tersebut mengenai metode penelitian kualitatif, maka dalam penelitian ini penulis diharapkan mampu untuk memberikan gambaran fakta mengenai “Deskripsi Pengalaman Umat dalam Menggunakan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga”, yang di mana penelitian ini didukung oleh data-data yang didapatkan melalui observasi, wawancara, menggunakan dokumen-dokumen tertulis, gambar dan lain-lain.

(47)

3.2 Desain Penelitian

Pada penelitian ini, penulisan menggunakan desain yang bersifat deskriptif, yang di mana desain yang bersifat deskriptif adalah salah satu cara penulis dalam menggambarkan serta meringkas berbagai kondisi, situasi, fenomena serta realitas yang terjadi di lapangan.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah pada Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, dan dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2022.

3.4 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini ialah umat yang berada di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, dengan rentang umur 17-50 tahun. Penelitian ini menggunakan sebanyak 20 informan.

3.5 Instrumen Penelitian 1. Sumber tertulis

Dalam penelitian ini, penulis memanfaatkan buku-buku maupun tulisan- tulisan lain yang terdapat di paroki terkait keterlibatan budaya Batak dalam Ekaristi yang dilaksanakan di gereja stasi maupun di gereja paroki. Tulisan lain yang akan dimanfaatkan ialah tulisan mengenai sejarah terbentuknya paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga.

(48)

2. Foto

Penulis memanfaatkan pengambilan foto-foto berupa dokumentasi terkait pelaksanaan Ekaristi yang melibatkan budaya batak di dalamnya. Foto-foto didapatkan melalui pengambilan foto secara langsung dan mengambilkan foto melalui foto-foto yang ada di media sosial milik paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga.

3. Wawancara

Penulis akan melakukan wawancara dengan 20 informan. Berikut ini panduan pertanyaaan terkait wawancara yang akan dilakukan.

a. Apakah anda pernah mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak? Di mana dan kapan?

b. Apa yang anda rasakan saat mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak?

c. Dalam perayaan Ekaristi, pada bagian mana sajakah Gondang dan Tortor Batak dipakai?

d. Apakah dengan menggunakan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi membuat anda lebih bersemangat untuk mengikuti perayaan Ekaristi?

(49)

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, dalam memperoleh dan pengumpulan data penulis menggunakan wawancara, foto-foto, dan pemanfaatan buku-buku serta dokumen- dokumen tertulis.

Lofland dan Lofland (Moleong, 2007:157) menegaskan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

1. Kata-kata dan Tindakan

Kata-kata maupun tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Di mana sumber data utama ini dicatatan melalui catatan tertulis ataupun melalui perekaman-perekaman video,pengambilan foto ataupun film.

2. Sumber tertulis

Sumber tertulis yang dimaksudkan ialah sumber berupa buku-buku, majalah-majalah serta karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan hal yang diteliti.

(50)

3. Foto

Dalam penilitian ini penulis memanfaatkan adanya pengambilan foto untuk melengkapi sumber data yang telah dikumpulan oleh penulis. Bogdan dan Biklen (Moleong, 2007:160) mengatakan bahwa ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh penulis sendiri.

4. Pengamatan

Pengamatan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk melihat dan mengamati sendiri, yang kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Selain itu, pengamatan juga dilakukan untuk mengecek kepercayaan data yang didapatkan melalui hasil wawancara.

5. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dalam prosesnya, penulis akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada narasumber untuk mendapatkan suatu jawaban terkait hal yang diteliti oleh penulis.

(51)

3.7 Analisis Data

Bogdan & Biken (Moleong, 2007:248) mengatakan bahwa Analisis Data Kualitatif merupakan upaya yang dilakukan untuk memilah-milah, menemukan pola, menemukan hal yang penting untuk dipelajari dan membuat keputusan apa yang dapat dibagikan kepada orang lain dengan memanfaatkan data yang telah dikumpulkan.

Seiddel (Moleong, 2007:248) menegaskan bahwa Analisis Data Kualitatif memiliki tahapan sebagai berikut:

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya,

3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungannya, dan membuat temuan-temuan umum.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam tulisan ini penulis menggunakan proses analisis data dengan metode Perbandingan Tetap (Constant Comperative Method) yang ditemukan oleh Glaser & Strauss (Moleong, 2007:288) sebagai berikut.

(52)

1. Reduksi Data

Dalam proses reduksi data terdapat proses adanya pengidentifikasian bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian. Setelahnya adalah pembuatan koding yakni memberikan kode pada setiap “satuan” agar tetap dapat dilusuri data/satuannya, dan berasal dari sumber mana.

2. Kategorisasi

Kegiatan kategorisasi merupakan upaya dalam memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.

3. Sintesisasi

Dalam proses ini berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain.

4. Menyusun “Hipotesis Kerja”

Hal ini dilakukan dengan merumuskan suatu pernyataan yang proposisional. Isi dari hipotesis kerja ini ialah terkait dan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian.

3.8 Keabsahan Data (Triangulasi)

Menurut Sugiyono (2012:327) Triangulasi merupakan sebuah teknik dalam pengumpulan data, yang sifatnya menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang ada. Apabila peneliti melakukan

(53)

pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data dan sekaligus menguji kredibilitas data, yakni mengecek kredibilitas data dengan berbegai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan triangulasi teknik. Triangulasi teknik merupakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama (Sugiyono, 2012:327). Dengan ini penulis akan membandingkan antara data yang didapatkan melalui teknik wawancara, observasi, dan foto-foto.

3.9 Penelitian Yang Relevan

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian terkait pemanfaatan kebudayaan dalam Ekaristi. Penelitian ini berjudul “Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutuarjo” pada tahun 2017 dalam bentuk skripsi. Penelitian ini melibatkan kebudayaan Jawa secara khusus penggunaan bahasa Jawa.

Penelitian ini menghasilkan beberapa poin penting, antara lain:

1. Setelah mengalami pembaharuan Ekaristi, Gereja Katolik kini diijinkan untuk melibatkan unsur-unsur kebudayaan dalam Ekaristi, selagi tidak bertentangan dalam ajaran Gereja Katolik (inkulturasi).

2. Contoh penggunaan unsur kebudayaan dalam Ekaristi ialah penggunaan bahasa dan alat musik tradisional budaya setempat.

(54)

3. Dengan melibatkan kebudayaan umat dibantu untuk merasakan lebih dalam sakramen Ekaristi. Selain itu juga diharapkan dapat membantu umat dalam menghayati nilai-nilai Kristiani.

4. Umat haruslah ikut terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi.

(55)

36 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, di mana selain mengumpulkan informasi-informasi melalui buku-buku dan dokumen-dokumen paroki, penulis juga melakukan wawancara umat yang ada di paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga. Dalam kegiatan wawancara, jumlah informan yang diwawancarai ialah sebanyak 20 orang informan (umat). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2022 hingga bulan September 2022. Penulis melaksanakan wawancara dengan durasi 10 hingga 30 menit.

Dalam bab ini berisi tentang hasil penelitian yang terdiri dari penjabaran dan hasil pengamatan dan wawancara terhadap informan (umat). Selain itu, bab ini juga membahas tentang sejarah singkat Paroki Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, tanggapan umat ketika melihat Gondang dan Tortor Batak dipakai dalam perayaan Ekaristi, tanggapan umat ketika mendengar Gondang Batak dipakai dalam perayaan Ekaristi, perasaan umat ketika mengikuti perayaan Eakristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, hasil penelitian dan pembahasan serta refleksi kateketis.

Kemudian bab ini juga membahasan tentang keprihatinan yang muncul terkait penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi, yang di mana

(56)

diharapkan dapat membantu umat untuk dapat lebih mengeratkan relasi umat dengan Allah.

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil Pengamatan

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengamatan secara tidak langsung melalui foto maupun video yang diunggah pada chanel Youtube Komsos Keuskupan Sibolga pada Minggu, 8 Mei 2022. Berdasarkan pengamatan tersebut, penulis melihat bahwa saat ditampilkan Tortor Batak dengan adanya musik Gondang Batak, sebagian besar umat berfokus pada penampilan Tortor tersebut. Saat menari, para penari Tortor juga menggunakan ulos Batak. Melalui pengamatan tersebut juga terlihat bahwa yang menjadi penari Tortor adalah seluruhnya wanita yakni para ibu-ibu. Namun, dalam video tersebut tidaklah menggunakan alat musik Gondang Batak secara langsung, tetapi hanya menggunakan rekaman musik Gondang Batak saja. Walaupun hanya menggunakan rekaman musik Gondang Batak, bunyinya tetap dengan tempo yang cukup semangat, sehinga terlihat juga dari ekspresi umat yang tersenyum bahagia dan berfokus melihat tarian yang ditampilkan. Penggunaan Tortor Batak sendiri, biasanya ditampilkan pada acara atau perayaan-perayaan tertentu saja, seperti contohnya pada misa perdana imam. Untuk mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan selama perayaan Ekaristi, tidaklah menggunakan Gondang Batak, tetapi hanya diiringi dengan alat musik organ saja. Penulis juga melihat umat sangat menikmati perayaan Ekaristi yang menggunakan musik Gondang dan

(57)

tarian Tortor Batak tersebut. Pada 15 September 2022, penulis melakukan pencarian bentuk Gondang Batak melalui internet, di mana penulis menemukan bahwa dalam Gondang Batak ternyata terdiri dari beberapa alat musik, dan pada Gondang Batak sendiri terdapat ukiran yang menjadi khas Batak Toba, yakni ukiran Gorga Batak dengan perpaduan warna merah, putih dan hitam.

Gambar 3. Tarian Tortor Batak di Stasi Santo Petrus Mela pada acara perayaan Misa Perdana seorang Pastor.

4.1.2 Umat mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan para informan, sebagian besar informan mengatakan pernah mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, secara khusus di Paroki Katedral Santa

(58)

Theresia Lisieux Sibolnga, misalnya yang seperti dikatakan I2 “Ya. Saya pernah mengikuti perayaan Ekaristi yang melibatkan kebudayaan, misalnya yang menggunakan alat musik tradisional, walaupun juga ada yang memadukan dengan alat musik modern. Kalau di stasi kita sendiri, Gondang dan Tortor Batak hanya dipakai pada saat perayaan-perayaan atau hari-hari tertentu saja. [Lampiran transkip wawancara: (5)]. I4 menambahkan bahwa “Pernah, di stasi kita. Ada juga yang menggunakan bahasa daerah, ada juga yang menggunakan alat musik tradisional, walaupun tidak begitu banyak menggunakan hal-hal yang berbau kebudayaan.” [Lampiran transkip wawancara: (8)]. Pernyataan yang hampir serupa juga disampaikan oleh I5, yakni “Saya pernah mengikuti perayaan Ekaristi yang melibatkan Gondang dan Tortor, misalnya kemarin saat misa perdana seorang pastor yang dikaitkan dengan kebudayaan, ya itu misa nya diadakan di stasi kita Santo Petrus Mela. Pada saat perayaannya, terdapat melibatkan dua kebudayaan, yakni kebudayaan Nias dan kebudayaan Batak”. [Lampiran transkip wawancara: (9)].

Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan diketahui bahwa selain pernah mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, ternyata Gondang dan Tortor Batak hanya dipakai pada saat perayaan-perayaan tertentu saja, misalnya saat tahbisan imam, misa perdana imam, penerimaan komuni pertama, penerimaan sakramen perkawinan, dan sebagainya.

(59)

4.1.3 Perasaan Umat ketika mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan para informan merasa bahwa adanya penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam Ekaristi membuat umat lebih bersemangat dalam memuji dan memuliakan Allah. Hal ini juga disampaikan oleh I2 yang mengatakan bahwa “Saat menggunakan musik tradisional budaya Batak seperti Gondang, Garantung, dan sebagainya, saya merasa perayaan Ekaristi lebih menyentuh hati”, kemudian beliau juga menambahkan “hal ini juga membuat perayaan Ekaristi juga menjadi lebih gembira dan hikmat”.[Lampiran transkip wawancara: (5)]. Namun tanggapan yang berbeda muncul dari I4 yang mengatakan “Tergantung situasi batin, bisa saja rasanya hambar apabila batin tidak pas”, kemudian beliau juga menambahkan

“Secara umum karena Ekaristi merupakan puncak perayaan iman, maka semestinya harus tenang dan damai”. [Lampiran transkip wawancara: (8)]. I4 menegaskan bahwa memang sudah semestinyalah apabila mengikuti perayaan Ekaristi, harus mempersiapkan batin dengan baik dan damai, karena perayaan Ekaristi merupakan puncak perayaan iman Kristiani. [Lampiran transkip wawancara: (8)]. Selain itu, I4 juga mengatakan bahwa Gondang dan Tortor Batak merupakan salah satu cara untuk dapat membantu umat dalam memahami setiap hal yang dilakukan selama perayaan Ekaristi berlangsung, sehingga dapat lebih mengena dengan kehidupan umat setempat.[Lampiran transkip wawancara:

(8)].

(60)

Beberapa informan seperti I2, mengatakan bahwa terdapat perbedaan perasaan saat mengikuti perayaan Ekaristi yang menggunakan Gondang dan Tortor Batak, dan yang tidak menggunakan Gondang dan Tortor Batak.[Lampiran transkip wawancara: (5)]. I2 mengatakan “Pada saat mengikuti perayaan Ekaristi yang tidak menggunakan kebudayaan, saya tetap dapat mengikutinya dengan hikmat, namun apabila melibatkan kebudayaan, saya dapat mengikutinya tidak hanya hikmat saja tetapi bahagia, senang dan merasa bersyukur karena kebudayaan saya yakni kebudayaan Batak dilibatkan dalam perayaan Ekaristi”.[Lampiran transkip wawancara: (5)]. I11 juga menambahkan bahwa adanya perasaan gembira karena dengan melibatkan kebudayaan dalam Ekaristi, berarti budaya umat diakui keberadaanya oleh Gereja Katolik.[Lampiran transkip wawancara: (15)]. Hal yang hampir sama juga diucapkan oleh I12, di mana apabila tidak melibatkan kebudayaan seperti penggunaan Gondang dan Tortor Batak, I11 tetap bahagia seperti biasanya dalam mengikuti perayaan Ekaristi, tapi apabila juga menggunakan musik dan Tortor Batak, I11 merasa bahwa perayaan Ekaristi terasa lebih hidup dari biasanya, lebih bersemangat serta merasa ada sesuatu yang istimewa di dalam Ekaristi tersebut.[Lampiran transkip wawancara:

(15)].

4.1.4 Penggunaan Gondang dan Tortor Batak dalam perayaan Ekaristi Berdasarkan wawancara yang dilakukan, I1, I2, I3, dan I13 mengatakan bahwa pernah melihat secara langsung alat musik Gondang Batak dipakai dalam Ekaristi. Di mana, Gondang dan Tortor Batak dipakai untuk mengiringi lagu-lagu

(61)

yang dipakai dalam Ekaristi, seperti yang dikatakan I1 “Gondang Batak biasanya dipakai untuk mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan selama perayaan Ekaristi, bahkan juga dipakai untuk mengiringi lagu-lagu ordinarium".[Lampiran transkip wawancara: (3)]. Sedangkan informan lainnya mengatakan tidak pernah melihat Gondang Batak dimainkan dalam perayaan Ekaristi. Untuk Tortor Batak sebagian besar umat mengatakan pernah melihat ditampilkan dalam Ekaristi.[Lampiran transkip wawancara: (3), (5), (7), (18)]. Hal yang menarik yang disampaikan oleh informan terkait alat musik Gondang Batak adalah adanya ukiran Gorga Batak dengan paduan warna merah, hitam dan putih, di mana hal ini sampaikan oleh I1, I2, I12 dan I13. I13 juga menambahkan bahwa “Gorganya itu unik, Cuma pakai warna merah, hitam dan putih”.[Lampiran transkip wawancara: (3), (5), (17), (18)]. Para informan mengatakan bahwa hal lain yang dilihat oleh umat ialah penggunaan Gondang Batak yang hanya dipakai pada saat-saat tertentu saja atau pada perayaan-perayaan tertentu saja seperti pada penerimaan Sakramen Krisma, Sakramen Perkawinan, penerimaan Komuni Pertama dan misa perdana Pastor, seperti yang disampaikan I3 yang mengatakan bahwa “Pada hari-hari besar atau pada perayaan-perayaan tertentu saja, misalnya tahbisan imam, penerimaan Sakramen Krisma, penerimaan Sakramen perkawinan, dan lain-lain.” .[Lampiran transkip wawancara: (7)]. Hal yang sama juga disampaikan oleh I9 “Hanya pada hari-hari besar saja. Kalau di stasi Mela, biasanya pada bagian menghantarkan persembahan ke depan Altar, tapi kemarin juga pernah digunakan pada arak- arakan pembuka.” .[Lampiran transkip wawancara: (13)].

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa Borland Delphi 7 dapat menampilkan data terukur dari sensor ultrasonik SRF05 dan menampilkan data dalam bentuk

Peranan baktri asidogenik pada pembutan biogas sangatlah penting karena bakteri tersebut dapat mengubah gula sederhana menjadi asam organik yang selanjutnya

Monopoli Keamanan Pangan adalah suatu permainan yang digunakan sebagai media pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan santri tentang bahan tambahan

Film dokumenter juga menjadi salah satu solusi dalam menyampaikan kembali makna dan ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sehingga dapat memberi informasi lebih

memberi kesaksian. Kurangnya pengalaman Penyidik dalam melakukan penyidikan. Tidak menutup kemungkinan faktor interen juga bisa menjadi pengahambat atau kendala dalam

bullying. Untuk memperoleh informasi mengenai penyebab terjadinya bullying di SD Negeri 3 Manggung, peneliti melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan kepala sekolah,

Penelitian ini terdiri dari dua macam kegiatan, yaitu kajian lanjut secara teoritis berkaitan dengan pembentukan model pada data deret waktu seasonal dan kajian terapan

Sedangkan dalam penelitian ini bahan awal yang digunakan untuk sintesis SiHA adalah dari batuan calcite alam dari Druju Malang yang dicampurkan dengan H 3 PO