Jurnal Kesehatan Kartika Vol. 13, No. 1 April 2018
VALIDASI METODE PEMERIKSAAN NIKOTIN DALAM SALIVA DENGAN SPEKTROFOTOMETER
Ellsie Viendra Permana1*), Perdina Nursidika1, Adinda Santi Ariani1
1Program Studi Analis Kesehatan, Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi
ABSTRAK
Validasi metode pemeriksaan nikotin dalam saliva dengan spektrofotometer sangat diperlukan karena beberapa alasan yaitu validasi metode merupakan elemen penting dari kontrol kualitas, validasi membantu memberikan jaminan bahwa pengukuran akan dapat diandalkan. Dalam beberapa bidang, validasi metode adalah persyaratan peraturan. Metode yang digunakan adalah deskriptif. Sampel yang digunakan pada penelitian adalah saliva yang didapat dari subjek peneliti.
Hasil dari penelitian ini didapat panjang gelombang maksimum pada 507 nm dengan persamaan garis linear yang didapat dari penentuan kurva kalibrasi dengan hasil y = 0,0014x + 0,0018 dengan koefisien korelasi R2 = 0, 952. Pengukuran operating time yang menunjukan hasil relatif konstan pada 0,127 nm dengan konsentrasi 77 ppb pada waktu 3 menit. Hasil LOD dan LOQ yang dapat mendeteksi nikotin hingga konsentrasi 3 ppb dengan absorban 0,021. Uji presisi dengan rata-rata konsentrasi sebesar 52, 2 dengan SD 52 ± 3 SD dan uji akurasi dengan metode spiked placebo recovery didapat hasil persentase sebesar 105 %. Setelah dilakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa hasil validasi metode pemeriksaan nikotin dalam saliva dengan spektrofotometer belum dapat digunakan mengingat hasil dari penelitian yang tidak memenuhi persyaratan validasi. Disarankan hendaknya penelitian selanjutnya lebih memperhatikan dalam keseragaman reagen yang digunakan, waktu pengerjaan yang lebih diperhatikan dan pengukuran standar harus selalu dilakukan setiap pengerjaan sampel.
Kata kunci: Nikotin, saliva, spektrofotometer, validasi
ABSTRACT
Validation method of examination of nicotine in saliva with spectrophotometer is necessary for several reasons. The validation method is an important element of quality control. Validation helps provide assurance which makes measurement be reliable. In some fields, method validation is a regulatory requirement. The method used is descriptive. Saliva obtained from researcher are the sample being used in this experiment. The results of this study obtained maximum wavelength at 507 nm with linear line equations obtained from the determination of calibration curve with the result of y = 0.0014x + 0.0018 and correlation coefficient R2 = 0, 952. Operating time measurement showed results at 0.127 nm with concentration of 77 ppb at 3 min. The LOD and LOQ results can detect nicotine up to a concentration of 3 ppb with an absorbance of 0.021.
Precision test with average concentration of 52, 2 with SD 52 ± 3 SD and accuracy test by spiked placebo recovery method got result of percentage equal to 105%. After the research it can be concluded that the validation method of examination of nicotine in saliva with spectrophotometer can’t be used considering the results of the study did not meet the validation requirements. It is suggested that subsequent research should pay more attention to the uniformity of the reagents used, more time-consuming workmanship and standard measurements should always be carried out for each sample measurement.
Keywords: Nicotine, Spectrophotometer, Saliva, Validation
A. PENDAHULUAN
Rokok merupakan salah satu ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dunia.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2010, prevalensi merokok di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sekitar 65,6% laki-laki di Indonesia merokok. Sedangkan berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011, 34.8% penduduk berumur >15 tahun merupakan perokok aktif dengan 67% laki- laki dan 27% wanita. (Kementrian Kesehatan, 2010)
Berdasarkan data WHO 2013, dalam satu tahun terdapat 6 juta orang yang meninggal akibat rokok, dimana 5 juta lebih atau sekitar 83% diantaranya merupakan perokok aktif.
Dan sekitar 80% dari perokok di dunia berasal dari negara ekonomi rendah dan menengah termasuk Indonesia. (WHO, 2013)
Merokok akan mendorong terjadinya vasokonstriksi dan aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya penyempitan pada katub aorta, yang mengakibatkan tidak cukupnya suplai darah ke seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan jantung bekerja lebih keras, sehingga dampak jangka panjangnya dapat menyebabkan serangan jantung serta berkurangnya fungsi organ-organ tubuh yang lain, serta karbon monoksida yang memperbesar resiko terjadinya hipoksemia dan serangan jantung. Selain berdampak pada organ tubuh, kandungan zat dalam rokok khususnya nikotin juga mempengaruhi kondisi psikologi, sistem syaraf, serta aktivitas dan fungsi otak, baik pada perokok aktif maupun pasif.
Nikotin menstimulasi pelepasan asetilkolin, serotonin, hormon-hormon pituitari, dan adrenalin. Selain itu nikotin juga menstimulasi pelepasan dopamin dan noradrenalin. Pengaruh nikotin dapat dijumpai pada berbagai aspek kehidupan, yaitu pada saat belajar, ingatan, kewaspadaan, dan
kelabilan emosi. Ketika seseorang telah mengalami ketergantungan pada nikotin, maka saat withdrawal (putus zat) individu tersebut akan mengalami perasaan tidak nyaman seperti cemas, merasa tertekan, sulit mengendalikan diri atau mudah marah, mudah putus asa, dan depresi. Para pecandu rokok juga memiliki resiko lebih besar untuk mengalami gangguan tidur, penurunan kemampuan mengingat tugas-tugas sederhana, serta mendorong munculnya perilaku kompulsif. (Liem, 2016)
Saat merokok, nikotin yang ada pada rokok akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organ hanya dalam waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; O‟Brian, 2006).
Nikotin diekskresikan melalui saliva.
Bagian saliva yang mengandung adanya nikotin kemudian masuk kedalam perut, bergabung dengan nikotin yang ada dalam asam lambung dan reabsorbsi dari usus kecil.
Nikotin dalam saliva berkorelasi baik dengan konsentrasi dalam darah (r=0.8-0.9). Kadar nikotin dalam saliva berguna untuk mengetahui kadar nikotin dalam darah yang bisa mengindikasikan masuknya nikotin.
(Koop, 1988). Kadar nikotin dalam saliva tergantung pada paparan nikotin selama beberapa hari (St.Charles et al., 2006). Pada saat merokok, nikotin akan diabsorbsi melalui membrane bukal dan nasal. Nikotin memiliki onset (menimbulkan gejala) secara cepat yaitu setengah hingga 2 jam. Dan dapat dideteksi di darah, saliva, dan urin. Sampel darah dapat menyajikan hasil kuantitatif yang lebih akurat berhubungan dengan dosis. Namun, pengambilan sampel darah membuat sampel tidak nyaman. Hal ini menyebabkan pengambilan sampel saliva lebih mudah didapat dan lebih nyaman. Sampel saliva berguna untuk menentukan kepatuhan dengan
obat (terutama di pasien anak), untuk menganalisis konsentrasi obat bebas dan dalam situasi dimana pengambilan sampel diulang dianggap perlu (Hatsukami et al., 2003). Nikotin lebih mudah diekskresikan dalam air liur dari metabolitnya. Konsentrasi nikotin dalam air liur yang independen dari variasi laju aliran saliva dan tidak terpengaruh dengan metode stimulasi (Tsujimoto et al., 1972).
Penelitian mengenai validasi metode Spektrofotometri pada nikotin dalam saliva perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan nikotin dalam saliva perokok mengingat resiko bahaya dari zat kimia dalam rokok salah satunya nikotin. Kandungan nikotin dalam sampel saliva perokok akan ditentukan menggunakan metode Spektrofotometri, yang selanjutnya dilakukan uji validasi menggunakan nikotin murni. Penelitian ini
bisa dilakukan menggunakan GCMS yang lebih spesifik dan sensitivitasnya lebih dibandingkan Spektrofotometer UV Vis namun karena alatnya hanya dimiliki oleh laboratorium tertentu maka dilakukanlah penelitian ini untuk mengetahui validasi dengan metode Spektrofotometer UV Vis yang secara umum dimiliki oleh setiap laboratorium.
Robson, Bond dan Wolff dari Universitas Malaya, Kuala Lumpur melakukan penelitian hampir serupa dengan penelitian ini namun tidak melakukan uji validasi, hanya menentukan konsentrasi nikotin dalam saliva perokok dan non perokok. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan uji validasi untuk mendapatkan LOD, LOQ, presisi & akurasi dari hasil pengujian menggunakan metode Spektrofotometer.
.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif, yaitu memvalidasi suatu
alat dan atau metode untuk mendapatkan hasil yang tetap pada suatu objek penelitian.
C. Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar nikotin dalam saliva kemudian di validasi sehingga didapat nilai presisi, akurasi, LOD, LOQ dan recovery dalam bentuk persentase, persentase didapat dari hasil perhitungan sebagai berikut:
a. Penentuan LOD (Batas Deteksi)
LOD = rata-rata konsentrasi blanko ± 3SD b. Penentuan LOQ (Batas Kuantitasi)
LOQ = rata-rata konsentrasi blanko ± 10 SD
c. Penentuan Akurasi
% perhitungan kembali : 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑠𝑙𝑖 (𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )
× 100 %
d. Penentuan Presisi : SD = √(∑( x−x̅)2)
n−1 KV = 𝑆𝐷
𝑋 × 100 % Keterangan:
SD: Simpangan Deviasi KV: Koefisien Variasi X: Hasil analisis X: Rata-rata
N: Jumlah sampel yang dianalisis
Jurnal Kesehatan Kartika Vol. 13, No. 1 April 2018 D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap validasi nikotin dalam saliva dengan metode spektrofotometri. Sampel yang digunakan adalah saliva yang dikumpulkan sebanyak 2 mL yang didapat dari saliva non perokok aktif.
Sebelum melakukan pengukuran sampel terlebih dahulu dilakukan pengujian validasi metode pengukuran nikotin dalam saliva. Tahapan pertama ialah menentukan panjang gelombang maksimum dengan cara mengukur absorban pada range panjang gelombang 400-700 nm.
Tabel I. Data hasil larutan standar
Panjang gelombang maksimum dicari dengan menggunakan standar nikotin 10, 20, 40, 50 dan 100 ppb dengan penambahan NBS dan methyl orange.
Kemudian larutan diukur hingga didapat panjang gelombang aksimum pada 507 nm.
Selanjutnya dilakukan kurva standar kalibrasi dengan menggunakan standar konsentrasi 10, 20, 40, 50 dan 100 ppb sehingga didapat hasil pada table 1
Penentuan kurva standar ini dilakukan untuk menentukan persamaan garis linear didapat kurva seperti gambar 1.
Gambar I. Kurva larutan standar
Selanjutnya dilakukan operating time yang bertujuan untuk mengetahui lama waktu yang dibutuhkan larutan untuk mencapai absorbansi konstan. Optimasi waktu kestabilan
maksimum yaitu 507 dengan waktu 1-5 menit menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.
Operating time dilakukan dengan membuat standar nikotin yang sama dengan Konsentrasi Absorban
10 0.018
20 0.05
40 0.08
50 0.103
100 0.152
y = 0,0014x + 0,018 R² = 0,952
0 0,05 0,1 0,15 0,2
0 100 200
Series1 Linear (Series1)
waktu pemanasan yang berbeda. Sedangkan penentuan panjang gelombang maksimum digunakan waktu 4 menit untuk pemanasan, sedangkan pada operating time standar nikotin yang telah ditambahkan NBS dipanaskan dalam waktu yang berbeda pada setiap tabungnya yaitu 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit dan 5 menit. Sehingga didapatkan hasil table 2.
Data hasil operating time diatas didapat dari beberapa kali pengukuran operating time dengan larutan stok 100 ppb, didapat hasil optimum operating time pada menit ke 3 dengan konsentrasi 77, 86. Namun pada penelitian yang dilakukan (Hany A. Omara, 2014) disebutkan bahwa reaksi antara NBS dengan nikotin akan bereaksi dengan waktu 4 menit pada waterbath 80˚C sehingga waktu yang dipilih untuk pengukuran tahapan validasi selanjutnya yaitu dengan pemanasan pada waterbath 80˚C selama 4 menit.
Tabel 2 Data hasil operating time
Tabel 2 memperlihatkan hasil pengukuran batas deteksi dan batas kuantitasi.
Yang merupakan limit deteksi (LOD). LOD berfungsi untuk melihat kosentrasi terendah yang masih dapat terdeteksi oleh suatu alat yang dilakukan dengan membuat standar nikotin dimulai dari konsentrasi 100 ppb sampai konsentrasi 0,5 ppb. Hasil LOD didapat pada konsentrasi 3 ppb dengan hasil konsentrasi terukur sebesar 2,14 ppb sedangkan pada konsentrasi 2 ppb, 1 ppb dan 0,5 ppb, absorbansi standar tidak dapat terukur lagi.
didapatkan hasil presisi yang dilakukan pengulangan dengan hasil 52 ± 3SD. Presisi ditampilkan pada table 4.
Tabel 3. Data LOD dan LOQ
Tabel 4. Data hasil perolehan presisi
Pada penelitian ini dipilih sampel saliva non- perokok aktif sebanyak 1 sampel. Sampel didapat dari saliva peneliti dengan kriteria sebanyak 2 mL saliva yang dikumpulkan.
Sebelum diteliti sampel terlebih dahulu diekstraksi cair-cair sehingga didapatkan fase air (polar) dan fase eter (non-polar). Sampel digunakan sebagai uji lanjutan setelah dilakukan validasi dengan tahapan penentuan panjang gelombang maksimum, pengecekan larutan standar, penentuan operating time, penentuan LOD dan LOQ, juga presisi - akurasi dengan metode spike placebo recovery.
Penentuan panjang gelombang maksimum methyl orange dimaksudkan untuk mendapatkan nilai absorbansi yang memberikan sensitivitas pengukuran tertinggi. Hasil pengukuran penentuan panjang gelombang maksimum methyl orange adalah 507 nm dimana absorbansi maksimum methyl orange tercapai pada panjang gelombang 507 nm. Panjang gelombang maksimum 507 nm digunakan untuk pengukuran selanjutnya.
Pembuatan larutan standar dengan kosentrasi tertentu dibuat dengan cara penambahan stok nikotin, NBS dan methyl orange kedalam pelarut yang digunakan.
Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah aquadest. Pemilihan aquadest sebagai pelarut dilakukan karena nikotin larut dalam aquadest.
Setelah didapatkan kurva standar yang linear dilakukan penentuan operating time untuk mengetahui waktu optimal pada pemeriksaan menggunakan larutan dengan konsentrasi yang masih mampu dan dapat terbaca dengan baik yang dilakukan dengan pengukuran absorban menggunakan larutan stok 100 ppb lalu diukur pada setiap menitnya dari rentang waktu 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit dan 5 menit. Pada hasil yang didapat pada tabel 4.2 didapat hasil operating time pada waktu di menit ke 3 dengan absorban 0,127 nm. Namun hasil dari pengukuran absorban yang didapatkan memberikan hasil yang tidak stabil. Pada penelitian (Omara and Attaf, 2014) digunakan waktu pemanasan selama 4 menit, sehingga waktu yang digunakan untuk pemanasan yaitu selama 4 menit.
Selanjutnya data yang diperoleh dari kosentrasi tiap analit yang memberikan absorbansi berbeda diolah untuk menentukan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitas (LOQ). Penelitian ini memberikan nilai LOD sebesar 3 ppb. Hal ini berarti pada kosentrasi
tersebut masih dapat dilakukan pengukuran sampel yang memberikan ketelitian suatu alat berdasarkan tingkat akurasi individual hasil analisis. Sedangkan, harga LOQ sebesar 3 ppb artinya pada kosentrasi tersebut bila dilakukan pengukuran masih dapat memberikan kecermatan analisis. Pada saat penelitian berlangsung, LOD dan LOQ memiliki kelemahan yaitu dari segi waktu.
Seharusnya LOD dan LOQ dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan pengecekan larutan standar sehingga hasil yang diperoleh memiliki kesesuaian dengan konsentrasi larutan standar.
Hasil uji presisi yang didapatkan dengan menggunakan larutan stok 50 ppb menunjukkan hasil SD sebesar 52±3 SD dan KV sebesar 5,39 % sedangkan menurut (Riyanto, 2014) pada hasil koefisien variasi lebih dari 2 % maka metode yang diuji menunjukkan hasil presisi yang tidak baik.
Hal ini dapat terjadi kemungkinan adanya
pengaruh dari proses pengerjaan yang kurang baik pada proses pemipetan, dan peralatan yang tidak terkalibrasi.
Pada uji akurasi dengan metode spiked placebo recovery atau metode penambahan baku yaitu dengan menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam campuran bahan pembawa (placebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (FMIPA-UI, 2004). Pada penelitian ini sampel non perokok aktif kemudian ditambahkan standar nikotin 200 ppb sebanyak 400 µl kemudian diukur dan didapat hasil recovery sebesar 105 % hal tersebut menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil akurasi yang memenuhi persyaratan. Dimana pada metode uji tersebut memiliki akurasi yang baik, dengan batas penerimaan sebesar 80 – 110% (Riyanto, 2014).
E. KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa hasil validasi metode pemeriksaan nikotin dalam saliva dengan spektrofotometer belum dapat digunakan mengingat hasil dari presisi yang
tidak memenuhi persyaratan validasi dengan hasil SD 52 ± 3SD dan akurasi dengan metode spiked placebo recovery sebesar 105% dengan batas deteksi dan batas kuantitasi sebesar 3 ppb.
.
DAFTAR PUSTAKA
Asthana, A., Rastogi, R., Sunita, G., Gupta, V.K., 2004. A Simple spectrophotometric method for the determination of nicotine in environmental samples. J. Chin. Chem.
Soc. 51, 949–953.
FMIPA-UI, D.F., 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan Cara Perhitungannya.
Maj. Ilmu Kefarmasian 1, 117–135.
Hatsukami, D.K., Hecht, S.S., Hennrikus, D.J., Joseph, A.M., Pentel, P.R., 2003.
Biomarkers of tobacco exposure or harm:
application to clinical and epidemiological studies. 25-26 October
2001, Minneapolis, Minnesota. Nicotine Tob. Res. Off. J. Soc. Res. Nicotine Tob.
5, 387–396.
Kementrian Kesehatan, 2010. Riset Kesehatan Dasar.
Koop, E., 1988. Health Consequences of Smoking: Nicotine Addiction a Report of the Surgeon General 1988. DIANE Publishing.
Liem, A., 2016. PENGARUH NIKOTIN
TERHADAP AKTIVITAS DAN
FUNGSI OTAK SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN
GANGGUAN PSIKOLOGIS PADA PECANDU ROKOK. Bul. Psikol. 18.
Omara, H.A., Attaf, S.M., 2014.
Spectrophotometric determination of nicotine in Cigarette tobacco and biological samples of smokers. World J Phar Pharm Sci 3, 1327–1340.
Setiawati, A., 2016. SUATU KAJIAN
MOLEKULER KETERGANTUNGAN
NIKOTIN. J. Farm. Sains Dan Komunitas 10.
Shin, H.-S., Kim, J.-G., Shin, Y.-J., Jee, S.H., 2002. Sensitive and simple method for the determination of nicotine and cotinine in human urine, plasma and saliva by gas chromatography-mass spectrometry. J.
Chromatogr. B Analyt. Technol. Biomed.
Life. Sci. 769, 177–183.
St.Charles, F.K., Krautter, G.R., Dixon, M., Mariner, D.C., 2006. A comparison of nicotine dose estimates in smokers between filter analysis, salivary cotinine, and urinary excretion of nicotine metabolites. Psychopharmacology (Berl.) 189, 345–354. doi:10.1007/s00213-006- 0586-x
Tsujimoto, A., Kojima, S., Ikeda, M., Dohi, T., 1972. Excretion of nicotine and its metabolites in dog and monkey saliva.
Toxicol. Appl. Pharmacol. 22, 365–374.
doi:10.1016/0041-008X(72)90242-6 WHO, 2013. WHO. Tobacco, Key Facts.