TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Limbah Cair
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Limbah cair dapat diartikan sebagai hasil buangan yang berbentuk cair atau liquid. Limbah jenis ini dapat dihasilkan dari kegiatan atau proses di dalam rumah tangga, industri, bahkan kegiatan atau proses di dalam pertambangan. Limbah cair lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.
Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Air limbah ini umumnya dibuang melalui saluran/selokan menuju sungai ataupun laut. Terkadang dalam perjalannya menuju laut, air limbah ini dapat mencemari sumber air bersih yang dipergunakan oleh manusia. Dengan demikian penanganan air limbah perlu mendapat perhatian serius. Selain dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, air limbah juga dapat mengganggu lingkungan, hewan, ataupun bagi keindahan.
2.2 Limbah Cair Batik
Produk yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri selain menghasilkan produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah. Pada industri batik selain menghasilkan kain batik sebagai produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah padat, gas dan cair (unwanted product).
Industri batik merupakan industri penghasil limbah cair yang sangat besar dan kompleks karena proses produksinya menghasilkan bermacam-macam air limbah. Limbah cair batik merupakan air buangan yang dihasilkan dari proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, pengentalan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pecetakaan, dan proses penyempurnaan. Air limbah pada industri batik dapat dengan mudah dikenal karena warnanya yang berasal dari bahan pewarna yang digunakan pada proses pembuatan batik. Cemaran warnanya bervariasi baik jenis dan jumlahnya sesuai dengan kapasitas produksinya.
Zat warna yang paling banyak digunakan adalah :
a) Zat warna moni-azon asam turunan benzonaphthalene, b) Zat warna mono-azo asam turunan azonaphthalene, c) Zat warna langsung dan
d) Zat warna reaktif.
2.3 Sumber dan Karakteristik Limbah Cair Batik
Limbah cair industri batik dihasilkan dari berbagai tahapan proses pembuatan batik, dimana pada setiap proses akan dihasilkan jenis limbah yang berbeda, seperti terlihat pada Gambar 2.1. Begitu juga kualitas limbah cair industri batik sangat tergantung jenis proses yang dilakukan, pada umumnya limbah cair bersifat basa dan kadar organik yang tinggi yang disebabkan oleh sisa- sisa pembatikan. Pada proses pencelupan (pewarnaan), umumnya merupakan penyumbang sebagian kecil limbah organik, namun menyumbang warna yang kuat yang mudah terdeteksi, dan hal ini dapat mengurangi keindahan sungai maupun perairan.
Pada proses persiapan, yaitu proses penganjian menyumbang zat organik yang banyak mengandung zat padat tersuspensi. Zat padat tersuspensi apabila tidak segera diolah akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Kegiatan pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Alur Proses Pembuatan Batik dan Produk Limbah yang Dihasilkan KAIN/MORI
PERSIAPAN 1.Pengetelan 2.Penganjian Lipis 3.Setrika
Limbah Cair Biasa
KAIN MORI SIAP DIBATIK
PEMOLAAN PEMBATIKAN
CAP
Limbah Uap, Bau
PEMBATIKAN TULIS Limbah
Uap, Bau
PEWARNAAN/PENCELUPAN
Limbah Cair Asam/basa
PELORODAN/PENGHILANGAN LILIN Limbah Cair,
Padat
PENYEMPURNAAN Limbah Cair
Sedikit
KAIN BATIK
Karakteristik limbah cair batik dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2 Senyawa organik maupun anorganik yang banyak terdapat dalam limbah cair industri batik berupa : karbohidrat, protein, lemak, surfaktan dan zat organik seperti zat warna, zat pencelup, alkali, asam dan garam.
Tabel 2.1 Kegiatan Pembatikan
No Proses Kegiatan Limbah yang dihasilkan
1. Pendahuluan Pemotongan mori, pengetelan, pemolaan, dan
ngemplong
Mori sobekan, limbah cair sisa larutan pengetelan yang mengandung antara lain soda abu,
minyak kacang, detergen, serta limbah cair cucian 2. Pembatikan Pembatikan Tulis
atau Cap
Tetesan dan uap lilin batik
3. Pewarnaan Pewarnaan coletan atau celupan
Limbah cair warna yang mengandung zat warna batik seperti:
zat warna reaktif, indigosol, naphtol, rapid, indanthrene serta bahan kimia
seperti soda abu, kostik soda, surfaktan, waterglass, natrium nitrit,
asam klorida, natrium hidrosulfit, dan limbah cair cucian.
4. Pelepasan lilin batik
Pelepasan lilin lorodan atau celupan
Limbah padat lilin batik dan limbah cair cucian
5. Penyempurnaan Memberikan tambahan kualiatas
seperti: pegangan yang lembut, lebih
tahan luntur, dan penganjian
Limbah cair sisa larutan penyempurnaan
Sumber : Sulaeman (2004)
Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Industri Batik
No. Parameter Satuan Nilai Baku Mutu*)
1. pH - 5,8 6-9
2. BOD mg/L 1260 30
3. COD mg/L 3039,7 60
4. TSS mg/L 855 100
5. Minyak/Lemak mg/L 60,0 1,0
6. Phenol mg/L 0,926 0,1
7. Warna mg/L 185 50
8. Nitrat mg/L 82,17 0,06
9. Cr mg/L 0,0 2,0
10. Sisa Khlor mg/L - 600
Sumber : Anonim, 1997, *) Baku mutu : Kep. Gubernur Kepala DIY No. : 281/KPTS/1998
2.4 Pengolahan Limbah Cair Batik 2.4.1 Koagulasi
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid, suspended solid halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Pengadukan cepat (flash mixing) merupakan bagian integral dari proses koagulasi. Tujuan pengadukan cepat adalah supaya terjadi turbulensi yang baik agar bahan kimia dapat menangkap partikel-partikel koloid. Pengadukan cepat hanya dilakukan sebentar saja ± 30-60 detik. Koagulan yang umum dipakai adalah alumunium sulfat, feri sulfat, fero sulfat dan PAC. Proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Proses pengikatan partikel koloid oleh koagulan (CG)
Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi :
1. Pemilihan bahan kimia
Untuk melaksanakan pemilihan bahan kimia, perlu pemeriksaan terhadap karakteristik air baku yang akan diolah yaitu :
Suhu
Suhu berpengaruh terhadap daya koagulasi dan memerlukan pemakaian bahan kimia berlebih, untuk mempertahankan hasil yang dapat diterima.
pH
Nilai pH baik tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap koagulasi. pH optimum bervariasi tergantung jenis koagulan yang digunakan.
Alkalinitas
Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi yang kurang baik, pada kasus demikian, mungkin memerlukan penambahan alkalinitas ke dalam air, melalui penambahan bahan kimia alkali/basa ( kapur atau soda abu )
Kekeruhan
Makin rendah kekeruhan, makin sukar pembentukkan flok.Makin sedikit partikel, makin jarang terjadi tumbukan antar partikel/flok, oleh sebab itu makin sedikit kesempatan flok berakumulasi.
W a r n a
Warna berindikasi kepada senyawa organik, Warna dimana zat organik bereaksi dengan koagulan, menyebabkan proses koagulasi terganggu selama zat organik tersbut berada di dalam air baku dan proses koagulasi semakin sukar tercapai.
2. Penentuan dosis optimum koagulan
Untuk memperoleh koagulasi yang baik, dosis optimum koagulan harus ditentukan. Dosis optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat tertentu dimana terjadi perubahan kekeruhan yang drastis (waktu musim hujan/banjir) perlu penentuan dosis optimum berulang-ulang.
3. Penentuan pH optimum
Penambahan garam aluminium atau garam besi, akan menurunkan pH air, disebabkan oleh reaksi hidrolisa garam tersebut. Koagulasi optimum akan berlangsung pada nilai pH tertentu.
2.4.2 Flokulasi
Flokulasi adalah proses pengadukan lambat agar campuran koagulan dan air baku yang telah merata membentuk gumpalan atau flok dan dapat mengendap dengan cepat. Tujuan utama flokulasi adalah membawa partikel ke dalam hubungan sehingga partikel-partikel tersebut saling bertabrakan, kemudian melekat, dan tumbuh mejadi ukuran yang siap turun mengendap. Flokulasi dilakukan pada pengadukan lambat dengan waktu 5-30 menit.
Pada flokulasi terjadi proses penggabungan beberapa partikel menjadi flok yang berukuran besar. Partikel yang berukuran besar akan mudah diendapkan.
Tujuan dilakukan flokulasi pada air limbah selain lanjutan dari proses koagulasi adalah:
Meningkatkan penyisihan Suspended Solid (SS) dan BOD dari pengolahan fisik.
Memperlancar proses conditioning air limbah, khususnya limbah industri.
Meningkatkan kinerja secondary-clarifier dan proses lumpur aktif.
Sebagai pretreatment untuk proses pembentukan secondary effluent dalam filtrasi.
Faktor faktor yang mempengaruhi flokulasi :
Untuk mencapai kondisi flokulasi yang dibutuhkan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain :
1. Waktu flokulasi
2. Jumlah energi yang diberikan 3. Jumlah koagulan
4. Jenis dan jumlah koagulan/flokulan pembantu 5. Cara pemakaian koagulan/flokulan pembantu 6. Resirkulasi sebagian lumpur (jika memungkinkan) 7. Penetapan pH pada proses koagulasi
2.4.3 Koagulan Tawas
Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positip yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatip partikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam dari Aluminium, Al (III) atau garam besi (II) dan besi (III).
Alumunium sulfat [Al2(SO4)3.18H2O] atau sering disebut tawas adalah salah satu koagulan yang umum digunakan karena harganya murah dan mudah didapat.
Alkalinitas yang ada di dalam air bereaksi dengan alumunium sulfat (alum) menghasilkan alumunium hidroksida sesuai dengan persamaan:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(HCO3)2 3CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 6 CO2 + 14 H2O Bila air tidak mangandung alkalinitas untuk bereaksi dengan alum, maka alkalinitas perlu ditambah. Biasanya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida (Ca(OH)2) dengan reaksi:
Al2(SO4)3.14H2O + 3 Ca(OH)2 3CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 14 H2O
Alkalinitas bisa juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan natrium karbonat. Nilai pH optimum untuk alum sekitar 6 8
.
Gambar 2.3 Tawas
2.4.4 Karbon Aktif
Karbon aktif atau sering juga disebut sebagai arang aktif adalah karbon yang di proses sedemikian rupa sehingga pori-porinya terbuka, dan dengan demikian akan mempunyai daya serap yang tinggi. Karbon aktif ini mempunyai dua bentuk sesuai ukuran butirannya, yaitu karbon aktif bubuk dan karbon aktif granular (butiran). Karbon aktif bubuk ukuran diameter butirannya kurang dari atau sama dengan 325 mesh. Sedangkan karbon aktif granular ukuran diameter butirannya lebih besar dari 325 mesh. Keaktifan daya menyerap dari karbon aktif ini
tergantung dari jumlah senyawa kabonnya yang berkisar antara 85 % sampai 95%
karbon bebas.
Karbon aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing- masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar.
Selain komposisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan.
Karbon aktif juga merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui aktifasi dengan menggunakan gas CO2, uap air atau bahan-bahan kimia sehingga pori- porinya terbuka dan dengan demikian daya absorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat warna dan bau. Karbon aktif mengandung 5 sampai 15 persen air, 2 sampai 3 persen abu dan sisanya terdiri dari karbon. Karbon aktif berbentuk amorf terdiri dari pelat-pelat datar, disusun oleh atom-atom C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap sudutnya. Pelat-pelat tersebut bertumpuk-tumpuk satu sama lain membentuk kristal-kristal dengan sisa hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang tertinggal pada permukaannya.
Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut. Karbon Aktif digunakan untuk menjernihkan air, pemurnian gas, industri minuman, farmasi, katalisator, dan berbagai macam penggunaan lain. Karbon aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan ukuran tertentu. Pori-pori ini dapat menangkap partikel-partikel sangat halus (molekul) terutama logam berat dan menjebaknya disana. Penyerapan menggunakan karbon aktif adalah efektif untuk menghilangkan logam berat. Ion logam berat ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya
fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil.
Penyerapan karbon aktif bubuk dapat digunakan pada instalasi pengolahan di hampir seluruh tempat/titik pembubuhan. Pembubuhan karbon aktif dapat dilakukan dengan sistem kering maupun basah. Titik pembubuhan ini tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Aplikasi sistem ini sangat cocok diterapkan dalam industri-industri pengolahan yang menghasilkan lumpur dalam jumlah yang relatif banyak dan sangat dianjurkan terutama pada Instalasi Pengolahan Air Bersih atau Air Minum (IPAM). Dalam perspektif yang lebih luas, aplikasi teknologi karbon aktif ini dapat juga digunakan untuk pengolahan limbah yang menggunakan proses koagulasi flokulasi.
Proses Pembuatan Karbon Aktif :
Secara umum dan sederhana, proses pembuatan arang aktif terdiri dari 3 tahap, yaitu :
1. Dehidrasi : proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C.
2. Karbonisasi : pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu diatas 170°C akan menghasilkan CO dan CO2. Pada suhu 275°C, dekomposisi
karbon terjadi pada temperatur 400-600°C.
3. Aktifasi : dekomposisi tar dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktifator.
Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang
mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi.
Proses pembuatan arang aktif dibagi menjadi 2, yaitu : 1) Proses Kimia
Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia tertentu, kemudian dibuat padat. Selanjutnya padatan tersebut dibentuk menjadi batangan dan dikeringkan serta dipotong-potong. Aktifasi dilakukan pada temperatur 100°C.
Arang aktif yang dihasilkan dicuci dengan air selanjutnya dikeringkan pada temperatur 300°C. Dengan proses kimia, bahan baku dapat dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan bahan-bahan kimia.
2) Proses Fisika
Bahan baku terlebih dahulu dibuat arang. Selanjutnya arang tersebut digiling, diayak untuk selanjutnya diaktifasi dengan cara pemanasan pada temperatur 1000°C yang disertai pengaliran uap.
2.4.5 Arang Sekam
1. Sekam Padi
Sekam padi adalah kulit terluar dari gabah yang banyak terdapat di penggilingan padi. Sekam padi sendiri merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butih gabah yang terdiri dari dua belahan yaitu lemma dan pelea yang saling bertautan (Tim Cahaya, 2008). Sekam mengandung beberapa unsur kimia penting (Tabel 2.3) yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain :
1. Sebagai bahan baku pada industri kimia terutama kandungan zat kimia furfural.
2. Sebagai bahan baku pada industri bahan bangunan, terutama kandungan silika, yaitu sebagai campuran pada pembuatan semen portland, bahan isolasi, papan sekam, dan campuran pada industri bata merah.
3. Sebagai sumber energi panas untuk berbagai keperluan. Kadar selulosa yang cukup tinggi pada sekam dapat memberikan pembakaran yang merata dan stabil.
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Sekam
Komponen Kandungan (%) Menurut Suharno (1979)
Kadar air 9,02 Protein kasar 3,03 Lemak 1,18 Serat kasar 35,68 Abu 17,17 Karbohidrat kasar 33,71 Menurut DTC-IPB
Karbon (zat arang) 1,33 Hidrogen 1,54 Oksigen 33,64 Silika 16,98 Sumber : Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008)
2. Arang Sekam Padi
Arang sekam adalah sekam padi yang telah mengalami proses pembakaran. Kelebihan dari arang sekam padi adalah kemampuanya untuk menurunkan kadar zat organik pada air yang diolah, mampu menyerap ion-ion logam seperti Cr, Cd dan Pb, dan nilai kalor yang lebih tinggi dibanding dengan sekam padi, kadar zat uap yang rendah.
Selama ini penggunaan arang sekam padi adalah untuk pengolahan air
dua bagian, yaitu limbah padat yaitu dapat didaur ulang, seperti plastik, tekstil, potongan logam dan kedua limbah padat yang tidak punya nilai ekonomis. Untuk limbah padat yang tidak punya nilai ekonomis dapat ditangani dengan berbagai cara antara lain ditimbun pada suatu tempat, diolah kembali kemudian dibuang dan dibakar.
Insenerasi
Dalam hal pengelolaan limbah padat, proses insinerasi atau pembakaran adalah teknologi pengolahan limbah dengan cara mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Sistem ini sebenarnya bukan merupakan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena sistem ini hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata menjadi bentuk lain yang tidak kasat mata yaitu gas. Di sisi lain, pembakaran limbah merupakan alternatif yang menarik dalam metode pengurangan limbah. Keistimewaan pembakaran limbah adalah sebagai berikut :
Sebagian besar komponen B3 dari limbah dapat dihancurkan;
volume dan berat limbah berkurang dan berubah menjadi bentuk asalnya;
limbah berkurang dengan cepat sekali, tidak seperti pada pengolahan limbah secara biologik maupun sistem penimbunan tanah. Limbah dapat dibakar setempat (on-site), tanpa harus diangkut ke tempat yang jauh;
pembuangan gas hasil-bakar dapat dikontrol secara efektif untuk meminimumkan pengaruh pada lingkungan;
pembakaran dengan mudah dihentikan;
jika abu sisa pembakaran tidak diklasifikasikan sebagai B3, maka metode pembuangannya (disposal) tidak seketat limbah padat B3 pada umumnya;
pembakaran memerlukan area yang relatif lebih kecil, tidak seperti laguna (lagoons) maupun metode penimbunan tanah (land disposal);
melalui teknik pengambilan panas kembali, biaya operasi dapat dikurangi atau diimbangi dengan menggunakan atau menjual energi.
Meskipun pembakaran merupakan pilihan pengurangan limbah yang menarik, namun tidak dapat dengan mudah diterapkan pada semua limbah, karena:
beberapa bahan tidak dapat diinsinerasi yaitu material yang memiliki kandungan air yang tinggi, atau merupakan material yang tak-terbakar;
pengontrolan logam-logam dari proses pembakaran mungkin menjadi sulit untuk limbah-limbah anorganik yang mengandung logam-logam berat (timbal, kromium, kadmium, air raksa, nikel, arsenik, dll.);
pembakaran umumnya membutuhkan biaya investasi yang tinggi;
diperlukan operator yang handal;
tambahan bahan-bakar diperlukan untuk bahan-bahan tertentu, agar temperatur pembakaran dapat dijaga.
Proses insinerasi pada dasarnya adalah reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Jika proses ini berlangsung secara sempurna, komponen utama penyusun bahan organik (H dan C) akan dikonversi menjadi gas karbon dioksida dan uap air. Unsur-unsur penyusun limbah padat organik lainnya seperti belerang (S), nitrogen (N) dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) sedangkan unsur inert lainnya tetap berada pada fasa padat atau teruapkan dan terbawa oleh gas-gas produk insinerasi yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Untuk mengurangi pencemaran, insinerator dilengkapi dengan sistem pengendalian polusi udara yang pada prinsipnya merupakan peralatan untuk menangkap gas-gas pencemar produk insinerasi.
Pada prinsipnya limbah dapat dikategorikan menjadi tiga macam berdasarkan kemampuan untuk dibakar yaitu:
(i) limbah yang tidak dapat dibakar, yaitu limbah dengan heating value di bawah 1700 kkal/kg;
(ii) limbah yang dapat dibakar dengan bantuan bahan bakar, yaitu limbah dengan heating value 1700-5000 kkal/kg, dan
(iii) limbah yang dapat terbakar dengan sendirinya, yaitu limbah dengan heating value di atas 5000 kkal/kg.
Temperatur yang digunakan untuk membakar limbah padatan tersebut dipengaruhi oleh kandungan atau komposisi limbah tersebut. Pembakaran bertemperatur tinggi (>1200 0C) digunakan jika limbah mengandung Printed Circuit Board (PCB), dioxin. Pembakaran dengan temperatur medium (1000 1200 0C) digunakan jika limbah itu mengandung senyawa-senyawa toksik.
Pembakaran dengan temperatur normal (700 1000 0C) digunakan jika limbah itu tidak mengandung komponen PCB, dioksin atau senyawa toksik. Scrubber ditambahkan jika gas yang dilepaskan dari insinerator mengandung komponen komponen seperti Cl, Br, F dan S. Jika komponen limbah mengandung (i) nitrogen (N), perlu penanganan NOX dari hasil pembakaran dan (ii) logam berat, perlu pemisahan partikulat dalam gas buang.
Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah.
Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang mungkin diperoleh dari sistem insinerasi. Jika sistem insinerasi dilengkapi dengan peralatan pengendali pencemaran udara, heating value akan menentukan volume fluida pendingin yang diperlukan untuk melengkapi sistem agar gas-gas produk proses
insinerasi berada pada kondisi temperatur yang sesuai dengan spesifikasi peralatan pengendali pencemaran.
Pada mulanya sistem insinerasi digunakan hanya untuk mengurangi volume padatan. Pada saat ini selain digunakan sebagai sistem pengelolaan limbah padat, sistem insinerasi juga banyak difungsikan sebagai suatu sistem pembangkit energi. Jika sistem insinerasi ini terletak cukup dekat dengan industri, panas yang dihasilkan dapat disupply ke industri untuk memenuhi kebutuhan panas proses (produksi steam, untuk pengeringan bahan dsb.). Di samping itu panas hasil proses insinerasi dapat pula digunakan untuk membangkitkan listrik lewat proses thermo-mechanic. Pengolahan limbah B3 dengan insinerasi (thermal treatment) diatur dalam Kep-03/Bapedal/09/1995, yang mencakup cara pembangunan insinerator sejak pengajuan ijin; pemasangan, uji coba; hingga pemantauan dan pelaporan.
Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3, yaitu: (a) Rotary Kiln, (b) Multiple Hearth, (c) Fluidized Bed, (d) open pit, (e) Single Chamber, (f) Multiple Chamber, (g) Aqueous Waste Injection, (h) Starved Air Unit