• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep self-efficacy pertama kali dikemukan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SELF- EFFICACY

2.1.1. Pengertian Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.

Konsep self-efficacy pertama kali dikemukan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menyelesaikan tugas tertentu (Bandura, 1997).

Selanjutnya, Baron and Byrne (2000) mengungkapkan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu. Teori self-efficacy berkaitan dengan kemampuan secara kognitif, sosial, emosi dan perilaku.

Pandangan Hugnes, Ginnett & Curphy (2009) melihat self-efficacy terdiri dari dua jenis; positive self-efficacy dan negative self-efficacy. Self-efficacy dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki individu bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk menciptakan apa yang diinginkan atau harapan. Self- efficacy yang negatif yakni ketika keyakinan yang dimiliki individu membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy yang

(2)

negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan (Baron and Byrne ,2000).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya mencapai tujuannya.

2.1.2. Dimensi Self-Efficacy

Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi:

a. Tingkat (Level)

Self-efficacy individu dalam menghadapi suatu tugas atau permasalahan berbeda untuk setiap orangnya. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan lebih mudah menyelesaikan tugas atau permasalahan yang sederhana atau juga pada tugas-tugas yang rumit. Zimerman (2003) menyatakan Level terbagi atas 3 bagiannya yaitu:

1) Analisa pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampui batas kemampuannya.

3) Menyelesaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit.

(3)

b. Keluasaan (Generality)

Generality yaitu sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas atau situasi sulit. Generality merupakan perasaan mampu yang ditunjukkan individu pada konteks tugas atau situasi yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.

c. Kekuatan (Strength)

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self- efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu sendiri. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

(4)

2.1.3. Fungsi Self-Efficacy

Teori self-efficacy menyatakan bahwa persepsi mengenai kemampuan seseorang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, motivasi, dan tindakannya.

Bandura (1995) menjelaskan bahwa ketika perasaan efficacy telah terbentuk, maka akan sulit untuk berubah. Kepercayaan mengenai self-efficacy merupakan penentu yang kuat dari tingkah laku. Terdapat beberapa fungsi dari self-efficacy, yaitu (Bandura, 1997):

a. Tugas menentukan pemilihan tingkah laku. Orang cenderung akan melakukan tugas tertentu dimana ia merasa memiliki kemampuan yang baik untuk menyelesaikannya. Jika seseorang memiliki keyakinan diri yang besar bahwa ia mampu mengerjakan tugas terntentu, maka ia akan lebih memilih mengerjakan tugas tersebut daripada tugas yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa self-efficacy juga menjadi pendorong timbulnya suatu tingkah laku.

b. Sebagai penentu besarnya usaha dan daya tahan dalam mengatasi hambatan atau pengalaman aversif. Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy menentukan berapa lama individu dapat bertahan dalam mengatasi hambatan dan situasi yang kurang menyenangkan. Self-efficacy yang tinggi akan menurunkan kecemasan yang menghambat penyelesaian tugas, sehingga mempengaruhi daya tahan individu. Dalam belajar, orang dengan self-efficacy tinggi cenderung menunjukkan usaha yang lebih keras daripada orang-orang dengan tingkat self-efficacy yang rendah.

(5)

c. Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosioanal. Beck (Bandura, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional individu, baik dalam menghadapi situasi saat ini maupun dalam mengantisipasi situasi yang akan datang. Orang-orang dengan self-efficacy yang rendah selalu menganggap dirinya kurang mampu menangani situasi yang dihadapinya. Dalam mengantisipasi keadaan, mereka juga cenderung mempersepsikan masalah-masalah yang akan timbul jauh berat daripada yang sesuangguhnya. Collins (dalam Bandura, 1997) menyatakan bahwa self-efficacy yang dipersepsikan membentuk cara berpikir kausal seseorang. Dalam mencari pemecahan masalah yang rumit, individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mempersepsikan dirinya sebagai orang yang berkompetensi tingi. Ia akan merasa tertantang jika dihadapkan pada tugas-tugas dengan derajat kesulitan dan risiko yang tinggi.

Sebaliknya, orang dengan self-efficacy yang rendah akan menganggap dirinya tidak kompeten dan menganggap kegagalan akibat dari ketidakmampuannya. Individu seperti ini lebih sering merasa pesimis terhadap hasil yang akan diperoleh, mudah mengalami stress dan mudah putus asa.

d. Sebagai peramal tingkah laku selanjutnya. Individu dengan self-efficacy tinggi memiliki minat dan keterlibatan yang tinggi dan lebih baik dengan lingkungannya. Demikian juga dalam menghadapi tugas, dimana keyakinan mereka yang tinggi. Mereka tidak mudah putus asa dan menyerah dalam mengatasi kesulitan dan mereka akan menampilkan usaha

(6)

yang keras lagi. Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih pemalu dan kurang terlibat dalam tugas yang dihadapi.

Selain itu mereka lebih banyak pasrah dalam menerima hasil dan situasi yang dihadapi daripada berusaha merubah keadaan.

2.1.4. Proses yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam Self-efficacy yang turut berperan dalam diri individu ada empat yakni proses kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi.

a. Proses kognitif

Proses Kognitif merupakan proses berfikir, didalamnya termasuk pengolahan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self- efficacy yang rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).

b. Proses Motivasi

Kebanyakan motivasi individu ditimbulkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan

(7)

akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Menurut Bandura (1997) ada tiga teori motivator; Pertama causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaiknya individu dengan self-efficacy yang rendah, cenderung menganggap kegagalannya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Kedua outcomes experiences (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan- harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Ketiga goal theory, dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.

c. Proses Afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang

(8)

kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan.

Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

d. Proses Seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997).

2.1.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-efficacy

Menurut Bandura (1994) ada sumber yang dapat mempengaruhi self-efficacy, yaitu:

a. Enactive mastery experience (Pengalaman keberhasilan)

Merupakan sumber informasi self-efficacy yang paling berpengaruh. Dari pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh

(9)

kemampuannya untuk meraih keberhasilan (Bandura, 1997). Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang yangpositif akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Kegagalan di berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut mampu utuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya.

b. Vicarious experience (pengalaman orang lain)

Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatubidang/tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura, 1997).

Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy.

Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh perilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan

(10)

cara berfikir model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997).

c. Verbal persuasion (Persuasi verbal)

Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemamuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997).

d. Physiological and Affective state ( Keadaan fisik dan emosi)

Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu diinterpretasikan.

Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut. Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya (Bandura,1997).

(11)

2.1.6. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self Efficacy Rendah.

Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam usaha yang dilakukannya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Karakter individu yang memiliki self-efficacyyang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas- tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut dan konsekuensi dari kegagalannya serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).

(12)

2.2. Bullying

2.2.1. Pengertian Bullying

Bullying adalah sebuah tindakan agresif yang mana didalamnya terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan terjadi secara berulang (Coloroso, 2004).

Unsur-unsur yang terdapat di dalam bullying di antaranya adalah ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, dan ancaman teror lebih lanjut. Bullying cenderung terorganisasi, sistematis, dan tertutup. Aktivitas ini kadang-kadang dilakukan bila ada kesempatan, tetapi sekali saja dimulai ini akan berkelanjutan. Korban bullying biasanya mengalami penderitaan fisik maupun psikologis.

Pengalaman yang biasa dialami oleh banyak anak-anak dan remaja di sekolah. Perilaku bullying dapat berupa ancaman fisik atau verbal. Bullying terdiri dari perilaku langsung seperti mengejek, mengancam, mencela, memukul, dan merampas yang dilakukan oleh satu atau lebih siswa kepada korban atau siswa yang lain (Olweus 1999).

Selain itu bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung, misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang dianggap berbeda. Baik bullying langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali dan secara terus-menerus membentuk pola kekerasan (Coloroso, 2007).

Ada begitu banyak definisi bullying, namun disini peneliti akan membatasi konteksnya dalam ranah school bullying. School bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memilki

(13)

kekuasaan terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Djuwita, Soesetio & Riauskina. 2005).

Berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa pengertian bullying adalah perilaku menindas yang terjadi antara dua pihak (adanya ketidakseimbangan kekuatan didalamnya), yang mana mengakibatkan pihak yang satu mengalami ketidakberdayaan baik itu secara fisik ataupun psikologis.

2.2.2. Bentuk Perilaku Bullying

Perilaku yang termasuk dalam kategori bullying terbagi dalam physical bullying, verbal bullying, relational bullying dan electronic bullying/cyberbullying (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler & Blais, 2007).

a. Bentuk Fisik

Yang termasuk dalam bullying secara fisik yakni memukul, menendang, mendorong, mengambil dengan paksa yang bukan miliknya, mencubit, meludahi, menyerang dengan makanan atau dengan benda lain. Semakin kuat dan besar sang penindas semakin berbahaya jenis serangannya.

b. Bentuk verbal

Bullying secara verbal terkadang lebih menyakitkan dibandingkan dengan fisik. Menurut beberapa anak, bullying secara fisik bisa saja menyakitkan secara fisik namun perkataan akan memberikan luka yang lebih lama.

Adapun contohnya seperti memanggil nama yang menyinggung, rasis, mengintimidasi, berbisik di depannya. Verbal email saat ini bisa juga ditemukan dari surat elektronik (email) ataupun surat tulisan tangan.

(14)

c. Relasional atau bullying secara sosial.

Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar, ini adalah pelemahan harga diri korban hal ini bisa terkait dengan rasial atau seksual. Hal ini juga terkait dengan interaksi kelompok, contohnya seperti menyebarkan isu atau gossip sehingga kelompok mengucilkan korban.

d. Electronic Bullying atau biasa disebut Cyberbullying.

Merupakan bentuk perilaku bullyingyang dilakukan melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone atau telepon genggam, internet dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, gambar atau rekaman video atau film yang mengintiminasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya (Bernard & Milne, 2008; Craig, Pepler , & Blais, 2007).

Ada begitu banyak bentuk-bentuk bullying yang dikemukan, maka peneliti menarik kesimpulan mengenai bentuk-bentuk bullying yakni physical bullying, verbal bullying, relational bullying and electronic bullying (cyberbullying).

2.2.3. Segitiga Bullying

Bullying terdiri dari 3 partisipan yakni the bully (pelaku), victim or target (korban) dan bystander (saksi peristiwa).

(15)

a. The Bully (Pelaku).

Pelaku bullying memiliki kecenderungan utuk menindas karena berbagai faktor yakni lingkungan dan karakter (genetis). Biasanya lebih banyak anak laki-laki menjadi penindas dibandingkan anak perempuan (Murphy,G & Banas, L. 2009). Beberapa dari para penindas (The bully) tidak selalu dapat diidentifikasi melalui penampilan mereka. Namun mereka dapat dibedakan dari perilakunya.

Mereka memiliki kalimat dan tindakan buruk hal ini bisa diakibatkan oleh peran-peran yang dilatih di rumah, petunjuk dari film- film yang mereka saksikan, permainan yang dilakukan, sekolah dan budaya yang mengelilingi mereka. Ketika mereka melakukan saat itu mereka terlibat dalam pertunjukan yang serius dengan konsekuensi- konsekuensi serius untuk diri mereka sendiri, anak-anak yang mereka jahati dan komunitas secara keseluruhan (Coloroso, 2007).

Kendati cara dan gaya (bullying) mungkin berbeda ditunjukkan oleh the bully (penindas), namun mereka memiliki sifat yang sama yakni;

suka mendominasi orang lain, memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka, menggunakan kesalahan atau kritikan atau tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan kesalahan mereka pada targetnya, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan- tindakan mereka dan menuntut ingin diperhatikan (Coloroso, 2007). Ada 3

(16)

alasan individu melakukan perilaku bully (Olweus, 1999; Coloroso, 2007) diantaranya adalah:

1. Adanya kebutuhan untuk mendominasi dan mengontrol orang lain.

2. Adanya kepuasan dengan menyakiti orang lain dan perilaku kekerasan yang dibangun dengan lingkungannya.

3. Adanya “keuntungan” yang didapat dari perilakunya, misalnya “meminta”

korbannya untuk menyediakan barang-barang yang pelaku inginkan.

Selain pelaku bully dan korban bully, ada juga yang menjadi pelaku sekaligus korban bully. Harris dan Petrie (2003) berkata pelaku bully yang sekaligus menjadi korban bully adalah remaja yang pernah menerima perilaku bully dan setelahnya mencari cara untuk mem-bully orang lain.

b. Korban (Victim)

Anak yang menjadi korban muncul dalam berbagai kriteria. Satu kesamaan yang dimiliki oleh anak-anak yang ditindas (bullying) yakni mereka menjadi sasaran dari seorang penindas atau sekelompok. Dimana mereka menjadi objek hinaan dan penerima agreasi verbal, fisik atau relasional hanya karena berbeda dalam hal-hal tertentu.

Adapun ciri-ciri korban yang dapat diamati seperti:

Anak baru di lingkungan sekolah Anak yang pernah mengalami trauma

Anak penurut (anak yang tidak percaya diri dan cemas) Anak miskin atau kaya

(17)

Anak dari etnis atau ras yang dipandang minoritas begitu juga dengan keyakinan/agama yang minoritas

Anak cerdas atau berbakat Anak gemuk atau kurus

Anak yang memiliki kekurangan secara fisik atau mental

Anak yang memiliki masalah kesehatan kulit khususnya serta anak yang berada pada saat yang salah (Coloroso, 2007).

Anak yang menjadi sasaran bullying kerap didasarkan pada perilaku dan kondisi anak setelah berkali-kali mengalami bullying. Segera setelah ia menjadi sasaran the bully, maka cara anak itu menanggapi akan mempengaruhi apakah ia akan beralih dari target menjadi korban atau tidak. Jika seorang anak menyerah pada serangan atau dan memberikan hal yang dituntut the bully dengan memperlihatkan rasa takut, tertekan atau apatis (gagal menanggapinya secara asertif atau agresif) maka ia akan berubah baik secara fisik atau mental. Perasaan bersalah, malu dan gagal yang dirasakan korban atau target karena tidak dapat menghadapi ini akan membuat perasaannya hancur. Ketika ia menjadi semakin terisolir dari teman sebayanya, mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan sekolah.

Cara penonton menanggapi korban serta penindas (the bully) juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi korban atau penindas (the bully) yang membuat penindas semakin berani dan anak tertindas semakin lemah. Adapun ciri-ciri anak yang mengalami tindakan bullying adalah:

(18)

Adanya penurunan minat yang tiba-tiba di sekolah atau tidak mau pergi ke sekolah

Prestasi anak di kelas menurun

Anak tidak mau terlibat dalam kegiatan keluarga dan sekolah.

Mereka ingin dibiarkan sendiri

Sepulang sekolah anak merasa lapar serta mengaku kehilangan uang jajan atau tidak lapar di sekolah

Sesampai di rumah, anak tergesa-gesa pergi ke kamar mandi Anak merasa sedih, pendiam, tetapi gampang marah atau anak

menjadi ketakutan setelah merima telepon atau e-mail.

Anak melakukan sesuatu yang bukan karakternya

Anak yang menderita cedera fisik yang tidak konsisten dengan penjelasannya

Anak mengalami sakit perut, pusing, panik, keadaan sulit tidur atau sangat sering tidur, kelelahan

Baju berantakan, robek, atau hilang. (Coloroso, 2007)

Banyak anak setelah merasa terhina, malu dan babak belur, mengenakan topeng normalitas setiap hari. Namun di balik senyum palsu dan tawa yang gugup terdapat sakit yang dalam. Jika anak atau siswa/siswi menjadi target seorang penindas jangan harap ia akan memberitahu guru atau orang tua dengan terus terang karena beberapa alasan salah satunya adalah; mereka takut akan aksi balas dendam kalau orang dewasa diberi tahu, mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang dapat menolong mereka

(19)

dan mereka belajar bahwa mengadukan seorang teman sebaya adalah hal yang buruk, tidak keren, kekanak-kanakan (Coloroso, 2007).

c. Penonton atau saksi (Bystander)

Para penonton atau saksi adalah peran pendukung yang membantu atau mendorong the bully (penindas) selama tindakan balas dendam dan kesalahan. Mereka bisa berdiam diri dan memandangi saja, mendorong penindas secara aktif atau bergabung dan menjadi salah satu anggota penindas.Tidaklah lazim bagi anak laki-laki atau perempuan praremaja untuk menggunakan kritik-kritik kejam yang bersifat verbal, fisik, dan relasional kepada anak yang menjadi sasaran guna meninggikan status mereka di dalam kelompok sebaya. Kurangnya konsekuensi negatif terlihat, rasa bersalah dan banyaknya reward (hadiah) bagi penindas menambah penegakan tindakan bullying ini (Rigby, 2001).

Bystanders sendiri memberikan respon yang berbeda-beda ketika menyaksikan tindakan bully (Harris & Petrie, 2003). Ada yang mengabaikannya, merasa takut, merasa itu adalah se uatu yang lucu, atau ikut merasa sedih. Bagaimanapun juga, tindakan bully berpengaruh pada bystanders.

The bully tidak lagi bertindak seorang diri, para penonton telah menjadi segerombolan penindas yang bersama-sama memperlakukan targetnya dengan semakin jahat. Keadaan ini juga mengurangi perasaan bersalah para penindas. Hal ini mempersulit anak-anak untuk

(20)

(menempatkan diri pada posisi orang lain). Penonton yang pasif atau menyingkir memiliki konsekuensi tersendiri, dimana rasa percaya diri dan harga diri penonton terkikis ketika mereka mengalahkan perasaan takut karena telah terlibat dan mengabaikan fakta bahwa dengan tidak melakukan apa-apa berarti tanggung jawab moral mereka pada teman- teman sebaya yang menjadi target atau korban telah hilang (Coloroso, 2007).

Ketika orang dewasa dan teman-teman sekolah tidak mengambil tindakan, maka anak-anak akan belajar untuk menerima perilaku bullying itu sebagai tindakan yang biasa. Ketika seseorang melihat peristiwa bullying dan kamu tidak melakukan apapun terhadap hal tersebut, maka kamu atau individu tersebut mengirimkan pesan kepada pelaku bahwa perbuatannya itu diterima dan tidak menjadi suatu masalah bagi kamu. Hal itu juga menjadi sebuah indikasi yang memberi pesan bahwa si target atau korban patut menerimanya ( Julie & Matthews, 2011).

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Bullying

Bully atau pelaku bullying adalah seseorang yang secara langsung melakukan agresi baik fisik, verbal atau psikologis kepada orang lain dengan tujuan untuk menunjukkan kekuatan atau mendemonstrasikan pada orang lain.

Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying.

Faktor-faktor penyebabnya antara lain (Coloroso, 2007):

(21)

a. Faktor keluarga: Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya

melakukan bullying akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu menyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam. Selain itu faktor cara pengasuhan orang tua yang terlalu overprotektif menjadi penyebab awal terbentuknya pribadi anak yang lemah dan kurang inisiatif.

b. Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan

bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak- anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c. Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah

dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam

(22)

kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

2.1.5. Dampak Bullying terhadap Korban (The Victim), pelaku (the bully) serta penonton (bystander)

Bullying adalah sebuah isu yang tidak semestinya dipandang sebelah mata dan diremehkan, bahkan disangkal keberadaannya. Siswa-siswa yang menjadi korban akan menghabiskan banyak waktu untuk memikirikan berbagai cara untuk menghindari gangguan di sekolah sehingga mereka hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Pelaku (the bully) juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan relasi sosial dan apabila perilaku ini terjadi hingga mereka dewasa tentu saja akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Siswa-siswa yang menjadi penonton juga berpotensi untuk menjadi pelaku bullying (Coloroso, 2007).

Bullying atau bukanlah soal kemarahan tetapi juga bukan konflik. adalah tentang penghinaan, sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap sesorang yang dianggap tidak berharga, lemah atau tidak layak mendapatkan penghargaan (Coloroso, 2007). Bullying tidak termasuk perilaku normal anak-anak seperti persaingan atau perkelahian satu lawan satu antarsaudara kandung atau antarteman sebaya karena tuntutan persaingan. Bullying juga tidak termasuk tindakan agresif impulsif, dengan kata lain agresi adalah tindakan spontan, serangan yang tidak pandang bulu, tanpa ditujukan pada target tertentu (Coloroso, 2007).

(23)

Mencermati kondisi tersebut, perilaku bullying memiliki dampak yang serius pada korban. Secara fisik, kekerasan ini dapat mengakibatkan luka dan kerusakan tubuh antara lain memar, luka sayatan, luka bakar, luka organ bagian dalam, hingga kondisi koma. Secara psikologis bullying mengakibatkan rendahnya harga diri hingga depresi dan pada jangka panjang mengakibatkan trauma.

Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan bakat mereka untuk menindas orang lain. Tidak ada satu faktor pun yang dapat menjelaskan hal tersebut secara keseluruhan. Para penindas (the bully) tidak lahir sebagai penindas. Temperamen bawaan sejak lahir adalah sebuah faktor. Namun ada juga faktor lain, yaitu pengaruh linkungan yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu (Bronfenbrenner,1994). Penindas (the bully) ada yang datang dari seorang anak yang tertindas. Kekasaran yang tidak simpatik dan tanpa hati adalah selubung keras yang digunakan untuk membungkus dirinya (Coloroso, 2007).

Anak yang tertindas menyerah tanpa daya hingga seolah tampaknya tidak akan membalas atau mengatakan kepada siapapun tentang tersebut. Penindas memastikan bahwa saksi atau para penonton menjadi pihak yang terlibat secara aktif atau mendukung . Maka, dimulailah suatu siklus kekerasan atau . Untuk dapat diterima dan merasa aman sepanjang saat menjelang remaja dan sepanjang masa remaja, anak-anak tidak saja bergabung dengan kelompok-kelompok namun mereka juga membentuk kelompok yang disebut klik. Klik memiliki kesamaan minat, nilai, percakapan, dan selera. Ini bagus, akan tetapi ada juga

(24)

ekslusivitas dan pengecualian, hal ini tidak bagus. Budaya sekolah yang menyuburkan klik-klik tersebut akan menyuburkan diskriminasi dan .

Olweus menjelaskan bahwa kegunaan lingkaran (penindas, korban dan penonton) sebagai alat bantu bagi para guru, orang tua dan para siswa dalam mendiskusikan cara-cara mengatasi dan mencegah serta cara agar anak-anak mampu berperan aktif memutuskan mata rantai bullying ini (Coloroso, 2007).

2.3. The Support Group Method

Mendeteksi dan menghentikan perilaku bullying dibutuhkan kebijakan untuk mengatasi bullying. Kebijakan ini diterapkan pada guru, staf dan pihak sekolah sebagai wujud tanggung jawab untuk mengurangi dampak pengalaman negatif dari bullying.M Salah satu pendekatan kelompok yang telah diterapkan di sekolah-sekolah di Eropa adalah The Support Group Method, yang merupakan pendekatan ekosistem. Metode ini merupakan strategi yang mengarahkan anak dan remaja menggunakan cara yang sesuai dalam menghadapi situasi bullying (Putter, 2007). Intervensi ini melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu anak yang mengalami bullying menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Kelompok bisa terdiri dari pelaku, korban dan bystander (penonton). Fokus pada Problem solving (pemecahan masalah), pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan (Young, 1998). Maines dan Robinson merancang sebuah intervensi bullying dengan nama The Support Group Method. Metode ini nantinya melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu korban bullying

(25)

menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Metode ini mengikutsertakan dukungan kelompok yang bisa terdiri dari pelaku, korban dan bystander (penonton).

Dalam beberapa kasus, penggunaaan metode dukungan teman sebaya terbukti membantu korban bullying (Council of Europe dalam Robinson &

Maines, 2008). Salah satu metode teman sebaya yang dianggap memiliki pengaruh dan terbukti dapat meningkatkan kemampuan sosial siswa yang terkena dampak bullying adalah the support group method.

Dimana tujuan akhirnya ialah ia mampu menemukan solusi atau kepercayaan dirinya menghadapi ketika menghadapi peristiwa yang sama pada suatu saat nanti (Robinson & Maine, 2008). Dengan menggunakan pendekatan Problem solving (pemecahan masalah), pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan (Sue Young, 1998). Rancangan intervensi ini dilakukan dengan dua tujuan yakni; tugas pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying (Robinson & Maines,2008).

The support group method menawarkan tujuh langkah tahapan yang dapat digunakan oleh guru atau fasilitator. Setiap langkahnya direncanakan dengan hati- hati dan catatannya adalah setiap langkah agar tercapai tujuannya (Robinson &

Maines, 2008). Adapun langkah-langkah tersebut adalah:

a. Langkah pertama- berbicara dan mendengarkan korban Adapun tujuan dari langkah ini adalah:

(26)

1. Untuk memahami perasaan sedih atau rasa sakit dari pengalaman korban

2. Menjelaskan mengenai metode dan keuntungan selama prosesnya 3. Mendiskusikan siapa yang terlibat dan menjadi mentor dalam the

support group ini

4. Untuk menyetujui apa yang diceritakan dalam kelompok

Saat fasilitator menemukan perilaku bullying, dia akan berbicara kepada korban. Selama proses percakapan berlangsung penting bagi fasilitator untuk menangkap perasaan yang dirasakan oleh korban dan juga bagi korban dimana mereka memahami apa yang sebenar mereka rasakan saat itu (Robinson &

Maines, 2008). Terkadang situasi tersebut membawa pada ketakutan dan kepedihan pada korban tanpa disudutkan. Adapun tujuan dalam hal ini adalah membuat ia (korban) lega dan merasa sama setelah menceritakan hal tersebut.

Korban akan membantu fasilitator untuk memilih anggota kelompok dengan menanyakan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Mereka bisa jadi sebagai bystander, pelaku atau bahkan korban juga (Robinson & Maines, 2008). Sangat penting untuk membangun aturan dalam kelompok dan nantinya fasilitator seharusnya mengakhiri pertemuan dengan:

Mengecek bahwa tidak ada rahasia yang telah didiskusikan dimana tidak seharusnya diungkapkan dalam kelompok

Mengundang korban untuk mengeluarkan atau memberi ilustrasi mengenai ketidakbahagiaannya

(27)

Menawarkan korban kesempatan untuk berbicara kembali selama proses diskusi berlangsung jika proses ini tidak berlangsung baik.

b. Langkah kedua - membuat pertemuan dengan orang-orang yang akan terlibat dalam kelompok

Fasilitator nantinya mengatur pertemuan dengan anggota kelompok yang dipilih oleh target. Kelompok tersebut terdiri dari enam hingga delapan orang, ini sebuah kesempatan bagi fasilitator untuk menggunakan pertimbangannya untuk membantu kelompok menemukan kekuatan dalam kelompok untuk menemukan hasil terbaik.

c. Langkah ketiga – Menjelaskan permasalahan

Fasilitator memulai dengan memberitahu mengenai permasalahan yang dialami korban, kemudian meminta kelompok untuk mendengarkan kekhawatirannya.

Kemudian fasilitator kembali menceritakan mengenai kesedihan atau kemalangan yang dialami target yang nantinya akan di diskusikan dalam kelompok.

d. Langkah keempat – berbagi tanggung jawab

Setelah pertanggungjawaban itu selesai, pendengar bisa jadi sedih atau tidak nyaman atau tidak yakin dengan alasan pertemuan ini. Beberapa mungkin terlihat cemas dengan kemungkinan hukuman. Fasilitator disini membuat sebuah perubahan dengan pernyataan tegas mengenai:

- Tidak ada seorangpun disini yang akan dihukum

- Ini merupakan tanggung jawab fasilitator untuk menolong korban agar menjadi merasa lebih aman dan tenang tetapi hal ini tidak bisa ia lakukan tanpa bantuan kelompok

(28)

- Kelompok diundang dengan maksud membantu memecahkan permasalahan ini.

e. Langkah kelima – Menanyakan setiap anggota kelompok mengenai ide-ide mereka

Setiap anggota kelompok diajak untuk menyarankan sebuah langkah dimana korban dapat terbantu untuk lebih merasa lega dan bahagia. Ide-ide dapat dinyatakan dalam bentuk “saya” tujuan bahasa: “saya akan berjalan ke sekolah dengan dia.” “Saya akan mengajaknya untuk duduk bersama ketika makan di kantin. ”Ide-ide yang dimiliki oleh anggota kelompok dan tidak didesak oleh fasilitator. Fasilitator akan memberikan respon yang positif tetapi dia tidak akan melanjutkan untuk merangkum hal itu untuk meningkatkan perilaku.

f. Langkah Keenam – Leave it up kepada mereka

Fasilitator mengakhiri pertemuan tersebut dengan meninggalkan tanggung jawab kepada kelompok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemudian Fasilitator akan memberikan ekspresi penghargaan sebagai hasil positif dan mengatur kembali pertemuan selanjutnya dengan mereka untuk melihat sejauhmana perkembangan yang terjadi nantinya.

g. Langkah Ketujuh– Pertemuan kembali

Setelah beberapa hari, fasilitator berdiskusi dengan setiap siswa termasuk korban, melihat bagaimana perkembangan terbaru. Hal ini membantu fasilitator memonitor perilaku bullying dan menjaga keterlibatan para siswa atau remaja terlibat aktif dalam proses ini. Pertemuan ini nantinya bisa dilakukan secara

(29)

individual dari setiap anggota kelompok tentang kontribusinya terhadap korban tanpa menciptakan atmosfir kompetisi diantara yang lain.

Kebijakan anti yang kuat yang dinyatakan secara jelas, dilaksanakan secara konsisten dan dikomunikasikan secara meluas. Kebijakan tersebut memastikan adanya prosedur-prosedur dan program-program yang mendukung dan meneguhkan kebijakan yang aman dan peduli bagi para siswa. Kebijakan yang dimiliki hanyalah satu hal yakni benar-benar berbeda untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut bukan sekedar plakat di dinding sekolah atau sebuah kutipan tulisan yang inspirasional. Budaya sekolah dan lingkungan sosial yang diciptakan sekaligus direfleksikan oleh kebijakan-kebijakan, prosedur dari program preventif ini.

2.4. Pengaruh Group Support Terhadap Perilaku Anak / Remaja

Dalam sebuah kajian yang dilaksanakan oleh Kaiser Foundation pada tahun 2001 (Coloroso, 2007) mengungkapkan bahwa hampir tiga perempat anak mengalami di sekolah. Mereka diejek atau ditindas di sekolah, mereka mengatakan bahwa (bullying) adalah sebuah “masalah besar” di sekolah. Statistik terakhir menunjukkan bahwa guru-guru, staf-staf di sekolah dan orang tua sangat meremehkan frekuensi (bullying) bila dibandingkan dengan tanggapan para siswa. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan pemahaman pihak sekolah mengenai bullying masih relatif terbatas.

Untuk menghentikan siklus ini, pihak sekolah khususnya diharapkan memiliki kebijakan mengenai (bullying), berkenaan dengan realism, kebijakan,

(30)

prosedur dan program pencegahan di sekolah harus bekerja sama. Langkah awal dengan mengakui bahwa sikap-sikap rasial memang ada di sekolah-sekolah kita.

Penelitian Newman et al (2004) membuktikan bahwa perilaku bullying pada anak- anak dapat berkurang secara signifikan berkat kerjasama masyarakat, sekolah, konselor, guru, dan siswa. Sekolah memegang peranan penting untuk melakukan koordinasi keempat komponen tersebut.

Dukungan kelompok atau biasa disebut dengan supporting peers merupakan salah satu metode yang efektif yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di luar negeri. Peer atau teman kelompok dapat berperan sebagai mediator, mentor, konselor atau teman. Ada banyak peran terjadi di dalammya sehingga nantinya akan membangun sebuah hubungan yang memunculkan kepercayaan dan saling menghargai (Robinson & Maines, 2008).

Peer atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai teman kelompok adalah seseorang yang memiliki status yang sama karena ia bisa saja siswa atau anggota dari kelompok yang dibuat. Teman kelompok sebaya tersebut tidak harus seusia. Akan sangat membantu jika dukungan teman sebaya tersebut adalah orang yang lebih tua, berpengalaman atau memiliki lebih banyak pengetahuan. Teman kelompok memiliki pengaruh yang positif, karena mereka dapat saling mendengar dan memberi opini, sugesti, strategi-strategi dari setiap anggota kelompok karena mereka merupakan bagian dari kelompok itu sendiri.

Saya telah mengalami bullying selama bertahun-tahun dan saya tidak memiliki kepercayaan diri namun walaupun begitu saya dapat berbagi apa yang saya pelajari dari yang lain. (dalam Sullivan, 2005).

(31)

Teman kelompok memiliki keuntungan dibandingkan dengan otoritas yang lain dalam membantu. Mereka dapat menggunakan dan memahami dalam bahasa yang sama terhadap siswa atau anak yang mereka bantu. Teman kelompok tidak akan menawarkan siswa yang bermasalah menerima solusi mereka. Akan tetapi pengalaman mereka akan membantu siswa yang bermasalah dengan memancing fleksibilitas dalam berpikir. Seorang mentor kelompok dapat bertindak sebagai seorang pembuka jalan agar siswa tersebut menemukan jalannya sendiri (Helen and Jennifer, 2008). Mentor kelompok berbeda dengan teman. Mereka bisa jadi seorang guru, konselor atau psikolog dimana mereka menggunakan pengalaman pertemanan tetapi mereka bertindak objektif lebih dari seorang teman.

Membangun sebuah program dukungan dari teman sebaya (Peer Support Group) di sekolah akan berguna dan lebih dipercaya oleh para siswa itu sendiri.

2.5. Efektivitas The Support Group Method Terhadap Self-Efficacy Pada Korban.

Pengertian efektivitas dalam penelitian ini adalah keberhasilan the support group method program yang diberikan kepada aparatur sekolah dimana guru dan staf sekolah memiliki pemahaman, ketrampilan serta mampu bersama-sama menciptakan sebuah kebijakan anti-bullying. Ada begitu banyak fenomena bullying terjadi di lingkungan siswa-siswi membuat sekolah-sekolah perlu menciptakan suatu tindakan sebagai antisipasi ataupun tindakan agar kejadian ini dapat semakin meluas dampaknya.

(32)

Kebanyakan sekolah di Eropa memiliki kebijakan anti-bullying tertentu.

Kebijakan sekolah bervariasi yang memberikan kerangka kerja bagi respon setiap sekolah yang melibatkan seluruh komunitas dalam sekolah yakni siswa, guru, mentor pembelajaran, staf pendukung sekolah, kepala sekolah, dan orang tua (Robinson & Maines, 2008). Sebuah penemuan berkaitan dengan dukungan kelompok teman sebaya (group support ) yakni kualitas pertemanan adalah sesuatu yang sangat penting dalam mengurangi efek dari bullying. Anak yang memiliki teman sebaya yang kurang memiliki kualitas untuk melindungi temannya akan meningkatkan kesempatan untuk menjadi korban bullying dan juga meningkatkan masalah internal seperti frustrasi, depresi, low-self-esteem dan juga self-efficacy yang rendah (Helen, 2008).

Sebuah cara untuk memperluas proteksi di dalam grup pertemanan adalah dengan menciptakan atmosfer optimistis and harapan bahwa hubungan pertemanan tidak membutuhkan kekerasan, ataupun eksploitasi (Seligman, Reivich, Jaycox & Gillham 1995). Sekolah dapat mefasilitasi ini dengan mengembangkan sistem dukungan kelompok sebaya (Group Support) dengan prinsip kesetaraan, peduli terhadap sesama dan berempati terhadap perasaan orang lain (Shulman, 2002). Di Spanyol sistem ini sudah diterapkan dan mendapat respon yang positif disekolah, komunitasnya diberi nama convivencia dengan arti hidup dan bekerja bersama dalam harmoni.

Metode ini dinilai efektif dan berguna dalam konteks respon anti-bullying dan hal baiknya adalah bagaimana pemecahan dari suatu konflik memberikan sebuah a win-win solution. Metode ini bekerja dengan dua tujuan yakni; tugas

(33)

pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying (Robinson & Maines,2008). Intervensi ini dinilai sukses diterapkan di sekolah-sekolah di Inggris khususnya dan mulai merambah di Eropa (Sue Young, 1998). Alasan mengapa the support group dinilai bekerja cukup baik bukan hanya dinilai dari efektivitasnya namun juga solusi yang berkembang diluar dari pengaruh guru-guru melainkan dari berkembang dari siswa-siswa itu sendiri. Hal ini muncul akibat dinamika dalam dukungan kelompok. Penelitian psikologi kelompok memberikan pemahaman kenapa dukungan kelompok sebagai sebuah intervensi anti-bullying dinilai efektif (Young, 1998).

Berdasarkan hasil penelitian diatas peneliti tertarik untuk mencoba intervensi kelompok ini. Mencoba meningkatkan perilaku alturisasi pro-sosial pada remaja dan mengekspresikan ketidaksukaan mereka terhadap tindak bullying. Penelitian diatas menggambarkan bagaimana bukti bahwa dukungan kelompok sebaya dapat memberikan manfaat dari membuka kesempatan dalam membantu korban yang mengalami tindak bullying sehingga mereka lebih dapat mampu melindungi diri dan meningkatkan rasa percaya mereka terhadap diri mereka sendiri (Self-efficacy).

Kerangka berfikir penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima komponen yang terlibat angsung maupun tidak langsung terhadap perilaku bullying.

Komponen tersebut adalah pelaku, korban, sekolah, keluarga, masyarakat, dan budaya (Swearer & Espelage, 2004). Dalam penelitian ini intervensi diberikan

(34)

pada korban, maka diberikan the support group method sebagai upaya untuk meningkat self-efficacy.

--- Korban memiliki self efficacy yang tinggi sehingga

Ia mampu mengahadapi perilaku bullying Keterangan:

--- batas penelitian

Gambar 2. Kerangka berfikir

2.6. Hipotesis

Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:

BULLYING

Pelaku Korban Bystander

Self-efficacy yang rendah

Pemberian intervensi pada korban melalui The Support

Group Method, adapun metode ini terdiri dari tujuh

tahapan.

1. Langkah Pertama - berbicara dan mendengarkan korban.

2. Langkah kedua - membuat pertemuan dengan siswa-siswa yang terpilih dalam kelompok.

3. Langkah Ketiga- menjelaskan permasalahan

4. Langkah Keempat - berbagi tanggung jawab

5. Langkah Kelima - Menyingkap ide-ide dari setiap anggota kelompok

6. Langkah Keenam - Leave it up (memberikan mereka tanggung jawab).

7. Langkah Ketujuh - Pertemuan kembali.

8.

(35)

Ho : Tidak ada peningkatan self-efficacy pada korban bullying yang sudah mengikuti intervensi the support group method.

Ha : Ada peningkatan self-efficacy pada korban bullying yang sudah mengikuti intervensi the support group method.

Gambar

Gambar 2. Kerangka berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Berat jenis lumpur pemboran, prediksi kondisi tekanan bawah permukaan abnormal, kedalaman penempatan casing serta arah sumur pemboran yang tepat dapat ditentukan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dibuat kesimpulan bahwa Ada hubungan positif dan signifikan antara sikap terhadap Alat Pelindung Diri (APD) dengan

daya antioksidannya sedang yang dipengaruhi oleh banyaknya senyawa antioksidan yang terdapat dalam ekstrak daun salam seperti flavonoid, saponin, steroid dan

Pengujian jenis suara mezzo sopran dilakukan dengan cara membunyikan suara dengan huruf vokal A selama 10 detik pada sub menu jenis suara mezzo sopran pada aplikasi

Anak tunagrahita tersebut memiliki sikap atau karakter peduli ligkungan yang masih rendah maka untuk meningkatkan sikap atau perilaku peduli ini dilakukan melalui kegiatan

Jenis sekolah di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1990 yaitu Sekolah Menengah Umum (SMA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah

a) Dis kominfo Jabar perlu memberikan perhatian lebih kepada beberapa indikator faktor s tres kerja lingkungan. Pada beberapa indikator dimens i s tres

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Marketing Communication berpengaruh positif dan signifikan terhadap Customer Satisfaction Go-Food (Studi Pada Mahasiswa Jurusan