• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Kepulauan Togean

Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada koordinat 00.08’21’’- 00.45’12’’ LS and 1210.33’21’’- 1220.23’36 BT, dengan luas daratan kurang lebih 755,4 km2. Secara administratif Gugus Pulau Togean berada dalam wilayah Kabupaten Tojo Una Una Propinsi Sulawesi Tengah yang berbatasan dengan Perairan Teluk Tomini dan Propinsi Gorontalo di Sebelah Utara. Sebelah Selatan dengan Perairan Teluk Tomini, daratan utama Kabupaten Tojo Una Una dan Kabupaten Banggai. Sebelah Timur dengan Kecamatan Walea Kepulauan. Sebelah Barat dengan Perairan Teluk Tomini dan Kecamatan Una-Una (BPS 2010).

Kepulauan Togean terdiri dari kurang lebih 25 pulau besar dan kecil (CII 2006). Secara administratif Kepulauan Togean terdiri dari enam gugusan pulau besar yaitu Pulau Batudaka, Pulau Talatakoh, Pulau Togean, Pulau Una-Una, Pulau Wahi Bahi, Pulau Walea Kodi. Kepulauan Togean memiliki tiga kecamatan yaitu yaitu Kecamatan Una Una, Kecamatan Togean dan yang terakhir adalah Kecamatan Walea kepulauan. Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso pada tahun 2003.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Tengah No. 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan Togean dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Dengan penunjukkan Kepulauan Togean sebagai Taman Nasional SK Menteri Kehutanan RI No 418 Tahun 2004, maka fungsi hutan yang ada hanya akan meliputi areal penggunaan lain dan taman nasional.

Kawasan Kepulauan Togean tidak hanya memiliki arti penting bagi Kabupaten Tojo Una-Una sendiri, namun bagi ekosistem Teluk Tomini. Kawasan ini dapat berfungsi sebagai area perlindungan potensi flora dan fauna khas dan endemik Togean, menjaga kelangsungan fungsi hidrologi serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam laut, sekaligus juga mendukung perkembangan perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan. Bahkan

(2)

secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program Pengembangan Perikanan Terpadu Teluk Tomini (Zamani et al. 2007).

Secara Geomorfologi berdasarkan penelitian biodiversitas yang dilakukan oleh CII (2005), Kepulauan Togean terletak di punggung tinggi laut dengan kedalaman kurang dari 200 m, kecuali di timur laut lepas pantai Walea Bahi dengan tebing curam lebih dari 1000 m, yang merupakan bagian dari punggung gunung api Togean yang sudah mati dengan puncak tertinggi gunung Benteng (542 m) di Pulau Togean. Kecuali Una-Una, kepulauan ini merupakan bagian dari rangkaian pulau karang yang membentang dari gugusan Pulau Peleng menuju daratan Sulawesi terus ke barat laut sampai sekitar pulau Batudaka. Pulau- pulau karang tersebut diduga terbentuk dari permukaan terumbu karang pada masa Tersier pada daerah gunung api yang bersifat basal. Pulau Una-Una merupakan satu-satunya pulau yang masih menunjukkan kegiatan vulkanik aktif dan secara struktural menjadi bagian dari wilayah Pegunungan Api Utara (Northern Volcanic Mountains) yang mencakup kawasan Sulawesi Utara.

Kepulauan Togean memiliki iklim laut tropis dengan sifat iklim musiman, dimana musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September, sedangkan musim hujan terjadi antara Oktober sampai Mei. Kawasan Teluk Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan.

Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober- Nopember, sementara hujan rendah terjadi pada bulan September dan Desember- Januari. Curah hujan berkisar 1.200 – 4.100 mm/tahun (Laapo 2010).

Kepulauan Togean terkenal dengan keindahan sumberdaya lautnya yang memiliki potensi besar dalam usaha wisata laut, sebagian pulau di Kepulauan Togean saat ini telah dimanfaatkan sebagai objek wisata baik yang dikelola oleh swasta asing maupun masyarakat lokal.

4.2. Profil Pulau Kabalutan

Pulau Kabalutan secara administrasi juga sebagai desa masuk dalam Kecamatan Walea Kepulauan, dengan luas Desa 15,13 km2 yang terletak di Pulau Talatako. Pulau Kabalutan berbatasan dengan Teluk Tomini di sebelah Barat, Sebelah Timur berbatasan dengan Tumbalawa, Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Patoyan/Tangkubi dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bomba.

(3)

Jumlah penduduk di Pulau Kabalutan adalah 2.913 Jiwa dengan proporsi perempuan lebih banyak yaitu 1.733 jiwa dan Laki-laki 1.180 jiwa.

Secara fisik sebagian besar areal pulau didominasi oleh tanah berbatu (limestone) sehinga sulit ditumbuhi tanaman. Sebagian besar penduduk (90 persen) dari total 2.913 jiwa bermata pencaharian sebagai nelayan (Tabel 4).

Hanya bagian kecil penduduk berusaha di bidang pertanian, biasanya mereka berasal dari komunitas non Bajau, atau komunitas Bajau yang sudah melakukan perkawinan dengan komunitas lain seperti suku Bugis, Buton atau Saluan, hanya sebagian kecil asli Bajau yang bisa berkebun. Berdasarkan survei yang dilakukan, 68.42 % responden memiliki sumber pendapatan yang diupayakan dari laut dan sekitar 31.58 % memiliki nafkah ganda yang berasal dari hasil kebun berupa kelapa dan cengkeh.

Mereka memiliki kebun cengkeh dan beberapa yang mengupayakan kopra.

Komunitas Sama atau Bajau dahulu hanya mengenal mengail atau memanfaatkan sumberdaya laut dan dahulu makanan pokok komunitas Bajau hanya sagu yang juga dikenal dengan nama Sinole.

Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang)

1 Nelayan 677

2 Petani 115

3 Pegawai 8

4 Pengrajin 3

5 Tukang Kayu 2

6 Tukang Batu 2

7 Pedagang 4

Jumlah 801

Sumber: Fadli (2009)

Tingkat pendidikan masyarakat Kabalutan masih sangat rendah, jumlah penduduk yang tidak sekolah mencapai 1.431 orang dan hanya 19 orang yang berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (tabel 5). Sebagian besar penduduk yang melanjutkan sekolah biasanya berasal dari komunitas lain selain Bajau, tercatat hanya satu putra Bajau yang lulus Sarjana dan menjadi berprofesi sebagai guru SD di Kabalutan. Tetapi saat ini, pendidikan di Kabalutan sudah jauh lebih baik karena sudah terbangun sekolah SLTP hingga SMU sejak tahun 2010.

(4)

Gambar 7. Persentase sumber pendapatan komunitas Kabalutan (sumber: Data Survei, 2012)

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Keterangan

1 Tidak Sekolah 1.431

2 Tamat SD 417 Tamat SD

3 Dasar 35 Tamat SLTP

4 Menengah Pertama 19 Tamat SMU

5 Menengah Atas Tinggi 11 D2, S1

Jumlah 2.913

Sumber: Fadli (2009)

Selain komunitas Bajau, saat ini desa tersebut juga dihuni oleh etnis lain seperti Gorontalo, Buton, Muna, Bugis, serta Saluan. Tidak sedikit pendatang dari pulau terdekat yang tinggal menjadi warga Kabalutan untuk melakukan bisnis ikan hidup. Tercatat terdapat 4 pengumpul/pembeli/tengkulak ikan hidup di Desa Kabalutan, dan hanya satu yang asli orang Bajau. Hanya keluarga Bajau yang sudah melakukan perkawinan dengan non Bajau yang mengupayakan kebun cengkeh, contohnya komunitas Buton, Bugis dan Saluan yang memang memiliki riwayat hidup berkebun. Komunitas Bugis lainnya di Kabalutan memiliki usaha kios, mereka menduduki kelas ekonomi teratas di Kabalutan.

Komunitas Sama di Desa Kabalutan hidup dirumah panggung berdinding kayu dan beralaskan atap rumbia daun sagu. Berikut kalender musim nelayan Kabalutan, selain menangkap ikan nelayan Kabalutan juga mencari kima.

(5)

Gambar 8 Kalender musim nelayan Kabalutan (Wawancara, 2012)

4.3. Karakteristik Terumbu Karang di Kepulauan Togean

Kepulauan Togean merupakan bagian dari ‘Segitiga Terumbu Karang’

(Coral Triangle) yang merupakan areal dengan keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Fhilipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Microneasia. Dalam dokumen Marine RAP (2001) dinyatakan bahwa Togean merupakan “The Heart of Coral Triangle.” Terumbu karang di Kepulauan Togean kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang letaknya berdekatan satu sama lain.

Berdasarkan Hasil Marine Rapid Assessment Program (MRAP) tahun 1998 di Kepulauan Togean, mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang yang tergolong kedalam 19 familia pada 25 titik terumbu karang yang tersebar di Kepulauan Togean. Selain itu, terdapat jenis karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 11 titik pengamatan terumbu karang. Enam jenis karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean dan Banggai yaitu masing- masing satu jenis dari genus Acropora, Porites, Leptoseris, Echinophyllia dan 2 jenis dari genus Galaxea. Berdasarkan hasil penelitian Wallace et al. dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean. Jenis ikan terumbu karang di Kepulauan Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia.

Jenis Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp. diduga kuat merupakan endemik yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2 scaphopoda dan 4 spesies chiton. Jenis fauna dilindungi/endemik di Kepulauan Togean.

(6)

Pada beberapa area di Kepulauan Togean yaitu Pulau Kadidiri, Coral Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat, Katupat, Bangkagi dan Mogo Besar.

Menunjukan rata-rata persentase tutupan karang di seluruh lokasi pengamatan (lokasi selam dan snorkeling) mencapai 56.38 %. Secara spesifik rata-rata persentase tutupan karang di lokasi selam yakni 46.91 %, dengan tutupan karang keras mencapai 36.93 % (Zamani et al. 2007 ).

Kelimpahan sumberdaya terumbu karang tersebut juga disertai oleh degradasi terumbu karang yang meningkat setiap tahunnya, secara spasial luasan terumbu karang yang diperoleh dari hasil klasifikasi peta citra tahun 2001 dibandingkan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukan bahwa terjadi penurunan luasan karang dari 11.064,33 ha pada tahun 2001 turun menjadi 9.767,98 ha pada tahun 2007. Selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang sebesar 1.296,35 ha (11,72%). Berdasarkan data MRAP 1998 dan berdasarkan Laporan Monitoring dan Evaluasi Biologi tahun 2004 di Teluk Kilat (CII 2006), hasil penelitian Zamani et al. (2007) untuk stasiun Pulau Kadidiri, Coral Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat, Katupat, Bangkagi dan Monggo Besar menunjukan laju pertumbuhan terumbu karang dan laju degradasi terumbu karang sebesar 0.05.

Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh CII tahun 1998 dan dibandingkan tahun 2004 pada beberapa lokasi, kerusakan terumbu karang di beberapa lokasi tersebut menunjukan adanya penurunan kualitas terumbu karang di Kepulauan Togean. Penurunan persentase tutupan karang hidup (hard coral) selama 6 tahun terakhir mencapai 12.58 % atau sekitar 2.09 % tiap tahun, sedangkan tutupan karang mati meningkat sekitar 8.38 % atau rata-rata 1.39 % tiap tahun.

Di sisi lain berdasarkan analisis perbandingan hasil survei MRAP tahun 1998 dengan survei tahun 2007, penurunan luasan kondisi terumbu karang tidak selalu menyebakan terjadinya penurunan persentase penutupan pada beberapa titik pengamatan yaitu Pulau Kadidiri, Coral Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat, Katupat, Bangkagi dan Monggo Besar. Penurunan luas persentase penutupan karang hanya terjadi di bagian Teluk Kilat dan perairan di sebelah selatan Pulau

(7)

Togean, sementara di stasiun pengamatan lain menunjukan penambahan luas persentase penutupan terumbu karang (Zamani et al. 2007).

Kerusakan terumbu karang tersebut bisa disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pemboman, pembiusan ikan dan penambangan batu karang untuk bahan bangunan serta dampak dari aktivitas penangkapan atau wisata. Faktor alami yang menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah booming acanthaster plancii dan bleaching atau pemutihan karang. Kemudian yang menjadi permasalahan bagi pulau adalah pencemaran limbah akibat limbah domestik (Zamani et al. 2007).

Disisi lain, fokus kerusakan terumbu karang yang terjadi di Kepulauan Togean tertuju pada aktivitas masyarakat Togean khususnya oleh komunitas Bajau yang hidup dari laut. Perdagangan ikan hidup jenis Napoleon yang sempat marak di Pulau Togean khususnya Desa Kabalutan mengakibatkan degradasi terumbu karang meningkat tajam yang menyebabkan ikan tersebut menjadi langka. Hal tersebut merupakan salah satu alasan inisiasi kebijakan Daerah Perlindungan Laut di Desa Kabalutan. Penurunan luas penutupan karang salah satunya disebabkan oleh adanya aktivitas nelayan yang memakai alat tangkap yang merusak pada perairan selatan Pulau Togean, sedangkan pada area yang dikelola oleh resort terjadi peningkatan persentase penutuapan terumbu karang (Zamani et al. 2007). Hal ini menunjukan bahwa area yang dikelola oleh resort yang dijadikan objek wisata snorkeling dan penyelaman lebih terjadi kelestarian alamnya.

4.4. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Kabalutan

Pulau Kabalutan memiliki rangkaian terumbu karang yang melimpah, hampir seluruhnya di kelilingi terumbu karang. Jenis terumbu karang yang dominan adalah jenis Acropora yaitu Branching, Tabulate, Encrusting, Submassive, Digitate. Sedangkan non Acropora adalah Coral branching, Coral Massive, Coral Encrusting, Submassive, Foliose, Mushroom, Millepora dan Heliopora. Di Pulau Kabalutan juga ditemui karang endemik Togean yaitu Acropora togeanensis (BTNKT 2011).

Hasil survei terumbu karang yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Togean pada tahun 2010 menunjukan rata-rata tutupan karang 22.27%

- 67.6%, sementara hasil monitoring pada Juli 2011 rata-rata tutupan karang

(8)

sebesar 19.5% - 66.4%. Pada beberapa titik pengambilan sampel di Kepulauan Togean menunjukan kondisi stabil sedangkan di stasiun lain menunjukan penurunan khususnya di wilayah Pulau Kabalutan, Pulau Taupan, Milok dan Pautu.

Dalam mengambarkan kondisi terumbu karang di Pulau Kabalutan, penelitian ini menggunakan data BTNKT di wilayah perairan bagian Selatan Kabalutan. Topografi di bagian Selatan Kabalutan adalah reef slope yang landai dengan kedalaman antara 2-8 m. Persentase tutupan terumbu karang hidup di perairan bagian Selatan Kabalutan pada tahun 2010 sebesar 22.27%, sedangkan persentase tutupan terumbu karang mati adalah sebesar 35.60%. Sementara persentase tutupan karang hidup di bagian Selatan Kabalutan pada tahun 2011 sebesar 19.10 % dan persentase tutupan karang mati adalah 68.60 %. Berdasarkan Kepmen LH No. 04 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, penutupan karang tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi rusak buruk. Pada tahun sebelumnya yaitu 2010 juga menunjukan kondisi yang sama yaitu rusak. Tingginya persentase tutupan karang mati disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak oleh komunitas Bajau yaitu penggunaan bom dan bius. Kondisi di perairan bagian Selatan Kabalutan yang memiliki slope yang landai memungkinkan orang menggunakan bahan peledak untuk mencari ikan dengan mudah dan efektif (BTNKT 2011).

Tutupan alga menunjukkan persentase yang tinggi pada tahun 2010 yaitu 30.69%. Tingginya tutupan alga disebabkan karena banyaknya patahan karang yang mati akibat penggunaan bahan peledak yang marak digunakan beberapa tahun lalu yang kemudian ditutupi alga. Dilokasi ini juga ditemukan tutupan alga yang menutupi kerangka karang yang mati dengan bentuk utuh akibat penggunaan potas beberapa tahun lalu. Pemutihan karang terlihat pada lokasi yang relatif dangkal yang sering terkena pasang surut dan sinar matahari langsung. Sedangkan pada tahun 2011, terlihat tutupan alga menjadi 0%, hal ini disebabkan karena pada tahun tersebut, terjadi pengeboman dan penggunaan potas lagi secara besar- besaran untuk menangkap ikan, hal tersebut mengakibatkan banyak karang yang hancur baik karang hidup dan mati, terlihat dari tabel di atas terjadi peningkatan persentase karang mati yang cukup signifikan sebesar 68%, diduga hancurnya

(9)

karang mati tersebut juga mengakibatkan hancurnya organisme alga yang hidup di media karang mati.

Gambar 9 Persentase tutupan karang hidup, karang mati, alga, abiotik dan biota lainnya di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan tahun 2010 dan 2011(Sumber:

BTNKT 2010, 2011)

Jika dibandingkan dari tahun 1998, 2008, 2010, dan 2011, kondisi ekosistem terumbu karang hidup memperlihatkan penurunan yang sangat signifikan dari tahun 1998-2011 yakni sebesar 56.4%, sedangkan karang matinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakini sebesar 125% (Gambar 6).

Tabel 7 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Kabalutan tahun 1998, 2008, 2010 dan 2011

Lokasi Kategori Persentase tutupan karang (%)

1998 2008 2010 2011

Selatan Kabalutan

Karang hidup 44.70 30.70 22.27 19.50

Karang mati 30.50 34.50 35.60 68.60

Abiotik 9.00 17.50 4.75 8.30

Lainnya 15.80 17.30 37.38 3.60

Sumber : BTNKT 1998, 2008, 2010, 2011

(10)

Gambar 10 Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan, 1998-2011(Sumber: BTNKT 1998,2008,2010,2011)

Gambar 11 Karang rusak akibat pemboman di perairan bagian Selatan Kabalutan (Sumber: BTNKT, 2011)

Cukup jauhnya lokasi di perairan bagian Selatan Kabalutan (± 7,6 km dari pemukiman) menyebabkan pengawasan lebih sulit dilakukan sehingga penggunaan alat tangkap merusak masih terus berlangsung, intensitas pemanfaatan perikanan di lokasi ini sudah lama berlangsung oleh nelayan baik dari sekitar kampung Kabalutan maupun diluar seperti dari Bunta dan Pagimana.

Sementara itu di wilayah perairan bagian Barat Pulau Kabalutan yang dekat pemukiman menujukan kondisi yang berbeda seperti yang ditunjukan pada tabel 7.

(11)

Tabel 8 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Barat Kabalutan tahun 2011

Lokasi Kategori Persentase tutupan karang (%)

tahun 2011

Barat Kabalutan

Karang hidup (Acropora) 13.90

Karang hidup (Non-Acropora) 42.60

Karang mati 12.30

Alga 0.00

Lainnya 2.40

Abiotik 28.80

Sumber : BTNKT 2011

Persentase tutupan karang hidup baik jenis Acropora dan Non Acropora di perairan bagian Barat Kabalutan adalah 56.50%. Berdasarkan Kepmen LH No. 04 tahun 2001, penutupan karang tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi baik.

Jenis karang yang mendominasi kawasan ini adalah acropora branching, foliose dan massive.

Gambar 12 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Kabalutan dan perairan bagian Barat Kabalutan tahun 2011

(Sumber: BTNKT, 2011)

Jika dibandingkan dengan daerah di perairan bagian Selatan Kabalutan, kondisi karang di daerah site Barat Kabalutan lebih baik terlihat pada gambar 12 dimana kondisi karang hidup Acropora di site Barat Kabalutan sebesar 13.9%, sedangkan di Selatan Kabalutan 0.40%. Kondisi karang hidup Non Acropora di

(12)

site Barat Kabalutan sebesar 42.60%, sedangkan di Selatan Kabalutan sebesar 19.10%. Dan kondisi karang matinya di site Barat Kabalutan lebih kecil yakni sebesar 12.30 %, sedangkan di Selatan Kabalutan mencapai 68.60%. Masih baiknya kawasan ini bila dibandingkan dengan Selatan Kabalutan yaitu :

1. Letaknya dekat dengan pos pengawas yang berada dilokasi dekat dengan pemukiman sehingga masih dalam jangkauan pengawasan.

2. Pada areal ini pernah diinisiasi sebagai zona inti (no take zone) dari program Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh Conservation International Indonesia.

4.5. Pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut di Pulau Kabalutan

Pulau Kabalutan didominasi oleh komunitas Bajau yang mengupayakan sumber penghidupannya dengan memanfaatkan laut. Komunitas ini erat kaitannya dengan kondisi terumbu karang yang ada di Kabalutan saat ini. Pola pemanfaatan komunitas Bajau sendiri telah mengalami perubahan yang cukup signifikan akibat perubahan metode dan penggunaan alat tangkap. Untuk menelusuri perubahan tersebut, maka penting mengetahui pola pemanfaatan berdasarkan periode transisi waktu.

Pada sebelum tahun 1980an, nelayan Kabalutan menggunakan alat dan cara tradisional dalam melakukan aktivitas penangkapan. Hutabarat (2001) mencatat bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat Bajau memiliki berbagai teknik tangkap, diantaranya “Missi” (memancing), Bapatape, Ngarinta/Baninta, Ngetu/Baetul/Barenjo, Nonda/Batonda (Menggunakan pancing tonda), Ngarua/Bapukat (memukat), Nyingkel/Bakanjai (Menombak), Nuong (Menyelam), Mana/Bapanah (memanah), Ngal’kima (mengambil kima).

Penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat menyebutkan bahwa pada pelaksanaannya, teknik-teknik tersebut beberapa dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang dan beberapa tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Dengan memadukan pengetahuan lokal yang digunakan untuk memprediksi alam serta kemampuan berbagai tekhnik menangkap secara tradisional komunitas Bajau dianggap mempraktekan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dengan cara yang ramah. Keragaman aplikasi penangkapan yang dilakukan oleh komunitas

(13)

Bajau Kabalutan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan konservasi yang bersandar pada pengetahuan lokal.

Pada era 1970-an nelayan Kabalutan hanya melakukan penjualan ikan dalam bentuk ikan garam dalam ukuran kecil dan sedang. Cara penangkapan tradisional mulai berubah pada awal tahun 1994, saat perdagangan ikan hidup dikenalkan khususnya untuk jenis ikan kerapu, pada periode ini nelayan melakukan penangkapan secara masif untuk jenis ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) atau yang biasa dikenal oleh penduduk Togean dengan nama ikan maming. Sebagian besar komunitas Kabalutan menangkap ikan jenis tersebut dengan cara atau metode yang merusak yaitu menggunakan obat bius. Sementara itu penggunaan bom diperuntukan bagi ikan pelagis seperti jenis ikan lolosi (Caesio spp) yang biasa bergerombol dalam jumlah besar.

Penggunaan bius ini berdampak pada rusaknya terumbu karang, disisi lain perburuan ikan Napoleon menyebabkan lipan laut (achanster planci) meningkat.

Saat itu, setidaknya ada tiga cara atau metode penangkapan yang dilakukan oleh komunitas Bajau dan berdampak pada kerusakan yaitu, babom, babius dan bapotas dengan penjelasan sebagai berikut.

a. Babom sendiri adalah istilah yang biasa dipakai oleh nelayan di Togean untuk penangkapan ikan menggunakan bom atau bahan peledak. Bom ini bisa dirakit dari mulai jenis yang paling sederhana hingga dengan menggunakan detonator atau pemicu peledak. Bahan peledak utama bom menggunakan pupuk tanaman (biasanya ber cap Matahari dan Obor), kemudian bahan lainnya adalah korek api atau biasa dikenal dengan sebutan

“machis”, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman ringan. Tiap kelompok nelayan bisa membawa 10 hingga 20 botol bom ini sekali melaut.

b. Babius merupakan cara menangkap ikan menggunakan bahan beracun berupa KCN atau potasium sianida. Bahan kimiawi tersebut dilarutkan dalam konsentrasi tertentu dan dimasukkan dalam botol plastik, saat nelayan menyelam, larutan disemprotkan dilokasi ikan berdiam.

c. Bapotas merupakan teknik menangkap ikan dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi dimana banyak ikan berkumpul. Nelayan memilih cara tersebut untuk mempercepat dan lebih mudah mendapatkan

(14)

ikan, terutama untuk bius yang merupakan cara aman agar menjaga ikan tetap hidup. Cara tersebut dilakukan untuk menangkap ikan ekonomis seperti ikan Napoleon (Cheilinus).

Dampak praktek penangkapan dengan menggunakan bom menimbulkan kerusakan fatal pada terumbu karang yaitu menyebabkan lubang bekas ledakan dengan diameter hampir 1 hingga 3 meter, serta berakibat pada hancurnya karang sehingga sulit mendapatkan ikan yang hidup disekitar karang. Dari hasil survei yang dilakukan oleh CII (2004) banyak dari jenis karang bercabang atau Acroporidae ditemukan hancur. Sedangkan dampak potas terhadap terumbu karang adalah karang mati dengan kerangka karang yang masih utuh dan lama kelamaan ditumbuhi alga sehingga bertampak kehijauan. Luas kematian karang akibat potas sangat erat kaitannya dengan besaran dan konsentrasi penggunaan bahan potas sendiri. Babius menyebabkan ikan lemas dan karang yang terkena semprotan juga ikut mati, biasanya bekas semprotan terlihat seperti spot-spot.

Sementara itu survei CII juga menunjukan bahwa penggunaan potas dan bius paling banyak ditemukan di Desa Kabalutan dibandingkan dengan Desa lainnya di Kepulauan Togean (tabel 9).

Penelitian yang dilakukan oleh Celia Lowe pada kurun waktu 1994 dan 1997 menjelaskan, komunitas Sama atau Bajau merupakan orang yang paling menerima konsekuensi dari kerusakan terbesar dari terumbu karang akibat penangkapan ikan hidup yang juga dilakukan oleh komunitas sama ini, sedangkan keuntungan keuntungan dari rantai perdangan ikan hidup tidak berada pada komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dari keuntungan yang didapatkan dari masing- masing aktor dalam rantai komoditas perdagangan ikan hidup (tabel 9).

Tabel 9 Harga ikan hidup pada tahun pertengahan tahun 1997

No Nama ikan Nama ilmiah

Harga di nelayan

($)

Harga pengumpul

($)

Harga di restauran Cina

(1995) ($) 1 Napoleon Wrasse

Cheilinus

undulatus 7.50 125 180

2 Polkadot grouper

Cromileptes

altivelis 9 90 <180

3 Coral trout (Plectropomus)

Leopardus P.

Maculatus 6 25

4 Flowery cod (Epinephelus) fuscogutattus 2.50 25 Sumber: Johannes dan Riepen in Lowe (2001)

(15)

Tabel 10 Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang di Kepulauan Togean

No. Ancaman Kadidiri Utara

Malenge Batudaka

Atol Pasir Tengah

Batu Mandi,

Teluk Kilat

Pasibatang

(Kabalutan) Indikator

1 Bahan Peledak ++ ++ ++ ++ ++ +++ Kerusakan karang atau patahan karang

(rubble) dalam jumlah besar dan meliputi area relatif luas

2 Potasium sianida (potas/bius) ++ ++ ++ ++ ++ ++ Karang pucat (memutih) yang lambat

laut ditutupi oleh alga

3 Sedimentasi - - - - + - Ditunjukkan oleh polip karang yang

banyak ditutupi oleh lapisan jelly atau lendir

4 Penambangan karang - - - - + - Tercabutnya badan karang dari

substratnya.

5 Lipan laut (Acanthaster plancii)

+ ++ - + + + Adanya “jalur putih” yang merupakan

karang mati akibat pemangsaan oleh lipan laut

6 Perubahan lingkungan (suhu

& salinitas)

- - - - + - Kematian secara perlahan yang

diakibatkan stress. Catatan : asumsi mengacu pada kematian akibat El Nino ataupun turunnya salinitas akibat pemasukan air tawar.

7 Aktivitas manusia di terumbu karang (tertabrak perahu, jangkar, berjalan di atas karang, fin penyelam)

+ + + + - ++ Patahan khususnya di daerah ujung

karang

Sumber: Conservation International Indonesia (2004)

(16)

Nelayan merupakan pihak yang paling mendapatkan keuntungan terkecil dari rantai komoditas penjualan ikan hidup, dari tabel bisa dilihat margin atau selisih yang diterima oleh pengumpul adalah sebesar $117,5 sedangkan nelayan hanya mendapatkan sebesar $7,5 sedangkan rantai terakhir yaitu restauran memiliki margin sebesar $62,5. Dalam rantai komoditas penjualan ikan hidup, pihak pengumpul atau fish camp mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi, tidak heran jika para pengumpul bisa memodali kebutuhan para nelayan seperti bensin, motor katinting dan kebutuhan lainnya sebagai suatu bentuk pengikat.

Disisi lain, menurut Lowe (2001), sianida diperkenalkan oleh para pengumpul, mereka yang memasok sianida dan mengajarkan cara menggunakannya. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa secara tidak langsung pengumpul paling berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang.

Sementara saat ini di Kabalutan, cara penangkapan ikan jenis kerapu untuk perdagangan ikan hidup telah mengalami perubahan. Jika dahulu para nelayan Kabalutan banyak yang menggunakan sianida, saat ini para nelayan menggunakan umpan untuk menangkap ikan karang. Cara penangkapan tradisonal ini disebut dengan missi. Umpan yang digunakan adalah ikan hidup kecil sebesar setengah telapak tangan yang dikailkan dan kemudian ikan tersebut dijatuhkan ke dalam air hingga menyentuh dasar. Kail tersebut diberikan pemberat/ladung sehingga ikan yang dikailkan hanya bergerak disatu titik saja menunggu ikan Sunu menangkapnya. Ikan Sunu bisa ditemukan pada kedalaman 60 depa atau setara dengan 90 m.

Para nelayan komunitas Sama sendiri memiliki pengetahuan dan pengalaman tersendiri dalam menangkap ikan sunu jenis merah ini. Untuk menghindari kematian ikan pasca tertangkap, nelayan akan mengecek apakah ikan kekurangan atau membutuhkan udara. Jika dirasakan ikan kelebihan udara maka ikan akan disuntik dibagian bawah perut hingga udara bisa keluar, dan jika ikan membutuhkan udara maka nelayan akan meniupkan udara melalui jarum dibagian yang sama. Setelah itu, ikan disimpan di dalam bak penampungan yang terdapat di perahu katinting. Namun tidak semua orang Bajau melakukan penangkapan ikan jenis super atau ikan Sunu. Sebagian besar yang melakukan penangkapan

(17)

ikan hidup ini adalah komunitas Bajau asli dari golongan tua. Mereka memodifikasi teknik-teknik yang berbeda sesuai dengan pengalaman.

Untuk satu jenis ikan Sunu atau super dengan berat 0,5 hingga 0,9 ons akan dihargai Rp 250.000,-, tetapi jika berat ikan lebih dari 1 kg maka ikan Sunu akan dihargai jauh lebih murah. Ukuran 0,5 hingga 0,9 ons merupakan ukuran yang sudah ditentukan oleh penampung, ukuran ini berdasarkan ukuran ekonomis restoran di Hongkong. Ikan super dari Desa Kabalutan dan hampir di wilayah lain di Togean akan dikirim ke Hongkong. Saat sedang perayaan tahun baru Cina yang jatuh antara bulan Desember-Februari, harga ikan Sunu dengan ukuran lebih dari 0,9 ons bisa dihargai lebih tinggi karena pada hari raya kebutuhan ikan dengan ukuran besar meningkat. Selain ukuran dan berat, warna ikan pun mempengaruhi harga penjualan, harga merah lebih mahal dibandingkan dengan jenis ikan Sunu yang berwarna gelap.

Kebutuhan permintaan ikan Kerapu hidup di pasar China dan Hongkong mencapai 120 ton per hari. Harga untuk Kerapu tikus di pasar ikan bisa mencapai US$100 per kg dan ketika sudah dimasak di sebuah restoran bisa mencapai US$180 per kg. Hasil survei CII tahun 2002 menghitung secara umum nilai ekonomi perdagangan ikan hidup di seluruh Togean mencapai nilai sekitar US$

977.000 atau setara dengan Rp 7,8 miliar. Pada masa awal perkembangannya, seorang pengusaha ikan hidup di kepulauan Togean dapat menampung sekitar 300 ekor ikan Napoleon per bulan. Bahkan, terkadang 1 ekor ikan mencapai berat lebih dari 10 kg. Namun tahun 1998, mereka rata-rata hanya mampu menerima sekitar 100 ekor dari nelayan.

Pengumpul hanya menghargai ikan super dengan ukuran 0,5 kg hingga 0,9 kg sebesar Rp250.000,- sedangkan ukuran yang besar (> dari standar) hanya dihargai Rp125.000,-. Untuk ikan super yang masih kecil dibawah 0,5 kg akan dihargai Rp75.000,-/ekor, biasa disebut ikan baby, dan pengumpul akan memeliharanya hingga sesuai dengan ukuran ekonomis. Margin atau selisih harga yang diterima oleh pengumpul untuk satu jenis ikan super pada ukuran 0,5-0,9 kg adalah Rp150.000- dengan total harga sekitar Rp400.000,-. Pengumpul mendapatkan keuntungan lebih saat menjual ikan dengan ukuran yang lebih besar, karena untuk ikan super lebih dari 1 kg akan tetap dihargai sama oleh pedagang

(18)

besar. Jika dibandingkan dengan margin penjualan ikan Napoleon pada tahun 1990an, nelayan saat ini mendapatkan harga yang lebih tinggi yaitu sekitar 26 $ untuk ikan jenis sunu merah. Margin pengumpul sebesar 20 $ hingga 78 % dan margin restauran sebesar 51 $. Pada rantai penjualan ikan sunu merah, keuntungan terbesar tetap berada pada rantai pengumpul dan bukan nelayan.

Tidak semua nelayan Kabalutan mampu melakukan penangkapan ikan kerapu hidup, berdasarkan wawancara dengan pengumpul di Kabalutan sendiri hanya terdapat sekitar 40 nelayan yang menangkap ikan kerapu jenis hidup.

Selain menangkap ikan sunu yang dijual secara hidup, nelayan Kabalutan juga menangkap ikan target lainnya yaitu ikan lolosi, barakuda, katamba, baronang dan lainnya. Berdasarkan hasil survei, selain menangkap ikan jenis kerapu, saat ini ikan yang lebih banyak didapatkan nelayan Kabalutan adalah ikan lolosi yaitu sebesar 78.95 %. Berikut tabel jenis ikan dan persentase nelayan yang menangkap. Kemudian dari keseluruhan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan, peresentase ikan yang dijual paling tinggi adalah ikan jenis kerapu sunu merah yaitu 55.26 %. Ikan lolosi merupakan jenis ikan yang paling banyak menjadi ikan konsumsi sekaligus ikan yang dijual karena lebih mudah untuk mendapatkan ikan jenis ini dibandingkan dengan jenis Kerapu sunu.

Tabel 11 Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan Kabalutan

Jenis Ikan

Nama latin

Jumlah nelayan

Persentase Nelayan

(%)

Dikonsum

si sendiri Dijual

Dikonsum si dan Dijual

Lolosi Caesio teres 30 78.95 2.63 31.58 39.47

Kerapu Sunu

Leopard

grouper 29 76.32 0.00 55.26 18.42

Baracuda 3 7.89 0.00 0 5.26

Kerapu lainnya

Plectropomus

maculatus 24 63.16 0.00 34.21 15.79

Katamba Lethrinus

erythracanthus 7 18.42 7.89 2.63 5.26

Bubara 8 21.05 7.89 2.63 7.89

Baronang Siganus

canaliculatu 6 15.79 7.89 5.26 2.63

Lainnya 6 15.79 7.89 10.53 5.26

Sumber : Data Survei 2012

Nelayan Kabalutan menangkap ikan di beberapa area sekitar Kabalutan, mereka memiliki penamaan tersendiri pada masing-masing tempat. Area penangkapan nelayan Kabalutan merupakan area hamparan panjang terumbu

(19)

karang yang bersambung. Bagian Barat Kabalutan mencakup area Sappa Toro Poteh, Lana Korapu, Lana Toro Wa Massing, Lanna Toro Sidrawi. Selatan Kabalutan mencakup Toro Pasibatah, Silalang Malalang, Sappa Ruma, Sappa Buntar dan Sapaa Aloang dan Lanna Kulape. Sedangkan bagian utara adalah Sappa Siring.

Hasil survei menunjukan bahwa setiap responden hanya menggunakan kail dan pancing dalam menangkap ikan baik di area sekitar pemukiman maupun area yang lebih jauh dari pemukiman. Hanya saja tidak sedikit dari komunitas Kabalutan yang masih mengupayakan penggunaan bom dalam menangkap ikan.

Berdasarkan survei yang dilakukan hampir 26.32 % dari nelayan Kabalutan yang menggunakan bom dan potas. Informasi ini juga dikuatkan dengan dari beberapa hasil wawancara mendalam yang menyebutkan praktek pemboman masih berlangsung di Kabalutan secara sembunyi dan sangat hati-hati. Walaupun dari segi kuantitas dibandingkan periode 1990an, saat ini praktek pemboman di Kabalutan telah berkurang. Berdasarkan survei lapang khususnya di Silalang Malalang, terlihat patahan karang yang diakibatkan oleh pemboman, selain itu seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa berdasarkan laporan Balai Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukan bahwa di Selatan Kabalutan khususnya ditemukan penggunaan potas yang masih baru yang menyebabkan kerusakan karang. Hal ini sejalan dengan survei mengenai jenis ikan dan area penangkapan, dimana lokasi Silalang Malalang banyak ditemukan ikan lolosi. Penggunaan bom biasanya dilakukan oleh nelayan Kabalutan untuk menangkap ikan Lolosi.

Tabel 12 Lokasi dominan penangkapan ikan sesuai jenis

No Jenis Ikan Lokasi % Nelayan

1 Lolosi Silalang malalang 43.33

2 Kerapu Sunu Lana korapu 58.62

3 Baracuda Toro Pasibatah, Sappa Aloang, Sappa Ruma 33.33

4 Kerapu lainnya Lana korapu 66.67

5 Katamba Sekitar pemukiman 100

6 Mubara Wa massing 62.5

7 Baronang Sekitar pemukiman 100

8 Lainnya Silalang malalang 33.33

Sumber : Data survei 2012

(20)

Gambar 13 Area Penangkapan Nelayan Kabalutan(Sumber: Data survei, 2012)

(21)

Gambar 14. Jenis alat tangkap nelayan Kabalutan(Sumber: Data Survei, 2012)

Gambar 15 Jenis ikan dan area penangkapan nelayan Kabalutan (Sumber: Data Survei, 2012)

Sementara itu untuk jenis ikan Kerapu banyak ditemukan di Lana Korapu yang letaknya di Barat Kabalutan lebih dekat dengan pemukiman jika dibandingkan dengan Selatan Kabalutan. Hampir 100 % nelayan menangkap ikan katamba pada area sekitar pemukiman yang biasanya lebih banyak dikonsumsi sendiri.

(22)

Pulau Kabalutan dihuni oleh mayoritas suku Bajau yang bergantung pada laut, sedangkan komunitas non bajau memiliki sumber penghidupan yang berasal dari pertanian, hanya sedikit komunitas asli Bajau yang memiliki kebun. Beberapa diantaranya adalah keluarga Bajau yang sudah melakukan perkawinan dengan non Bajau yang mengupayakan kebun cengkeh, biasanya pihak perempuan berasal dari komunitas Bajau dan yang laki-laki berasal dari komunitas diluar Bajau, contoh saja komunitas Buton, Bugis dan Saluan yang memang memiliki riwayat hidup berkebun.

Gambar 16 Persentase sumber pendapatan masyarakat Kabalutan (Sumber: Data Survei, 2012)

Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat 6 kategori sumber pendapatan dari komunitas di Kabalutan, yaitu yang hanya memiliki sumber pendapatan dari laut sebagai nelayan, dan bagi yang memiliki sumber pendapatan lainnya seperti kebun atau yang berasal dari jasa. Berdasarkan survei sumber pendapatan yang dilakukan, nelayan yang hanya bergantung pada laut lebih banyak berada pada kelas pendapatan < Rp. 100.000 yaitu sebesar 29 %. Komunitas nelayan yang tidak memiliki diversifikasi mata pencaharian menjadi lebih rentan dibandingkan dengan komunitas memiliki sumber pendapatan lainnya.

Dari seluruh paparan sebelumnya, dapat disarikan bahwa perubahan cara penangkapan oleh komunitas Bajau Kabalutan dari penggunaan alat tangkap tradisional menjadi penggunaan alat tangkap merusak (babius dan babom) terjadi

(23)

pada sekitar tahun 1990-an, saat perdagangan ikan hidup Napoleon yang bernilai sangat ekonomis diperkenalkan. Hal ini yang secara signifikan merubah tatanan kelola terhadap sumberdaya laut khususnya dampaknya terhadap terumbu karang.

Saat ini sebagian dari komunitas Kabalutan tetap menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan, hal ini dikuatkan oleh hasil survei terumbu karang oleh BTNKT 2011 yang menunjukan kerusakan terumbu karang akibat penggunaan potas. Sementara sebagian kecil dari mereka tetap melakukan penjualan ikan hidup dengan jenis ikan sunu. Berbeda dengan pola pemanfaatan pada kurun waktu 1990an, saat ini penangkapan ikan jenis Kerapu Sunu tidak menggunakan obat bius tetapi menggunakan cara tradisional yang ramah lingkungan yaitu missi.

Pada rantai penjualan komoditas ikan baik hidup jenis Napoleon atau Sunu, keuntungan terbesar tetap berada pada level pengumpul. Jika dibandingkan dengan komunitas lain yang ada di Kabalutan, komunitas Bajau merupakan komunitas yang paling rentan secara ekonomi, hal ini karena hanya bergantung pada laut sebagai satu-satunya sumber pendapatan, berbeda dengan komunitas non Bajau yang memiliki diversifikasi mata pencaharian yaitu dari hasil perkebunan (cengkeh, kelapa).

4.6. Upaya Rehabilitasi Karang dan Pemberdayaan Komunitas Kabalutan Introduksi beragam program konservasi terumbu karang atau inisiasi pengelolaan kawasan konservasi Kepulauan Togean telah banyak dilakukan, baik yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun NGO lingkungan nasional hingga trans-nasional. Beberapa adalah inisiasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Kabalutan dan Teluk Kilat pada tahun 2004, pembersihan lipan laut disekitar wilayah Desa Katupat oleh LSM Toloka pada tahun 2002 hingga program bantuan yang diberikan oleh Dinas Kelautan Kabupaten Tojo Una Una pada tahun 2011.

Diantara beragam inisiasi tersebut yang cukup lama melakukan pendampingan masyarakat khususnya di wilayah Kabalutan adalah pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) yang diinisiasi oleh NGO lingkungan internasional yakni Conservation International (CI). Dalam prakteknya, gagasan DPL dibentuk dan dirumuskan dalam bingkai besar community-based natural resource management (CBNRM).

(24)

Pada masa inisiasi pembentukan DPL yang berada di dua lokasi yaitu Teluk Kilat dan Kabalutan, Conservation International Indonesia (CII) bersama masyarakat telah melakukan kegiatan sebagai berikut:

1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha. Di teluk Kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembanato dan Matobiyai, yaitu di Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar 36,92 ha.

2. Inisiasi Pembuatan Peraturan Desa (PERDES) yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan di Teluk Kilat dan Kabalutan.

3. Penyediaan sarana penunjang, seperti papan peringatan, pelampung dan sabua (yang berfungsi sebagai pos penjagaan) di sekitar DPL.

4. Studi banding ke TN. Bunaken dan DPL berbasis masyarakat di Desa Blongko dan Tumbak, Sulawesi Utara serta pelatihan monitoring terumbu karang dan hutan bakau.

5. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi kondisi terumbu karang dan hutan mangrove.

6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una Una.

7. Kerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil (small grant).

Inisasi DPL Kabalutan pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2006 oleh CII, berhasil membangun kesepakatan bersama komunitas mengenai zonasi pemanfaatan yang termasuk didalamnya mengatur zona inti yang terletak di Sappa Toro Sidrawi yaitu perairan bagian Barat Pulau Kabalutan seluas 22 ha.

Kesepakatan ini berhasil menekan laju kerusakan terumbu karang dan berhasil meningkatkan kualitas tutupan karang hidup dan menekan laju penggunaan alat tangkap merusak khususnya di area dekat pemukiman yang dijadikan sebagai zona inti (Toro Sidrawi). Kondisi ini didukung juga oleh pengawasan dan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak.

(25)

Disisi lain, penerapan zona inti berdampak pada perubahan area tangkapan nelayan menjauh dari pemukiman yang berdekatan dengan lokasi zona inti DPL.

Sementara itu, pada lokasi lain yaitu di perairan Selatan Kabalutan yaitu Sappa Toro Pasibatang, Silalang Malalang, Sappa Ruma dan Sappa Buntar menunjukan trend kerusakan terumbu karang yang terus meningkat dalam kurun waktu 13 tahun terakhir (1998 – 2011). Hal ini menjadi catatan tersendiri, bahwa inisisasi DPL belum berhasil menekan laju degradasi secara menyeluruh. Dengan kata lain, penutupan akses pada area zona inti berdampak pada peningkatan kerusakan terumbu karang di tempat lain yang dalam hal ini adalah wilayah perairan di bagian Selatan Kabalutan.

Namun ketika penelitian ini berlangsung di Desa Kabalutan, zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha tidak lagi menjadi zona inti (no-take zone), karena hampir semua nelayan di Desa Kabalutan tidak memiliki pantangan untuk mengambil ikan di lokasi manapun baik di dalam maupun di luar wilayah DPL termasuk tetap menangkap di wilayah zona inti. Peraturan desa yang mengatur mengenai DPL dan pembagian zona pun hingga ini belum terlaksana.

Sewaktu inisiasi DPL memang ada penanda wilayah yaitu papan peringatan, pelampung dan sabua (yang berfungsi sebagai pos penjagaan) di sekitar DPL.

Hanya saja karena sudah cukup lama, semua fasilitas tersebut tidak ada dikarenakan proses pelapukan kayu.

Selain itu, program pemberdayaan juga diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan yang ditujukan agar masyarakat sama bisa melestarikan dan menjaga laut. Program yang turun tersebut berupa bantuan bibit dan perlengkapan budidaya rumput laut yang diberikan kepada kelompok nelayan. Selain bantuan berupa bibit dan perlengkapanan budidaya, juga dibangun gudang rumput laut yang diperuntukan untuk menampung hasil budidaya rumput laut. Beberapa waktu berjalannya bantuan ini, masyarakat mengeluh akan gagalnya program ini.

Pertama, disebabkan oleh penyakit yang terkena pada rumput laut, kedua, program ini dianggap tidak realistis karena jumlah bantuan bibit dirasakan sangat kurang, bantuan perlengkapan tidak sebanding dengan bibit yang diberikan.

Jumlah panen beberapa kelompok rumput laut di Kabalutan tidak sebanyak yang

(26)

diharapkan, sehingga gudang yang ada tidak pernah penuh dengan hasil panen rumput laut.

Program bantuan lainnya adalah bantuan kapal fiber 22 unit yang ditujukan kepada komunitas nelayan Kabalutan, yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Pemerintah Pusat yang penyalurannya diberikan melalui Dinas Perikanan. Selain kapal fiber, kelompok nelayan Kabalutan juga mendapatkan bantuan keramba 44 unit dan bagan apung fiber sebanyak 10 unit yang diperuntukan untuk budidaya. Selain itu, bantuan lain adalah satu banguan pos penjaga yang berfungsi sebagai lokasi pemantauan aktivitas penggunaan alat tangkap merusak. Di Kabalutan sendiri ada 4 petugas pengawas yang diberi honor Rp300.000,-/bulan oleh Dinas Perikanan. Program penjaga ini hanya ada dibeberapa pulau yang ditinggali oleh mayoritas nelayan bajau. Jika dibandingkan dengan desa lainnya, Desa Kabalutan mendapatkan porsi pengawas paling banyak, hal ini disebabkan oleh padatanya populasi penduduk di Kabalutan.

Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa aparatur desa dan nelayan, banyak bantuan yang diberikan dirasakan belum tepat sasaran bahkan boleh dikatakan tidak tepat. Kapal fiber yang diberikan pada kelompok sebanyak 22 unit tidak bermanfaat bagi nelayan dikarenakan kapal tersebut terlalu boros bensin, hampir tiga kali lipatnya jika dibandingkan dengan biaya operasional nelayan yang menggunakan katinting. Semua nelayan lebih memilih menggunakan katinting dibandingkan dengan perahu fiber bantuan, dan keramba fiber juga tidak dimanfaatkan oleh nelayan Kabalutan, karena tidak semuanya mampu menjadi penampung ikan hidup.

Pemerintah daerah Tojo Una-Una saat ini melarang penangkapan ikan untuk jenis Napoleon, hal ini merupakan salah satu respon terhadap degradasi terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap yang merusak. Selain itu, pelarangan penangkapan ikan Napoleon berawal dari “daftar merah” ikan yang terancam punah yang diikeluarkan oleh IUCN, Ikan Napoleon diketegorikan sebagai ikan yang memiliki produktivitas rendah dan beresiko tinggi terhadap kepunahan.

Spesies ini dimasukkan dalam daftar karena melihat kemerosotan jumlah di berbagai wilayah di dunia. Secara umum, peraturan mengenai perikanan di Indonesia diatur di dalam UU No. 9 tahun 1985. Keputusan Menteri Pertanian No.

(27)

375/Kpts/IK.250/5/1995 mengenai pelanggaran penangkapan Ikan Napoleon menyebutkan bahwa “(Pasal 1) ikan Napoleon dilarang untuk ditangkap, (Pasal 2) kecuali jika ada ijin dari menteri pertanian melalui Direktorat Jendral Perikanan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya, serta jika ditangkap oleh nelayan tradisional dengan menggunakan alat dan cara yang tidak merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya”. Keputusan Menteri Perdagangan No.

94/Kp/V/1995 mengenai Pelarangan Ekspor Ikan Napoleon menyatakan dilarangnya ekspor ikan Napoleon dalam keadaan hidup atau mati, maupun bagian - bagian dari ikan tersebut (Dhafir 2011).

Pelarangan ikan Napoleon di Kabupaten Tojo Una Una mampu menekan laju kerusakan ikan akibat penggunaan obat bius sianida. Walaupun pada kenyataannya, saat penelitian ini berlangsung, di Kabalutan sendiri masih ada pengumpul yang menyimpang ikan Napoleon dalam jumlah yang banyak di kerambanya, dengan alasan sebagai koleksi di keramba. Fenomena ini menunjukan bahwa pada tataran lokal, penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Penulis mengalami kesulitan dalam menggali informasi mengenai penangkapan ikan Napoleon dan khususnya informasi mengenai praktek pengemboman. Faktor penerapan sanksi hukum dari aparatur merupakan alasan utamanya.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari paparan diatas adalah baik upaya rehabilitasi dan program pemberdayaan yang dilakukan baik dari pemerintah maupun organisasi pemerintah mampu mengurangi tingkat penggunaan alat tangkap yang merusak pada areal yang lokasinya dekat dengan pemukiman tetapi belum mampu menghentikan praktek penggunaan alat tangkap yang merusak pada areal yang jauh dari pemukiman. Hal ini disebabkan oleh : pertama, areal dekat pemukiman pernah dijadikan zona inti DPL dimana CII menjadi salah satu penggeraknya pada kurun waktu 2005 hingga 2006 dan kedua : adalah areal dekat pemukiman masih terjangkau dari tim pengawas yang tinggal di pemukiman. Sementara itu, pada lokasi terumbu karang yang lainnya yaitu Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan laju kerusakan terumbu karang karena masih adanya penggunaan alat tangkap yang merusak.

(28)

4.7. Analisis Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kepulauan Togean

4.7.1. Sejarah Kebijakan

Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Poso, tepatnya pada tahun 2003. Di bawah wilayah administrasi kabupaten Poso, Kepulauan Togean telah diajukan sebagai taman wisata laut berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah melalui Dinas Kehutanan.

Wilayah Togean sejak sejak dahulu hingga sekarang memang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara, walaupun aktivitas wisata tersebut sempat terhenti karena kerusuhan panjang yang terjadi di wilayah Poso. Oleh karena potensi Togean yang kaya akan keindahan terumbu karang, maka orientasi pengelolaan berfokus pada pengembangan wisata laut baik yang dikelola oleh warga lokal maupun warga asing.

Berdasarkan dokumentasi Conservation International Indonesia (CII), pada tahun 2004, Menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No. 418/Menhut/04 menunjuk kawasan Togean menjadi Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) seluas 362.605 ha yang meliputi ± 10.659 (sepuluh ribu enam ratus lima puluh sembilan) hektar hutan lindung, hutan produksi terbatas seluas ± 193 (seratus sembilan puluh tiga) hektar, hutan produksi tetap seluas ± 11.759 (sebelas ribu tujuh ratus lima puluh sembilan) hektar, hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ± 3.221 (tiga ribu dua ratus dua puluh satu) hektar dan perairan laut seluas

± 336.773 (tiga ratus tiga puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh tiga) hektar.

Pada tahun 1989 Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 10.000 ha kawasan laut kepulauan Togean untuk ditetapkan sebagai taman wisata laut. Antara tahun 1989 hingga 1993, Kementrian Lingkungan Hidup maupun Bapenas telah mengusulkan sebagian wilayah Kepulauan Togean sebagai kawasan konservasi dengan status bervariasi, seperti Suaka Margasatwa, Cagar Alam Laut, atau Cagar Alam Multiguna.

Setelah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan Togean sebagai kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional, Gubernur Sulawesi Tengah kembali menyurati Menteri Kehutanan agar wilayah Kepulauan

(29)

Togean seluas 411,373 ha dijadikan taman wisata laut. Surat Gubernur ini pun didukung oleh Bupati Tojo Una Una. Enam bulan kemudian, Kementrian Kehutanan mengirim Tim Terpadu untuk melakukan kajian dan verfikasi lapangan ke Kepulauan Togean. Rekomendasi tim terpadu adalah; 1) luasan seluas 411.373 hektar secara teknis maupun administrasi pengelolaan kawasan akan lebih efektif bila ditingkatkan statusnya sebagai taman nasional, 2) memperhatikan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, maka pengelolaan kawasan kepulauan Togean akan lebih optimal bila diwadahi oleh status taman nasional, 3) taman nasional memungkinkan adanya pembentukan zonasi-zonasi yang lebih jelas dan sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sehingga mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat, baik tentang perlunya status hukum maupun pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan kepulauan Togean yang berkelanjutan, 4) taman nasional secara kelembagaan memiliki landasan hukum yang jelas dan memiliki manajemen pengelolaan tersendiri sehingga lebih efektif mencegah pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip- prinsip konservasi, 5) status taman nasional akan lebih mampu melindungi ekosistem Kepulauan Togean dari kekhawatiran dari dampak negatif terhadap lingkungan secara luas akibat rencana pengembangan kawasan teluk Tomini sebagai pusat pengembangan ekonomi berbasis sektor kelautan.

Dengan mempertimbangkan masukan dari tim terpadu tersebut, Gubernur Sulawesi Tengah kembali mengirimkan surat yang mengubah usulan status Kepulauan Togean dari Taman Wisata Alam Menjadi Taman Nasional. Usulan Gubernur pun disetujui Menteri Kehutanan yang akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan No.418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan wilayah perairan dan hutan di Kepulauan Togean seluas 362.605 hektar sebagai Taman Nasional.

Conservation International Indonesia (CII) adalah salah satu lembaga yang diminta untuk memfasilitasi proses pembentukan Taman Nasional ini. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah telah mengirim surat khusus No 522/30.01/PGTH tanggal 19 Mei 2004 kepada CII palu untuk meminta dukungan data dan informasi biodiversitas dan sosial ekonomi yang dibutuhkan sebagai dasar pembentukan Taman Nasional ini. Dalam prosesnya selanjutnya, BKSDA

(30)

juga terlibat dalam peroses pengusulan ini. CII juga telah melakukan konsultasi dengan beberapa NGO di Palu.

Pada level pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una saat ini menolak keberadaan taman nasional di wilayahnya. Secara resmi Bupati Tojo Una-Una mengirimkan surat meminta BKSDA untuk menghentikan aktivitas yang dilakukan antara lain sosialisasi program dan kegiatan lain. Pemerintah daerah lebih memilih menjadikan Kepulauan Togean sebagai taman wisata laut dan bukan taman nasional, walaupun sempat Bupati pada bulan Mei tahun 2006 memberikan surat rekomendasi terhadap pengukuhan taman nasional. Selain itu, pada tataran dasar hukum atau landasan kebijakan wilayah Tojo Una-Una, pemerintah daerah saat ini masih berpegang dengan dasar hukum Peraturan Pemerintahan RI Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dalam lampiran VII Nomor urut 324 Peraturan Pemerintah RI yang berisikan mengenai, Kepulauan Togean dan Pulau Batudaka ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut.

Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una melalui Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah mengusulkan kepada pemerintah pusat bahwa dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dan kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Dengan dasar ini Pemerintah Daerah mengusulkan pencabutan status Taman Nasional dan disesuaikan dengan peraturan tersebut yang menyebutkan bahwa status kepulauan Togean merupakan Taman Wisata Laut. Dengan dasar hukum ini, Pemda Tojo Una-Una sudah membuat peta perubahan tata batas dan fungsi hutan yang baru, karena pasca pemekaran Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una belum memiliki peta batas yang baru.

Peta usulan tata ruang kawasan hutan dan Tabel data perubahannya tercantum pada Tabel 13.

Pada peta tersebut menunjukan bahwa perubahan terbesar yang diajukan oleh Dinas Kehutanan adalah untuk jenis Non Kawasan Hutan sebesar 61.83 % yaitu dari luasan awal sebesar 179.833,52 ha menjadi 291.023 ha. Pengajuan

(31)

perubahan yang diajukan oleh Dinas Kehutanan terkait dengan fungsi kawasan kehutanan dikarenakan Tojo Una-Una belum memiliki RTRW sendiri pasca mekar dari kabupaten Tojo Una-Una. Perubahan fungsi kawasan ini menggunakan dasar Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRWN. Sejauh ini areal didominasi dengan kebun rakyat serta pemukiman sejak tahun 1918. Tumpang tindih peraturan menyebabkan sulitnya menyelesaikan proses perubahan ini.

Tabel 13 Pengajuan perubahan kawasan hutan Kabupaten Tojo Una-Una

No Fungsi Kondisi awal

(ha) Usulan (ha) Selisih (ha) 1. Kawasan Hutan Lindung

a. Kawasan suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam

11.571, 25 10.683 888,25

b. Hutan Lindung 165.097, 60 130.406 34.691,60

Total 176.668, 85 141.089 35.579,85

2. Kawasan Budidaya Kawasan Hutan

a. Hutan Produksi Terbatas 137.295,87 104.717 32.578,87

b. Hutan Produksi Tetap 60.427, 14 35.786 24.641,14

c. Hutan Produksi Yang Dapat dikonversi

18.389, 62 - 18.389,62

Total 216.112, 63 140.503 75.609.63

Non Kawasan Hutan

a. Areal Penggunaan Lahan Lain 179.833, 52 291.023 -111.189,48

Total Seluruhnya 572.615 572,615 -

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Tojo Una-Una

Riwayat kebijakan yang dihasilkan oleh para pemangku kebijakan terkait dengan pengelolaan Kepulauan Togean yang disusun secara kronologi dapat dilihat pada Gambar 17. Untuk pemetaan aktor dan pendekatan pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean bisa dilihat dalam Tabel 13.

4.7.2. Analisis Kebijakan Sumberdaya di Kepulauan Togean

Dalam kepengurusan sumberdaya di Kepulauan Togean, pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Kehutanan masih memiliki kewenangan yang kuat terhadap pengelolaan sumberdaya di Togean melalui Taman Nasional melalui SK Menhut No 418 Tahun 2004. Sementara itu, pemerintah daerah Tojo Una-Una masih memegang kuat dasar hukum Undang – Undang No 26 tahun 2006 yang mengatur bahwa penyelengaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan,

(32)

Gambar 17 Sejarah kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean

(33)

Tabel 14 Matriks status kawasan Kepulauan Togean

No Variabel

Status Kawasan

Taman Wisata Laut Cagar Alam Laut Cagar Alam Multi Guna

Kawasan Ekowisata Bahari

Unggulan Nasional

Taman Nasional

1 Dasar

hukum/ketetapan

Surat usulan Gubernur kepada Menteri Kehutanan 556/38/Dishut/GST Mengusulkan Taman Wisata Alam Laut (ekowisata) Kepulauan Togean seluas 411.373 Ha;

Laporan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Usulan Cagar Alam laut : 100.000 ha

Bappenas dalam

Biodervesity Action Plan

Perencanaan Kawasan Ekowisata

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990

SK. Gubernur 503/3931/Dinhut/89 : Kepulauan Togean dinyatakan sebagai Taman Wisata Laut; seluas 100.000 ha

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 SK. Menhut 188.44/0840/Dephut/89

Menetapkan Kawasan Taman Wisata Laut seluas 100.000 ha;

Surat Keputusan No.

418/Menhut/04 Perpres No 88 tahun 2011 Rencana

Tata Ruang Pulau Sulawesi yang menyatakan bahwa Kepulauan Togean dan Batudaka Sebagai Taman Wisata

2 Lembaga

Penginisiasi Propinsi Sulawesi tengah Menteri Kependudukan

dan Lingkungan Bappenas

Menteri

Kebudayaan dan Pariwisata

Kementrian

Kehutanan/Pengelola Balai Taman Nasional. dan Conservation International (CI)

3 Pendekatan Co Management Goverment Based

Management Co Management Co Management Goverment Based

Management 4 Sumberdaya yg

diatur

Sumber Hayati Laut : Terumbu Karang Endemik,

Tumbuhan, satwa dan ekosistem laut

Tumbuhan, satwa dan ekosistem

Sumberdaya Hayati laut : Terumbu Karang

Sumberdaya Laut dan Hutan baik tumbuhan maupun satwa

5 Pola akses warga Terbatas secara tidak ketat Terbatas Terbatas Terbuka Terbatas secara ketat

Sumber: Hasil Analisis (2012)

(34)

pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dan kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kawasan strategis yang dimaksudkan adalah Taman Wisata Laut yang telah di tetapkan melalui Perpres No 88 Tahun 2011.

Kedua belah pihak, baik Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tojo Una Una merasa memiliki hak terhadap pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean, hal ini yang memicu konflik diantara mereka dan menyebabkan tumpang tindih kebijakan yang berimplikasi pada terjadinya dualisme pengelolaan antara pusat dan daerah. Kebijakan taman nasional menempati posisi level paling tinggi dalam hierarki kawasan konservasi yang berimplikasi pada terbatasnya kawasan hutan yang dapat diakses untuk kegiatan non konservasi. Hal ini yang menjadi salah satu alasan penolakan Kabupaten Tojo Una Una, berdasarkan peta pengajuan perubahan kawasan dan peta rencana tata ruang kabupaten menunjukan bahwa pemerintah daerah fokus pada pengajuan perubahan wilayah hutan menjadi non kawasan hutan yaitu areal penggunaan lain. Dalam peta rencata tata ruang yang disiapkan, APL akan digunakan salah satunya untuk lokasi tambang mineral serta pemanfaatan lainnya yang bisa menghasilkan pendapatan untuk daerah. Oleh karenanya pemerintah daerah menolak insiasi taman nasional yang akan mengurangi luasan kawasan non hutan atau APL yang bisa berimplikasi pada pengurangan pendapatan daerah.

Pengelolaan taman nasional berada dalam kewenangan Kementrian Kehutanan. Hal ini merujuk pada kebijakan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati. Melalui undang-undang ini pemerintah pusat berwenang menetapkan kawasan konservasi yang meliputi taman nasional, taman hutan serta taman wisata alam. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah No 68 tahun 1998 tentang kawasan suaka margasatwa dan konservasi. Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kriteria penetapan kawasan taman nasional, seperti kecukupan ukuran untuk proses ekologis, keunikan sumberdaya alamnya, keaslian ekosistem, potensi wisata bahari, dan kemungkinan zonasi (Satria 2009). Sebagai pelaksana teknis di lapang, Kementrian Kehutanan membetuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Disisi lain, konteks munculnya wacana taman nasional di Kepulauan

(35)

Togean pertama kali diinisiasi oleh tim terpadu yang didominasi oleh lembaga NGO Conservation International Indonesia (CII) yang memiliki latar belakang konservasi. Hasil rekomendasi tim terpadu ini lah yang menjadi titik balik perubahan kebijakan pengelolaan Kepulauan Togean dari taman wisata menjadi taman nasional.

Sementara itu, berdasarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengelola sumber daya di wilayah laut (Pasal 18), dijelaskan bahwa Pemerintah Propinsi berwenang hingga wilayah 12 mil dan sepertiganya adalah kewenangan pemerintah kota/kabupaten.

Kewenangan tersebut mencakup 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, 2) pengaturan administrasi, 3) pengaturan tata ruang dan 4) penegakan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dijelaskan bahwa kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi sumber daya mineral dan pariwisata merupakan urusan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota. Tetapi dengan adanya Undang Undang No 32 tahun 2004 serta PP No 38 Tahun 2007, kebijakan mengenai konservasi masih belum bisa dikelola oleh pemerintah daerah. Tumpang tindih peraturan tersebut yang berkontribusi terhadap belum sinkronnya peraturan yang berdampak pada pengelolaan di level daerah.

Pada masa sentralisasi atau masa orde baru, peraturan dan perundang- undangan pengelolaan sumberdaya alam berlandaskan pada keutamaan kewenangan terpusat pada penyelanggara negara, sebagai pengatur atas kepentingan nasional. Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa ini masih bias darat, sedangkan pembangunan ekonomi yang berbasiskan pengembangan kepulauan dan laut belum terkelola. Disisi lain, pengelolaan sumberdaya laut pada masa ini masih menggunakan pendekatan antroposentrisme yaitu pendekatan yang berpusat pada manusia sehingga pengelolaan sumberdaya berfokus pada eksploitasi besar-besaran seperti penambangan pasir, reklamasi pantai, pengoperasian pukat harimau, kapal ikan asing atau penetapan sebagai wilayah konservasi oleh pusat.

Gambar

Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 8 Kalender musim nelayan Kabalutan (Wawancara, 2012)
Gambar 9 Persentase tutupan karang hidup, karang mati, alga, abiotik dan biota lainnya di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan tahun 2010 dan 2011 (Sumber:
Gambar 10 Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan, 1998-2011 (Sumber: BTNKT 1998,2008,2010,2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran menulis ilmiah dengan metode PRAM (Produksi, Retensi, Atensi, Motivasi) mengacu pada silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) matakuliah Menulis Ilmiah

Tujuan dan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh latihan Kekuatan dan kelentukan otot punggung terhadap penurunan tingkat nyeri punggung bawah pada lansia di

Bentuk kebutuhan pengembangan pela- tihan kompetensi profesional melalui penulisan jurnal PTK yang dibutuhkan kelompok kerja gu- ru guru Sekolah Dasar di Kabupaten

Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh interaksi suhu dan lama pengeringan terhadap kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku

Komunikasi inovasi adalah merupa- kan suatu proses dimana ide-ide baru dapat disampaikan dari sumber ke penerima. Inovasi dapat diwujudkan melalui program- program pemerintah

bahwa dalam upaya mencegah terulangnya tragedi nasional tersebut setiap tahun diadakan kegiatan Upacara Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan Terhadap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apabila nasabah bank mempunyai niat untuk menggunakan pelayanan electronic banking yang diberikan oleh pihak perbankan maka nasabah bank

• pilih tipe model (L, LI, QI, Q) yang digunakan dan order r Step 2 • pilih himpunan variabel prediktor yang membuat persamaan regresi VPM paling optimum untuk prediksi Step 3