• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASIMILASI NILAI KEKELUARGAAN LINTAS ETNIS : Studi Analisis Tentang Transformasi Nilai Kekeluargaan Dayak, Melayu, dan Transmigran Jawa Timur di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ASIMILASI NILAI KEKELUARGAAN LINTAS ETNIS : Studi Analisis Tentang Transformasi Nilai Kekeluargaan Dayak, Melayu, dan Transmigran Jawa Timur di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

x

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRACT ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

A. Teori-Teori Asimilasi ... 27

1. Pengertian Asimilasi ... 27

2. Syarat-Syarat Asimilasi ... 39

3. Faktor Pendorong dan Penghambat Asimilasi... 40

B. Nilai-Nilai Kekeluargaan ... 42

1. Nilai Moral dan Norma ... 47

2. Pengertian Kekeluargaan ... 47

3. Perkawinan Campur/amalgamasi ... 48

4. Kerangka Konsep ... 81

(2)

xi

D. Hubungan Pendidikan Umum dengan Nilai Kekeluargaan ..103

1. Pengertian Pendidikan Umum ...103

2. Tujuan Pendidikan Umum ... 105

3. Cakupan Pendidikan Umum ... 107

4. Pendidikan Umum dan Asimilasi Nilai Kekeluargaan .... 109

BAB III. METODE PENELITIAN ... 112

A. Desain Lokasi dan Subyek Penelitian ………... 112

1. Desain Penelitian ………... 112

2. Lokasi Penelitian ………... 113

3. Suyek Penelitian ... ... 114

B. Definisi Operasional ... 119

C. Instrumen Penelitian ... 120

D. Proses Pengembangan Instrumen ... 121

1. Pengembangan Panduan Wawancara ... 121

2. Pengembangan Panduan Observasi ... 123

3. Pengembangan Teknik Dokumentasi ... 124

E. Teknik Pengumpulan Data ... 126

F. Pendekatan Yang Digunakan ... 128

G. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 130

1. Pengumpulan Data ……….... 133

2. Reduksi Data ……….. 133

(3)

xii

4. Verifikasi Data ………... 134

BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 139

A. Pengolahan dan Analisis Data ... 139

1. Gambaran Umum Wilayah ……… 139

2. Keadaan Desa Rasau Jaya ………... 140

3. Deskripsi Data Penelitian ……….. 144

B. Deskripsi Asimilasi Nilai Kekeluargaan ... 152

1. Deskripsi Tingkatan Asmilasi ... 152

2. Nilai-Nilai Kekeluargaan ... 155

3. Kendala-Kendala Asimilasi Nilai Kekeluargaan Lintas Etnik ... 176

4. Upaya Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat ……… 184

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 188

1. Tingkatan Asimilasi Lintas Etnik ………... 188

2. Asimilasi Nilai Kekeluargaan ……….. 211

3. Temuan Penelitian dan Pengembangan ... 238

4. Keterbatasan Penelitian ... 256

BAB. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 258

4. Data Populasi dan Sampel Asimilasi ...287

4. SK Promotor Disertasi ... 290

5. Surat Izin Penelitian ... 292

(4)

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1.1. Situasi sosial menurut Spradley ………

25

2. Gambar 2.2. Model teoritik asimilasi Peter Blau ………..

82

3. Gambar 3.3. Triangulási alat pengumpul data ………...

123

4. Gambar 4.3. Interaksi model analisis data Huberman...

128

5. Gambar 5.3. Triangulasi credibality Wiliam Wiersma...

125

6. Gambar 4.5. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

236

7. Gambar 4.6. Model empirik hasil penelitian ...

238

8. Gambar 4.7. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

241

9. Gambar 4.8. Model empirik hasil penelitian Dayak-Jawa

243

10. Gambar 4.9. Model teoritik asimilasi Peter Blau ...

246

(5)

xiv

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 1.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 79

2. Bagan 2.2. Kerangka Acuan Kegiatan Penelitian ... 80

(6)

xv

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1.1. Jumlah warga Rasau Jaya yang berasimilasi …

5

2. Tabel 4.2. Luas wilayah Rasau Jaya ...

137

3. Tabel 4.3. Partisipasi Pendidikan ………..

138

4. Tabel 4.4. Komposisi etnik Rasau Jaya ……….

139

5. Tabel 4.5. Tingkatan asimilasi lintas etnis ………..

255

(7)

xvi

DAFTAR TABEL

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses asimilasi nilai kekeluargaan dalam masyarakat multikultur seperti yang ada dan hidup di berbagai daerah di Indonesia, mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Rasau Jaya sebagai desa transmigran dari Jawa Timur sejak dibukanya pada tahun 1973 sampai saat ini belum pernah terjadi konflik kekerasan. Dengan kata lain desa ini mampu menjaga dinamika sosial yang akhir akhir ini sering mengalami fragmentasi antar kelompok maupun antar etnik. Beberapa hal lain yang patut dicatat di sini adalah desa tersebut kini mengalami perubahan yang signifikan terutama dalam hal berdirinya berbagai lembaga pemerintahan, pendidikan dan sosial dan keagamaan di samping adanya pembangunan fisik desa yang telah mengalami perubahan secara sangat berarti (Monografi Desa, 2010).

Masyarakat modern saat ini dibangun dengan prinsip-prinsip rasionalitas, individualitas dan progresivitas, agar mereka menjadi manusia yang kompetitif. Dengan demikian mereka harus meninggalkan nilai-nilai spiritualitas, komunalitas dan harmoni, karena masyarakat modern sangat mengandalkan kompetisi terhadap siapapun, sehingga manusia satu dengan yang lain ibarat serigala dengan serigala homo homini lupus (Thomas Hobbes, dalam Suryadipura, 1994), atau mereka

(9)

Ketika seseorang memasuki pendidikan formal, maka ia mulai diajarkan menjadi manusia individual dengan diperkenalkan bahwa ada tipe-tipe masyarakat yaitu masyarakat paguyuban dan masyarakat patembayan. Paguyuban dianggap perkumpulan yang hanya mengandalkan nilai-nilai emosional, dan kekerabatan. Masyarakat patembayan diangap manusia rasional yang berkumpul berdasarkan kepentingan tertentu. Perkumpulan ini tidak didasari atas rasa emosi, cinta kasih, tetapi atas dasar kepentingan dan fungsi-fungsi yang sangat rasional. Hal ini dianggap sebagai bentuk komunitas terbaik.

Akibatnya nilai kekeluargaan, yang terjadi berdasarkan ikatan cinta kasih, saling percaya, gotong royong semakin hari semakin menipis, ditiadakan, sehingga falsafah Jawa yang menunjukkan tingginya komitmen sosial seperti yang diungkapkan dalam kata hikmah” mangan ora mangan ngumpul”, yang merupakan nilai komitmen dan perjuangan yang tidak kenal menyerah. Padahal kata-kata itu merupakan terjemahan dari hikmah kenabian bahwa al-muslimu lil muslimi kabunyaanin waahidin (masyarakat muslim itu seperti sebuah bangunan)

saling menopang, saling merasakan suka duka ditanggung dan dihadapi bersama. Dari sini ukhuwah islamiyah dan solidaritas sosial terbangun. Tetapi hal ini, oleh keilmuan modern disalah pahami sebagai paham organisme yang berdasarkan pada Darwinisme sosial. Bukankah hal ini merupakan nilai kekeluargaan, nilai-nilai komunal tempat bersemayamnya solidaritas dan cinta kasih antara manusia.

(10)

keagamaan yang dipakai sebagai sebuah ukuran atau sebuah tongkat pengukur yang paling mendasar untuk mengetahui jarak sosial di antara kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat, dan dengan menggunakan alasan-alasan yang rasional. Tidak hanya sebatas itu, apakah perkawinan antar etnik juga merupakan sebuah simbol dari suatu proses sosial yang menunjukkan adanya sesuatu yang mewakili penerimaan dari luar ke dalam kelompok yang lebih intim dan suci daripada suatu tempat bekerja atau lingkungan tempat tinggal dari sebuah masyarakat. Tetapi pernikahan itu sendiri adalah lembaga sosial yang unik dan mempunyai sanksi hukum untuk prokreasi dan kemampuan untuk beranak (childbearing). Karena identitas ras dan etnis dan perbedaan yang diciptakan kembali dan direproduksi atau ditemukan kembali dalam proses melahirkan anak. Kehadiran pasangan yang kawin bisa mewakili tantangan yang unik tentang batas sosial antara kelompok orang tua dengan kelompok sosial yang lain. Sedangkan tidak adanya perkawinan antara dua kelompok etnik dapat mewakili dan mereproduksi adanya penghalang/jarak sosial di antara kelompok yang ada. Menurut Gordon (1968: 80) tentang asimilasi klasik dalam kehidupan masyarakat Amerika, ia berpendapat bahwa :

“ ketika sebuah grup baru mulai untuk menikahi sepenuhnya dan bebas dengan kelompok sosial dominan yang asli, maka semua bentuk asimilasi sosial budaya akan selalu mengikuti. Akhirnya, lamanya suatu perpecahan antar etnis dan kelompok sosial di antara kelompok akan secara berangsur menghilang “.

(11)

Jerman) masih menunjukkan kecenderungan untuk menikah secara endogami. Dalam sensus tahun 1990 kemungkinan menikahi seorang Jerman dengan pria Amerika masih sekitar 4 kali lebih tinggi Amerika Jerman untuk perempuan, daripada perempuan dari kelompok lain. Meskipun Gordon, (1968), (Park dan Burgess, 1921, sebelum dia), secara tidak langsung menyatakan bahwa asimilasi perkawinan akan menghapus batas-batas sosial tentang asal-usul kebangsaan. Dalam praktek di lapangan banyak batas-batas sosial ini tidak pernah tampak secara lengkap.

Berbeda dengan fenomena lain yang dapat dicermati pada berbagai daerah akhir-akhir ini, misalnya dengan munculnya berbagai konflik intra dan antar kelompok etnik dan agama yang berbeda-beda di berbagai daerah, merupakan satu di antara indikator yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa nilai-nilai kekeluargaan belum mengakar, tumbuh dan berkembang secara luas. Kondisi nilai-nilai kekeluargaan tersebut di atas secara umum masih mengalami hambatan atau kendala-kendala untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

(12)

Sepauk Sintang (1998). Kejadian ini tidak dipublikasi (pengamatan penulis pada saat penelitian di daerah tersebut ).

Munculnya konflik-konflik tersebut secara garis besar ditengarai disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: interaksi sosial lintas etnik yang kurang harmoni, terbatasnya sumber-sumber ekonomi di suatu daerah, kurangnya pemahaman anggota masyarakat terhadap budaya antar etnik, dan kurang mampunya masing-masing anggota masyarakat untuk berkompetisi secara sehat dan masih adanya sekat-sekat hubungan lintas etnik sehingga dapat menghambat proses asimilasi di antara anggota masyarakat. Faktor-faktor ini pula yang diduga memiliki kontribusi yang signifikan, sehingga mampu menjadi penghambat terjadinya asimilasi lintas etnik yang ada di desa Rasau Jaya, sehingga hal itu belum berjalan optimal.

Berikut ini dipaparkan data keadaan jumlah penduduk dan jumlah warga yang melakukan asimilasi lintas etnik di desa Rasau Jaya, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

TABEL I.1.

KEADAAN JUMLAH PENDUDUK DAN WARGA YANG MELAKUKAN ASIMILASI LINTAS ETNIK DI DESA RASAU JAYA

No. Jenis Etnik Jumlah

(13)

1,007 %. Besaran angka ini adalah tergolong relatif masih kecil jika dibandingkan dengan lamanya proses permukiman warga trans yang sampai saat ini sudah 38 tahun lamanya.

Dengan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki sebagian masyarakat kita, dimungkinkan dapat diaktualisasikan berdasarkan ikatan cinta kasih, saling percaya, gotong royong, dan saling menghargai, sehingga filsafat Jawa yang menunjukkan tingginya komitmen sosial yang diungkapkan dalam kata hikmah” mangan ora mangan ngumpul”, yang merupakan nilai komitmen dan perjuangan

yang tidak kenal menyerah, justru dianggap sebagai kepasrahan. Padahal kata itu merupakan terjemahan dari hikmah kenabian bahwa al-muslimu lil muslimi ka bunyaanin waahidin, yang saling menopang, saling merasakan suka, dan duka

ditanggung dan dihadapi bersama.

Dari sini ukhuwah islamiyah dan solidaritas sosial terbangun. Tetapi hal ini, oleh keilmuan modern disalah pahami sebagai paham organisme yang berdasarkan pada Darwinisme sosial. Komitmen perjuangan ini, merupakan nilai kekeluargaan, nilai-nilai komunal tempat bersemayamnya solidaritas dan cinta kasih antara manusia yang perlu ditumbuh kembangkan dalam masyarakat plural seperti di daerah Kalimantan Barat.

(14)

telah menghancurkan bangunan harmoni sosial, kejahatan telah mewarnai seluruh aspek kehidupan yang dilakukan oleh dan terhadap siapa saja.

Dalam masyarakat individual yang atomistik, orang tidak lagi peduli pada yang lain, sehingga humanisme yang diharapkan membawa keluhuran budi telah mengarah pada dehumanisasi, karena terkalahkan oleh individualisme yang egois dan serakah. Sementara etika sosial hanya akan berjalan bila ada kontrol sosial. Hal ini bisa terjadi bila masyarakat yang bersangkutan hidup dalam satu komunitas dalam sistem kekeluargaan. Sedangkan kelompok seperti itu baru terbentuk bila terdiri dari keluarga-keluarga yang memiliki nilai kekeluargaan, ada intimasi, kehangatan dan kerja sama yang diikat oleh nilai kasih sayang.

Manusia modern menjadi teralienasi, kesepian, mengalami kesendirian karena berbagai kesibukan, sehingga mengabaikan keluarga sebagai tempat berlabuh, sebagai pembinaan pribadi sosial, dan pembudayaan makhluk alam dan sekaligus sebagai makhluk beragama.

Fenomena lain yang menyangkut nilai-nilai kekeluargaan di masyarakat Amerika dapat di cermati dari tulisan Khaula Shah (2010: 5-6), seperti berikut ini: “…In USA, now only 25% of children are living in conventional families

with bothbiological parents. Children suffer the greatest damage from broken homes. All stories are not tragic but when you look at the information as aggregate the case is over whelming. The number of fatherless children is constantly on a rise. In 1960 17.5% of children were living without their fathers. Despite the increase in medical technology and life expectancy, in 1990, 36.3% of children were living away from their fathers. David Blankenhorn calls this trend “Fatherless America” and “Fatherless society”. What is the cause of this growing trend which is predicted to rise to 50% in the early part of the 21st century? David Blankenhorn in his book

Fatherless America traces the origins of youth violence, domestic violence

(15)

my opinion, the phenomenon of broken families and fatherlessness is closely related to loss of value of chastity in the society.

Let us examine some other consequences of broken family system. Nathaniel Branden quotes, Robert Reasoner, former superintendent of a school district in California, in his book, Six pillars of self-esteem. “Over 50 percent of students have already seen a family change a separation, a divorce, or a remarriage; in many districts, by high school 68 percent are not living with their two original parents. Twenty-four percent are born out of wedlock and have never known a father. Twenty-four percent are born bearing the residual effects of their mother's abuse of drugs. In California, 25 percent will be either sexually or physically abused before they finish. high school. “… Where as in 1890, 90 percent of the children had grandparents living in the home, and in 1950 40 percent living in the home, today the figure is down to 7 percent; so there is far less of a support system. As to the emotional life of young people, consider these figures. Thirty to 50 percent will contemplate suicide. Fifteen percent will make a serious attempt to kill themselves. Forty-one percent drink heavily every two-three weeks. Ten percent of girls will become pregnant before they finish high school. Thirty percent of boys and girls will drop out of school by the age of eighteen (Khaula Shah, 2010: 5-6).

Di Amerika Serikat, sekarang hanya 25% dari anak-anak tinggal dalam keluarga dengan orang tua konvensional. Anak-anak menderita, kerusakan terbesar berasal dari keluarga berantakan. Semua cerita ini tidak tragis tetapi ketika anda melihat informasi sebagai agregat, kasus ini mencuat ke permukaan. Jumlah anak-anak yatim terus meningkat. Pada tahun 1960, 17,5% dari anak-anak hidup tanpa ayah mereka, meskipun ada peningkatan dalam teknologi kedokteran dan harapan hidup. Pada tahun 1990 tercatat 36,3% anak yang tinggal jauh dari nenek moyang mereka. David Blankenhorn menyebutnya tren "berayah Amerika" dan "masyarakat yatim". Apa penyebab dari kecenderungan yang diperkirakan meningkat menjadi 50% di bagian awal abad ke-21? David Blankenhorn dalam bukunya ”yatim Amerika” menelusuri asal-usul kekerasan remaja, kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, pelecehan seksual anak, kehamilan remaja dan banyak masalah kejiwaan pada remaja untuk keluarga rusak dan tidak berayah (fatherlessness).

(16)

SMA. "... Sedangkan pada tahun 1890, 90 persen dari anak-anak, kakek-nenek tinggal di rumah, dan tahun 1950 tersisa 40 persen tinggal di rumah, dari angka itu turun menjadi 7 persen, sehingga keadaan itu jauh lebih sedikit dari sistem pendukung. Seperti pada kehidupan emosional anak muda, menganggap angka-angka ini menggambarkan bahwa: tiga puluh (30) sampai lima puluh persen (50 %) persen akan bunuh diri. Lima belas persen (15%), akan melakukan perbuatan serius untuk bunuh diri. Empat puluh satu persen minum banyak setiap dua-tiga minggu. Sepuluh persen dari anak perempuan akan menjadi hamil sebelum mereka menyelesaikan sekolah tinggi. Tiga puluh persen anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada usia delapan belas tahun (Khaula Shah, 2010: 5-6).

Dengan kata lain nilai-nilai kesucian keluarga yang penuh dengan kasih sayang, kehangatan, harmoni, saling asah, asih, asuh, semakin hari semakin memprihatinkan. Hal ini jika tidak dilakukan upaya-upaya yang serius akan cenderung semakin meningkat dan berpengaruh terhadap pembangunan karakter suatu masyarakat. Keluarga harus berdiri di depan untuk memberikan keteladanan di berbagai aspek, baik nilai persatuan, nilai moral yang baik, musyawarah dan mufakat, kekerabatan dan solidaritas yang tinggi. Keluarga harus menjadi pilar utama pembangunan nilai-nilai yang luhur ini.

Itulah sebabnya agama menyerukan untuk menjadi diri, menjaga keluarga, tetapi jangan sampai mengabaikan tanggung jawab dan pergaulan sosial, dengan demikian berbagai kewajiban sosial menjadi beban dan tanggung jawab pada setiap muslim, untuk menjaga nilai kekeluargaan dan kolektifitas/kejamaahan. Memang Islam tidak berarti tanpa ada jamaah/pengikut dan hal itu akan kehilangan fungsi tanpa adanya pemimpin dan tokoh umat, yang kemungkinan hilangnya peran pimpinan kalau tidak ada kesetiaan dari anggota. Ini merupakan terjemahan operasional dari bunyanin wahid (bangunan tunggal).

(17)

kemanusiaan hanya akan terwujud dalam komunitas yang harmoni dan terintegrasi. Integrasi sosial selanjutnya akan terbentuk dari sistem nilai atau kosmologi yang ada di komunitas itu. Dengan adanya persatuan sosial itu akan terbentuk pula integrasi nasional. Maka pembangunan keluarga sebagai komunitas terkecil itu memiliki kaitan makro dengan pembangunan bangsa.

Keluarga yang harmoni akan membentuk masyarakat yang damai dan integratif. Kemasyarakatan yang bersatu ini akan mengejawantah dalam kebangsaan yang kokoh pula. Bangsa yang terintegrasi akan tangguh menghadapi situasi apapun, dan akan mampu membangun berbagai kemajuan, ketika masing-masing elemen saling menopang. Sementara bangsa lain tengah berusaha menghidupkan kembali nilai kekeluargaan sebagai sarana memperkuat persatuan nasional, maka sangat aneh kalau bangsa ini justru meninggalkan nilai-nilai kekeluargaan. Di sinilah pentingnya agama kembali mendesakkan nilai-nilai tersebut, sebagai sarana untuk mengatasi kekeringan dan kekacauan kehidupan modern.

(18)

Konflik antar etnik dapat dipahami di antaranya dengan mengenali identitas etnik. Identitas ini merupakan sebuah nilai sosial kemasyarakatan yang melekat pada para pendukung kebudayaan. Identitas etnik bersifat askriptif. Sesuatu yang bersifat turun temurun. Seseorang dapat dikenali identitasnya melalui tanda pengenalnya yang umum dan mendasar, berdasar tempat dan dari mana asal-usulnya (Barth, 1997: 13).

Tiap-tiap etnik memiliki nilai-nilai kekeluargaan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan bersama dari suatu kelompok yang telah diikat oleh tali perkawinan baik antar sesama etnik maupun lintas etnik. Dilihat dari fungsinya nilai-nilai tersebut adalah bersifat esensial universal dalam memaknai upaya manusia membangun kesinambungan dan kelangsungan hidupnya sebagai anggota warga masyarakat yang memiliki eksistensi dan kehangatan dalam menjalani hidup sehari-hari. nilai itu dapat juga disebut dengan original family values. Nilai-nilai ini dikatakan original karena merupakan Nilai-nilai-Nilai-nilai hakiki yang bersifat universal, ada dalam setiap keluarga etnik apapun, yang seharusnya ditumbuh kembangkan dan tetap lestari pada setiap kelompok etnik yang ada dimanapun mereka berada. Hal ini dimaknai sebagai suatu nilai-nilai yang mampu menjadi perekat proses integrasi sosial suatu kelompok (within group), dan juga antar kelompok masyarakat (between group) yang bersifat multikultur yang ada di persada tanah air kita ini.

(19)

1. Perasaan dan keinginan untuk bersatu atau berkumpul (sence of integrated) Persatuan diri dengan masyarakat, persatuannya “kawula lan gusti” lambang persatuan rakyat yang merdeka.

2. Nilai moral dan norma yang kuat/tertib dan damai, yang berdimensi budaya, agama, ilmu, hukum/politik.

3. Musyawarah dan mufakat (oriental democracy). 4. Kekerabatan (kinship).

5. Solidaritas (murah hati).

Nilai-nilai tersebut di atas bersifat laten dan potensial ada pada setiap manusia termasuk etnik manapun, baik etnik Dayak, Melayu dan juga Jawa Timur dan juga nilai –nilai tersebut menjadi unsur perekat yang kuat dan menjadi harapan sebuah keluarga yang berhasil dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan juga peluang untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Dayak sebagaimana masyarakat umum menyebut dan menulis, dalam disertasi ini peneliti gunakan sebagai sebutan pergaulan yang merupakan istilah kolektip untuk masyarakat asli Kalimantan. Hal tersebut telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnik ini, sebagaimana halnya terjadi pada kelompok etnik lain dan juga agama di berbagai daerah Indonesia. Gejala ini antara lain bersumber pada perbedaan etnis, agama dan bahasa. Perihal ini dinyatakan oleh Mauneti Yekti (2004:1-3) dalam sebuah buku berjudul Identitas Dayak. Ia menjelaskan bahwa kebungkaman yang panjang pada masa Pemerintahan Orde Baru terhadap isu suku, agama, dan ras akhirnya luluh lantak ketika konflik-konflik etnis, dan keagamaan menjadi makanan masyarakat sehari-hari di berbagai belahan tanah air Indonesia.

(20)

seorang bernama I-Tsing telah menyebut MO-LO-YOE- atau MO-LO-YOU (Bakran Suni, dkk, 2007: 13). Arti istilah Melayu cukup beragam, di antaranya Melayu berarti laju, cepat, deras, dan tangkas.

Darus Ahmad menyatakan arti kata Melayu bermakna pohon gaharu, yang harum baunya. Orang India menyebut tanah semenanjung Melayu sebagai Negeri Gaharu. Istilah Melayu digunakan untuk nama-nama suku yang tersebar di daerah tanah Melayu dan Sumatera (Md. Zain Haji Serudin, 1998: 81). Provencher mengatakan, kata Melayu berakar dari kata layu yang berarti layar, bisa juga diartikan layu/berkerut (shrivelled), atau disalai/diasapi/smoked ( Pabali, 2003: 9).

Melayu juga dapat disebut sebagai kelompok etnik asli ”indigeneous” Kalimantan. Melayu dan juga Dayak, merupakan “Proto-Malayo-Polinesia” (Andaya, 1998; Adelar, Blust, Nothofer dan Collin, 2000). Melayu artinya penduduk asli Kalimantan Barat yang bermigrasi ke Sumatra melalui Tambelan dan mereka kembali telah memeluk Islam dan bernama Melayu.

Masyarakat transmigran desa Rasau Jaya adalah warga pendatang yang berasal dari Jawa Timur (Surabaya, Bojonegoro, Lamongan, Jember dan Malang) yang telah bermukim sejak tahun 1973 dan berasimilasi di desa Rasau Jaya Kalimantan Barat. Warga desa Rasau Jaya, yang akan menjadi informan kunci adalah satu keluarga Dayak-Jawa Timur, satu keluarga Melayu-Jawa Timur, dan satu keluarga Dayak-Melayu.

(21)

Belanda. Mereka dapat dikelompokkan kedalam 3 jenis kelompok pendatang, yaitu transmigran: swakarsa berbantuan, swakarsa mandiri, dan penuh. Mereka pada umumnya yang direkrut dengan benar, asal usulnya adalah petani, atau memiliki jiwa wirausaha/enterpreneurship, memiliki etos kerja sebagai petani yang tangguh, dan relatif mampu beradaptasi dengan berbagai situasi kehidupan yang baru. Namun demikian, banyak di antara mereka yang tidak berhasil dan banyak juga di antara mereka yang menjadi tunawisma, karena sejak awal masa rekrutmen dipaksakan untuk memenuhi kuota suatu proyek berdasarkan jumlah warga yang harus diberangkatkan ke tempat wilayah permukiman transmigrasi yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada warga transmigran penuh dengan bantuan pemerintah.

Pemilihan subyek penelitian ini didasari pada anggapan bahwa mereka yang bermigrasi keluar dari daerahnya, sedikit banyak sudah memiliki bekal mental dan ketrampilan yang memadai sesuai potensi yang mereka miliki karena ada pelatihan khusus bagi calon warga trans. Sehingga kelak berbagai kemungkinan yang akan terjadi di permukiman yang baru, mereka akan hadapi dengan penuh pertimbangan yang matang dan lebih mantap.

(22)

menyatakan bahwa kerusuhan ini didukung oleh pihak militer (Mauneti, 2004:1-2).

Alasan yang lain karena bersifat ekonomis. Dengan alasan ini, para pakar melihat adanya kesenjangan antara sumber-sumber yang tersedia tidak seimbang dengan keadaan kebutuhan penduduk yang jumlahnya relatif lebih banyak.

Bagaimanapun isu tentang etnik dan agama merupakan isu-isu yang sensitif, yang dengan mudah dapat dimanipulasi, dan mudah dieksploitir untuk memicu reaksi-reaksi emosional dan kadangkala bersifat brutal serta meresahkan masyarakat. Dengan berbagai budaya kelompok masyarakakat yang ada di berbagai daerah/kabupaten di tanah air, khususnya desa Rasau Jaya kabupaten Kubu Raya, sejak pasca kemerdekaan setelah usai revolusi fisik tahun 1973 an, telah mengalami pasang surut dalam transformasi nilai-nilai sosial dan budaya, termasuk di dalamnya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan antara berbagai etnik yang terlihat belum berjalan secara optimal. Bagaimana hal ini dapat terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang berjalan dinamis dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, hal ini diperlukan pengkajian secara ilmiah.

(23)

perjuangan untuk saling percaya, saling mengerti identitas masing-masing sesuai nilai moral dan norma yang berlaku dan tetap berperilaku sesuai harapan masyarakat. Mereka dalam keadaan apapun, akan saling tergantung satu sama lain, saling membutuhkan, dan akan saling melengkapi.

Dalam setiap proses sosial seperti dikatakan oleh Park (1950) di sana akan melalui tahapan-tahapan dalam melakukan interaksi, yang mencakup kontak sosial/komunikasi, kompetisi, akomodasi dan akhirnya akan membangun asimilasi. Hubungan nilai-nilai kekeluargaan antara etnik Dayak, Melayu dan Jawa Timur, dalam membangun proses asimilasi lintas etnik di Kabupaten Kubu Raya menurut pengamatan penulis mengalami suatu dinamika, dan terlihat belum berjalan optimal.

Fenomena tersebut sama halnya dengan yang terjadi dalam hubungan antar berbagai etnik khususnya Dayak, Melayu dengan Etnik Madura yang telah mengalami berbagai gejolak, dan bahkan mengalami konflik berdarah di berbagai kecamatan dan kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat khususnya dan demikian halnya hubungan antara berbagai kelompok dan etnik di berbagai provinsi di Indonesia, dimana akhir-akhir ini menunjukkan gejolak yang memprihatinkan. Konflik yang terjadi cenderung bersifat horizontal dan bersifat internal. Untuk itulah proses asimilasi ini dianggap sebagai suatu terapi dari masalah krusial tentang nilai kekeluargaan untuk dapat dilakukan suatu pengkajian secara ilmiah dan mendalam dalam disertasi ini.

(24)

melalui hubungan sosial antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa Timur, bagaikan satu mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi yang satu yaitu nilai kekeluargaan masyarakat lokal, tidak akan berfungsi secara optimal manakala tidak dilengkapi oleh sisi mata uang yang lainnya yaitu nilai kekeluargaan budaya pendatang yaitu transmigran Jawa Timur. Demikian halnya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan akan semakin menguat dan mampu berkembang, manakala berbagai etnik yang hidup di desa Rasau Jaya Kubu Raya, dapat menjalani kehidupan sehari-hari dalam tatanan sosial-budaya yang beraneka ragam, dan bersifat “given”. Masing-masing individu etnik tinggal menjalani, namun sebagai manusia tetap memiliki nalar, dan kehidupan ini berlangsung dalam permukiman warga masyarakat yang relatif membaur antara satu dengan yang lain.

Kelompok warga Dayak dan Melayu sudah ada dan hidup jauh di masa lalu yaitu menurut catatan yang bisa dipercaya berabad-abad lamanya sebelum warga transmigran Jawa bermigrasi swakarsa datang ke Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Dalam literatur tentang Melayu dijelaskan bahwa nama Melayu berasal dari nama kerajaan Mo-lo-yue pada tahun 644 dan 645 Masehi ditulis dalam Kronik Dinasti Tang di Cina (Sinan, 2001: 2). Dengan demikian bagaimanakah terjadinya proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam masyarakat multikultur itu, merupakan pertanyaan yang menarik untuk dilakukan penelitian ilmiah untuk dapat menjelaskannya.

(25)

proses adaptasi sosial budaya tentang nilai-nilai kekeluargaan antara masyarakat lokal dan pendatang di desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat itu, menjadi suatu permukiman yang abadi dan menjadi tempat kehidupan, untuk meraih masa depan para transmigran Jawa Timur. Hanya yang Maha Penciptalah yang tahu pasti akan berakhirnya kehidupan ini. Proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dari bebagai macam latar etnik yang berbeda akan menghasilkan integrasi masyarakat, juga kompetisi antar kelompok dan kemungkinan munculnya konflik akan selalu ada dan akan dihadapi oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Keduanya dapat mengakibatkan hal-hal yang bermanfaat dan juga dapat mengakibatkan kehancuran.

Menurut para ahli, berbagai fenomena dan atau gejolak kehidupan umat manusia seperti yang dipaparkan di atas tidak bisa dipisahkan dari keberadaan nilai-nilai moral yang hidup dan berkembang di masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini mereka membagi nilai moral menjadi 2 kelompok, yaitu nilai-nilai nurani (values of being), dan nilai-nilai memberi/values of giving (Elmubarok, 2008: 7).

(26)

yang menguntungkan akibatnya. Larangan berbuat korupsi adalah lebih baik dibandingkan dengan tindakan melakukan korupsi.

Menurut Max Scheller, nilai-moral dalam kenyatannya ada yang tinggi dan ada yang lebih rendah (Rohmat Mulyana, 2004: 38-39). Untuk itu ia membuat hirarki nilai-moral sebagai berikut :

a. Nilai Kehormatan, berhubungan dengan sederetan nilai yang menyenangkan dan akibatnya orang merasa bahagia.

b. Nilai Kehidupan, menyangkut nilai-nilai yang penting bagi kehidupan. Misalnya, kesehatan, kesegaran badan, dan kesejahteraan umum, serta kekeluargaan.

c. Nilai Kejiwaan, pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.

d. Nilai kerohanian, pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci dan tidak suci (Rohmat,2004: 38-39).

(27)

Sebagian ahli beranggapan bahwa perbuatan baik dan atau buruk yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, yang berlangsung di suatu waktu dan tempat tertentu, selalu bersifat parsial (Konrad Kebung, 2008,72). Kaum Relatifisme nilai-moral memiliki pandangan, bahwa nilai-moral itu bersifat relatif, karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan), baik terkait secara sosial maupun pribadi (Loren Bagus, 2005,718). Ada pepatah yang sangat populer yang melegenda dalam masyarakat kita yaitu yang berbunyi lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ketika kita berbicara kebudayaan Timur, karena memang ada kebudayaan Barat. Hal yang demikian itulah yang mencerminkan tentang relatifisme moral yang ada di masyarakat, baik masyarakat lokal, nasional, regional maupun global (Bertens.K, 2001: 11).

Demikian halnya dengan berbagai etnik yang ada di lokasi transmigrasi, yang mencakup berbagai budaya, menghadapi fenomena kehidupan baru, nilai moral baru. Bagaimana nilai moral ini dipersepsikan oleh masing-masing individu dan juga kelompok para transmigran Jawa Timur dan penduduk lokal (Dayak dan Melayu), dalam berinteraksi satu dengan yang lain. Apakah mereka mampu beradaptasi satu dengan yang lain, dan bagaimana pada tahap lebih lanjut mereka mampu berasimilasi. Hal ini adalah sangat menarik perhatian untuk dikaji dan dilakukan suatu penelitian dalam desertasi ini.

Selanjutnya Berten. K. membuat klasifikasi kecenderungan perbuatan manusia menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

(28)

2) Perbuatan-perbuatan yang tidak layak dikerjakan; dan

3) Perbuatan-perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh tidak mengerjakan (Puspoprojo,1999: 21-22 ).

Dalam kaitan pandangan di atas nilai kekeluargaan termasuk ke dalam perbuatan-perbuatan yang selayaknya dikerjakan oleh siapapun termasuk warga lokal dan transmigran Jawa Timur, karena dengan perbuatan yang layak atau pantas untuk dilakukan maka masyarakat ini akan menjadi teratur, damai, dan sejahtera. Sebaliknya jika masyarakat lokal dan para transmigran melakukan hal-hal yang tidak layak, maka masyarakat akan resah, kacau dan mengalami malapetaka, dan kehancuran.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Dari uraian pada bagian latar belakang penelitian di atas, maka kajian ini di arahkan untuk menganalisis proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan yang terjadi antara etnik Dayak dengan Jawa, etnik Melayu dengan Jawa, dan Etnik Dayak dengan Melayu, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses asimilasi nilai kekeluargaan antara masyarakat Melayu-Jawa, Dayak-Jawa dan Dayak-Melayu di desa Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat.

2. Kendala apa sajakah yang muncul dalam proses asimilasi lintas etnik di desa Rasau Jaya ?

(29)

C. Tujuan Penelitian

1. Umum.

Merujuk pada perumusan fokus penelitian di bagian terdahulu maka tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan gagasan dan pengembangan teori tentang proses asimilasi nilai kekeluargaan antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa, di desa transmigran Rasau Jaya, Kubu Raya Kalimantan Barat.

2. Khusus.

Secara khusus tujuan penelitian ini diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan serta menganalisis secara sistematis proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik antara masyarakat Melayu, Dayak, dan Jawa, di desa transmigran Jawa Timur Rasau Jaya.

b. Mendiskripsikan dan menganalisis berbagai kendala dalam proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik di desa Rasau Jaya.

c. Mengeksplorasi secara mendalam tentang upaya kepala desa dan tokoh masyarakat untuk mengatasi hambatan proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik di desa Rasau Jaya.

D. Manfaat Penelitian

(30)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis kajian ini dapat mengembangkan gagasan, teori-teori dan pengembangan model proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, antara etnik Dayak, Melayu, dan Jawa di desa transmigran Jawa Timur, Rasau Jaya Kalimantan Barat.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis kajian ini dapat menjadi acuan para pengambil keputusan, dan para ilmuan, serta akademisi yang bergelut dengan asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia dan dunia intenasional yang bersifat multikultur. Dengan memahami berbagai unsur yang memberikan kontribusi dan yang menghambat terbentuknya asimilasi nilai kekeluargaan diharapkan dapat dilakukan sosialisasi yang efektif dan upaya-upaya lainnya oleh para penentu kebijakan yang saling terkait, baik di sekolah, keluarga dan masyarakat.

E. Metode Penelitian

(31)

berhubungan yang bersifat khas paradigma penelitian kualitatif (Bpgdan and Biclen, 1992; Mustafa dalam Alwasilah, 2008: 26; Iskandar, 2009: 17).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik langsung, yang diperoleh melalui berbagai instrumen penelitian yaitu menggunakan wawancara mendalam, pengamatan/observasi terstruktur dan dokumen–dokumen yang relevan. Data yang terkumpul akan dianalisis dan dideskripsikan serta dihubungkan antara gejala yang satu dengan yang lain.

F. Lokasi dan Sampel 1. Lokasi Penelitian

(32)

etnik antara Melayu-Jawa, Dayak-Jawa, dan Melayu-Dayak yang menjadi sumber data dalam kajian ini.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi Spradley menggunakan istilah “social situation” (Sugiyono, 2010: 300). Situasi sosial terdiri dari tiga elemen,

yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dapat berupa, keluarga di rumah dengan aktivitasnya, orang-orang yang sedang ngobrol di sudut jalan, di tempat kerja, di kota, desa, di sekolah dan semacamnya.

Situasi sosial seperti yang dipaparkan Spradley, dapat digambarkan berikut

ini.

Tempat/place

Pelaku/actor Aktivitas/action

Gambar 1.1. Situasi sosial menurut Spradley (Sugiyono, 201: 298). Sampel yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini, ditentukan

(33)

a. Sebuah keluarga yang dibangun dari awal sampai saat ini, adalah berasal dari seseorang di antara para pasangan yang dipilih berasal dari transmigran Jawa Timur desa Rasau Jaya, dan seseorang di antara para pasangan yang lain berasal dari daerah tetangga yang ada di sekitarnya atau di luar kecamatan Rasau Jaya.

b. Sebuah keluarga lintas etnis yang memulai masa perkenalan/pacaran dan kemudian menikah, di desa Rasau Jaya dan saat sekarang ini juga bertempat tinggal di desa yang sama.

Dari kriteria tersebut di atas maka ditetapkan sampel penelitian ini, sebagai berikut:

1) Pasangan Darmadi-Sulastri, mewakili etnik Melayu-Jawa. 2) Kusrianto-Emilia mewakili, warga trans Jawa-Dayak, dan, 3) Putra-Nurhayati mewakili Dayak dan Melayu.

4) Sumarni, tokoh informal Jawa, mantan kepala desa Rasau Jaya. 5) Sukamto,ST, mewakili tokoh formal, kepala desa masih aktip. 6) H. Ali As.,SH, tokoh Adat Dayak dari Putussibau.

7) H. Uti Khasbullah Laram, SH., tokoh Melayu dari Ketapang. 8) Drs.H. Sudarto, mewakili praktisi ahli etnik Jawa, berdomisli di

(34)

112 BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk penelitian naturalistik, artinya suatu kegiatan pengamatan yang mendalam dan terus menerus terhadap gejala sosial yang bersifat alamiah (nature). Hasil interaksi antar manusia itu dideskripsikan (descriptive model), dan dihubungkan satu dengan yang lain sesuai fakta di lapangan (empiris), sehingga membentuk makna-makna yang bersifat kualitatip. Pendekatan ini dimaknai sebagai upaya memahami fenomena-fenomena dimana manusia yang saling berhubungan itu membentuk pengalaman-pengalaman yang perlu ditampakkan oleh peneliti melalui bahasa , sikap dan perilaku mereka dalam keseharian. Untuk itu pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan fenomenologis (Iskandar, 2009: 204-209).

A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian 1. Desain Penelitian

(35)

secara holistik melalui penampakkan/gejala, pengalaman subyek melalui bahasa, sikap dan perilaku yang diperlihatkan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dimaksudkan sebagai tempat dimana penelitian ini dilakukan. Setting penelitian ini berlokasi di desa Rasau Jaya, tempat bermukimnya para transmigran dari Jawa Timur, sejak tahun 1973. Desa tersebut saat ini telah berkembang dan juga dihuni selain warga trans, yaitu etnik Melayu, Dayak, Madura dan Cina.

(36)

3. Subyek Penelitian

Subyek penelitian sebagai sumber data penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatip dapat berupa manusia, latar (setting), kejadian (events) dan proses (processes). Pendekatan ini memiliki berbagai karakteristik. Lebih jauh dapat dipaparkan bahwa penentuan subyek sebagai sumber data perlu dilakukan agar terfokus pada sasaran penelitian. Oleh karena itu fokus dan pertanyaan penelitian harus selalu dirujuk ulang agar esensi penelitian dan ranah penelitian tidak jauh menyimpang, sehingga sulit dikendalikan (Alwasilah, 2008: 146).

Sebagian ahli menjelaskan bahwa “in qualitative research, the subjects are people interviewed and found in the research setting” (dalam penelitian

kualitatif, subjek adalah manusia yang di interview dan terdapat pada lokasi penelitian (Bogdan and Biklen, 1992).

Dalam menentukan informan sebagai sample penelitian fenomenologi Cresswell John.W. menyarankan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Informan biasanya berada dalam satu lokasi.

b. Informan adalah orang yang mengalami secara langsung peristiwa yang menjadi fokus perhatian.

c. Informan mampu untuk menceritakan kembali peristiwa yang telah dialaminya.

d. Bersedia menjadi informan dalam penelitian dimaksud (Kuswarno, 2008: 62).

(37)

data utama dan sejumlah tokoh masyarakat Dayak, Melayu dan Jawa, sebagai sumber data pendukung.

a. Kriteria Pemilihan Subyek Penelitian

Penentuan subyek penelitian ini menggunakan teknik purposif sampling, artinya pemilihan sampel ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu diarahkan untuk mengeksplorasi, mengeksplanasi proses asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik, yang terjadi pada keluarga Melayu-Jawa, Dayak-Jawa dan Melayu-Dayak, berdasarkan kriteria atau indikator dengan memenuhi hal-hal berikut:

1) Keluarga yang dibangun dari awal sampai saat ini adalah berasal dari para pasangan yang berasal dari transmigran Jawa Timur di Desa Rasau Jaya dan seseorang di antara para pasangan yang lain berasal dari daerah tetangga yang ada di sekitarnya atau di luar Kecamatan Rasau Jaya.

2) Keluarga lintas etnis yang memulai masa perkenalan/pacaran dan kemudian menikah di desa Rasau Jaya dan saat sekarang ini juga bertempat tinggal di Desa Rasau Jaya.

(38)

ditetapkan. Dengan kriteria tersebut pemandu penelitian ini (At) menunjukkan tempat tinggal sepasang suami isteri yang dianggap memenuhi syarat. Untuk meyakinkan apakah pasangan tersebut telah memenuhi persyaratan atau belum, maka pada kesempatan tersebut dilakukan wawancara dan observasi dengan seksama dan mendalam yang terkait dengan perihal persyaratan tersebut.

Pertanyaan yang diajukan pada saat penjaringan subyek penelitian berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:

a) Identitas masing-masing pasangan, yang meliputi nama, jenis kelamin, asal daerah, tempat tanggal lahir, tingkat pendidikan, pekerjaan, tanggal perkawinan, jenis etnik, lama berdomisili di desa Rasau Jaya, jumlah anak, dimana terjadi perkenalan pertama, dan dimana dilakukan perkawinan.

b) Dari jawaban para informan tersebut tentang pertanyaan- pertanyaan yang diajukan peneliti, maka pada saat itu juga dapat diyakinkan/ditetapkan bahwa yang bersangkutan dapat dimasukkan sebagai sampel peneltian ini atau tidak. Demikian seterusnya, proses selanjutnya berjalan secara tahap demi tahap untuk menentukan sampel penelitian yang diperlukan sehingga pada saat ini telah ditetapkan sampel sebagai berikut :

(1) Pasangan Melayu–Jawa Timur diwakili oleh Dardi dan Sutri.

(39)

(3) Pasangan Dayak–Melayu diwakili oleh Pura dan Nur. berdomisili di desa tetangga Rasau Jaya Utama, yang merupakan desa tertua sebelum proyek desa transmigrasi ini dibangun.

b. Kriteria Pemilihan Tokoh Formal dan Informal

Penentuan tokoh formal dan informal ditentukan berdasarkan sampel purposif. Hal tersebut dilakukan dengan alasan sebagai berikut: (a) Penentuan tokoh dalam penelitian ini didasarkan pada kemampuan

yang dimiliki orang tersebut tentang pengetahuan dan pengalaman langsung kehidupan keetnisan yang menjadi kompetensinya. (b) Tokoh tersebut berstatus etnik yang diwakilinya.

(c) Tokoh tersebut secara luas diakui oleh masyarakat, bahwa yang bersangkutan memang layak disebut tokoh masyarakat karena memiliki kepribadian dan perilaku yang dapat diteladani oleh masyarakat luas, khususnya identitas etnik yang dimiliki.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka dapat ditetapkan tokoh formal dan informal sebagai berikut:

(1) Skt, sebagai kepala desa aktif dianggap tepat untuk dimintai informasi penting tentang perkembangan asimilasi nilai kekeluargaan yang berlangsung di Desa Rasau Jaya, sesuai dengan pengamatan beliau.

(40)

tokoh masyarakat yang memahami proses asimilasi yang terjadi di daerah ini.

(3) Al. As, tokoh informal /masyarakat Dayak, bertindak sebagai expert practicioner/opinion lahir tgl. 12-02-1928, di Putussibau,

tergolong berpengetahuan luas tentang adat-istiadat kehidupan Dayak. Beliau adalah mantan bupati Kapuas Hulu, mantan ketua DPRD Kalimantan Barat, dan berbagai jabatan Kepala Dinas Kebudayaan dan Museum Kalimantan Barat. Yang bersangkutan bertindak sebagai praktisi ahli tentang nilai-nilai kekeluargaan masyarakat Dayak. Dalam penelitian ini ia berperan sebagai expert opinion atau expert practisioner, dimana peneliti mengkonfirmasikan hasil penelitian sebagai upaya validasi data atau triangulasi temuan penelitian tentang nilai-nilai kekeluargaan yang diperoleh dari informan kunci warga Dayak, dan Melayu dengan warga trans Jawa Timur, untuk diminta pendapat dan pemikirannya tentang hal tersebut. Dengan masukan-masukan yang diperoleh dari expert opinion tersebut, maka data penelitian ini lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan kata lain tingkat kredibilitas dan konfirmabilitas data hasil penelitian ini tergolong sesuai dengan realitas di lapangan.

(4) Lrm, tokoh adat Melayu, bertindak sebagai expert practisioner/opinion, lahir tanggal 8-3-1943 di Ketapang, dan

(41)

Malang tahun 1966. Ia bertindak sebagai expert practisioner/opinion untuk ahli adat-istiadat dan pengalaman hidup

ke Melayuan. Kepada beliau peneliti meminta pendapatnya tentang hasil-hasil penelitian yang menyangkut asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam keluarga Melayu dengan warga trans Jawa Timur yang diperoleh dari para informan kunci di lapangan. Yang bertindak sebagai expert opinion untuk memvalidasi data

hasil penelitian, diantaranya adalah Al As, tokoh agama/ahli hukum adat (mantan dosen luar biasa di Fakultas Hukum) berasal dari Putussibau; Lrm, tokoh Adat Melayu penduduk asli dari Ketapang; Sdt sebagai mantan guru sejarah di SMA negeri maupun swasta di Kota Pontianak.

Dari persyaratan sampel yang disarankan oleh Creswell, Bogdan dan Biklen (1982), maka sampel yang dipilih dalam penelitian ini tergolong sudah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.

B. Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan sebagai penjelasan istilah yang digunakan dalam variabel penelitian, yang berfungsi sebagai batasan agar penelitian ini terarah pada tujuan. Dalam penelitian ini istilah-istilah yang digunakan yang perlu diberi penjelasan adalah:

(42)

kelompok etnik, yang membentuk budaya baru (Abecrombie.N., et.all.,1984: 14).

2. Nilai Kekeluargaan dimaksudkan sebagai seperangkat nilai yang dimiliki dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga kawin campur lintas etnik seperti tersebut di atas.

Nilai-nilai kekeluargaan yang dimaksud meliputi: a. Rasa persatuan dalam keluarga.

b. Nilai moral norma / NMNr yang baik. c. Musyawarah dan mufakat.

d. Kekerabatan, dan,

e. Solidaritas atau murah hati (Ki Hajar Dewantara, 1962: 380-393). 3. Desa Rasau Jaya, adalah sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Kubu Raya,

Kalimantan Barat yang menjadi lokasi penelitian.

4. Tokoh masyarakat, adalah seseorang yang memiliki kemampuan di bidang kemasyarakatan, sehingga yang bersangkutan ditokohkan warga di sekitarnya untuk menyuarakan perihal nilai kemasyarakatan yang dianggap penting. 5. Lintas etnik, dimaksudkan sebagai kawin campur antara etnik, yaitu antara

warga Melayu dengan warga Jawa, warga Dayak dengan Jawa, dan warga Dayak dan Melayu di Desa Rasau Jaya.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam suatu kajian ilmiah, memegang peranan begitu penting untuk menghasilkan data yang diperlukan dalam rangka pemecahan suatu masalah.

(43)

penelitian, memilih informan, mengumpulkan data, menilai kualitas data, analisis data, dan menafsirkan data serta mengambil kesimpulan atas temuan-temuan penelitian (Lincoln Guba, 1986; Sugioyono, 2010: 306). Sejalan pendapat di atas, Nasution (1988), menyatakan bahwa ketika fokus penelitian sudah jelas dan pasti, maka peneliti dapat mengembangkan instrumen sederhana yang dapat melengkapi data yang perlukan. Peneliti terjun ke lapangan sendiri baik pada tahap wisata pertanyaan, maupun tahap focused dan seleksi, pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan.

D. Proses Pengembangan Instrumen

1. Pengembangan Panduan Wawancara dan Observasi

(44)

Kisi-kisi panduan wawancara tingkatan asimilasi:

No. Fokus Penelitian Aspek Pertanyaan

1. Kultural Transportasi, pekerjaan, bahasa, sistem perkawinan, kesenian, sistem pengetahuan

1,2,3,4, dan 5 Halaman 274- 275.

2. Struktural Sistem kekerabaran, kegiatan ekonomi, hubungan

personal/kelompok

1,2,3, dan 4. Halaman 275- 276

3. Amalgamasi/Biologis Ketertarikan secara pisik antar calon pasangan, penampilan yang menarik calon pasangan.

1,2,3,4, dan 5. Halaman 276 4. Identifikasi/Psikologis Aspek kejiwaan yang menarik

antar calon pasangan, saling memahami perbedaan antar calon pasangan

1,2, dan 3. Halaman 277.

Daftar kisi-kisi tingkatan asimilasi dan nilai-nilai kekeluargaan ini dimaksudkan untuk memberikan arah pada jalannya proses penelitian, agar penelitian tidak sampai melebar dan menyimpang sehingga tidak menyentuh substansi aspek yang menjadi fokus penelitian.

Kisi-kisi panduan wawancara Nilai Kekeluargaan :

No. Fokus Penelitian Aspek Pertanyaan

1. Persatuan keluarga Rasa persatuan, cinta kasih murni, menghambakan diri,

2. NMNr Membina: nilai moral,

nilai-nilai keluarga, aturan-aturan keluarga, aturan berdasar cinta kasih,

a,b,c,dam d. Halaman 278.

3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri, persamaan hak suami-istri, saling menghargai.

a, b, dan c. Halaman 279. 4. Kekerabatan Hak kuajiban suami-istri,

(45)

2. Pengembangan Panduan Observasi

Pengembangan panduan observasi tidak bisa dilepaskan dengan panduan daftar wawancara, karena hal-hal yang diobservasi berpusat pada fokus penelitian. Dengan demikian aspek-aspek yang diobservasi meliputi aspek akulturasi, struktural, amalgamasi/biologis, dan aspek psikologis atau identifikasi. Daftar panduan observasi dapat dilihat pada daftar lampiran instrumen penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pelaksanaannya sering menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam dan pencataan dokumen yang terkait dengan fokus penelitian. Selama melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara kepada para informan yang diteliti, dan sekaligus pencatatan dokumen-dokumen yang terkait.

Kisi-kisi panduan observasi tingkatan asimilasi :

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 2. Struktural Sistem kekerabaran,

kegiatan ekonomi, 3. Amalgamasi Ketertarikan secara pisik

antar calon pasangan, 4. Identifikasi/psokologis Aspek kejiwaan yang

(46)

Kisi-kisi panduan observasi Nilai Kekeluargaan:

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 1. Persatuan keluarga Rasa persatuan,

cinta kasih murni, 3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri,

persamaan hak suami-4. Kekerabatan Hak kewajiban

suami-istri, mamak dan

(47)

Kabupaten Kubu Raya. Data dokumen tentang kawin campur dan gambar-gambar para responden dapat dilihat pada daftar lampiran disertasi ini.

Pengembangan ketiga instrumen dalam penelitian ini dimaksudkan agar dapat diperoleh data yang akurat tentang fokus penelitian sehingga berbagai data yang berhasil dihimpun melalui pengembangan instrumen tersebut di atas dapat memenuhi syarat ilmiah dan data yang dihimpun menjadi lebih akurat. Seperti yang dijelaskan oleh Susan Stainback (1988), bahwa triangulasi teknik pengumpulan data dimaksudkan ‘ ... the aim is not to determine the truth about some social phenomenon, rather the

purpose of trianggulation is to increase one’s understanding of what ever

is being investigated ‘ ( Sugiyono, 2010: 330). Triangulasi teknik dalam

penelitian kualitatif ditujukan untuk untuk lebih memberikan pemahaman peneliti terhadap hasil temuan di lapangan.

Kisi-kisi panduan dokumentasi tingkatan asimilasi:

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada

2. Struktural Sistem kekerabaran,

kegiatan ekonomi,

3. Amalgamasi Ketertarikan secara pisik

antar calon pasangan,

4. Identifikasi Aspek kejiwaan yang

(48)

Data dokumentasi ini dimaksudkan untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Dengan demikian dapat diketahui tentang credibality dan confirmability antara data dari hasil wawancara, observasi dan

dokumentasi.

No. Fokus Penelitian Aspek Ceklist

Ada Tdk ada 1. Persatuan keluarga Rasa persatuan,

cinta kasih murni, 3. Musyawarah/mufakat Keterbukaan suami-istri,

persamaan hak suami-4. Kekerabatan Hak kewajiban

suami-istri, mamak dan

E. Teknik Pengumpulan Data dan Alasannya

(49)

dan kunjungan lapangan, serta teknik dokumentasi, dimana peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian. Penggunaan ketiga teknik dalam penelitian ini sekaligus berfungsi sebagai trianggulasi alat pengumpul data agar data yang diperoleh dari sumber informasi dapat dipertangggungjawabkan (Wiliam Wiersma, 1986; Sugiyono, 2008: 273).

(50)

Teknik Wawancara Teknik Observasi Partisipan

Teknik dokumentasi

Gambar 2. Triangulási Alat Pengumpul Data dari William Wiersma (1986) (Sugiyono, 2008: 274)

F. Pendekatan yang Digunakan

Untuk menjawab masalah penelitian ini maka studi ini akan difokuskan pada analisis tentang asimilasi nilaI-nilai kekeluargaan lintas etnik yaitu antara masyarakat lokal ( Dayak dan Melayu) dengan masyarakat pendatang yaitu transmigran dari Jawa Timur. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan fenomenologik/kualitatif dengan metode deskriptif. Data yang diperoleh dengan berbagai alat bantu/instrumen yaitu menggunakan wawancara mendalam, pengamatan/observasi sistematik dan juga dokumen–dokumen yang relevan, dengan proses asimilasi nilai-nilai kekeluargaan lintas etnik. Data yang berhasil dihimpun dideskripsikan, dan dianalisis serta dihubungkan antara variabel yang satu dengan yang lain, untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang fokus penelitian ini.

(51)

informan, dan berusaha memahami pernyataan ungkapan perasaan, sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan keseharian (Nasution, 1996: 5). Jenis penelitian ini digunakan sebagai pendekatan utama. Penelitian kualitatif ini, meliputi sejumlah strategi penelitian yang memiliki sejumlah sifat tertentu, yang diambil dari serangkaian asumsi yang saling berhubungan yang bersifat khas paradigma penelitian kualitatif (Mustafa dalam Alwasilah, 2008: 26).

Penelitian kualitatif memiliki asumsi-asumsi filosofis yang berdasar pada : a. Realitas dibangun secara sosial, karena realitas (pengetahuan) adalah

sesuatu yang dibentuk, demikian halnya dengan asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik.

b. Realitas asimilasi nilai kekeluargaan dibangun secara kognitif sehingga realitas tidak dapat dipisahkan dari peneliti.

c. Seluruh entitas selalu dalam keadaan yang saling mempengaruhi dalam proses pembentukan secara serentak, dan,

d. Peneliti tidak bisa dipisahkan dari subyek ditelitinya, dengan demikian maka penelitian itu selalu terikat pada nilai-nilai, khususnya nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi fokus penelitian ini.

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang proses Asimilasi Lintas Etmik di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) mempunyai latar alamiah,

2) peneliti sendiri sebagai instrumen, 3) analisis data dilakukan secara induktif,

(52)

5) laporan penelitian bersifat deskriptif,

6) menekankan pada proses penelitian dari pada hasil penelitian, 7) diarahkan pada fokus penelitian,

8) memiliki kriteria untuk menentukan keabsahan data, 9) rancangan penelitian bersifat tentatif,

10) hasil penelitian dirundingkan bersama (Bogdan and Biklen, 1982; Guba and Lincoln, 1985; Maleong, 1989; Garna, 1999, dan Ceville, 1993). Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan bahwa penelitian kualitatif secara umum dapat di artikan sebagai suatu pendekatan penelitian yang mengharuskan peneliti memiliki sejumlah pengetahuan tentang fenomena yang sedang dikaji, merumuskan berbagai pertanyaan penelitian serta menentukan fokus atau esensi penelitian tersebut. Dalam hal ini Bogdan (1972), menyatakan bahwa “the qualitative methodological refers to research procedures that produce descriptive or soft data, not easily handled by statistical analysis”. Metode

kualitatif mengacu kepada prosedur penelitian yang menghasilkan deskripsi atau “soft” data, yang tidak dengan mudah diselesaikan dengan analisis statistik.

Kegiatan penelitian ini bertujuan menghasilkan suatu produk, yakni suatu gagasan, dan teori tentang model asimilasi nilai-nilai kekeluargaan dalam masyarakat Melayu-Jawa, Dayak-Jawa, dan Melayu-Dayak, yaitu bangunan perpaduan berbagai budaya etnik antara budaya lokal/Dayak dan Melayu, dengan budaya pendatang/transmigran Jawa Timur, di Desa Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

G. Prosedur dan Tahapan Penelitian

(53)

sejak peneliti melakukan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan perumusan hasil akhir penelitian berupa kesimpulan hasil temuan di lapangan.

(54)

kata-kata, nada, konteks, non verbal, konsistensi internal, frekuensi, perluasan, intensitas, kekhususan respons, dan ide-ide besar.

Data yang diperoleh melalui instrumen pengumpulan data, akan dianalisis yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Data tersebut dideskripsikan. Masing-masing data yang diperoleh dari berbagai instrumen dalam penelitian ini akan dideskripsikan secara detail agar tercapai tujuan yang diinginkan. Data yang dianalisis juga akan dirujukkan dengan proses aktualisasi nilai-nilai kekeluargaan dalam masing-masing keluarga etnik yang dikaji, agar dapat menjawab pertanyaan pada bagian rumusan masalah tersebut di atas. Dengan kata lain, analisis terfokus untuk menjawab masalah yang diajukan di bagian permasalahan.

Untuk mendapatkan suatu hasil analisis dan interpretasi yang baik atau valid harus diingat akan adanya faktor-faktor yang sangat mempengaruhi proses analisis adalah data collection, data reduction, data display, dan akhirnya sampai pada suatu konklusi akurat dan logis. Hubungan antara berbagai komponen data analisis tersebut dapat digambarkan dengan mengadopsi model Huberman dan Milles (1985: 23) berikut ini.

GAMBAR 3. Interaksi Model Components Of Data Analysis (Huberman dan Miles, 1985: 23).

DATA

COLLECTION DATA DISPLAY

CONCLUSIONS:

DRAWING/VERIFYING DATA

(55)

1. Data Collection/Pengumpulan Data

Dalam penelitian fenomenologi cara mengumpulkan data yang utama adalah dengan wawancara mendalam atau wawancara kualitatif (Engkus Kuswarno,2009: 65-66). Dengan metode inilah maka esensi dari fenomena yang diamati dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama atau orang yang mengalami langsung.

Data collection… adalah proses kegiatan penelitian yang mencakup

pengambilan catatan lapangan, pengambilan foto, pembuatan peta, dan penggunaan cara-cara lain untuk merekam observasi yang dilakukan seorang peneliti. Rekaman data penelitian ini merupakan jembatan antara observasi dan analisis ( Emzir, 2010: 164-165).

2. Data Reduction

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menguji data untuk menghasilkan invariant constitutes (unit-unit makna). Cara menguji data ini dengan mengajukan pertanyaan, 1) apakah data tersebut penting untuk memahami peristiwa keseluruhan, 2) apakah data itu dibuat abstraksi atau label khusus. Jika data itu tumpang tindih atau terjadi pengulangan data, maka data itu harus dieliminasi (Kuswarno,E., 2009: 69).

(56)

3. Data Display/Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data atau “data display”. Berbeda dengan penyajian data penelitian kuantitatif, yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, pictogram dan semacamnya. Melalui penyajian data yang dideskripsikan, diorganisasikan, disusun berdasar pada pola hubungan, antara fenomena yang satu dengan yang lain, sehingga temuan data di lapangan akan semakin mudah dipahami oleh para pembaca. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Seperti yang dinyatakan oleh Huberman dan Milles (1984; Sugiyono: 2008: 249), menjelaskan bahwa ” the most frequent form of display data for qualitative research data in the past has been narative text”. Dengan demikian

penyajian data dalam penelitian kualitatif yang paling sering digunakan adalah bersifat naratif.

4. Conclusion Drawing/Verification

(57)

Lebih jauh Kuswarno, E., (2009: 75) menyarankan pada peneliti fenomelogi untuk mencari kebenaran suatu fenomena dengan cara sebagai berikut:

a) Melakukan reffleksi terhadap makna peristiwa. b) Meminta pendapat orang luar penelitian. c) Membangun validitas intersubyektif.

d) Memeriksa pemahamn dengan dosen, teman sejawat, orang ahli. e) Memeinta umpan balik dengan para informan.

Persoalan verifikasi data adalah menyangkut kebenaran data yang diperoleh dari para informan kunci. Ketepatan data dapat diperoleh manakala instrumen yang digunakan sudah dianggap valid. Dari instrumen penelitian yang valid maka akan dimungkinkan memperoleh data atau informasi yang valid pula. Dalam upaya validasi data dalam penelitian ini, peneliti melakukan beberapa hal sebagai berikut:

a. Validasi Instrumen Penelitian:

(58)

1) Uji credibality.

Uji validitas terkait dengan derajat kepercayaan data atau ketepatan data. Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan dengan triangulasi data hasil penelitian, yaitu dikonsultasikan kembali data yang telah dianalisis kepada responden, kepada promotor dan kepada expert opinion/practisioner (Wiliam Wiersma, 1986; Susan Stainback, 1988; dan Sugiono, 2008: 274). Uji validitas data penelitian kulitatif ini dapat digambarkan pada diagram berikut:

Expert Judgment Expert Practisioner

Informan Kunci

Gambar 4. Triangulasi/ credibality data asimilasi nilai kekeluargaan lintas etnik ( Wiliam Wiersma, 1968; Susan Stainback, 1988; Sugiyono, 2008: 274).

2) Uji dependability.

Dependability terkait dengan derajat konsistensi dan

(59)

melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat dibuktikan oleh peneliti (Sanafiah Faisal, 1990; Sugiono, 2008: 277).

3) Uji confirmability.

Confirmability terkait dengan derajat penegasan dan pengesahan data yang dihimpun dari para informan kunci dalam penelitian ini (Susan Stainback, 1988; Heraclites ( dalam Nasution, 1988; dan Sugiyono, 2008: 277). Data penelitian kualitatif dikatakan memiliki obyektifitas yang tinggi bilamana data hasil penelitian tersebut telah disyahkan dan ditegaskan oleh banyak pihak. Dalam penelitian kualitatif uji obyektivitas dan uji validitas (dependability) merupakan hal yang penting. Obyektifitas menjadi hal mendasar karena suatu penelitian tanpa dibarengi oleh tingkat kebenaran informasi yang tinggi, dimungkinkan hasil penelitian akan menjadi sia-sia belaka. Untuk itu dalam tahapan ini peneliti melakukan hal-hal berikut:

a) Mengkonsultasikan daftar wawancara dan panduan pengamatan kepada:

(1) Promotor, Ko Promotor, dan Anggota Promotor.

(60)

Dengan melakukan validasi data melalui expert jugment, maka diharapkan instrumen penelitian yang digunakan

Gambar

TABEL  I.1.  KEADAAN JUMLAH PENDUDUK DAN WARGA YANG MELAKUKAN
gambar para responden dapat dilihat pada daftar lampiran disertasi ini.
Gambar  2. Triangulási Alat Pengumpul Data dari William Wiersma (1986) (Sugiyono, 2008: 274)
GAMBAR 3.  Interaksi Model Components Of Data Analysis  (Huberman                             dan Miles, 1985: 23)

Referensi

Dokumen terkait

bobot kelopak bunga per hektar, jumlah kelo- pak bunga per tanaman, dan bobot biji per hektar. Karakter bobot 100 kelopak kering tidak berkorelasi dengan produksi kapsul

Tentunya data yang dikumpulkan dan disajikan merupakan data setelah pemilu Turki 2015 sehingga dapat menggambarkan perbedaan kondisi antara studi kasus referendum 2017

Kondisi industri yang saat ini cenderung padat tekonologi (modern) hanya membutuhkan relatif sedikit tenaga kerja, sehingga ke depan daya serap industri terhadap

Perangkat keras yang digunakan dalam membangun sistem ini diantaranya adalah Raspberry Pi model B sebagai komponen utama dimana tersimpan semua data yang digunakan dalam sistem

adsorben yang digunakan, maka semakin banyak pula sisi aktif pada patikel adsorben yang menyerap ion logam sehingga semakin banyak pula adsorbat yang terjerap

Portofolio merupakan penilaian berkelanjutan berdasarkan kumpulan informasi yang bersifat reflektif-integratif yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik

Pada media sosial milik Dit PD Pontren menjelaskan bahwa informasi perihal Program Bantuan Tahun Anggaran 2021 akan disampaikan secara resmi melalui Kantor

Lebih spesifiknya, diskusi pada bagian selanjutnya akan menjelaskan, antara lain: (a) basis politik dan ekonomi dari beberapa ”pejabat kunci” di provinsi yang diteliti; (b)