• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

i

1.3 Tujuan Penelitian ………... 1.4 Manfaat Penelitian ………... 1.5 Hipotesis Penelitian ………...…………... 1.6 Penjelasan Istilah ………...

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Masalah dan Pemecahan Masalah Matematis ……..….……... 2.1.1 Pengertian Masalah dalam matematika …...…….…… 2.1.2 Pemecahan Masalah Matematis ………... 2.1.3 Pentingnya Pemecahan Masalah Matematis …..…... 2.1.4 Langkah-langkah Pemecahan Masalah Matematis ….. 2.2 Komunikasi dalam Matematika ………... 2.2.1 Komunikasi Matematis ………...………

(2)

ii

2.2.2 Pentingnya Komunikasi Matematis .………... 2.2.3 Peranan Komunikasi dalam Pemecahan Masalah …… 2.3 Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw ………...

2.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif ………... 2.3.2 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw …………... 2.4 Ketuntasan Belajar ……….………... 2.5 Teori Belajar yang mendasari Pembelajaran Kooperatif

Jigsaw ... 2.5.1 Teori Belajar Piaget dan Pandangan Konstruktivisme 2.5.2 Teori Belajar Ausubel ……….. 2.5.3 Teori Belajar Sosio-Kultural ……… 2.6 Pembelajaran Konvensional ………. 2.7 Penelitian yang Relevan ……….……...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ………... 3.2 Populasi dan sampel ………. 3.3 Variabel Penelitian ………... 3.4 Materi atau Bahan Ajar ………..…….. 3.5 Instrumen Penelitian dan pengembangannya ………...

3.5.1 Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan

Komunikasi Matematis ……….……... 3.5.2 Analisis Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran

(3)

iii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ………..….. 4.1.1 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ……….…… 4.1.2 Analisis Hasil Pretes ………... 4.1.3 Analisis Hasil Postes ………..…. 4.1.4 Analisis Skor N-Gain ……….….. 4.1.5 Analisis Hubungan (Asosiasi) Kemampuan

Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis …… 4.1.6 Ketuntasan Belajar ………... 4.1.7 Deskripsi Rata-rata Skor Sub-Aspek Pemecahan

Masalah dan Komunikasi Matematis ………... 4.1.8 Analisis Sikap Siswa ………..….. 4.1.9 Observasi Aktivitas Pembelajaran ……….….. 4.1.10 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Tipe

Jigsaw ……….…... 4.1.11 Deskripsi Tanggapan/Pendapat Guru ………….…... 4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ………...

4.2.1 Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis ………..…... 4.2.2 Ketuntasan Belajara Siswa ………... 4.2.3 Sikap Siswa ………..…… 4.2.4 Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran ………...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(4)

iv DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis ... Tabel 3.3 Uji Validitas Tes Pemecahan Masalah Matematis ………. Tabel 3.4 Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis …..……… Tabel 3.5 Perhitungan Reliabilitas Tes Pemecahan Masalah Matematis ... Tabel 3.6 Perhitungan Reliabilitas Tes Komunikasi Matematis ….….…... Tabel 3.7 Analisis Tingkat Kesukaran Tes Pemecahan Masalah Matematis Tabel 3.8 Analisis Tingkat Kesukaran Tes Komunikasi Matematis ……... Tabel 3.9 Analisis Daya Pembeda Tes Pemecahan Masalah Matematis …… Tabel 3.10 Analisis Daya Pembeda Tes Komunikasi Matematis ……..…….. Tabel 3.11 Jadual Pelaksanaan Penelitian pada Kelas Eksperimen ……... Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Skor Pemecahan Masalah Matematis ……….. Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Skor Komunikasi Matematis ……….….. Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Skor Gabungan Pemecahan Masalah dan

Komunikasi Matematis ……..……….………... Tabel 4.4 Uji Normalitas Skor Pretes ……….………. Tabel 4.5 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes ……….…… Tabel 4.6 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Pretes ….….. Tabel 4.7 Uji Kesamaan Rata-rata Skor Pretes ………….………... Tabel 4.8 Uji Normalitas Skor Postes ……….……… Tabel 4.9 Uji Homogenitas Varians Skor Postes ………..……….. Tabel 4.10 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Postes …... Tabel 4.11 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Postes ……….………... Tabel 4.12 Uji Normalitas Skor N-Gain ………..………... Tabel 4.13 Uji Homogenitas Varians Skor N-Gain ……….…..…….. Tabel 4.14 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor N-Gain ..…... Tabel 4.15 Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain ……….………... Tabel 4.16 Klasifikasi Skor N-Gain ……….……..………...

(5)

v

Tabel 4.17 Kontingensi Baris-Kolom antara Kemampuan Pemecahan

Masalah dan Kemampuan Komunikasi Matematis …..………... Tabel 4.18 Persentase Ketuntasan Belajar ………... Tabel 4.19 Rata-rata Skor Sub Aspek Kemampuan Pemecahan Masalah dan

Komunikasi Matematis ………...………... Tabel 4.20 Rekapitulasi Uji Validitas Item Skala Sikap ………..…… Tabel 4.21 Reliabilitas Skala Sikap ………..………..………... Tabel 4.22 Analisis Sikap Siswa terhadap Matematika dan Kegunaannya

dalam Kehidupan ………..………... Tabel 4.23 Analisis Sikap Siswa pada Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Tabel 4.24 Analisis Sikap Siswa pada Soal-Soal Pemecahan Masalah dan

Komunikasi Matematis ………….………... Tabel 4.25 Analisis Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran

96 98

100 103 104

106 107

(6)

vi DAFTAR BAGAN

(7)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Rata-rata Proporsi Aspek Pemecahan Masalah Matematis ….. Gambar 4.2 Rata-rata Proporsi Aspek Komunikasi Matematis …..……… Gambar 4.3 Rata-rata Proporsi Gabungan Aspek Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis ……….... Gambar 4.4 Diagram Perbandingan Skor Sub Aspek Pemecahan Masalah

Matematis ………. Gambar 4.5 Diagram Perbandingan Skor Sub Aspek Komunikasi

Matematis ……….………..….. Gambar 4.6 Foto Situasi Pembelajaran dalam Kelompok Ahli ……..….… Gambar 4.7 Foto Situasi Pembelajaran dalam Kelompok Asal …………...

74 74

75

100

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A RENCANA PEMBELAJARAN

1. Rencana Pembelajaran Pertemuan I ………..……….. 2. Rencana Pembelajaran Pertemuan II ………….…………. 3. Rencana Pembelajaran Pertemuan III ………..…….. 4. Rencana Pembelajaran Pertemuan IV ………..……..

Lampiran B BAHAN AJAR DAN LKS

1. Bahan Ajar dan LKS Pertemuan I ………..………... 2. Bahan Ajar dan LKS Pertemuan II ……….………… 3. Bahan Ajar dan LKS Pertemuan III ………..…... 4. Bahan Ajar dan LKS Pertemuan IV …………..…………..

Lampiran C INSTRUMEN PENELITIAN

1. Kisi-kisi Tes Pemecahan Masalah dan Komunikasi

Matematis ……….………... 2. Soal Tes Pemecahan Masalah Matematis ……….. 3. Soal Tes Komunikasi Matematis ………...………. 4. Kunci Jawaban ……….………... 5. Instrumen Skala Sikap ……….…… 6. Lembar Observasi Pembelajaran ……….…… 7. Daftar Isian Guru ……….………

Lampiran D HASIL UJICOBA

1. Daftar Skor Ujicoba ……….………... 2. Uji Validitas dan Reliabilitas ….………….……….. 3. Analisis Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda ………...

(9)

ix Lampiran E HASIL PENELITIAN

1. Skor Tes Pemecahan Masalah Matematis Kelompok Eksperimen ... 2. Skor Tes Komunikasi Matematis Kelompok Eksperimen 3. Skor Tes Pemecahan Masalah Matematis Kelompok

Kontrol ………... 4. Skor Tes Komunikasi Matematis Kelompok Kontrol ..….. 5. Skor Gain Ternormalisasi (N-Gain) Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis Kelompok Eksperimen … 6. Skor Gain Ternormalisasi (N-Gain) Kemampuan

Komunikasi Matematis Kelompok Ekspermen ………... 7. Skor Gain Ternormalisasi (N-Gain) Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis Kontrol ……..………….. 8. Skor Gain Ternormalisasi (N-Gain) Kemampuan

Komunikasi Matematis Kontrol ……..………..…….. 9. Skor Sub-Aspek Pemecahan Masalah Matematis

Kelompok Eksperimen ………..………. 10. Skor Sub-Aspek Komunikasi Matematis Kelompok

Eksperimen ……….………. 11. Skor Sub-Aspek Pemecahan Masalah Matematis

Kelompok Kontrol ………... 12. Skor Sub-Aspek Komunikasi Matematis Kelompok

Kontrol ………

Lampiran F ANALISIS DATA PENELITIAN

1. Statistik Deskriptif Data Penelitian ………….………. 2. Uji Kesamaan Rata-rata Skor Pretes ………..…………... 3. Uji Perbedaan Rata-rata Skor Postes ….………... 4. Uji Perbedaan Rata-rata Skor N-Gain ……….………. 5. Rangkuman Uji Kesamaan/Perbedaan Rata-rata ….……...

(10)

x

6. Uji Asosiasi Pemecahan Masalah & Komunikasi

Matematis ……… 7. Daftar Ketuntasan Balajar Kelompok Eksperimen …..…... 8. Daftar Ketuntasan Belajar Kelompok Kontrol ………..…...

Lampiran G ANALISIS SKALA SIKAP

1. Skor Baku Skala Sikap sebelum Diseleksi ………..……… 2. Distribusi Skor Apriori Sikap Siswa sebelum Divalidasi 3. Uji Normalitas Skor Total Skala Sikap …….…………... 4. Uji Validitas Item Skala Sikap ………..……….. 5. Uji Reliabilitas Skala Sikap ………..……… 6. Analisis Sikap Siswa ………..………..

Lampiran H DAFTAR SKOR KUIS HARIAN ……….

Lampiran I DOKUMENTASI ……….……….

Lampiran J PENGOLAHAN DATA OBSERVASI ……… Lampiran K SURAT KETERANGAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Memasuki milenium ke-tiga yang dikenal dengan era globalisasi, era informasi dan era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), kita menghadapi situasi dunia yang serba canggih. Situasi saat ini memungkinkan semua orang dapat memperoleh informasi dengan cepat dan mudah dari berbagai sumber dan berbagai tempat di belahan dunia seolah-olah tanpa dibatasi ruang, jarak, dan waktu. Kemajuan IPTEK telah mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai segi kehidupan manusia. Kemajuan ini tidak saja memberi harapan untuk kehidupan yang lebih baik, tetapi sekaligus merupakan tantangan yang harus disikapi secara bijaksana, karena di balik itu, tuntutan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi setiap individu sangat penting dan tidak dapat dikesampingkan, kalau tidak, kita akan tertinggal dan tersisih dalam kehidupan.

(12)

Pembelajaran matematika pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Kurikulum 2006 bertujuan agar siswa memiliki seperangkat kompetensi yang harus ditunjukkan pada hasil belajarnya dalam matematika (standar kompetensi) yaitu: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(13)

Sejalan dengan itu, NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) tahun 2000 dalam buku berjudul ’Principles and Standards for School Mathematics’ menyatakan bahwa pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi matematis (communication), keterkaitan dalam matematika (connection), dan representasi (representation) merupakan standar proses pembelajaran matematika. Adapun standar materi atau standar isi meliputi bilangan dan operasinya (number and operation), aljabar (algebra), geometri (geometry), pengukuran (measurement), dan analisis data dan peluang (data analysis and probability). Menurut NCTM baik standar materi maupun standar proses tersebut secara bersama-sama merupakan keterampilan dan pemahaman dasar yang sangat dibutuhkan untuk dimiliki para siswa.

(14)

menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur yang baku, sedangkan yang termasuk pada berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan memahami ide matematika secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, membuat analogi dan generalisasi, menalar secara logik, menyelesaikan masalah, berkomunikasi secara matematis, dan mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektual lainnya.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat dibutuhkan siswa. Hal ini terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah dalam matematika dan dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam kehidupan mereka di masa depan yang semakin kompetitif. Karena itu kemampuan berpikir matematis terutama menyangkut doing math yang tersimpul dalam kemampuan pemecahan masalah matematis, komunikasi matematis, koneksi matematis dan penalaran matematis perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika di kelas maupun di luar kelas agar siswa memiliki bekal pengetahuan matematis yang kuat.

(15)

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kemampuan dasar dalam matematika seperti pemecahan masalah dan komunikasi matematis masih jauh yang diharapkan dalam standar isi dan standar proses. Rendahnya rata-rata hasil belajar siswa tersebut sekaligus menjadi gambaran terhadap mutu pendidikan matematika kita yang kurang baik dan hal ini tidak dapat dianggap sepele sehingga perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Kemampuan matematis siswa dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri siswa seperti kecerdasan, minat, bakat dan kemauan serta motivasi diri terhadap proses pembelajaran. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri siswa seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan tempat bermain. Faktor eksternal dan internal tersebut harus selaras dan saling mendukung untuk mendorong siswa mencapai hasil belajar yang optimal. Dalam hal ini, lingkungan sekolah dan proses pembelajarannya memegang peran yang dominan dalam mengarahkan siswa untuk memiliki kemampuan matematika yang baik.

(16)

Kondisi di sekolah-sekolah, guru-guru matematika kurang memperhatikan peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Hasil studi Sumarmo (1993, 1994) terhadap siswa SMU, SLTP dan guru di Kodya Bandung menemukan antara lain pembelajaran matematika pada umumnya kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar. Hal ini didukung oleh (Wahyudin, 1999) bahwa sebagian besar siswa tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan pada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Proses-proses pemikiran yang dilatih di sekolah-sekolah terbatas pada kognisi, ingatan, dan berpikir konvergen (Mulyana, 2005). Mengingat merupakan keterampilan atau kemampuan berpikir yang paling rendah (Sabandar, 2007).

(17)

Pembelajaran yang berpusat pada guru, cenderung menempatkan siswa sebagai objek yang harus disuapi pengetahuan, bukan sebagai subjek didik yang menemukan pengetahuannya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Zulkardi (2001) dan Darhim (2004). Menurut Herman (2006), pembelajaran seperti ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan komunikasi matematis. Mullis, et.al. (2000) dan Suryadi (2005) juga menyoroti, bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematik atau kemampuan berpikir logis siswa.

Pembelajaran matematika yang dilakukan di sekolah telah menjadikan siswa terperangkap dalam kecenderungan menghafal. Hal ini merupakan akibat dari pembelajaran yang mekanistis sehingga pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi. Bahkan siswa terbiasa melakukan cara-cara menghafal yang intensif saat menjelang ujian. Siswa belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, dan sebagainya, namun ketika ujian berlangsung anak seperti menghadapi kertas buram, mereka tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya. Tidak heran, belajar dengan cara menghafal, kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat rendah.

(18)

timbul pertanyaan dalam benak kita “model dan pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat dilakukan untuk mengakomodasi peningkatan kompetensi siswa sehingga mencapai hasil belajar yang lebih baik?

Dalam upaya meningkatkan kualitas matematika, maka perlu terus dilakukan usaha-usaha untuk mencari penyelesaian terbaik guna meningkatkan kreativitas dan pengembangan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang dilakukan oleh guru berupa inovasi-inovasi dalam pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar dapat lebih bermakna bagi siswa. Pembelajaran matematika yang inovatif dan beragam dapat mengubah cara belajar siswa sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan siswa dalam matematika.

(19)

Pandangan-pandangan di atas, dalam implementasinya, guru matematika perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendukung proses pembelajaran seperti, model belajar, pendekatan pembelajaran, dan strategi pembelajaran. Sedapat mungkin diupayakan pembelajaran yang inovatif agar proses belajar berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, untuk menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan kemandirian siswa sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Reys et. al (1998:75) melihat pengaruh kelompok belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Menurut Reys, pemecahan masalah dapat dikerjakan dengan mudah melalui diskusi pada kelompok besar, tetapi proses pemecahan masalah akan lebih praktis bila dilakukan dalam kelompok kecil yang bekerja secara kooperatif. Meskipun cara ini memerlukan waktu yang relatif lebih lama, namun siswa akan lebih baik memecahkan masalah secara kelompok daripada sendiri. Kelompok belajar juga berguna untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

(20)

satu dengan yang lain untuk membangun pengertian bersama. Jadi, pembelajaran matematika perlu melibatkan faktor sosial peserta didik untuk membangkitkan keaktifan dan peran serta mereka dalam proses belajar.

Proses belajar adalah proses yang kompleks dan mungkin berlangsung dalam berbagai situasi dan kondisi dengan melibatkan berbagai komponen seperti siswa, guru, sarana dan sumber belajar. Dalam proses pembelajaran tersebut, peran guru sangat penting. Guru sebagai manajer pembelajaran harus tepat dalam mempersiapkan dan menyusun skenario pembelajaran, memilih model pembelajaran yang sesuai, menerapkan pendekatan, teknik dan strategi pembelajaran yang efektif. Selain itu guru harus mendorong dan memotivasi siswa sehingga sehingga memiliki kemampuan memecahkan masalah matematis.

Pemecahan masalah sangat penting bahkan disebut sebagai jantungnya matematika. Namun pembelajaran matematika tidak sekedar menjadikan siswa mampu memecahkan masalah matematis dengan menerapkan rumus-rumus matematika tetapi lebih jauh siswa harus mampu mengemukakan alasan terhadap proses penyelesaian masalah yang dilakukan.

(21)

Proses berpikir dalam pemecahan masalah matematis umumnya mudah dilakukan dengan diskusi bersama teman yang lain. Karena itu proses belajar matematika perlu diarahkan agar siswa terlibat dalam proses diskusi. Dalam diskusi terjadi pertukaran ide, dengan mengkomunikasikan ide matematis mereka kepada teman yang lain akan membawa siswa pada pemahaman yang lebih mendalam. Diskusi yang baik mendorong siswa untuk memberikan alasan dan tanggapan atas suatu ide matematis, dan ahirnya siswa mampu menerapkan pengetahuannya secara lebih baik dalam menyelesaikan masalah.

Baroody (1993) menyatakan, diskusi merupakan sarana bagi seseorang untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya. Belajar melalui diskusi dalam kelompok kooperatif mampu mendorong siswa aktif dan lebih mandiri. Kemandirian belajar dalam hal ini dilihat dari makin sedikitnya bantuan yang diberikan guru kepada siswa dalam belajar, dan makin besarnya proporsi aktivitas siswa belajar dibanding aktivitas guru mengajar. Dengan demikian pembelajaran cenderung berpusat pada siswa (Student-Centered Learning). Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi dan mendorong terjadinya kegiatan belajar siswa secara aktif, kolaboratif, dan kooperatif.

(22)

demikian, belajar bukan hanya penguasaan hasil latihan, melainkan sebagai hasil pengalaman yang membawa siswa pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep dan prosedur pemecahan masalah matematis. Interaksi yang terjadi antara sesama siswa, siswa dengan guru, siswa dengan materi pelajaran dapat mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, logis, dan sistematis.

Di samping pemecahan masalah, komunikasi merupakan alat bantu dalam interaksi pembelajaran. Baroody (1993) menjelaskan bahwa komunikasi perlu ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika di kalangan siswa, tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat bantu menemukan pola, malah dalam penyelesaian masalah atau menarik kesimpulan. Komunikasi juga berperan dalam aktivitas sosial, sebagai wahana interaksi antar siswa.

Kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan dalam menyatakan suatu gagasan atau ide matematis baik secara lisan maupun tulisan, menjelaskan hubungan antar konsep-konsep matematika dalam bentuk simbol atau ekspresi matematis lainnya berupa tabel, grafik, gambar, atau diagram. Dapat diduga bahwa kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis sangat membantu dalam proses pemecahan masalah matematis.

(23)

siswa dapat ditingkatkan; dan komunitas matematika dapat dibentuk. Untuk menciptakan atmosfir pembelajaran yang kondusif dalam mengoptimalkan kemampuan komunikasi matematis siswa sebaiknya siswa diatur dalam kelompok kecil melalui metode cooperative learning dengan berbagai tipenya strateginya.

Selain kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis, sikap positif siswa terhadap matematika dan sikap terhadap proses pembelajarannya perlu diperhatikan. Hal ini penting karena sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 2006). Pentingnya sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan adalah salah satu dari tujuan pendidikan matematika yang dirumuskan dalam KTSP (2006) juga dalam NCTM (2000).

Sikap siswa terhadap matematika erat kaitannya dengan minat terhadap matematika, sikap dapat mempengaruhi minat dan sebaliknya. Jika siswa berminat terhadap matematika maka ia akan suka mengerjakan tugas matematika, ini sebagai pertanda bahwa siswa tersebut bersikap positif terhadap matematika. Tanpa adanya minat sulit untuk menumbuhkan keinginan dan kesenangan dalam belajar matematika, apalagi matematika telah dicitrakan sebagai pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Namun dengan terbentuknya sikap positif siswa terhadap matematika dan pembelajarannya maka akan muncul minat mempelajarinya.

(24)

pada setiap tingkatan pendidikan untuk mengajarkan berbagai topik/bidang ilmu mulai dari matematika, membaca, menulis, belajar sains dan lain-lain.

Tipe Jigsaw ialah satu dari tipe Cooperative Learning yang mengutamakan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Tipe Jigsaw cocok diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa karena dalam tipe Jigsaw, siswa dikondisikan untuk belajar bersama dalam tim ahli untuk memecahkan masalah, kemudian masing-masing siswa dituntut untuk mampu mengkomunikasikan pemahamannya untuk mengajari temannya yang lain dalam kelompoknya. Dengan demikian, berbagai kemampuan siswa dapat ditingkatkan termasuk kemampuan bekerjasama.

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang berfokus pada pengembangan model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa, dipandang oleh penulis menjadi sangat urgen dan utama. Dalam hubungan ini, penulis mengadakan penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw yang dilaksanakan di SMA dan diberi judul “MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW”.

1.2 Rumusan Masalah

(25)

Jigsaw untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Adapun pertanyaan yang ingin dicari jawabannya melalui penelitian ini dituangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)?

2. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran biasa (konvensional)?

3. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran biasa (konvensional)?

5. Apakah ada hubungan atau keterkaitan (asosiasi) antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa?

(26)

7. Bagaimana sikap (respon) siswa terhadap matematika sehubungan dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?

Materi atau bahan ajar yang dipilih dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini, ialah pada pokok bahasan trigonometri khususnya sub-pokok bahasan rumus-rumus segitiga yang terdiri dari materi Aturan Sinus, Aturan Kosinus, Rumus-rumus Luas Segitiga serta Lingkaran dalam dan lingkaran luar segitiga. Berdasarkan Kurikulum 2006, materi trigonometri diberikan kepada siswa SMA kelas X pada semester genap. Jadi, pelaksanaan penelitian ini, tidak menambah beban (target) kurikulum yang seharusnya diperoleh siswa, dan siswa belajar materi sebagaimana mestinya.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa SMA, dan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap ketuntasan belajar siswa. Selain itu, mengidentifikasi sikap siswa terhadap matematika, sikap terhadap pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dan sikap siswa terhadap soal-soal pemecahan masalah dan komunikasi matematis yang diberikan.

Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

(27)

2. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). 3. Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).

4. Mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dibanding siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).

5. Mengetahui hubungan atau keterkaitan (asosiasi) antara kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan komunikasi matematis siswa. 6. Mengetahui tingkat ketuntasan kemampuan pemecahan masalah dan

komunikasi matematis siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. 7. Mendeskripsikan pandangan (sikap) siswa terhadap matematika dan model

pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi semua pihak, terutama bagi guru, siswa dan para peneliti selanjutnya yang bekaitan dengan penelitian ini. Secara rinci manfaat penelitian ini ialah:

1. Bagi Siswa

(28)

2. Bagi Guru

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk memberikan variasi dalam pembelajaran matematika. 3. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan bahan rujukan

dalam penelitian selanjutnya.

1.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis diselaraskan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

3. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran biasa.

4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran biasa. 5. Terdapat hubungan atau keterkaitan (asosiasi) antara kemampuan

(29)

1.6 Penjelasan Istilah

Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindarkan penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah dalam penelitian ini, maka diberikan batasan-batasan istilah sebagai berikut:

1. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan menggunakan kelompok kecil empat hingga lima orang siswa dengan kemampuan heterogen yang membentuk kelompok ahli (Expert team) melakukan eksplorasi masalah untuk menemukan solusi lalu kembali ke kelompok asal untuk saling membelajarkan teman yang lain. 2. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa meliputi kemampuan

memahami dan merumuskan masalah (Understand the Problem), menyusun rencana dan memilih strategi yang sesuai (Devise a Plan), melaksanakan rencana dan strategi dengan tepat (Carry out the Plan) untuk mendapatkan penyelesaian (Problem Conclusion), dan memeriksa kembali proses dan hasil yang diperoleh (Chek).

3. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang ditelaah dalam penelitian ini ialah komunikasi tertulis meliputi menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, menjelaskan ide matematis, menulis strategi penyelesaian, membuat gambar atau grafik serta membuat model atau ekspresi matematis untuk pemecahan masalah.

4. Peningkatan kemampuan siswa pada aspek pemecahan masalah dan komunikasi matematis dinyatakan dalam skor gain ternormalisasi (normalized-gain) dengan rumus: N-Gain

(30)

5. Ketuntasaan belajar dilihat dari dua segi yaitu ketuntasan individu dan ketuntasan klasikal. Ketuntasan individu dicapai seorang siswa bila telah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan sekolah. KKM untuk siswa kelas X di SMA Negeri 1 Kundur tahun ajaran 2008/2009 ialah 60 artinya siswa dikategorikan tuntas apabila memperoleh skor dengan proporsi 60% atau lebih. Ketuntasan klasikal ialah apabila secara individu 85% siswa telah mencapai ketuntasan minimal.

6. Sikap (respon) siswa adalah tanggapan siswa yang menunjukkan kecenderungan siswa untuk merespon positif atau negatif tentang matematika, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan soal-soal pemecahan masalah dan komunikasi matematis yang diberikan.

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan membandingkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional). Karena dalam penelitian ini terdapat unsur pemanipulasian perlakuan maka metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen.

Desain penelitian yang dilakukan adalah The Randomized Pre-test Pos-test Control Group Design (Fraenkel dan Wellen. 1993:248). Dipilih dua sampel kelas yang homogen secara acak, dan kepada mereka disajikan pembelajaran yang berbeda.

Adapun desain penelitiannya adalah sebagai berikut: A : O X O

A : O O

A: pemilihan sampel secara acak kelas O: Observasi pretes / postes

X: Perlakuan dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw

(32)

perlakuan. Observasi awal (pretes) bertujuan melihat kesetaraan kemampuan awal kedua kelompok. Observasi akhir (postes) dilakukan setelah kedua kelompok melaksanakan pembelajaran. Postes bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pembelajaran yang diberikan terhadap peningkatan kemampuan siswa, melihat apakah ada perbedaan kemampuan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut, termasuk melihat seberapa besar ketuntasan belajar siswa menyangkut penguasaan kompetensi-kompetensi dasar yang telah ditentukan dalam kurikulum.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

(33)

Adapun alasan pemilihan SMA Negeri 1 Kundur sebagai tempat pelaksanaan penelitian ialah penulis berharap para guru di sekolah ini dapat menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini menjadi salah satu alternatif pembelajaran untuk memberikan variasi terhadap model pembelajaran yang selama ini dilakukan yang umumnya masih bersifat konvensional. Sedangkan pemilihan siswa kelas X sebagai subjek penelitian ialah bahwa siswa kelas X dapat dikategorikan sudah cukup dewasa sehingga, dapat melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan baik.

3.2.2 Sampel

(34)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Adapun variabel bebas ialah perlakuan pembelajaran yang diberikan kepada kedua kelompok. Kelompok eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kelompok kontrol dengan pembelajaran biasa. Variabel terikat ialah hasil belajar siswa yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis.

3.4 Materi atau Bahan Ajar

Penyusunan dan pengembangan bahan ajar merupakan bagian yang sangat penting dari suatu proses pembelajaran. Pengembangan bahan ajar diarahkan agar siswa memiliki kesempatan untuk belajar secara maksimal melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam membangun penguasaan pemahaman konsep dan ide-ide matematis melalui proses berpikir yang dibangun baik secara mandiri terutama melalui pembelajaran dalam kelompok atau antar kelompok. Materi atau bahan ajar penelitian ini ialah pada pokok bahasan trigonometri yang secara spesisfik pada sub pokok bahasan rumus-rumus segitiga dalam trigonometri meliputi pembahasan dan penerapan Aturan Sinus, Aturan Kosinus, dan Rumus-rumus Luas Segitiga serta Lingkaran Dalam, dan Lingkaran Luar Segitiga.

(35)

3.5 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Sebagai alat pengumpul data, instrumen dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu intrumen tes dan instrumen non-tes. Instrumen tes berupa tes berbentuk uraian untuk mengukur kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Sedangkan instrumen non-tes terdiri dari angket skala sikap siswa, dan lembar observasi.

Dalam menyusun dan mengembangkan instrumen, langkah awal yang dilakukan adalah membuat kisi-kisi lalu kemudian mengkonstruksi instrumen. Untuk memeriksa validitas isi dilakukan sebelum dilaksanakan ujicoba instrumen. Dalam hal ini peneliti melibatkan pihak yang berkompeten untuk memeriksa validitasnya yakni pembimbing dan pakar pendidikan matematika.

Setelah instrumen selesai divalidasi, selanjutnya dilakukan diujicoba. Ujicoba instrumen dilaksanakan satu kali pada siswa kelas XI IPA di salah satu SMA Negeri di Sumedang Jawa Barat. Hasil ujicoba tersebut dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitasnya, tingkat kesukaran dan daya pembeda setiap butir tes. Analisis hasil ujicoba instrumen juga ditujukan untuk mengetahui apakah setiap item sudah cukup baik dan layak digunakan.

3.5.1 Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis

(36)

Instrumen tes diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu 6 item soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis dan 6 item soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis. Alokasi waktu untuk menyelesaikan tes ini ialah 120 menit. Perangkat soal dapat dilihat pada Lampiran E halaman 164.

Tes kemampuan pemecahan masalah matematis digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam penguasaan konsep dan penerapannya untuk pemecahan masalah matematis meliputi kemampuan memahami masalah, menyusun dan merencanakan strategi pemecahan, melaksanakan strategi pemecahan untuk memperoleh penyelesaian, dan melakukan peninjauan ulang atau mencoba cara yang lain.

Tes kemampuan komunikasi matematis digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis secara jelas dan benar dengan kata-kata sendiri, masuk akal, tidak meragukan, dan dikomunikasikan secara efektif dan jelas serta tersusun secara logis dalam bentuk tertulis, gambar (grafik), dan model matematika serta penyelesaiannya.

Untuk menentukan skor jawaban siswa, peneliti menetapkan suatu pedoman pensekoran tes pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Pedoman ini dibuat agar ada keseragaman dalam memberi skor terhadap setiap jawaban siswa.

3.5.1.1Pedoman Pensekoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

(37)

dkk 1994) dan pedoman pensekoran yang dibuat oleh Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment sebagai berikut:

Tabel 3.1 jawaban dibuat tapi tidak benar

Ada

- - Secara substansial prosedur

(38)

3.5.1.2Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

Pada Tabel 3.2 berikut disajikan pedoman penskoran tes kemampuan komunikasi matematis dari Holistic Scoring Rubrics. Pedoman penskoran ini diadaptasi dari Cai, Lane, dan Jakabcsin, (Ansari 2003) sebagai berikut:

Tabel 3.2

Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Menulis Menggambar Ekspresi Matematik

0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan tidak memahami konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa

1

(39)

3.5.2 Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda

Setelah instrumen jadi kemudian dilakukan ujicoba untuk mengecek keterbacaan soal dan untuk mengetahui derajat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda instrumen. Ujicoba dilakukan pada siswa kelas XI IPA pada salah satu SMA Negeri di Sumedang Jawa Barat. Daftar skor, satatistik deskriptif, dan perhitungan lainnya dapat dilihat pada Lampiran D halaman 189.

3.5.2.1Validitas Instrumen

Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang tangguh adalah tes mengukur hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri. Menurut Arikunto (2007:65) sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu mengukur apa yang hendak diukur.

Karena ujicoba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total butir tes dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson:

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑ (Arikunto, 2007:64-78)

Keterangan : = koefisien korelasi antara variabel X dan Y = jumlah peserta tes

= skor item tes = skor total

(40)

Jumlah siswa yang mengikuti ujicoba sebanyak 40 orang sehingga nilai kritis r product moment dengan taraf konfidensi 99% ialah , ;" 0,403. Jika pada & 0,01 ternyata nilai kefisien korelasi ( maka item tes tersebut dikatakan valid.

Nilai dan untuk tiap item instrumen uji kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.3

Uji Validitas Tes Pemecahan Masalah

No. ∑ ∑ ∑ ) ∑ ) ∑ * r-tabel Validitas

1 250 1.181 1.670 37.643 7.908 0,965 0,403 Valid

2 217 1.181 1.261 37.643 6.853 0,925 0,403 Valid

3 118 1.181 414 37.643 3.896 0,964 0,403 Valid

4 206 1.181 1.174 37.643 6.624 0,967 0,403 Valid

5 199 1.181 1.069 37.643 6.322 0,954 0,403 Valid

6 191 1.181 975 37.643 6.040 0,959 0,403 Valid

Tabel 3.4

Uji Validitas Tes Komunikasi Matematis

No. ∑ ∑ ∑ ) ∑ ) ∑ * r-tabel Validitas

1 224 1.135 1320 34.327 6.702 0,928 0,403 Valid

2 214 1.135 1206 34.327 6.392 0,888 0,403 Valid

3 116 1.135 402 34.327 3.624 0,891 0,403 Valid

4 116 1.135 400 34.327 3.635 0,935 0,403 Valid

5 212 1.135 1220 34.327 6.433 0,923 0,403 Valid

(41)

Dengan membandingkan nilai dan ternyata pada taraf konfidensi 99% semua item memiliki koefisien korelasi ( maka dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan pemecahan masalah dan tes komunikasi matematis seluruhnya valid.

3.5.2.2Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas suatu instrumen ialah keajegan atau kekonsistenan instrumen tersebut. Suatu tes yang reliabel bila diberikan pada subjek yang sama meskipun oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula, maka akan memberikan hasil yang sama atau relatif sama. Keandalan suatu tes dinyatakan sebagai derajat suatu tes dan skornya dipengaruhi faktor yang non-sistematik. Makin sedikit faktor yang non-sistematik, makin tinggi keandalannya.

Karena instrumen dalam penelitian ini berupa tes berbentuk uraian, maka derajat reliabilitasnya ditentukan dengan menggunakan rumus Cronbach-Alpha:

++ ,- +- . ,1 /∑ 0021. (Suherman, 2003:154)

dengan varians item dan varians total hitung dengan rumus:

3) ∑ 1

∑ 41

5 dan 3) ∑ 1 ∑ 61 5

Keterangan: ++= koefisien reliabilitas tes 7= banyaknya butir soal

∑ 3)= jumlah varians skor tiap butir soal

(42)

Untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas instrumen digunakan tolok ukur yang ditetapkan J.P. Guilford (Suherman 2003:139) sebagai berikut:

Kriteria Derajat Keandalan J.P. Guilford

Nilai ++ Derajat Keandalan

++8 0,20 Sangat rendah

0,20 : ++8 0,40 Rendah

0,40 : ++8 0,70 Sedang

0,70 : ++8 0,90 Tinggi

0,90 : ++: 1,00 Sangat tinggi

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan pemecahan masalah matematis disajikan pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5

Perhitungan Varians Instrumen Pemecahan Masalah Matematis

No. ∑ ∑ ) ∑ ) ∑ ∑ ∑ ) / ∑ 3)

1 250 62.500 1.670 40 1562,50 107,500 2,6875

2 217 47.089 1.261 40 1177,23 83,775 2,0944

3 118 13.924 414 40 348,10 65,900 1,6475

4 206 42.436 1.174 40 1060,90 113,100 2,8275

5 199 39.601 1.069 40 990,03 78,975 1,9744

6 191 36.481 975 40 912,03 62,975 1,5744

∑ 3) 12,8056

Varians skor total dengan 40 ; ∑ 1.181 ; ∑ ) 37.643 dan ∑ ) 1.394.761 adalah 3) 69,349. Selanjutnya dengan rumus alpha

(43)

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.6

Perhitungan Varians Instrumen Komunikasi Matematis

No. ∑ ∑ ) ∑ ) ∑ ∑ ∑ )/ ∑ 3)

1 224 50.176 1.320 40 1.254,40 65,60 1,6400

2 214 45.796 1.206 40 1.144,90 61,10 1,5275

3 116 13.456 402 40 336,40 65,60 1,6400

4 116 13.456 400 40 336,40 63,60 1,5900

5 212 44.944 1.220 40 1.123,60 96,40 2,4100

6 253 64.009 1.677 40 1.600,23 76,78 1,9194

∑ 3) 10,7269

Varians skor total tes untuk 40; ∑ 1.135 ; ∑ ) 34,327 dan

∑ ) 1.288.225 adalah 3) 53,034. Selanjutnya dengan rumus alpha untuk

k = 6 item didapat ++ 0,9573. Berpedoman pada tolok ukur J.P. Guilford maka instrumen komunikasi matematis memiliki derajat reliabilitas sangat tinggi.

3.5.2.3Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk mengklasifikasikan setiap item instrumen tes kedalam tiga kelompok tingkat kesukaran untuk mengetahui apakah sebuah instrumen tergolong mudah, sedang atau sukar.

Tingkat kesukaran tes dihitung dengan rumus:

AB GHIJE* K7L IE7KMIHI MNDEJ MODICDEF

(44)

TK= Tingkat kesukaran dengan kategori:

Berdasarkan skor tes ujicoba perhitungan tingkat kesukaran disajikan pada Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.7

Analisis Tingkat Kesukaran Tes Pemecahan Masalah Matematis No.

(45)

3.5.2.4Daya Pembeda

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Daya pembeda tes dihitung dengan rumus:

YZ [ - SQVS- R-ST Q -R Q Q RSR Q - SQVS- U (Depdiknas, 2006:45)

Klasifikasi daya pembeda (DP) soal adalah sebagai berikut: Kriteria daya pembeda Klasifikasi daya pembeda

YZ ( 0,40 0,30 : YZ 8 0,40 0,20 : YZ 8 0,30

YZ 8 0,20

Daya Pembeda soal sangat baik Daya Pembeda soal baik

Daya Pembeda soal kurang baik Daya Pembeda soal tidak baik

Untuk data dalam jumlah yang banyak (kelas besar) dengan n > 30, maka sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor tertinggi dikategorikan kedalam kelompok atas (higher group) dan sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor terendah dikategorikan kelompok bawah (lower group).

(46)

Tabel 3.9

Perhitungan Daya Pembeda Tes Pemecahan Masalah Matematis

No.

Item \]^ \]_ \]^/ \]^

Skor

maksimun DP Keterangan

1 7,82 4,09 3,73 10 0,37 Baik

Perhitungan Daya Pembeda Tes Komunikasi Matematis

No.

Item \]^ \]_ \]^/ \]^

Skor

maksimun DP Keterangan

1 6,64 3,91 2,73 10 0,27 Cukup

(47)

Agar pernyataan dalam angket ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan dosen pembimbing untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Pada angket disediakan empat skala pilihan yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan netral (N) tidak digunakan, untuk menghindari jawaban aman, sekaligus mendorong siswa untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap pernyataan yang diajukan.

Angket yang digunakan terdiri dari 24 pernyataan dengan 12 pernyataan positif dan 12 pernyataan negatif. Pernyataan positif dan negatif ini bertujuan agar jawaban siswa menyebar, tidak menuju pada satu arah saja di samping itu untuk menjaring kekonsistenan siswa dalam memberikan respon. Angket sikap diisi kelompok eksperimen setelah melaksanakan postes.

Pengolahan skala sikap didahului dengan penentuan skor setiap pilihan jawaban pada setiap pernyataan. Skor ditentukan dengan bantuan tabel Z dari proporsi frekwensi jawaban siswa.

3.5.4 Lembar Observasi

(48)

3.6 Prosedur Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian ini secara berurutan dibagi menjadi empat tahapan yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penulisan laporan.

3.6.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian dimulai dari sejak pembuatan proposal, kemudian melaksanakan seminar proposal untuk meperoleh koreksi dan masukan dari tim pembimbing tesis, menyusun instrumen dan rancangan pembelajaran. Setelah melalui tahapan-tahapan bimbingan dan perbaikan, selanjutnya instrumen diujicobakan. Hasil ujicoba dianalisis untuk memeriksa validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran serta daya pembeda instrumen.

3.6.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

3.6.2.1Jadual Pelaksanaan Penelitian di Kelas

(49)

Tabel 3.11

Jadual Pelaksanaan Penelitian pada Kelas Eksperimen

No HARI/TANGGAL WAKTU KEGIATAN

1 Jumat/

03 April 2009 09.00 – 11.00 Pretes

2 Selasa/

07 April 2009 09.45 – 11.15 Pembelajaran I : Aturan Sinus

3 Rabu/

08 April 2009 12.15 – 13.45 Pembelajaran II : Aturan Kosinus

4 Selasa/

14 April 2009 09.45 – 11.15 Pembelajaran III : Rumus Luas Segitiga

5 Rabu/

15 April 2009 12.15 – 13.45

Pembelajaran IV: Lingkaran Luar dan

Lingkaran Dalam Segitiga

6 Kamis/

16 April 2009 09.00 – 11.00 Postes

7 Jumat/

17 April 2009 09.45 – 10.15 Pengisian Skala Sikap

3.6.2.2Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Kelas Eksperimen

Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, hasilnya diperiksa untuk mengetahui kemampuan awal mereka dalam pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Selanjutnya kepada siswa kelas eksperimen diberitahukan, bahwa pada pertemuan berikutnya mereka akan mengikuti pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

(50)

dengan mempedomani hasil ulangan harian sebelumnya dan hasil pretes yang baru dilaksanakan. Pengelompokan diupayakan memenuhi syarat heterogen baik kemampuan maupun jenis kelamin. Sehari sebelum pelaksanaan pembelajaran nama-nama anggota kelompok disampaikan agar ada kesiapan mereka. Selanjutnya setiap kelompok diberi kebebasan menentukan nama kelompoknya dengan memilih nama-nama ahli matematika yang mereka sukai. Terkait dengan nama ahli yang dipilih, setiap kelompok ditugaskan untuk membuat artikel yang memuat biografi ahli tersebut dan bidang keahliannya.

Dalam penilitian ini, peneliti terjun langsung bertindak sebagai guru yang menyajikan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di kelas eksperimen. Selama pembelajaran di kelas peneliti didampingi oleh guru lain yang bertindak sebagai pengamat yang melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran. Pada setiap pertemuan dilaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

i. Tahap Pendahuluan (Apersepsi)

Tahap apersepsi dilakukan selama 10 menit. Pada tahap apersepsi, guru memberikan pengarahan dan penjelasan kegiatan yang akan dilakukan siswa berkaitan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan, menyangkut fase-fase kegiatan dan langkah-langkahnya, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.

ii. Tahap Eksplorasi (Kegiatan inti):

(51)

terdiri dari tiga fase. Fase pertama, dalam waktu 5 menit siswa bergabung pada kelompoknya dan membagi materi/tugas kepada tiap anggota. Fase kedua, selama 20 menit berlangsung pembahasan kelompok ahli. Dalam fase tim ahli, siswa yang mendapat tugas yang sama bergabung dalam kelompok ahli untuk membahas materi yang spesifik. Fase ketiga, selama 30 menit untuk kegiatan pembahasan semua tugas dalam kelompok belajar, setiap siswa secara bergantian membelajarkan teman sekelompoknya mengenai materi yang dibahas dalam kelompok ahli

iii. Tahap pengembangan, pengujian, penugasan dan penutup

Tahap pengembangan dan pengujian dilaksanakan selama 25 menit. tahap ini terdiri dari dua fase yaitu fase pengembangan selama 10 menit dan fase pengujian 15 menit. Fase pengembangan diisi dengan kegiatan tanya jawab mengenai materi yang telah dibahas. Pada fase pengujian setiap siswa secara individu mengerjakan soal yang telah dipersiapkan untuk mengetahui kemajuan belajar siswa dalam pertemuan yang sudah dilaksanakan.

3.6.2.3Pembelajaran pada Kelas Kontrol

Pembelajaran pada kelas kontrol berlangsung sebagaimana pembelajaran yang biasa dilakukan selama ini bersama guru. Dalam kelas kontrol, siswa belajar dan guru mengajar seperti biasanya. Kelas kontrol mempelajari materi yang sama yaitu rumus-rumus segitiga. Kelas kontrol diperlakukan sebagai pembanding.

(52)
(53)

3.7 Tehnik Analisis Data

Setelah penelitian dilaksanakan, maka diperoleh data sebagai berikut: 1) Data nilai pretes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan

komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

2) Data nilai postes kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3) Data skala sikap kelas eksperimen.

4) Data hasil observasi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan adalah uji kesamaan dua rata-rata, dan perhitungan dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan Software SPSS 13,0 for Windows dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain meliputi skor terendah, skor tertinggi, rata-rata, dan simpangan baku. 2. Menguji normalitas skor pretes, postes, dan skor N-Gain dengan uji

non-parametrik One-Sample Kolmogorov-Smirnov pada taraf konfidensi 95%. 3. Menguji homogenitas varians dengan uji Levene dalam One-Way Anova

atau dalam Independen sample t- test pada taraf konfidensi 95%.

(54)

5. Untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus gain skor ternormalisasi:

`

0abc 0ade

0fghc 0ade (Meltzer. 2002)

Keterangan:

3VT 37L i DODK ;

3VSR 37L iLKODK ;

3Q -R 37L IE7KMIHI MNDEJ

Kategori: Tinggi : ` ( 0,7 ;

Sedang: 0,3 : ` 8 0,7 ; Rendah: g < 0,3

Untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis kelompok eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok kontrol perlu diuji secara statistik.

Uji normalitas data skor pertes, skor postes, dan skor N-Gain kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan rumus hipotesis kerja:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : Data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

Dengan kriteria: tolak Ho jika Signifikansi (2-tailed) output SPSS < +

)&

(55)

Uji homogenitas antara dua varians pada skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan uji Levene dengan rumusan hipotesis kerja:

H0 : j+) j)) Varians populasi skor kedua kelompok homogen. H1 : j+) k j)) Varians populasi skor kedua kelompok tidak homogen. j+)= Varians skor kelompok eksperimen; j))= Varians skor kelompok kontrol

Dengan kriteria: tolak H0 jika Signifikansi output SPSS < & (Trihendradi, 2005:158).

Uji perbedaan rata-rata skor postes, dan N-Gain antara kelpompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan uji satu pihak (pihak kanan) untuk menguji rumusan hipotesis kerja:

H0 : l+ l) : Tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua kelompok. H1 : l+ X l): Rata-rata kelompok eksperimen lebih besar dari kelompok

kontrol

l+ = Rata-rata kelompok eksperimen l) = Rata-rata kelompok kontrol

Dengan kriteria pengujian satu arah yaitu: tolak H0 jika Sig (1-tailed) < &.

(56)

H o Kedua faktor bebas statistik (tidak ada keterkaitan) H+ o Kedua faktor tidak bebas statistik ( ada keterkaitan)

Kriteria pengujian ialah: tolak Ho jika pada taraf konfidensi 95% atau

& 0,05 nilai m) X m)

m) p p qP/ rP )

rP

]

Ps+ _

sP

dengan rP t P / (Sudjana, 2005:279) Besarnya derajat hubungan kedua faktor dihitung menggunakan rumus

koefisien kontingensi v w

w x yang dibandingkan terhadap koefisien

kontingensi maksimum vQ -R Q +

Q dengan m adalah minimum dari

banyak baris (B) dan banyak kolom (K) pada tabel kontingensi B/K. 7. Untuk mengetahui kualitas sikap siswa terhadap pelajaran matematika,

(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Penelitian ini menganalisis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa Sekolah Menengah Atas. Eksperimen dalam penelititan ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Kundur Kabupaten Karimun. Kegiatan belajar siswa yang mendapat perlakuan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berlangsung dalam situasi yang kondusif, dan siswa terlibat lebih aktif melalui diskusi tim ahli dan diskusi kelompok belajar. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran juga tergolong baik. Setiap siswa berusaha untuk dapat mengajari temannya yang lain, sebaliknya setiap siswa berusaha memahami penjelasan yang diberikan oleh teman-temannya.

Berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan selama menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

(58)

daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matmatis siswa yang melaksanakan pembelajaran biasa.

3. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran biasa. 4. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran biasa.

5. Secara signifikan, terdapat hubungan keterkaitan (asosiasi) atau ketergantungan antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis. Tingkat asosiasi kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam penelitian ini tergolong sedang (cukup).

6. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal dalam penelitian ini belum mencapai kriteria ketuntasan ideal. Meskipun demikian ketuntasan klasikal siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik daripada ketuntasan klasikal siswa yang melaksanakan pembelajaran biasa.

(59)

5.2Saran-Saran

1. Kepada Guru

a. Untuk guru bidang studi matematika, pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw sebaiknya digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan siswa pada aspek pemecahan masalah dan komunikasi matematis.

b. Untuk guru-guru yang baru mencoba menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini, sebaiknya mengantisipasi kendala-kendala yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, pada awalnya siswa bingung dan mereka seolah-olah tidak tahu apa yang hendak dilakukan. Terutama siswa yang memiliki kemampuan rendah, mereka kesulitan menyampaikan hasil pembahasan kelompok ahli ke anggota kelompok belajarnya. Dorongan dari guru sebagai fasilitator dan motivator akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri siswa sehingga aktivitas pembelajaran menjadi lebih efektif.

2. Kepada Lembaga Terkait

(60)

3. Kepada Peneliti yang Berminat

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Ansari, B.I. (2003) Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik melalui Strategi Think-Talk-Write (Eksperimen di SMUN kelas I Bandung). Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.

Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Wm. C. Brown Company Publishers: United States of America.

Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment: Analytical Scale for Problem Solving Scoring Rubrics [Online] Tersedia: http://intranet.cps.k12.il.us/Assessments/Ideas_and_Rubrics/Rubric_Ba nk/MathRubrics.pdf

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

---.(2004). Pedoman Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Departemen Pendidkan Nasional.

---.(2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

(62)

Fraenkel, J.R. & Wallen, N. (1993). “How to Design and Evaluate Research in Education” Singapore: Mc.Graw-Hill

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Juandi, D. (2007). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor SPS UPI: Tidak diterbitkan.

Kaimudin. (2003). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar melalui Belajar dalam Kelompok Kecil. Tesis UPI: Tidak dipublikasikan.

Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 23 Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS.

Krulik, S. dan Reys, R.E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM

Lie, A. (2004). Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo.

Matlin, M.W. (2003). Cognition. Fifth Edition. New York, USA : John Wiley & Son.Inc.

(63)

Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible "Hidden Variable" in Diagnostic Pretest Scores. [Online], Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gai n.[28 November 2008]

Mungin, E.W. (2006). Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekan baru, Riau.

Mullis, et.al. (2000). TIMMS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.

Mulyana, T. (2005). Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematika Siswa SMA Jurusan IPA Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Induktif-Deduktif. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara

National Council of Supervisors of Mathematics. (1977). NCSM Position Paper on Basic Mathematical Skills. [Online]. Tersedia: http://www. ncsmonling.org/NCSMPublications/publications.html [2008, November 26].

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Noer, S.H (2007). Pembelajaran Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berfikir Kreatif Bandung: PPS UPI (Tesis tidak diterbitkan)

Oakley, L. (2004). Cognitive Development Routledge: London and New York

(64)

Reys, R. E., Suydam, M. N, Lindquist, M. M., & Smith, N. L., & (1998). Helping Children Learn Mathematics (5thed.). USA: Allyn and Bacon.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Tarsito.

---,(2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Berpikir Reflektif. Makalah disajikan pada Seminar Nasional 2007. FPMIPA UPI, Bandung

Schneider, J.& Saunders, K.W. (1980) Pictorial Languages in Problem Solving. In Krulik, S dan Reys, R.E. (1980) Yearbook. Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM

Shadiq, F. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Depdiknas Dirjen Dikdasmen PPPG Matematika, Yogyakarta.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and Practice, (second ed.).Boston: Allyn and Bacon.

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2002). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: FPMIPA UPI.

Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika, Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Gambar

Tabel 4.17 Kontingensi Baris-Kolom antara Kemampuan Pemecahan
Gambar 4.1 Rata-rata Proporsi Aspek Pemecahan Masalah Matematis …..
Tabel 3.1
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis
+7

Referensi

Dokumen terkait

description to the messages written in the novel ‘The Scarlet letter’ by its author. Nathaniel Hawthorne to

3.7 Pengujian Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) (EERPT) dengan Metode Plantar tes Infra red (IR) 96 nm .... 4.2

MENURUT ORGANI SASI / BAGI AN ANGGARAN, UNI T ORGANI SASI , PUSAT,DAERAH DAN KEWENANGAN. KODE PROVINSI KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSEN

Penggunaan sebuah piranti server terdedikasi kurang efisien apabila hanya digunakan untuk sistem operasi tunggal dengan kebutuhan sumberdaya kecil. Mesin

Berdasarkan hasil evaluasi penawaran dan evaluasi teknis yang kami lakukan pada proses Seleksi Sederhana untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dan Sertifikasi ISO 9001:2008

Pada hari ini, Kamis tanggal Tiga puluh satu bulan Desember tahun Dua ribu lima belas, bertempat diruang Rapat Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh telah dilaksanakan Rapat

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga untuk penaw aran paket pekerjaan tersebut diatas, dengan ini kami sampaikan bahw

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, seluruh jabatan yang ada beserta pejabat yang memangku jabatan lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias