• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TIPOLOGI CORAK HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: STUDI EPISTEMOLOGIS PADA TEORI GERAK GANDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN TIPOLOGI CORAK HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: STUDI EPISTEMOLOGIS PADA TEORI GERAK GANDA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

eL-Hekam: Jurnal Studi Keislaman

https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/elhekam/index P - ISSN: 2528-2506

E - ISSN: 2549-8940)

TINJAUAN TIPOLOGI CORAK HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN: STUDI EPISTEMOLOGIS PADA TEORI GERAK GANDA

Atin Suhartini*1, Fadhlu Rahman2, Evi Sri Handayati 3, Hafizur Rahman Rumel4, Muhammad Baqir5

1Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia, 2Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia, 3Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widyapuri Mandiri, Indonesia, 4Islamic

University Kushtia Bangladesh, Bangladesh, 5Maahad Darul Furqan Malaysia, Malaysia

Korespondensi: Jl. Laksda Adisucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

e-mail: atinsuhartini401@gmail.com

*) Corresponding Author

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan posisi yang tegas terkait corak hermeneutika Fazlur Rahman, dimana pada perdebatannya, ia disatu sisi dianggap sebagai penganut aliran objektivisme karena upayanya untuk menggali makna objektif suatu ayat dengan teori double movementnya, namun di satu sisi ia juga dianggap beraliran subjektivisme karena ia meyakini bahwa pemahaman yang dilakukan seorang penafsir adalah pemahamannya sendiri bukan mencerminkan objektifitas Islam sesungguhnya. Pemahaman terkait ketidaktegasan posisi ini berimplikasi pada kritik yang tidak proporsional pada hermeneutika Rahman. Dengan demikian dari dilema dua kubu pemahaman atas teori Fazlu Rahman ini, perlu untuk digali aspek epistemologis hermeneutika Fazlu Rahman secara deksriptif analisis khususnya pada teori gerak ganda atau double movement dimana teori ini menjadi metodenya dalam mengeluarkan suatu hukum dalam tradisi islam. Penelitian ini menemukan diantaranya pertama, bahwa double movement Fazlu Rahman mencerminkan objektifitas dan subjektifitas pada aspek tertentu dalam proses penarikan hukum islam melalui gerak ganda. Kedua hermeneutika Fazlur Rahman secara epistemologis lebih tepat ditempatkan pada aliran Quasi-Objektf Modernis.

Kata Kunci: Quasi-Objektif Modernis, Quasi Objektif Tradisionalis, Takhrij, Epistemologi Abstract: This study aims to find a firm position regarding Fazlur Rahman's hermeneutical style, where on the one hand he is considered a follower of objectivism because of his efforts to explore the objective meaning of a verse with his double movement theory, but on the one hand he is also considered subjectivism because he believes that the understanding carried out by an interpreter is his own understanding and does not reflect the true objectivity of Islam. This understanding of the indecisiveness of this position has implications for a disproportionate critique of Rahman's hermeneutics. Thus, from the dilemma of the two camps of understanding Fazlu Rahman's theory, it is necessary to explore the epistemological aspects of Fazlu Rahman's hermeneutics in a descriptive analysis, especially in the theory of double movement where this theory becomes his method in issuing a law in the Islamic tradition.

This study finds, among others, first, that Fazlu Rahman's double movement reflects objectivity and subjectivity in certain aspects of the process of drawing Islamic law through a double movement. Both of Fazlur Rahman's hermeneutics are epistemologically more appropriately placed in the Modernist Quasi-Objective school.

Keyword: Modernist Quasi-Objective, Traditionalist Quasi-Objective, Takhrij, Epistemology

(2)

PENDAHULUAN

Diskursus tentang posisi hermeneutika Rahman tidak pernah berhenti dibicarakan, mengingat sosok Fazlu Rahman yang sangat penting dalam khazanah intelektual Islam khususnya sebagai seorang reformis Islam (Syukri, 2005, p. 53). Gagasannya yang tertuang dalam Islam dan modernitas menjadi bukti bahwa ia sebagai seorang yang sangat sadar akan pentingnya kontekstualisasi Islam pada masa modern khususnya bagaimana al- Qur’an sebagai rujukan utama Islam dapat berdialog dan memberikan solusi bagi problem masyarakat Islam dalam menghadapi era modern. Capaian dan fokusnya ini yang membuatnya diminati dan dianalisa segala bentuk teori yang dihasilkannya. Analisa terhadap teorinya berujung pada perdebatan yang tidak berujung terkait posisi hermeneutikanya yang bisa dibilang menganut dua prinsip sekaligus yaitu obketivisme dan subjektifisme (Ulya, 2011, p. 124), maka tak heran jika ia disemati oleh dua sifat tersebut.

Pendukung objektivisme misalnya melihat Rahman berusaha menggali makna objektif suatu ayat melalui teori gerak gandanya dimana ini tercermin pada Gerakan pertama yang berusaha menggali aspek mikro dan makro sebab turunnya ayat (Rahman, 1982, pp. 6–7).

Titik tolak objektif ini yang membuatnya sering disebut sebagai hermeneutikus aliran objektivis. Adapun subjektivisme terlihat pada keyakinan bahwa sejatinya manusia yang melakukan sebuah penafsiran tidak lain akan memproduksi makna baru dan bukan memproduksi ulang makna sesungguhnya dari teks yang digali. Kritik Farid Esack pada Fazlu Rahman misalnya yang mengasumsikan bahwa ia dianggap aliran objektif. Esack melihat bahwa metodelogi yang dibangun Rahman dalam menggali makna al-Qur’an dan mengkontruksi gagasan islam tidak mempertimbangkan aspek interpreter secara mendalam (Esack, 1997, pp. 64–66). Kritiknya ini menunjukkan bahwa Rahman kurang memberi perhatian pada aspek penafsir yang memiliki latar belakang pemahaman.

Nampaknya Esack setuju dengan Gadamer dimana interpreter penuh dengan prakonsepsi yang akan sangat mempengaruhi dalam proses penafsiran sebuah teks (Esack, 1997). Menurut

Gadamer manusia ada dalam proses historis sehingga sudah sejatinya manusia memiliki keadaan historisnya masing-masing yang dalam hal ini manusia sebagai interpreter. Basis pemahamannya ini adalah upaya dalam menentang Dithley dimana Dithley menurutnya tidak mengasumikan bahwa manusia yang menjadi interpreter bukan bagian dari produk sejarah sehingga penekanan prakonsepsi tidak terdapat pada sipenafsir (Hardiman, 2015, p. 159 dan 180).

Rahman walaupun demikian tetap menekankan bahwa apa yang dihasilkan oleh penafsir bukanlah sebuah pemahaman yang sesuai dengan maksud si pengarang, sehingga pemahaman terkait al- Qur’an bukanlah al- Qur’an itu sendiri (Rahman, 1982). Dari sini tampak bagaimana Rahman oleh banyak kalangan diasumsikan juga sebagai tokoh Hermeneutika islam yang beraliran Subjektivisme (Ulya, 2011). Dari penjelasan sebelumnya maka Rahman dapat dikatakan sebagai hermeneutikus yang memiliki pandangan subjektif dan Objektif. Dari permasalahan ini berimplikasi pada pandangan bahwa Rahman memiliki kelemahan dimana posisi hermeneutikanya tampak ambigu dan tidak secara tegas terposisikan, sehingga kritik- kritik yang diarahkan padanya tidak proporsional. Dalam konteks ini peneliti berusaha untuk menggali asumsi-asumsi tentang posisi pemikiran Fazlur Rahman lebih jauh dan memberikan pendasaran epistemologis guna mengetahui posisi tegas hermeneutikanya yang diklaim oleh berbagai kalangan ambigu.

Pemberian pendasaran ini akan menggunakan teori-teori tentang jenis-jenis aliran hermeneutika dan melihat posisinya dari berbagai aliran tersebut sehingga dapat diketahui lebih jelas posisi aliran Hermeneutika Fazlu Rahman. Adapun gagasan Rahman yang akan dijadikan dasar analisis adalah pemikirannya tentang gerak ganda atau Double Movement, dimana secara sekilas teori ini menjelaskan tentang bagaimana seorang penafsir untuk mendapatkan makna dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan dapat mengkontekstualisasikannya secara proporsional untuk masa sekarang. Teori ini menggambarkan juga secara jelas basis teori

(3)

hermeneutikannya sehingga objek yang akan diteliti secara epistemology adalah teori tersebut. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana subjektivisme dan objektivisme Rahman tampak pada gagasannya? Dan bagaimana posisi yang tepat terkait corak epistemologis aliran hermeneutika Rahman?.

SEKILAS RIWAYAT HIDUP FAZLUR RAHMAN

Fazlu Rahman dilahirkan di Hazara yang sekarang nama daerah itu disebut sebagai Pakistan. Tempat ini disebut-sebut banyak melahirkan pemikir-pemikir besar dan berpengaruh, misalnya Muahammad Iqbal, Syah Waliyullah dan Sir Sayyid Ahmad Khan.

Rahman Kecil dibesarkan dengan keadaan komunitas rasional yang kuat salah satunya ditandai dengan madzhab fiqih Hanafi. Selain dari lingkungan eksternal keluarganya, ia juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari keluarganya, Ayahnya misalnya yang dari kecil sudah mendidiknya dengan pembelajaran pembelajaran islam klasik seperti Ilmu Tafsir Qur,an, Hadist, dan Ushul Fiqih. Fondasi ini yang kemudian membuatnya menguasai al- Qur’an secara akademik di usia yang relatif muda. Selain Ayahnya, Ibunya juga memberikan pembelajaran non formal berupa didikan nilai- nilai kebenaran dan edukatif secara moril (Firmansyah, 2015).

Secara formal ia habiskan salah satunya di sekolah menengah Seminari Deoband India, kemudian ia lanjutkan Bachelornya di University of Punjab Lahore pada jurusan sastra Arab. Tak lama setelah itu ia melanjutkan studi masternya di tempat yang sama. Pada jenjang doktoralnya, ia melanjutkannya ke university of Oxford. Di sana ia mengambil konsentrasi filsafat Islam, dan membuat desertasi tentang Ibn Sina.

Selepasnya lulus di sana, ia menetap beberapa lama di barat dan sempat mengajar di Durham University pada bidang filsafat dari 1950 sampai 1958, kemudian ia melanjutkan karirnya di Institute of Islamic Studies di Mc Gill University dan menjadi associate professor sampai 1961 (Rofiah, 2020, pp. 196–197). Tak lama setelah itu pemerintah Pakistan mencari seorang intelektual islam yang memiliki

pengetahuan modern, dan akhirnya Rahman sebagai anak bangsa memiliih untuk memenuhi panggilan tersebut dan menjadikannya sebagai direktur proyek presiden Pakistan untuk membangun sebuah Lembaga riset islam modern. Selain organisasi itu, ia juga bergabung dengan dan menjadi anggota Advisory Council of Islamic Ideolgy pemerintah Pakistan. Bergabungnya ia pada dua organisasi tersebut, membuatnya intens berdiskusi dan menampilkan gagasan-gagasannya dalam menafsirkan ulang pemikiran Islam guna menjawab tantangan- tangangan dan solusi atas problematika islam di eranya. Dari gagasannya ini ia mendapatkan berbagai tantangan dimana ulama konservatif Pakistan banyak tidak setuju dan menentang keras gagasan-gagasan yang ia cetuskan. Dari keadaan ini ia pamit undur diri dan lebih memilih mengembangkan intelektualitas islamnya di Barat.

Setibanya di sana ia mendapatkan gelar professor di University of California Los Angeles, pada musim semi tahun 1969.

Sedangkan pada musim gugur ia memilih untuk mengabdikan diri University of Chicago Amerika dan mengajar debagai professor pada bidang studi Islam. Hal penting lain di akhir masa hidupnya adalah ia mendapatkan gelar Harold H. Swift Distinguished dari Universitas Chicago, dan mengemban gelar tersebut samapi ia wafat pada 1988 akibat serangan jantung. Semasa hidupnya ia meninggalkan beberapa karya monumental yang antara lain Avicenna’s Psychology, The Philosophy of Mulla Sadra, Avicenna’s De Anima, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity:

Transformation of an Intellectual Tradition (Acikgenc, 2001, pp. 196–197).

Dalam konteks Rahman yang akan dijelaskan maka penelusuran Epistemologi berkaitan dengan justifikasi kebenaran yang sebelumnya dalam pendahuluan dijelaskan sedikit tentang subjektivisme, dan objektivisme.

SEKILAS TENTANG TEORI DOUBLE MOVEMENT (GERAK GANDA)

Double movement secara singkat adalah istilah untuk menunjukan sebuah teori Gerakan ganda. Gerakan ganda ini

(4)

dimaksudkan dalam proses interpretasi dimana, terdiri dari Gerakan pertama yang mengharuskan seorang interpreter untuk melihat sebab suatu ayat turun baik secara mikro dan makro. Pada Gerakan ini seorang interpreter diharuskan untuk menjadi ahli sejarah, yang artinya menggunakan seluruh perangkat dan ilmu serta metodelogi secara komprehensif dalam melihat ayat turun. Aspek mikro yang dimaksud dalam konteks ini adalah aspek langsung atau sebab langsung suatu ayat tersebut turun sedangkan aspek makro adalah konteks general atau keadaan umum ayat turun. Konteks umum ini maksudnya adalah konteks keadaan sosio-kultural masa turunnya ayat. Ini sehingga dengan Gerakan pertama ini interpreter akan memahami secara lebih komprehensif tentang keadaan ayat turun, yang sebelumnhya ulumul qur’an atau pendekatan tradisionalis dalam memahami al-qur’an hanya melihat aspek mikro ayat tanpa melihat keadaan general dan tidak menggunakan sumber serta ilmu selain dari tradisi islam (Esack, 1997). Dalam konteks ini terlihat ada pembaharuan daam melihat konteks ayat muncul yang walaupun para ilmuan tradisionalis islam juga tidak akan melupakan aspek sebab turunnya ayat.

Setelah mendapatkan pengetahuan objektif tentang keadaan ayat turun secara mikro dan makro, maka interpreter dituntut untuk menarik tujuan moral suatu ayat. Yang ini kemudian akan menjadi basis hukum yang akan digunakan dalam Gerakan kedua. Gerakan kedua bertolak dari hasil Gerakan pertama yaitu nilai moral atau tujuan moral, yang kemudian darinya ditarik untuk dikontekstualisasikan pada problem yang akan diselesaikan di masa sekarang (Firmansyah, 2015). Untuk melakukan kontekstualisasi tentunya tidak hanya kita memahami keadaan ayat turun secara komprehensif melalui aspek mikro dan makro melainkan juga kita harus memahami secara komprehensif keadaan sekarang yang akan kemudian dihubungkan dengan hasil Gerakan pertama (Budiarti, 2017, pp. 31–32). Ini sehingga suatu pengkajian komprehensif tidak hanya terjadi pada Gerakan pertama melainkan juga pada Gerakan kedua. Dari dua Gerakan ini dapat disimpulkan bahawa seseorang dituntut untuk

menjadi ahli sejarah pada Gerakan pertama dan ahli etika pada Gerakan kedua yang keduanya sama sama harus mengetahui secara objektif komprehensif keadaan masanya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa double movement adalah sebuah upaya interpretasi hukum dalam islam dengan model dua Gerakan dimana Gerakan pertama adalah untuk meninjau sebab ayat turun baik makro maupun mikro dan mengambil tujuan moral dari konteks ayat tersebut muncul, kemudian kedua adalah menarik nilai moral tadi dan dikontekstualisasikan pada kondisi saat ini sebagai upaya solutif dalam menyelesaikan masalah.

EPISTEMOLOGI

Epistemologi dari sisi bahasa secara historis berasal dari Bahasa Yunani “episteme”

(pengetahuan, atau pemahaman) dan “logos”

(argument atau penalaran). Stanford

Encyclopedia of Philosophy

mendefinisikannya sebagai “epistemology seeks to understand one or another kind of cognitive success (or, correspondingly, cognitive failure) (Matthias Steup, 2018). Dari penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa epistemology adalah ilmu yang berusaha untuk memahami berbagai cara mendapatkan pengetahuan baik dari sisi kebenaran maupun kesalahan dalam proses mendapatkan pengetahuan tersebut.

Secara historis istilah ini muncul dalam tradisi filsafat, pertanyaan epistemologi sudah ada sejak Plato, ia bertanya apa itu mengetahui dan bagaimana pengetahuan itu baik untuk diri yang mengetahui, Kemudian pertanyaan tersebut berkembang dan digaungkan Kembali dalam pola pertanyaan lain seperti yang Jhon Locke tanyakan “bagaimana proses pemahaman manusia?”, setelah Locke, Imanuel Kant bertanya lebih mendalam pada sebelum proses memahami. Ia ingin menjawab kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan mengetahui. Russel sebagai salah satu cerminan filsuf modern mengembangkannya pada taraf bagaimana sains modern dapat dijustifikasi dengan pengalaman sensorik(Matthias Steup, 2018). Perkembangan epistemologi ini terus berlanjut dan pada proses pengembangannya, relatif menjadi lebih aplikatif tidak hanya menunjukan pada aliran-

(5)

aliran epistemologi pada filsafat tertentu melainkan lebih pada arah yang metodis dan sistematis.

Dalam tradisi filsafat islam, Epistemologi berkembang untuk mensistematisasikan dan mengelompokan secara lebih jelas tentang problem-problem ontologi, mengingat apa tradisi yang berkembang dalam tradisi filsafat islam lebih pada aspek ontologinya. Adapun epistemology dijadikan sebagai upaya filosofis untuk mensistematisasi problem ontologi dan metafisika dalam tradisi filsafat islam(Badruzzaman, 2018, pp. 48–49).

Penjelasan singakat ini menunjukan bahwa upaya penelusuran atau analisa epistemologis adalah berkaitan dengan segala bentuk pengetahuan, yang tidak lain meliputi perangkat-perangkat pengetahuan, sumber plengetahuan, struktur pengetahuan, dan justifikasi kebenaran pengetahuan atau verifikasi kebenaran.

HERMENEUTIKA DAN TIPOLOGI ALIRAN-ALIRAN

EPISTEMOLOGISNYA

Hermeneutika secara definitif terdapat dua definisi yang popular pertama hermeneutika sebagai sebuah metode sistematis dalam memahami, sedangkan ke dua, hermeneutika dianggap sebagai sebuah eksplorasi filosofis dalam sebuah pemahaman. Carl Breaten mengakomodir dua definisi ini dengan mengatakan bahwa hermeneutika adalah sebuah ilmu sistematis tentang bagaimana cara memahami penggunaan kata dan kejadian di masa lalu, dan bagaimana pemahaman itu menjadi bermakna secara eksistensial di kehidupan sekarang (Esack, 1997; Rizal, 2016, pp. 57–58) Terkait dengan definisi kedua ini, Friedrich Ast yang dikutip oleh Fadal mengatakan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk mengklarifikasi berbagai karya dari pengembangan makna dalam atau internal suatu karya tersebut dan interkoneksi antar bagian di dalam makna internal karya dengan spirit yang lebih luas. Lebih jauh ia memberikan tahapan proses dari Hermeneutika pertama pemahaman historis, dimana manusia dituntut untuk Kembali pada masa ketika sebuah karya baik berupa teks, artefak atau karya lainnya itu dibuat. Kedua

adalah tahap gramatis, pada tahap ini penafsir atau interpreter diharuskan untuk melihat aspek Bahasa baik secra gramatika atau penggunaan Bahasa yang digunakan dalam konteks menjelaskan makna tertentu di dalam karya, ke tiga adalah pemahaman secara menyeluruh tentang pengarang teks dan bagaimana karya tersebut dibuat (Fadal, 2013, p. 270). Meskipun terdapat banyak perdebatan tentang objek dan bahan kajian Hermeneutika, mulai ada yang mengatakan bahwa sejatinya fenomena itu dapat menjadi objek Hermeneutika, dan mengatakan bahwa tekslah yang jadi objeknya, Gadamer terkait ini mengatakan bahwa tugas utama hermeneutika adalah menginterpretasi objek kajian yang berupa teks (Fadal, 2013).

Hermeneutika dalam perkembangan pemikirannya memunculkan bermacam corak dan aliran terkait dengan makna yang diperoleh, menurut Sahiron, terdapat tiga klasifikasi aliran Hermeneutika yang berkembang samapai saat ini antara lain:

Objektivisme, Subjektivisme, dan Quasi Objektivisme. Penjelasan dari tiga aliran ini yang kemudian akan membantu untuk melihat atau memandang bagaimana gagasan double movement Rahman kemudian diklasifikasikan.

1. Aliran Objektivisme

Berawal dari kata objektif, dimana kebenaran dapat didapatkan sesuai dengan objek kajiannya, artinya kebenaran akan didapatkan sebagaimana adanya. Dalam konteks Hermeneutika maka objektivisme berarti pandangan bahwa penafsir dapat memahami sesuai apa yang dikehendaki atau dimaksud oleh pengarang. Dalam konteks lain aliran ini bisa dibilang berusaha untuk mereproduksi makana ulang, artinya makna yang sudah ada sebelumnya di tampilkan Kembali sebagaimana adanya. Dalam sejarah hermeneutika corak ini dapat dijumpai pada gagasan Scheleirmacher, Gracia, dan Dilthley(Setiawan, 2016, pp. 83–84). Corak objektivisme meyakini bahwa makna sesungguhnya akan dapat digali sebagaimana adanya dengan syarat Bahasa yang menjadi media komunikasi antara pengarang dan pembaca itu ditelusuri makna asalnya secara historis, dimana kata dalam Bahasa tersebut digunakan dan bagaimana konteks

(6)

penggunaannya. Dalam hal ini Schelermacher misal mensyaratkan objektivisme makna melalui gagasannya tentang tinjauan gramatis suatu teks selain juga tinjauan psikologis pengarang guna mengetahui keadaan objektif baik secara Bahasa maupun psikologis. Ini sehingga dapat diketahui corak objektivisme secara tegas dimana mengasumsikan setidaknya bahwa makna sejati sesuai dengan maksud pengarang itu dapat diketahui oleh pembaca dan apa yang dihasilkan oleh pembaca adalah reproduksi makna dimana makna awal yang dimaksud oleh penulis ditarik oleh si pembaca di masanya.

2. Aliran Subjektivisme

Dari kata tersebut, dapat tergambar bahwa Subjektif artinya makna dikembalikan kepada si pembaca, berbeda sebelumnya dimana makna yang dihasilkan adalah makna sipenulis, sedangkan Subjektivisme bertolak pada teks itu sendiri, artinya makna yang dihasilkan adalah hasil persepsi pembaca pada teks. Sehingga penekanan aliran ini adalah pada isi dan kandungan teks itu sendiri yang hadir berupa persepsi si pembaca, bukan mengembalikan atau menari atau menghadirkan ulang ide awal si penulis (George, 2020). Menurut aliran ini, teks sebagai produk si penulis itu dapat diinterpretasikan secara bebas dan oleh siapa saja, karena teks pada dirinya sudah mandiri dan terlepas dari si pengarang. Ini sehingga apa yang dihasilkan terkait dengan makna adalah makna baru atau produksi makna yang sebelumnya adalah reproduksi makna atau mengembalikan Kembali makna yang dimaksud sipenulis. Aliran ini pada perkembangannya dapat direpresentasikan oleh Deridda, Gadamer, dan lain lain (George, 2020).

3. Aliran Quasi-Objektivisme

Aliran ini berada pada posisi diantara objektivisme dan subjetivisme. Ini artinya aliran ini menekankan pentingnya akan pencarian makna yang asal sebuah teks sekaligus juga pentingnya peran penafsir pada interpretasi teks. Lebih jauh hal ini dijelaskan oleh Sahiron, Ia mengatakan bahwa Quasi Objektivisme terbagi menjadi dua antara lain:

Quasi obektivisme tradisionalis dan Quasi

Objektivisme Modernis. Quasi Objektivisme Tradisionalis pada prinsipnya berusaha untuk menggali makna asal literal al-Qur’an melalui kajian historis, dan apa yang didapatkan melalui kajian itu adalah pengaplikasian makna al-Qur’an diwaktu al- Qur’an itu turun atau periode muslim awal, ini sehingga paham ini menekankan bahwa pengaplikasian makna al- Qur’an harus sama persis seperti pengaplikasiannya pada waktu ayat itu turun, yang tentu menekankan peran penafsir dalam proses penafsirannya. Sedangkan Quasi- Objektivisme modernis memberikan perhatian pada makna asal literal sebagai basis dan pijakan awal untuk melakukan proses interpretasi sebagaimana yang dilakukan oleh objektivisme dan Quasi-Objektivisme Tradisionalis namun, sekaligus melihat sisi signifikansi dari apa yang didapatkan melalui pengidentifikasian makna asal tersebut (Setiawan, 2016). Signifikansi ini adalah nilai yang urgen dari suatu teks atau makna literal yang didapatkan melalui pengkajian historis tersebut. Nilai ini yang kemudian menjadi basis universal untuk meninjau masa yang hendak penafsir tafsirkan penerapannya. Dari sini sehingga upaya kontekstualisasi menjadi bertumpu pada dua arah yaitu kajian atas makna teks di masa lalu dan kajian atas keadaan di masa penafsir itu hidup atau hendak menerapkan penafsirannya (Fadal, 2013).

ANALISIS EPISTEMOLOGIS PADA CORAK HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT

Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa poin pokok yang akan menjadi basis penilaian tipologi corak Hermeneutika Rahman, yang sebelumnya pada pendahuluan tulisan ini ditampilkan masih banyak diskursus dan perdebatan mengenai posisinya yang dianggap tidak tegas antara subjektivisme dan objektivisme. Poin-poin tersebut antara lain teori double Movement itu sendiri dan epistemologi sekaligus ragam tipologi corak Hermeneutika yang basis penilaiannya ditentukan oleh makna yang diperoleh oleh penafsir.

Teori double movement nampaknya telah memberikan gambaran yang cukup jelas

(7)

bagaimana Rahman menentukan makna yang diperoleh. Gerakan pertama sebagaimana yang dijelaskan yaitu berusaha untuk menelusuri makna asal suatu ayat dengan secara epistemologis menggali konteks ayat itu turun.

Tidak sama seperti para ilmuan tradisionalis yang hanya melihat aspek asbab al- Nuzul, yang berupa sebab langsung atau sebab partikular suatu ayat tertentu muncul. Dalam konteks ini adalah hadist yang menjelaskan langsung turunnya suatu ayat (Rahman, 1982).

Berangkat dari kelemahan ini Rahman mempertimbangkan juga aspek makro atau kondisi global masa turunnya ayat tersebut.

Pada titik ini ilmu lain selain hadist akan membantu menjadi perangkat guna menjelaskan situasi di masa turunnya ayat seobjektif mungkin , yang artinya sebisa mungkin sesuai dengan fakta historisnya. Pada gerakan dapat disimpulkan bahwa menjadi ahli sejarah atau sejarawan menjadi keharusan dalam proses gerakan pertama. Dalam gerakan ini saya kira jelas tampak bagaima Rahman mengambil sebuah makna untuk dijadikan sebagai dasar interpretasi dan penarikan hukum dalam tradisi islam, dimana prinsip sesuai dengan makna awal diturunkan adalah pegangannya. Ini sehingga sebagaimana yang dijelaskan bahwa pandang ini mencerminkan paham objektivisme dalam tipologi corak epistemologi hermeneutika. Objektivitas makna yang digali oleh Rahman tercermin dari upayanya untuk mendapatkan konteks sosio- historis dari sebuah legal statement dalam al- Qur’an melalui penelitian konteks mikro dan makro suatu ayat. Sehingga pada sisi ini objektivisme menjadi pegangan Rahman dan dasar dari interpretasi selanjutnya.

Gerakan pertama ini tidak berhenti pada pengambilan gagasan objektif turunnya ayat, Rahman mengatakan bahwa data yang kita peroleh melalui penelusuran tersebut harus disaring dan digali nilai urgen atau nilai moral idealnya yang kemudian ini bersifat universal tidak sebagaimana bunyi ayat atau legal statemen yang bersifat tetap (Rahman, 1982).

Nilai ideal ini yang kemudian menjadi alasan mengapa al-Qur’an dapat terus diterapkan di setiap kondisi, mengingat nilai ideal suatu ayat bersifat dinamis dan aplikatif pada setiap zaman (Wardatun Nabilah, 2022). Selain itu juga

prinsip ini akan menjelaskan apa yang disebut Rahman sebagai paradigma al-Qur’an dimana antar ayat saling menjelaskan dan bukan saling menunjukan inkonsistensi kebenaran. Jika dianalisa dari sudut pandang tipologi corak epistemologi hermeneutika maka dapat dipahami bahwa pencarian moral ideal atau ide moral suatu ayat yang sebelumnya konteks munculnya diperoleh melalui prinsip objektif, itu menekankan aspek pembaca atau penafsir.

Pada prosesnya penafsir diharuskan untuk melakukan generalisasi yang pada tahap ini tentu pra konsepsi akan mempengaruhi kesimpulan akan moral ideal yang dimaksud.

Ini sehingga pada gerakan pertama di tahap penarikan ide general pembaca atau penafsir melakukan peran subjektifnya dimana makna yang diambil juga dari proses generalisasi penafsir yang padanya terdapat pra-konsepsi (Fadal, 2013). Dengan demikian objektivisme dan subjetivisme terjadi sekaligus pada gerakan pertama yang keduanya memiliki peran signifikan dalam proses menafsirkan teks.

Gerakan kedua sebagaimana yang dijelaskan adalah upaya mengkontekstualisasi hasil temuan ide atau moral ideal yang diperoleh melalui penelusuran konteks turunnya ayat pada kondisi di masa penafsir hidup. Ini dimaksudkan agar al-Qur’an dapat memberikan solusi konkrit yang kontekstual dengan setiap keadaan zaman. Pada proses ini maka yang dibutuhkan bukan menjadi ahli sejarah melainkan menjadi ahli etika (Firmansyah, 2015). Karena penafsir dituntut untuk memberikan respon etis yang tepat dari data yang mereka peroleh. Gerakan ini juga secara tidak langusng memerluka ilmu bantu sebagai perangkat untuk mengetahui keadaan objektif di masa yang sedang dihad api. Pada poin ini maka pengkajian secara menyeluruh akan masa yang nantinya menjadi terapan suatu ayat sangat diperlukan guna memberikan respon yang proporsional(M. Khamim, 2022;

Sari, 2016, pp. 11–13). Pada gerakan kedua tidak ada proses pengambilan makna tapi yang terjadi adalah proses refleksi ontologis. Pada poin ini juga maka dapat diketahui apa yang dihasilkan oleh pemaknaan objektf dan subjektif sekaligus di gerakan pertama kemudian diproduksi dengan pemahaman baru. Jadi tentu pada titik poin ini Rahman

(8)

sangat jelas tidak hanya mereproduksi makna sebagaimana yang dipahami para ilmuan tertentu, melainkan juga memproduksi makna karena ia melakukan upaya kontekstual dan proses penyesuaian ayat al-Qur’an pada masa seorang penafsir hidup, sehingga makna final yang dihasilkan baru.

Deskripsi ini jika dianalisa oleh sudut pandang corak hermeneutika maka yang proporsional menjadi posisi Rahman adalah Quasi-Objektif modernis(Setiawan, 2016). Hal ini sebagaimana yang dijelaskan bahwa Quasi- Objektif berada pada pertengahan antara subjektivisme dan objektivisme dalam proses pengambilan makna suatu makna. Rahman jelas mencerminkan proses Quasi-Objektivisme modernis dimana makna pada gerakan pertama sekaligus mengambil makna objektif dan subjektif. Objektivismenya terlihat pada penggalian aspek mikro makro sedangkan subketivismenya tercermin pada upaya penafsir untuk mendapatkan ide general dari apa yang ia pahami, tidak hanya sekedar mengambil data sebab ayat secara mentah. Selain itu reproduksi makna tercermin pada prosesnya dalam kontekstualisasi data sejarah yang sudah tergeneralkan dengan kondisi masa penafsir hidup. Dengan demikian Rahman lebih tepat diposisikan sebagai penganut aliran Quasi- Objektivisme modernis.

KESIMPULAN

Kesimpulan harus menjawab tujuan penelitian. Kesimpulan harus dinyatakan secara singkat. Jelaskan bagaimana temuan Anda memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan saat ini. Tanpa kesimpulan yang jelas, reviewer dan pembaca akan kesulitan menilai karya anda atau layak tidaknya untuk dipublikasikan. Jangan mengulang abstrak atau hanya sekedar membuat daftar hasil penelitian.

Berikan pertimbangan ilmiah terhadap karya anda dan nyatakan kemungkinan aplikasi dan pengembangannya. Anda harus menyarankan penelitian lanjutan berdasarkan hasil penelitian anda.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Acikgenc, A. (2001). Fazlur Rahman: Pemikir Kebangkitan dan Pembaharuan Islam Kontemporer. Jurnal Al-Qalam,

XVIII(90).

Badruzzaman, D. (2018). Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam. Jurnal Ushuluddin, 8(2).

Budiarti. (2017). Studi Metode Ijtihad Double Movement Fazlur Rahman terhadap Pembaruan Hukum Islam. Jurnal Zawiyah, 3(1).

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression.

Oneworld Publication.

Fadal, K. (2013). Hermeneutika Hukum Islam Abu Ishaq al-Syathibi. AL-‘ADALAH, XI(1).

Firmansyah, B. (2015). Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman terhadap Kasus Poligami. Ushuluna, 1(2).

George, T. (2020). Hermeneutics. Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive2.

Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Kanisius.

M. Khamim. (2022). Nilai Universal Islam Muhammadiyah Dan Nu: Potret Islam Moderat Indonesia. El-Hekam, 7(1), 78–

85.

Matthias Steup, R. N. (2018). Epistemology", The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity:

Transformation of an Intellectual Tradition.

The University of Chicago Press.

Rizal, T. R. (2016). Gambaran Konflik Bermatras Agama Di Indonesia (Problem Solving Berbasis Teologi Transformatif).

El-Hekam, 1(1), 43.

https://doi.org/10.31958/jeh.v1i1.336 Rofiah, N. N. (2020). Poligami Perspektif

Teori Double Movement Fazlur Rahman.

MUKADIMAH: Jurnal Pendidikan, Sejarah, Dan Ilmu-Ilmu Sosial, 4(1).

Sari, R. M. (2016). Perguruan Tinggi Islam Dan Transformasi Lembaga: Studi Terhadap Proses Perubahan Fungsi Dan Peran Iain Syarif Hidayatullah Jakarta Menjadi Universitas Islam. El-Hekam,

1(1), 1.

https://doi.org/10.31958/jeh.v1i1.334 Setiawan, A. (2016). Hermeneutika al-Qur’an

“Mazhab Yogya”: Telaah atas Teori

(9)

Ma’na-Qum Maghza dalam Penafsiran al- Qur’an. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadist, 17(1).

Syukri, A. (2005). Metodelogi Tafsir Qur’an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur Rahman. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 20(1).

Ulya. (2011). Hermeneutika Double

Movement Fazlur Rahman: Menuju Penetapan Hukum Bervisi Etis. Jurnal Ulul Albab, 12(2).

Wardatun Nabilah, Z. H. (2022). Filosofi Kemaslahatan Dalam Aksiologi Hukum Islam (Telaah Kitab Maqashid Syariah).

El-Hekam, 7(1), 78–85.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan: konsumsi gula pasir masyarakat kota Medan meningkat setiap tahun dari tahun 2001 sampai dengan 2011 dengan persentase sebesar 1,006%;

Zona target merupakan lapisan Z2230 yang berada pada Formasi Talang Akar dengan litologi perselingan sandstone dan shale.. Hasil analisa sensitifitas menunjukkan

Sampel pada penelitian ini adalah jenis jamur kayu makroskopis yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) K.G.P.A.A Mangkunagoro I, Karanganyar pada

Tässä kyselyssä vastauskatoa korjattiin vastaavasti kuin vuoden 2008 vapaa-ajankalastuskyselyssä (Riista- ja kalatalouden tutkimuslaitos 2009) olettamalla, että

Syarat lain yang meskipun tidak tersurat secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam tetapi harus dianggap ada adalah bahwa yang digantikan itu harus beragama Islam

Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk meneliti beban-penurunan pada pondasi tiang bor akibat pembebanan aksial berdasarkan hasil uji beban

Pada tahun 1830 Lotka mengatakan bahwa penulis yang berkontribusi dalam satu artikel adalah 60% dari total penulis yang memberikan kontribusi. Itu berarti semakin banyak

Pada penelitian ini dilakukan analisis kadar protein, lemak, bioaktif protein, kadar asam lemak dan kadar asam amino.Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa susu kuda