DAFTAR ISI
Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron
M. Rafiek (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 4-18
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Sebagai Wahana Pendidikan Karakter Bangsa
A. Syukur Ghazali (Universitas Negeri Malang) 19-33
Kekerasan Simbolik dengan Strategi Pengonotasian dan Pengiasan
Roekhan (Universitas Negeri Malang) 35-46
Pemakaian Aksara Dalam Penulisan Bahasa Melayu Hingga Bahasa Indonesia
Akhmad Yazidi (Universitas Pakuan) 47-59
Nilai Budaya dalam Dongeng Bakumpai
Mahmudi (SMAN 1 Mandastana) 61-77
Tindak Tutur Dokter dan Pasien di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar
Mardikayah dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat) 79-92 Kesantunan Berbahasa Banjar Dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kelua
Kabupaten Tabalong
Arta Normiani dan Sabhan (Universitas Lambung Mangkurat) 93-109 Struktur Wacana, Makna, dan Fungsi Mahalabiu
Erlita Desriani dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat) 111-121 Penerapan Prinsip Kerja Sama dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di SMA Negeri 1 Banjarmasin
Noor Cahaya (Universitas Lambung Mangkurat) 123-140 Tindak Tutur dalam Transaksi Jual-Beli di Pasar Terapung Lok Baintan Martapura
Radiansyah dan Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat) 141-150
Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun pada Pendidikan Anak Usia Dini Bina Harapan
Ana Lestari dan Maria L.A.S (Universitas Lambung Mangkurat) 151-162 Pemerolehan Morfem Anak Usia 2 Tahun Sampai 2 Tahun 6 Bulan
Sri Mauliani dan Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat) 163-173 Keberadaan Bahasa dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat) 175-180
RAGAM BAHASA WARIA DALAM SINETRON (SHEMALE LANGUAGE VARIETIES IN SOAP OPERAS)
M. Rafiek
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123,
e-mail [email protected] Abstract
Shemale Language Varieties in Soap Operas. This study aims to describe and explain the classification, word formation system, and varieties of language functions transvestites in private television soap operas in Indonesia. This study uses definitions of regional variations in sociolinguistics theories and methods of qualitative description.
An analysis using the rules of grammar formation transvestite varieties of language used refers to the rules that have been applied by Oetomo (1988) and Oetomo (2003).
The results of this study were 24 classifications, 10 word formation systems, and 2 functions in varieties of languages transsexual private television soap operas in Indonesia.
Keywords: shemale language, classifications, word formation procedures, and functions
Abstrak
Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang klasifikasi, tata bentukan kata, dan fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia. Penelitian ini menggunakan ancangan teori ragam bahasa dalam sosiolinguistik dan metode deskriptif kualitatif. Teknik analisis data menggunakan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria yang digunakan mengacu pada kaidah yang telah diterapkan oleh Oetomo (1988) dan Oetomo (2003). Hasil penelitian ini adalah 24 klasifikasi, 10 tata bentukan kata, dan 2 fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia.
Kata-kata kunci: bahasa waria, klasifikasi, tata bentukan kata, dan fungsi
PENDAHULUAN
Bahasa waria disebut juga bahasa Binan oleh Oetomo (2003: 61-70), bahasa Binaria oleh Emka (2007: 18), dan bahasa Binanto Warsito oleh Natalia (2007: 10) adalah bahasa yang sejak lama berkembang dalam dunia waria dan prokem anak muda di Indonesia. Namun menurut Emka (2007: 3-5) dan Natalia (2007) mengidentifikasi bahasa waria itu sebagai bagian dari bahasa gaul.
Hal ini karena bahasa itu sudah menjadi satu dengan bahasa gaul atau tren anak muda sekarang.
Fenomena yang unik dan menarik terlihat dalam masyarakat kita, yaitu profesi waria pada umumnya bekerja di sektor swasta (wiraswasta), misalnya mereka berprofesi sebagai pekerja salon, penata rambut, penata rias atau kecantikan, desainer, entertainer termasuk artis, MC, dan lain- lain. Semua itu, menurut Merlyn Sopjan sesaat setelah terpilih sebagai ratu waria Indonesia 2006 pada minggu, 25 Juni 2006 adalah sesuai dengan harapannya yang ingin agar para waria Indonesia bisa menunjukkan aktualisasi dan eksistensinya dalam mengangkat harkat dan martabatnya.
Bercermin dari pernyataan itu, akhir-akhir ini beberapa stasiun televisi swasta sering menayangkan sinetron-sinetron yang para pemain lelaki berperan sebagai (seperti) waria sungguhan. Mereka banyak juga mengeluarkan atau menggunakan bahasa rahasia atau bahasa khusus waria dalam pembicaraannya. Hal ini jelas menarik minat peneliti untuk menelitinya lebih lanjut.
Semaraknya sinetron yang bertema kehidupan waria akhir-akhir ini selain memancing gelak tawa juga memancing simpati para pemirsa yang menyaksikannya. Tak terkecuali dengan penggunaan bahasa rahasianya yang terkesan unik dan lucu disimak. Pemirsa terkadang merenung sejenak untuk memikirkan sebenarnya apa makna dari kosakata rahasia waria itu.
Menyitir pandangan Bambang Suryadi, Ph. D., staf pengajar pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang menyatakan bahwa wajar-wajar saja para waria mempunyai subkultur sendiri dan menciptakan suatu signal sebagai identitas diri. Agar bisa eksis, mereka memiliki nilai dan kode etik yang hanya bisa dipahami mereka sendiri. Karena menjadi kaum minoritas di masyarakat, tentu mereka ingin mempunyai komunitas khas dari hal kecil sampai prinsipil. Mereka misalnya berpenampilan kewanita-wanitaan (Ade, 2006: 14).
Lebih lanjut, Retno dan Ade (2006) menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian Megawati, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta yang menemukan stylist dengan perilaku yang memunculkan sifat swishy, yaitu sebuah sifat waria dengan perangai wanita dan berpenampilan kewanita-wanitaan. Stylist dengan karakteristik ini menunjukkan sifat yang ganjil seperti meninggikan suara mirip wanita sehingga jika kita berkomunikasi dengan karakteristik ini, mereka akan menunjukkan diri sebagai wanita, bukan sebagai pria.
Sebagai bahasa komunitas kaum marginal, tentu bahasa rahasia waria ini menjadi sarana interaksi mengaktualisasikan diri untuk menunjukkan identitas kelompok mereka. Kalau benar demikian, boleh jadi, hasil penelitian ini nantinya akan berwujud bahasa keberanian untuk membuka diri sebagai waria. Tentu hal ini perlu diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini baik dari segi kosa kata bahasa rahasia waria dalam sinetron maupun fungsinya.
Batasan ragam bahasa (variety) menurut Ferguson dan Gumperz adalah sebagai berikut.
Keseluruhan pola-pola ujaran manusia yang cukup dan serba sama untuk dianalisis dengan teknik-teknik pemerian sinkronik yang ada dan memiliki perbendaharaan unsur- unsur yang cukup besar dan penyatuan-penyatuannya atau proses-proses dengan cakupan semantik yang cukup jembar untuk berfungsi dalam segala konteks komunikasi yang normal (dalam Allen dan Corder (Eds.)., 1973: 92; Alwasilah, 1993: 55).
Anwar (1990: 26-27) mengatakan bahwa:
Dalam sosiolinguistik, kita berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan-perbedaan bahasa itu. Istilah ragam bahasa baik digunakan oleh karena istilah ini tidak mengandung pengertian bahwa ragam yang satu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain.
Menurut Kridalaksana (2001: 184), ragam bahasa adalah:
Variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan.
Sumarsono dan Partana (2004: 72-73) menyimpulkan bahwa ragam atau variasi dari satu bahasa, hubungan antara bahasa dan etnik mungkin merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan yang dipertegas oleh rintangan sosial antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Ragam bahasa suatu bahasa juga bisa dipakai sebagai identitas etnik.
Menurut Hidayat dan Ar (2006: 277), ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan medium pembicaraan. Jauh sebelum itu, Suwito (1983: 148) mendefinisikan ragam bahasa sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Jadi, ragam bahasa adalah jenis-jenis atau pola-pola ujaran manusia yang bervariasi sesuai dengan konteks pemakaiannya dalam hubungan komunikasi atau interaksi.
Menurut Sumarsono dan Partana (2004: 130), waria (singkatan dari wanita pria) atau wadam (wanita Adam atau Hawa Adam) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian atau berdandan) serta berperilaku seperti atau mengidentifikasikan diri sebagai perempuan. Solihin (2005: 4, 8, dan 14) menyatakan bahwa waria adalah mereka yang secara fisik memang lelaki dan menyatakan kami adalah jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Mereka itu laki-laki tetapi berlagak perempuan. Dalam bahasa Arab disebut al-khuntsa (banci). Istilah ini diambil dari kata khanatsa yang berarti lunak atau melunak. Misalnya khanatsa wa takhannatsa yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita lembut dan melenggak-lenggok.
Waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai penderita transeksualisme, yaitu seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun secara psikhis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis (Heuken, 1989: 148; Koeswinarno, 2004: 12). Menurut salah seorang penceramah dalam sinetron Banci Tobat dijelaskan bahwa terdapat dua kata bahasa Arab, yaitu al khanats, yaitu ada alat kelamin dan kuntsa musykil, yaitu belum ada kejelasan atau tidak ada alat kelamin yang jelas.
Penamaan ragam bahasa waria ada bermacam-macam. Sebut saja Koeswinarno (2004: 106- 107) membaginya menjadi dua, yaitu palindrome yang beraturan dan palindrome yang tidak beraturan.
Palindrome atau palindrom adalah ada kata-kata atau pun kalimat yang kalau dibaca dari depan ke belakang, atau pun dari belakang ke depan, bunyi, arti, serta susunan hurufnya sama saja. Palindrom berasal dari bahasa Yunani dan bermakna ’lari kembali lagi’ (Dale, et. al., 1971: 322).
Palindrom (palindrome) adalah kata, rangkaian kata, atau bilangan yang terbaca sama dari depan maupun dari belakang, misalnya nama seperti Nobon, Nababan, atau angka 2002 (Kridalaksana, 2001: 153).
Jadi, menurut dua pengertian palindrom di atas, penamaan palindrome oleh Koeswinarno kurang tepat, karena tidak didukung literatur, data, dan fakta bahasa yang sesuai. Palindrome ternyata adalah sesuatu kata atau angka yang dibaca dari depan atau belakang sama seperti kasur Nababan rusak.
Mulyana (2004: 280) menamakan ragam bahasa waria itu sebagai bahasa subkultur yang disebut bahasa khusus (special language), bahasa gaul atau argot. Meskipun argot sebenarnya merujuk pada bahasa khas yang digunakan setiap komunitas atau subkultur apa saja (termasuk kelompok seniman). Argot lebih sering merujuk pada bahasa rahasia yang digunakan kelompok menyimpang (deviant group), seperti kelompok preman, kelompok penjual narkotik, kaum homoseks dan lesbian, kaum pelacur, dan sebagainya.
Pendapat Mulyana di atas mendapat dukungan Ohoiwutun (2002: 21) yang menyatakan sebagai berikut.
Dalam kelompok-kelompok orang yang berbicara dialek geografis dan dialek sosial yang sama ini terdapat variasi-variasi bahasa yang tergantung dari situasi-situasi khusus.
Orang-orang yang mempunyai kegiatan-kegiatan atau profesi-profesi yang sama ini dapat saja memiliki bahasa khusus yang dinamai argot. Variasi khusus inilah yang membedakan mereka dari orang-orang yang tergolong dalam kelompok sosial di luar mereka. Para remaja, pencuri, dan tunasusila memiliki satu argot yang membedakan mereka dari orang tuanya, polisi, dan pihak berwajib lainnya. Jenis argot khusus demikian disebut slang.
Sekalipun Ohoiwutun mengatakannya sebagai argot namun ragam bahasa waria itu menurutnya adalah argot khusus yang disebut slang. Untuk jenis yang satu ini, para linguis kiranya sependapat bahwa slang sebagai ragam bahasa waria. Meskipun Alwasilah (1993: 51) menyatakan sama dengan dua pendapat terdahulu bahwa ragam bahasa waria dapat digolongkan ke dalam argot. Sebagaimana pendapatnya sebagai berikut, mengikuti dan mengutip pendapat Zeigher (Ed.). (1973: 45), yaitu argot adalah bahasa rahasia atau bahasa khas para pencuri. Dipakai juga untuk kosakata teknis atau khusus dalam perdagangan, profesi, atau kegiatan lain. Namun Alwasilah juga memberikan pengertian lain tentang ragam bahasa waria yang termasuk slang.
Alwasilah (1993: 48) dengan mengutip pendapat para linguis barat tentang batasan slang sebagai berikut.
Suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang populer dan perluasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata; pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok usia tertentu (Pei dan Gaynor, 1954: 199).
Satu variasi ujaran yang dicirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kawula muda atau kelompok-kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi ’di dalam’. Jadi, cenderung untuk tidak diketahui oleh pihak lain dalam masyarakat ujaran (Hartman and Stork, 1972: 210).
Dalam bagian terbesar, slang adalah hasil daya temu kebahasaan terutama kawula muda dan orang-orang ceria yang menginginkan istilah-istilah segar, asli, tajam, atau apik dengan mana mereka bisa menyebut kembali gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan objek-objek yang sangat mereka gandrungi. Dengan demikian, slang adalah hasil kombinasi kekurangwajaran bahasa dengan reaksi terhadap kosa kata (diksi) yang serius, kaku, muluk, megah, atau tak menarik (Willis, 1964: 195).
Hal senada juga diungkapkan oleh Chaer dan Agustina (2004: 67) yang mengutip pendapat Kawira (1990) sebagai berikut.
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.
Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan bidang kosa kata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat temporal dan lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang menggunakannya. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasia, timbul kesan bahwa
slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan penjahat, padahal sebenarnya tidak demikian. Faktor kerahasiaan ini menyebabkan pula kosa kata yang digunakan dalam slang ini seringkali berubah. Dalam hal ini yang biasa disebut sebagai bahasa prokem.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Kridalaksana (2001: 200) yang menyatakan sebagai berikut.
Slang (Ing.) ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok- kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah;
misalnya bahasa prokem di kalangan remaja Jakarta dalam tahun 80-an.
Lain halnya dengan Pateda (1987: 70) yang mengatakan bahwa ragam bahasa waria sebagai kan (cant), yaitu sejenis slang tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain, sedangkan menurut Zeigher (Ed.) (1973: 45), dalam pengertian bahasa rahasia, cant dianggap sebagai sinonim dengan argot. Walau demikian, cant pada umumnya lebih diterapkan pada ujaran yang merengek, dibikin-bikin, atau pura-pura.
Pentingnya penelitian ini dilakukan adalah karena ragam bahasa waria dalam sinetron itu merupakan ciri khas kosa kata waria Indonesia yang muncul terbatas dalam tayangan sinetron itu. Oleh karena tayangan sinetron itu terbatas jumlahnya dan tidak setiap saat kita dengar dan saksikan, untuk itu perlu penelitian yang mendalam dan saksama sehingga pada akhirnya dari penelitian ini akan dapat mendokumentasikan dan mengungkapkan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria dalam sinetron. Penelitian di Indonesia yang terkait dengan bahasa waria memang sudah ada, yaitu oleh Kodrat dan Dewanto (2009), Siregar (2010), dan Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah (2010). Kodrat dan Dewanto (2009) meneliti A Sociolinguistic Study on Tag Questions used by She-Males in Surabaya. Dalam penelitian itu, mereka menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang menegaskan atau untuk menegaskan terdiri atas Sembilan buah, yaitu Iya? Gitu ya? Lho ya? Ya toh? Kan begitu? Nggak toh? Ya nggak? Kan gitu ya? Toh? Penelitian Kodrat dan Dewanto ini menggunakan teori Lakoff dari bukunya yang berjudul Language and Women’s Place. Penelitian mereka menggunakan 10 responden yang berusia 20 sampai 40 tahun.
Pengumpulan data mereka menggunakan teknik wawancara mendalam.
Siregar meneliti Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah Mada Medan: Tinjauan Sosiolinguistik. Dalam penelitiannya itu, Siregar menemukan bahwa bahasa gaul di kalangan waria diciptakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi antarkelompok mereka. Bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada tidak hanya berpedoman pada kamus waria, yang berarti bahasa yang digunakannya adalah bahasa yang diciptakan sendiri. Bahasa waria juga memiliki hubungan makna dengan bahasa Indonesia. Terdapat pembentukan kata-kata baru yang dapat menciptakan perubahan makna. Selanjutnya, penelitian tentang bahasa di kalangan waria, berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh waria di Jalan Gadjah Mada Medan.
Berdasarkan hasil analisis data deskripsi semantik bahasa gaul waria diperoleh hasil penelitian bahwa bahasa yang digunakan waria dalam berkomunikasi terdapat kaitan makna sinonim, antonim, dan perubahan makna, sedangkan struktur leksikal memiliki pola tertentu, yaitu gejala bahasa seperti penambahan suku kata, penghilangan suku kata, serta pembentukan kata-kata baru secara teratur dan tidak teratur. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis karakteristik bahasa yang digunakan bersifat arbitrer, dan diperoleh ciri yang unik dan tidak berpedoman pada kamus Debby Sahertian. Bahasa waria hanya memiliki beberapa ratus kata saja dan penggunaan bahasa waria ini meliputi bidang-bidang tertentu. Secara umum, penelitian Siregar tersebut hanya
menjawab persoalan seputar deskripsi semantik bahasa gaul waria, struktur leksikal bahasa gaul waria, dan karakteristik bahasa gaul waria di Jalan Gadjah Mada, Medan. Penelitian Ragam Bahasa Waria di Kalimantan Selatan ini sangat berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Siregar. Hal itu dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan ditemukan dan dibahas dalam penelitian ini, yaitu jenis, makna, kaidah, dan asosiasi kata bahasa waria. Perbedaan lokasi penelitian dan luasnya lokasi penelitian juga sangat jauh berbeda. Lokasi penelitian ini meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan waria yang diteliti pun tentu saja berasal dari kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Selatan.
Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah (2010) meneliti tentang Bahasa Gaul pada Kalangan Waria Salon di Kota Banjarmasin. Hasil penelitian mereka adalah ditemukannya beberapa kosakata bahasa waria seperti maska (uang), lamas (malu), itah (bancir), modang (berbohong), blorong (wanita), dinding (baju), tongkat (celana), mursidah (marah), maharani (mahal), mipung (gila), halap (ganteng), galung (naksir), kodak (lihat), mutiara (gigi), bawang (bau), gilingan (gila), eke (aku), najong (najis), jahara (jahat), akika (aku, saya), peres (bohong), lambreta (lambat atau lama), lekong (laki-laki), homreng (homo), cacamarica (cari), cucok (cocok), cumi (cium), capcus (pergi), manduli (mandi), mataram (mati), minangan (minum), organ (orang), begindang (begitu), ember (memang), endang (enak), kesantro (ke sana), kesindang (ke sini), kencana (kencing), jali-jali (jalan-jalan), himalayang (hilang), hamidah (hamil), belalang (beli), belenjong (belanja), beranak dalam kubur (berak), Diana (dia), jayus (joke-garing), jijay markijay (jijik), kanua (kamu), kawilarang (kimpoi), kemindang (kemana), kepelong (kepala), krejong (kerja), lapangan bola (lapar), Maluku (malu), mandole (mandi), mawar (mau), merekah (merah), metong (mati), Motorola (motor), mukadima (muka), nanda (nanti), naspro (nasi), organ tunggal (orang tua), pere (perempuan), pertiwi (perut), puir (pergi), rambutan (rambut), sastra (satu), sekong (sakit), sepong (siapa), sirkuit (sedikit), Soraya Perucha (sakit perut), tinta (tidak), Titi DJ (hati-hati di jalan), EGPCC (emang gue pikirin cuih-cuih), SDMB (Sori Dori Mori Bow’), akikah lapangan bola (aku lapar bo’), LUPUS (Lupakan Pacar Utamakan Selingkuh), Panasonic (panas), dan pencongan (pacaran). Selain itu, mereka juga menemukan kosakata bahasa waria dari banci menjadi bencong, makan menjadi mekong, laki menjadi lekong, dan lesbi menjadi lesbong. Ada pula dari banci menjadi bences dan laki menjadi lekes. Bedanya dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Ishmah, Novitasari, Ramadani, dan Jannah tidak menguraikan kaidah tata bentukan bahasa waria yang mereka temukan. Selain itu, mereka juga tidak melakukan pengkajian asal mula pembentukan kata bahasa waria yang dikaitkan dengan nama suku (daerah), merek, atau orang terkenal atau artis, sedangkan penelitian ini berupaya menemukan dan melakukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bahasa identiti dan eksistensi: ragam bahasa waria dalam sinetron di televisi swasta Indonesia.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kosa kata yang diucapkan para artis yang berperan sebagai waria dalam sinetron. Sementara itu, sumber data diambil dan dikumpulkan serta diklasifikasikan berdasarkan sinetron-sinetron pada bulan Juni dan Juli 2006 di televisi swasta Indonesia. Sinetron-sinetron itu adalah Demi Waktu (Trans 7 (dulu TV 7), Menembus Lorong Waktu (TPI), Orang-Orang Pilihan: Bisikan Jiwa Waria (TPI), Rahmat Ilahi: Banci Taubat (TPI), Waria Juga Manusia (Trans TV), Untung Terus (TPI), Juragan Jengkol (SCTV), dan Memang Lagi Hoki (SCTV), serta Banci Tobat (TPI).
a. Sinetron Rahmat Ilahi: Banci Taubat (Jumat, pkl. 22.00 WIB, 2/6/2006) Mama : panggilan untuk waria
Hetong-hetong : hati-hati
Hamidah : hamil
Munawir : munafik
Pembantaian : pembantu
Satpam : WTS kerja jaga malam dipinggir jalan cari konsumen Hamilton : hamil
b. Demi Waktu (TV7) pada tokoh Gilbi
Usro : usir
Endang : enak
UGD : WC, ke belakang
E’e’ : kotoran hewan (kotoran burung)
Eike : saya
Bo’ : penekanan diujung kata pada bahasa waria.
Kamkam : kamar
c. Menembus Lorong Waktu (TPI, pkl. 19.00 WIB-20.00 WIB)
Metal : mati
Bo’ : penekanan diakhir kata pada bahasa waria
Ne’ : sama dengan atas
Eike : saya
d. Orang-Orang Pilihan: Bisikan Jiwa Waria Polesong : polisi
Rumpi : gosip
Ye : kamu
Jeti : juta
Sebanyong : sebanyak
Akika : aku
Tintring : sumpah, tentu Capcay : capek atau cepat
e. Waria Juga Manusia (TransTV, pkl. 19.00, Rabu, 21/6/2006)
Banci : waria
Bencong : waria
f. Untung Terus (TPI, pkl. 08.30, minggu, 25/6/2006)
Dendong : dandan
Bo’ : penekanan pada akhir kata dalam bahasa waria
Akika : aku
Brondong : lelaki muda
Cucok : cakep
Mawa : mau
Nek : penekanan pada akhir kata dalam bahasa waria
Tuwiria : tua
Dedi/duda brenda : duda berada, duda muda.
g. Juragan Jengkol (SCTV, kamis, 6/7/2006) Begindang : begini
Eike : saya
h. Banci Tobat (TPI, minggu, 16/7/2006)
Rumpi : gosip
Dendong : dandan
Munawir : munafik
Banci kaleng : penakut, pengecut
Sutra : sudah
Gilingan : gila
i. Warkop Spesial: Memang Lagi Hoki (minggu, 9/7/2006)
Sukria : suka
Mokad : mati
Bunda : panggilan waria Brondong : lelaki muda Lekong : laki-laki (pacar)
Dalam hal ini, teknik analisis data menggunakan kaidah tata bentukan ragam bahasa waria yang digunakan mengacu pada kaidah yang telah diterapkan oleh Oetomo (1988) dan Oetomo (2003).
Asosiasi adalah majas perbandingan antara dua hal atau keadaan yang pada hakikatnya berbeda, tetapi dianggap sama (Laelasari dan Nurlailah, 2006: 45). Sementara itu, analogi adalah hubungan yang membentuk kesatuan antara bentuk-bentuk bahasa yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk lain; kesamaan bagian ciri antara dua benda atau hal yang dipakai untuk dasar perbandingan (Laelasari dan Nurlailah, 2006: 34).
Asosiasi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menyebutkan sifat benda yang menggambarkan hal yang dibicarakan (Hidayat dan Ar, 2006: 33). Analogi menurut Kridalaksana (2001: 14) adalah proses atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Misalnya terbentuknya konstruksi neonisasi karena sudah adanya pola yang ada dalam konstruksi mekanisasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, menurut Hidayat dan Ar (2006: 27), analogi adalah persamaan antarbentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk- bentuk yang lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Ragam Bahasa Waria dalam sinetron a. Berhubungan dengan pria.
Misalnya: brondong, lekong, dedi/duda brenda.
b. Berhubungan dengan panggilan sayang pada waria.
Misalnya: mama, bunda.
c. Berhubungan dengan penampilan waria.
Misalnya: dendong.
d. Berhubungan dengan kondisi tubuh wanita.
Misalnya: hamidah, hamilton.
e. Berhubungan dengan kejiwaan seseorang.
Misalnya: gilingan.
f. Berhubungan dengan sebutan waria.
Misalnya: banci, bencong, banci kaleng.
g. Berhubungan dengan diri waria atau pernyataan diri waria.
Misalnya: akika, eike.
h. Berhubungan dengan usia manusia.
Misalnya: tuwiria.
i. Berhubungan dengan kondisi fisik seseorang.
Misalnya: cucok.
j. Berhubungan dengan sifat seseorang.
Misalnya: munawir.
k. Berhubungan perilaku negatif wanita.
Misalnya: rumpi.
l. Berhubungan dengan razia.
Misalnya: polesong.
m. Berhubungan dengan profesi seseorang.
Misalnya: pembantaian, satpam.
n. Berhubungan dengan pesan seseorang.
Misalnya: hetong-hetong.
o. Berhubungan dengan panggilan.
Misalnya: ye.
p. Berhubungan dengan usia seseorang Misalnya: metal, mokad.
q. Berhubungan dengan ruangan.
Misalnya: kamkam, UGD.
r. Berhubungan dengan perasaan.
Misalnya: sukria, mawa, endang.
s. Berhubungan dengan kondisi tubuh manusia.
Misalnya: capcay.
t. Berhubungan dengan pernyataan penegasan.
Misalnya: sutra, bo’, nek’, tintring.
u. Berhubungan dengan keadaan.
Misalnya: begindang.
v. Berhubungan dengan kotoran.
Misalnya: e’e’.
w. Berhubungan dengan perbuatan seseorang.
Misalnya: usro.
x. Berhubungan dengan jumlah sesuatu.
Misalnya: jeti, sebanyong.
Tata Bentukan Kata dalam Ragam Bahasa Waria
Berdasarkan data di atas diperoleh kaidah tata bentukan kata ragam bahasa waria sebagai berikut.
a. Tata bentukan kata berakhiran –ong.
Misalnya:
Hetong-hetong ’!hati-hati+-ong-ong’!hat-hat-ong-ong’!het-het+-ong-ong
Polesong’!polisi+-ong’!polis+-ong’!poles+-ong Sebanyong’!sebanyak+-ong’!sebany+-ong Dendong’!dendang+-ong’!dend+-ong Brondong’!brond+-ong
Lekong’!laki+-ong’!lak+-ong’!lek+-ong Bencong’!banci+-ong’!banc+-ong’!benc+-ong Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a) ambil tiga sampai enam kata pertama;
(b) huruf vokal pertama atau kedua berubah menjadi ’e’;
(c) tambahkan akhiran –ong pada kata yang sudah mengikuti aturan a dan b.
b. Tata bentukan untuk kata hamil.
Misalnya:
Hamidah’!hamil+dah’!hami+dah Hamilton’!hamil+ton
Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a) ambil empat sampai lima huruf pertama;
(b) tambahkan suku kata dah atau ton.
c. Tata bentukan untuk penambahan unsur selipan atau sisipan.
Misalnya:
Sukria’!suka+ri’!suk+ri+a Tuwiria’!tua+wiri’!tu+wiri+a
Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a)ambil dua atau tiga huruf pertama atau pisahkan dua atau tiga huruf pertama dengan huruf a dibelakang;
(b)tambahkan atau selipkan ri atau wiri setelah kaidah a atau di antara pemisahan itu.
d. Tata bentukan untuk perubahan atau penambahan suku kedua atau ketiga atau belakang.
Misalnya:
Sutra’!sudah+-tra’!su+-tra
Gilingan’!gila+-ingan’!gil+-ingan Munawir’!munafik+-wir’!muna+-wir Mawa’!mau+-wa’!ma+-wa
Capcay’!capek+-cay’!cap+-cay Jeti’!juta’!j+-eti
Pembantaian’!pembantu+-aian’!pembant+-aian Usro’!usir+-ro’!us+-ro
Tintring’!tentu+-intring’!t+-intring Akika’!aku+-ika’!ak+-ika
Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a)ambil satu huruf sampai tujuh huruf pertama;
(b)tambahkan akhiran –tra, -ingan, -wir, -wa, -cay, -eti, -aian, -ro, -intring, dan -ika.
Namun ada keraguan dari penulis untuk kata jeti itu huruf vokal langsung berubah menjadi
’e’ dan ’i’ untuk vokal pertama dan kedua bukan mengalami penambahan akhiran.
a. Tata bentukan untuk kata berakhiran –dang.
Misalnya:
Endang’!enak+-dang
Begindang’!begini+-dang’!begin+-dang Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a)ambil dua sampai lima huruf pertama;
(b)tambahkan akhiran –dang setelah kaidah a.
b. Tata bentukan dari bahasa Inggris.
Misalnya:
Ye’!you+-e’!y+-e ’kamu’
Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a)ambil satu huruf pertama;
(b)tambahkan akhiran –e setelah kaidah a.
c. Tata bentukan karena pengulangan suku kata pertama.
Misalnya:
Kamkam’!kamar’!kamar+kamar’!kam+kam Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a)ambil tiga huruf pertama;
(b)ulanglah ketiga huruf pertama itu.
d. Tidak ada pembentukan kata yang ada adalah penggunaan kata lain sebagai asosiasi.
Misalnya:
Metal
Metal diasosiasikan sebagai badan tubuh orang yang meninggal kaku dan beku. Sehingga untuk menggantikan kata mati digunakanlah kata metal.
UGD
UGD diasosiasikan sebagai tempat bagi orang yang perlu pertolongan cepat karena kondisi yang gawat. Oleh karena itu UGD diasosiasikan sebagai Water Closet atau ke belakang.
Banci kaleng
Banci kaleng diasosiasikan sama dengan orang yang lemah dan keropos seperti kaleng.
Oleh karena itu banci kaleng mengesankan seseorang yang pengecut.
Cucok
Cucok diasosiasikan dengan tampang pemuda yang cakep atau ganteng. Oleh karena itu, cucok bermakna cakep.
e. Tidak ada pembentukan kata, yang ada hanyalah penggunaan kata karena analogi.
Misalnya:
Mokad
Mokad mungkin berasal dari kata mangkat yang diperpendek. Hal ini dianalogikan sebagai kata mati karena tubuh orang yang meninggal dikatakan sudah mangkat.
Bunda
Bunda dianalogikan sama dengan ibu dalam bahasa sehari-hari sebagai pernyataan jenis kelamin mereka sebagai wanita.
Mama
Mama dianalogikan sama dengan ibu dalam bahasa sehari-hari sebagai pernyataan jenis kelamin mereka sebagai wanita.
Rumpi
Rumpi adalah istilah umum yang biasa digunakan oleh penutur prokem Jakarta dari kata ngerumpi yang berarti gosip atau menggosip. Jadi, rumpi dianalogikan sama dengan gosip.
Eike
Eike mungkin berasal dari bahasa Belanda masa kompeni yang biasa digunakan dengan eik’. Eike bermakna aku atau saya. Jadi, eike dianalogikan sama dengan eik’.
Dedi atau duda brenda
Dedi atau duda brenda dianalogikan sebagai seorang duda berada atau berduit.
Banci
Banci dianalogikan sama dengan bencong atau waria atau wadam, sedangkan dalam bahasa Banjar banci dinamakan bancir.
Bo’
Bo’ adalah kata seru penekanan diujung kata seperti halnya nek. Hal ini menganalogikan nek sama dengan bo’ yang terletak diakhir kata atau kalimat.
Nek’
Nek’ mungkinkah berasal dari kata nenek? Nek mungkinkah berasal dari kata neng? Nek’
dianalogikan sebagai kata seru panggilan kepada sesama waria agar terasa akrab.
f. Tata bentukan karena penghapusan huruf atau awalan di depannya.
Misalnya:
Rumpi’!ngerumpi’!-+rumpi
Kaidahnya adalah sebagai berikut.
(a) ambil kata dasarnya;
(b) hapus awalannya.
Fungsi Ragam Bahasa Waria dalam Sinetron
a. Sebagai Alat Komunikasi dalam Komunitas atau Antarkomunitas Waria dalam Sinetron
Adanya kosa kata di atas menandakan bahwa komunitas minoritas waria juga mempunyai bahasa rahasia sendiri yang merupakan penanda identitas mereka. Sebagai kaum marginal, para waria berusaha memperjuangkan harkat dan martabat mereka, salah satunya dengan membuat dan mengembangkan bahasa mereka sendiri. Bahasa ini mulai dan semakin terangkat sejak kiprah para waria dalam dunia entertainment di televisi. Namun yang lebih jelas nyata terjadi adalah adanya artis-artis pria yang berperan sebagai waria yang menggunakan kosa kata itu dalam beberapa sinetron cukup memberi andil pengembangan bahasa waria di Indonesia.
Perjuangan waria melalui bahasa rahasia mereka mencapai titik puncak emansipasinya dalam berkiprah di dunia hiburan. Adanya sarana berupa sinetron memberikan celah perkembangan dan penyebaran bahasa mereka. Sedikit demi sedikit, bahasa rahasia mereka mampu dan berhasil diingat oleh ratusan juta penduduk Indonesia melalui media televisi.
Eksistensi mereka yang turut menyemarakkan dunia entertainment di tanah air ini turut memberi warna tersendiri bahwa mereka mempunyai komunitas dan bahasa sendiri yang merupakan ciri identitasnya.
b. Sebagai Penanda Identitas Waria dalam Sinetron
Penggunaan bahasa waria untuk menunjukkan identitas sebagai tokoh waria dalam sinetron. Dengan menggunakan kosakata waria tersebut seorang tokoh dapat dikenali sebagai
pemeran waria dalam sinetron. Bahasa yang mereka gunakan menunjukkan identitasnya sebagai waria dalam sinetron.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Penelitian ini berisi gambaran umum tentang klasifikasi, makna, dan tata bentukan ragam bahasa waria dalam sinetron. Klasifikasinya terdiri atas 24 kategori, tata bentukannya terdiri atas 10 kategori. Adapun fungsi ragam bahasa waria dalam sinetron adalah sebagai alat komunikasi menyatakan eksistensi diri sebagai waria dan penanda identitas.
Ragam bahasa waria sangat unik karena sering terdengar lucu bila langsung diungkapkan oleh mereka. fenomena bahasa waria sempat menjadi semacam tren dalam sinetron. Adanya fenomena menarik seperti ini tentu akan berdampak pada perjuangan mereka dalam menunjukkan eksistensi diri. Bahasa yang mereka gunakan ternyata mengandung semacam ciri khas karena memiliki pola khusus. Pola khusus itu mempunyai banyak makna di dalamnya.
Tentu saja makna itu berfungsi sebagai komunikasi antarmereka.
Saran
Saran bagi para peneliti berikutnya adalah agar melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap ragam bahasa waria dalam sinetron dengan data yang lebih banyak dengan cara menggunakan rekaman, sehingga data yang akan terkumpul lebih lengkap dan tidak hanya kosa kata saja tetapi juga berupa dialog atau wacana. Hal ini perlu dilakukan untuk menyelidiki struktur dialog waria dalam sinetron dan kehidupan mereka sehari-hari di masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Ade. 2006. Wawancara, tidak bisa disamakan. Jawa Pos, Rabu, 21 Juni 2006, hal. 14.
Allen, J. P. Dan Corder, S. Pit. (Eds.). 1973. Reading for Applied Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Anwar, Khaidir. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal, Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dale, Edgar, et. al. 1971. Techniques of Teaching Vocabulary. Palo Alto, California: Field Educational Publications, Incorporated.
Emka, Moammar. 2007. Kamus Gaul Hare Gene!!! Jakarta: GagasMedia.
Hartman, R. R. K. dan Stork, F. C.,. 1972. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publisher Ltd.
Heuken, A. 1989. Ensiklopedia Etika Medis. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Hidayat, Amir F dan Ar, Elis N. Rahmani. 2006. Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia, Peristilahan dalam Bahasa. Jawa Barat: CV Pustaka Grafika.
Ishmah, Nur; Novitasari, Putri; Ramadani, Mahmudi; dan Jannah, Mia’ul. 2010. Bahasa Gaul pada Kalangan Waria Salon di Kota Banjarmasin. Laporan penelitian tugas mata kuliah sosiolinguistik.
Banjarmasin: PS PBSI, FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Kawira, Lita Pamela. 1990. Bahasa Prokem di Jakarta. Dalam Muhadjir dan Suhardi, Basuki (Eds.).
Bilingualisme dan Pengajaran Bahasa. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Kodrat, David Sukardi dan Dewanto, Jimmy. 2009. A Sociolinguistic Study on Tag Questions Used by She-Males in Surabaya. Linguistik Indonesia, 27 (1): 69-79.
Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta: LKiS.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Laelasari dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Natalia, Livia. 2007. Kamus Istilah Gaul SMS. Jakarta: Gagas Media.
Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: VISIPRO-Kesaint Blanc.
Oetomo, Dede. 1988. Bahasa Rahasia Waria dan Gay di Surabaya. Makalah Seminar Sosiolinguistik II, Jakarta.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pei, Mario dan Gaynor, Frank. 1954. Dictionary of Linguistics. New Jersey: Littlefield, Adam and Co.
Retno dan Ade. 2006. Perilaku Homoseksual Penata Rambut (Hair Stylist), Bersama Komunitas Jadi Berani. Jawa Pos, Rabu, 21 Juni 2006, hal. 14.
Siregar, Eva Tuti Harja. 2010. Bahasa Gaul pada Kalangan Waria di Jalan Gadjah Mada Medan:
Tinjauan Sosiolinguistik. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Solihin, O. 2005. Kepada Para Waria. Bogor: Al Azhar Press.
Sumarsono dan Partana, Paina. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset.
Willis, Hullon. 1964. Structure Style Usage A Guide to Expository Writing. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Zeigher, Arthur (Ed.). 1973. Encyclopedia of English. New York: Arco Publishing Company, Inc.
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
(LEARNING REGIONAL LANGUAGE AND LITERATURE AS A MEANS OF EDUCATION OF NATIONAL CHARACTER)
A. Syukur Ghazali
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang, e- mail [email protected]
Abstract
Learning Regional Language and Literature as a Means of Education of National Character. Learning the language and literature to be a vehicle for cultural education and the nation’s character is based on the view that language and literature has the potential to become an institution that gives hope for people to talk about the ultimate reality of life. An imaginative literary works offer a rich selection of possibilities about the structure of complex life. Michael Novak (Lickona, 1991: 50) states that the elements forming the moral attitude can be traced to religious traditions, literature-based stories of local culture (indegeneous), policy advice (sage), and a view of life that flows figures hereditary historically through discourse language and literature. More than that, the might of the local language as the medium of education has been proved empirically by India and Thailand who use writing as writing Hindi and Thai official. Even Singh (2010), an international seminar on retention native language, India explains that the state establish a political idea, not a linguistically formulated Hindi language. This designation aims to make the “mother tongue Becomes a rallying point for groups of people to unite and express their solidarity more as a political entity.” Therefore, the intention of the government to establish policies and conduct conservation programs in the local language of each province, as well as through literature, is key to the implementation of this idea.
Keywords: literature as forming the moral stance, regional literature, government goodwill
Abstrak
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah sebagai Wahana Pendidikan Karakter Bangsa. Pembelajaran bahasa dan sastra untuk menjadi wahana pendidikan budaya dan karakter bangsa didasarkan pada pandangan bahwa bahasa dan sastra berpotensi untuk menjadi institusi yang memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki. Karya sastra merupakan tawaran imajinatif yang kaya dengan pilihan kemungkinan tentang struktur kehidupan yang kompleks. Michael Novak (Lickona, 1991: 50) menyatakan bahwa unsur pembentuk sikap moral bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra berbasis kebudayaan lokal (indegeneous), nasihat kebijakan (sage), dan pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turun-temurun secara historis melalui wacana bahasa dan sastra. Lebih dari itu, keperkasaan bahasa daerah sebagai medium pendidikan telah dibuktikan secara empirik oleh India dan Thailand yang menggunakan tulisan Hindi dan Thai sebagai tulisan resmi negara.
Bahkan Singh (2010), dalam seminar internasional tentang pemertahanan bahasa ibu, menjelaskan bahwa negara India menetapkan gagasan politis, bukan merumuskan bahasa Hindi secara linguistik. Penetapan ini bertujuan untuk menjadikan “mother
tongue becomes a rallying point for group of people to unite and express their solidarity more as a political entity”. Oleh karena itu, niat baik pemerintah untuk menetapkan kebijakan dan melakukan program pelestarian bahasa daerah di wilayah propinsi masing-masing, juga melalui sastra, merupakan kunci bagi terlaksananya gagasan ini.
Kata-kata kunci: sastra sebagai pembentuk sikap moral, sastra daerah, niat baik pemerintah
PENDAHULUAN
Di pintu masuk sebuah sekolah tertulis sebuah puisi yang ditulis oleh Aron (Reigeluth, 1999:
594) seperti berikut.
Hati-hati dengan pikiranmu
Karena dari pikiranmu akan meluncur kata-katamu Hati-hati dengan kata-katamu
Karena kata-katamu akan menjadi tindakanmu Hati-hati dengan tindakanmu
Karena tindakanmu akan menjadi kebiasaanmu Hati-hati dengan kebiasaanmu
Karena kebiasaanmu akan membentuk karaktermu Hati-hati dengan karaktermu
Karena karaktermu itulah akan mengukir nasibmu
Puisi oleh Anon di atas menunjukkan pentingnya kedudukan bahasa bagi pembentukan budi pekerti, tingkah laku, dan cara berpikir subjek didik. Dikatakan demikian, karena bahasa mencerminkan budaya pemiliknya. Dengan demikian, pemilik bahasa, sadar atau tidak, akan memiliki pandangan filosofis, perilaku budaya, dan cara berpikir yang terkandung dalam bahasanya.
Menyadari pentingnya pendidikan sebagai upaya sadar membentuk generasi berkarakter dan bermartabat itulah maka pemerintah sebagai penyelenggara dan fasilitator pembangunan sektor pendidikan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melalui fungsi tujuan pendidikan dalam pasal 3 di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa 5 (lima) dari 8 (delapan) potensi peserta didik yang ingin dikembangkan sangat terkait dengan karakter anak bangsa yang ingin ditumbuhkan melalui pendidikan. Itu berarti bahwa sebenarnya tugas pendidikan yang paling utama adalah membentuk watak atau sikap mental (karakter) yang kuat dan tangguh, sebab sikap mental tersebut merupakan kunci dari kemajuan suatu bangsa.
Peneliti Harvard University AS menyatakan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata- mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill); kesuksesan ditentukan oleh sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Terbukti bahwa orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena didukung oleh kemampuan soft skill daripada hard skill. Karena itu, pendidikan kita hendaknya lebih memusatkan perhatian pada peningkatan mutu pendidikan karakter anak didik.
BELAJAR DARI STIGMA NEGATIF ORANG MADURA
Rifai (2012: 21) menjelaskan bahwa orang Madura adalah suku bangsa pendatang yang terlempar ke pulau gersang yang tidak subur pada 4.000 tahun yang lalu. Untuk survive menghadapi keadaan yang demikian, pendatang itu harus menjadi pekerja keras, rajin, ulet, serta pantang mengatakan sulit. Dari tempat kondisi alam yang demikian, suku Madura menjadi pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi, mau melakukan pekerjaan apa saja asal diperoleh rezeki yang halal yang mendapatkan ridha dari Allah. Sikap demikian sangat mendalam dalam diri orang Madura, sebab suku Madura meyakini secara mendalam bahwa rezeki yang tidak halal itu ta’ ekadhaghing, atau tidak akan menjadi daging. Dengan etos kerja yang demikian, banyak ditemui di seantero negeri orang Madura yang berprofesi sabadana, samangghina, samonemmona (seadanya dan sedapatnya), yaitu profesi yang hanya mengandalkan otot untuk pekerjaan yang di dalam sosiologi dikenal dengan istilah blue collar job. Akan tetapi tidak jarang juga ditemui orang Madura yang bekerja di bidang pekerjaan yang menuntut ketekunan dan presisi tinggi. Sikap yang demikian itu tumbuh akibat keyakinan yang mendalam terhadap agamanya, Islam, yang telah ditanamkan sejak masih bayi dengan ucapan nina bobok bhantal sadât apajung Alla (berbantal syahadatain dan berpayungkan perlindungan Allah).
Rifai (2012: 21) juga menjelaskan bahwa suku Madura mempunyai prinsip hidup yang sangat positif, yaitu jhujhur, hemat, cermat, apa adanya, tanggap, mempunyai jiwa enterpreneurship yang tinggi, tulus, setia, sehingga dapat dipercaya kata-katanya. Sikap tersebut tumbuh akibat nilai- nilai yang juga telah ditanamkan sejak kecil, yaitu bhappa’, bhabhu’, ghuru, rato, yaitu ajaran yang menanamkan sikap tunduk secara hierarkhis kepada bapak, Ibu, guru, dan pemimpin negara.
Di samping sikap positif, banyak orang beranggapan bahwa orang Madura mempunyai stigma negatif yang kerapkali kurang disukai oleh suku bangsa lain. Tempaan alam yang keras yang mengakibatkan suku bangsa Madura memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Akibat sampingan yang kemudian dialami oleh suku Madura adalah sering kurang peduli kepada orang lain, kurang berperasaan, dan terkesan seenaknya sendiri. Di kalangan orang Madura sangat lazim muncul ungkapan seperti sakarebbhâ dhibi’ (seenaknya sendiri), ta’ bât-ngeblâdi (tidak memperdulikan akibat yang akan diderita oleh orang lain). Sikap ini dapat dilihat secara antropolinguistik, sebagaimana dinyatakan oleh Seelye (1994: 7), bahwa “To draw a behavioral inference legitimately from an analysis of language structure, a language pattern must be associated empirically with a behavioral pattern.” Pernyataan itu mengandung pesan bahwa perilaku struktur bahasa juga menunjukkan perilaku penuturnya.
Sebagai misal, kita dapat melihat sistem perulangan bahasa Madura (BM) ta’ bât-ngeblâdi.
Kata ulang tersebut berasal dari kata dasar keblât, kemudian kata tersebut mengalami reduplikasi dan prefiksasi. Hal yang menarik adalah cara BM memberikan awalan pada kata keblât di atas.
Awalan tersebut terjadi di tengah kata ulang dan berada di belakang kata ulang sebagian –bat, yang berbeda dengan bahasa Indonesia yang meletakkan awalan selalu di depan kata, meskipun kata itu kata ulang. Peristiwa bahasa itu dapat memberikan petunjuk adanya sikap “sesukanya sendiri” tersebut.
Contoh menarik lainnya adalah peristiwa BM ditingkat bunyi. Di dalam bahasa Madura ada bunyi a (a jelas) dan â (a alos). Bunyi â (a alos) terjadi apabila bunyi a terdapat di belakang bunyi bersuara (voiced) seperti /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan /jh/. Setakat ini peristiwa tersebut bisa dipahami. Yang menjadi hal yang perlu dipahami secara khusus adalah kondisi apabila bunyi konsonan bersuara /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan /jh/ tersebut tidak memiliki bunyi a, maka bunyi a pada suku kata berikutnya harus “menderita” dengan harus diucapkan â seperti pada kata parbirâ, jhilâ, dan ghumbhirâ. Bunyi /ra/ dan /la/ pada parbirâ, jhilâ, dan ghumbhirâ tidak bisa
diucapkan sebagai bunyi ra dan la seperti dalam BI. Ini contoh ro-morowan (membuat orang lain mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya) yang ditunjukkan oleh perilaku berbahasa.
Peristiwa ro-morowan juga terjadi pada peristiwa bahasa distribusi bunyi. Pada contoh seperti bhâlâ, bârâ, jhâlâ, dan jhârâ, bunyi ra dan la tidak seharusnya diucapkan râ, dan lâ. Akan tetapi pada contoh di atas tampak bahwa kaidah pengucapan bunyi a berubah menjadi â (a alos) apabila bunyi a terdapat di belakang bunyi bersuara (voiced) seperti /b/, /bh/, /d/, /dh/, /g/, /gh/, /j/, dan / jh tidak berlaku untuk distribusi bunyi a pada bunyi lateral dan getar seperti pada contoh di atas.
Dengan demikian, contoh di atas menjadi bukti empirik adanya perilaku bahasa yang menunjukkan perilaku pemakainya sebagaimana diasumsikan oleh Seelye di atas.
Salah satu kemungkinan yang perlu kita pertimbangkan dalam merangsang pendidikan jangka panjang atau pendidikan karakter bagi anak didik kita adalah terwujudnya “hidden curriculum”, kurikulum tersembunyi, yang terkait dengan pengalaman-pengalaman yang disediakan oleh sekolah, baik secara lahiriah maupun batiniah, yang dalam jangka panjang membuahkan perilaku yang kita harapkan. Yang perlu kita wujudkan bukan hanya tercapainya hasil belajar ranah kognitif yang prima, melainkan juga anak yang secara pribadi, sosial, dan agama tergolong ke dalam qurrota a’yunin, anak yang menyenangkan apabila dipandang secara mata lahiriah, terutama mata batiniah.
Pendidikan karakter yang paling sesuai dengan budaya Madura adalah budaya yang islami.
Terkait dengan pendidikan karakter yang Islami, junjungan kita, Nabi dan Rasul Muhammad SAW, menyatakan bahwa kita wajib menyiapkan anak didik kita dengan metode dan strategi yang tepat sesuai dengan zamannya, dalam haditsnya: ‘allimu ‘auladakum fainnahum makhlukuuna li zamanin ghaira zamaanikum.” Didiklah anakmu dengan cara yang sesuai dengan zamannya, karena mereka dilahirkan pada zaman yang cara mendidik yang berbeda dengan orang tuanya.
Pertanyaannya sekarang, ke mana orientasi pendidikan karakter kita? Dari analisis terhadap pikiran dan hasil renungan di dalam karya sastra, ditemukan ada tiga cara memanfaatkan kearifan lokal. Pertama, local genious secara sentripetal digunakan sebagai landasan untuk mencari model:
seperti apakah bentuk dan isi kebudayaan “Indonesia” pada masa yang akan datang. Pada tahap ini, bayangan Indonesia baru belum menemukan bentuknya. Kedua, kearifan lokal digunakan sebagai batu loncatan untuk menghasilkan subject-matter, tokoh, latar, peristiwa yang lebih mendarat di bumi “Indonesia”. Akan tetapi para pelaku budaya masih ragu-ragu terhadap budaya barat sepenuhnya, namun mereka sadar, bahwa budaya timur tidaklah dapat mewadahi pikiran mereka sepenuhnya. Ketiga, ketika berada di buminya sendiri yang merdeka, para pelaku budaya mulai menyadari bahwa di lingkungannya sendiri cukup banyak masalah yang dapat diangkat menjadi ide tulisan kreatif dengan kendaraan muatan lokal/warna lokal /local genious. Dengan kata lain, warna lokal merupakan mutiara yang menunggu penggosok yang terampil agar menjadikannya berkemilau. Bergerak ke dalam secara sentripetal akan membuat para pelaku berjumpa dengan arus kekuatan sejati kearifan lokal yang bermanfaat bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Sebagai contoh, ketika ingin menyampaikan hasil perenungan dan penghayatannya terhadap budi luhur nilai-nilai kehidupan orang Jawa untuk pendidikan anak, Umar Kayam menulis dalam novelnya “Para Priyayi”, melalui tokoh Sosro Darsono dan Lantip, bahwa anak perlu diajak mengerti tentang siapa dirinya, mempersiapkan masa depannya. Dengan sareh dan sabhar, tokoh masa depan Lantip dibesarkan melalui pendidikan keluarga nilai berupa ngenger, tirakat, sabar, nariman, sregep, ngalah, temen, dan jhujhur. Melalui pendidikan Ing ngarso asung tuladha, ing madya hambangun karso, dan Tut wuri handayani di dalam keluarga, Lantip digulawentah (didik dengan cara keras dan disiplin) dengan nilai-nilai sebagaimana diyakini oleh keluarga Jawa sebagai peranti kehidupan untuk menjadi “orang Jawa”. Melalui pendidikan yang kurikulumnya sudah
dihayati, dengan pelaksanaan pendidikan sepanjang hari di sepanjang waktu, dengan kesadaran bahwa Lantiplah penerima tongkat estafet keluarga, Den Mantri Guru Sosro Darsono membesarkan keponakannya di rumahnya sendiri. Lantip tidak dibesarkan dengan gaya hidup keluarga priyayi, melainkan dengan gaya hidup orang biasa dengan cara berpikir priyayi yang berorientasi pada pemikiran modern, dengan gaya yang sangat disiplin, dan siap memberikan hukuman apalagi
‘anak didiknya” berbuat kesalahan.
Akan tetapi orientasi ke timur belum tentu disepakati oleh banyak pihak. Untuk kalangan budayawan, seniman, ilmuwan, yang oleh sebab latar-belakang pendidikannya berwarna barat, mereka memilih berorientasi ke barat. Mereka beranggapan bahwa timur itu penuh dengan pikiran yang diwarnai oleh mitos, penuh dengan keanehan, dan selalu mengkhayalkan dunia impian (dream land) atau dunia masa lalu yang damai sentosa. Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan kaum sentripetal tidak didasarkan pada dunia nyata. Golongan ini secara sentrifugal bergerak keluar, dan mereka menjadi dunia impian yang lebih menjanjikan, yaitu dunia barat. Pandangan yang demikian terdapat dalam The Oxford Companion to American Literature yang menyatakan bahwa:
“In local-color literature one finds the dual influence of romanticism and realism, since the author frequently looks away from ordinary life to distant lands, strange customs, or exotic scenes, but retains through minute detail a sense of fidelity and accuracy of description. Its weaknesses may include nostalgia or sentimentality” (p. 439).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa sastra yang mengangkat warna lokal berorientasi ke dua alam, yaitu romantisisme dan realisme. Menurut definisi di atas, pengarang menjauh dari dunia nyata, dan pengarang berakrab-akrab dengan dunia eksotis, kebiasaan yang asing, dan alam yang berada jauh dari dunia kita sekarang ini. Menurut pembuat definisi ini, dunia yang diciptakan oleh penulis berwarna lokal itu bersifat nostalgia dan sentimental.
Dari kutipan tersebut tampak bahwa kubu kedua ini beranggapan bahwa dalam warna lokal tidak ada kearifan karena di dalamnya penuh kelemahan, karena di dalam pandangan kubu ini yang ada hanya nostalgia dan perasaan yang penuh sentimental. Dengan kondisi yang demikian, kubu sentrifugal telah memberikan penghakiman bahwa kubu sentripetal tidak mampu memberikan pikiran dan paparan yang tegas dan rinci, dan uraian yang cermat serta saksama.
Sikap yang demikian, dapat kita lihat dari pandangan Kartini (1985: 1), pelopor gerakan pencerdasan kaum wanita, di bawah ini:
“... Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan saya, saya tidak turut menghayati Zaman Hindia ini, tetapi saya sama sekali hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan berkulit putih di barat yang jauh.”
Kartini dengan tegas menolak sikap dan pandangan hidup saudara-saudaranya yang sama- sama berkulit sawo matang yang masih berpendirian terbelakang, terikat oleh masa lampaunya, dininabobokan oleh masa lalunya, dan dikekang oleh mitos dan warna lokal yang menyilaukan pemiliknya. Dalam pandangan Kartini di atas, warna kulit tentunya bukan menjadi sasaran utama.
Fokus sasarannya adalah sikap dan pikiran yang telah dicapai oleh kaum kulit putih, yaitu cara berpikir maju, berpandangan jauh ke depan, tidak yang meninggalkan harta karun leluhur yang
“tidak tepermanai nilainya”. Dengan demikian, memilih barat merupakan solusi bagi ketertinggalan, cara berpikir lokal, dan tindakan yang tidak rasional, melainkan emosional.
Cara pandang yang relatif sama dengan Kartini dianut juga oleh Sutan Takdir Alisjahbana.
Pendidikan dan pengalaman berorganisasi yang dimiliki oleh Tuti membuatnya tidak canggung berada di depan masyarakatnya. Ia begitu mudah bergaul, keluar masuk desa dan kota tanpa
ada rasa canggung. Di dalam “Layar Terkembang”, Takdir menggambarkan bahwa pendidikan dan organisasi mampu membuat keterbelakangan menjadi terkuat terbuka lebar bak “Layar Terkembang”. Namun, Takdir dengan berani menghadapkan Tuti, tokoh protagonis dalam roman
“Layar Terkembang”, pada pilihan yang tidak populer di kala itu: ia dijauhi oleh laki-laki karena Tuti berperangai tidak seperti wanita pada umumnya di zaman itu. Dengan demikian, Takdir telah sejak awal menyadari bahwa memilih barat pun, dan tentu saja meninggalkan Timur (warna lokal atau kearifan lokal) bukan tanpa konsekuensi. Pelaku-pelakunya harus berani menghadapi konsekuensi apa pun yang bakal dihadapi oleh pelakunya, baik konsekuensi yang bersifat pribadi atau pun yang bersifat sosial.
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER MELALUI SASTRA INDONESIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Bagi orang tua dan pendidik di Madura terpateri dengan kuat keinginan luhur untuk mendidik anaknya dengan benar, terutama memberikan pendidikan yang mengarahkan agar anaknya mengenal agama dan bisa membaca Al Qur’an. Ajaran ini telah disampaikan dengan bijaksana oleh para leluhur kita melalui lagu permainan anak-anak seperti berikut:
Pa’-kopa’ éléng Éléngnga sakoranji Eppa’ entar mamaléng Ana’ tambang tao ngaji Ngaji babana cabbi
Ka’-angka’na sarabi settong Mari bertepuk tangan Ingatlah selalu pesan ini Bapak mau pergi (mencuri)
Anak semata wayang (tetap) harus bisa mengaji Meskipun di bawah pohon
Dengan hidangan serabi.
Pesan moral yang terkandung dalam lagu berbasis kearifan lokal ini sungguh sangat tinggi nilainya. Lagu rakyat yang membangun kesadaran kolektif tentang tanggung-jawab moral orang tua agar selalu ingat untuk menanamkan sikap Qur’ani terhadap anak keturunannya
Dalam lagu anak-anak yang sering dilantunkan ketika berjalan kaki menuju sekolah terdapat ajaran karakter yang positif. Simaklah lagu berikut:
Ollé Ollang paraona alajârâ Ollé Ollang alajârâ ka Madurâ Ollé Ollang paraona alajârâ Ollé Ollang alajâr ka témor dâjâ Olle Ollang perahu itu akan berlayar Olle Ollang akan berlayar menuju Madura Olle Ollang perahu itu akan berlayar Olle Ollang hendak berlayar ke timur laut
Teks lagu di atas menunjukkan perilaku dinamis orang Madura yang memberikan gambaran bahwa orang Madura pemberani, energetik, dinamis dan suka bekerja dan berusaha keras.
Pertanyaan kita sekarang, “Ke mana lagu yang mampu menajamkan mata batin itu pergi?
Mengapa ratna mutu manikam itu tak tentu rimbanya? Kuntowijoyo (2006: 31) memberikan analisis berbeda dengan Faruk terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan tegas, ahli
sejarah dari Universitas Gajah Mada ini menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia, terutama masyarakat tradisionalnya, diwarnai oleh dualisme kebudayaan. Terdapat dua subsistem kebudayaan yang terpisah dalam masyarakat tersebut, bahkan kedua subsistem itu saling bertentangan dan tantang-menantang. Subsistem yang dimaksud ialah kebudayaan keraton dan kebudayaan desa. Namun, karena sarana dan sarana penyebaran produk dan informasi dikuasai oleh keraton, terciptalah penjajahan budaya keraton terhadap budaya rakyat. Sebagai akibat, budaya rakyat menjadi budaya pinggiran yang diketepikan, dan pada gilirannya bahkan menjadi subkultur yang semakin kehilangan elan vitalnya. Melalui karya sastra yang dihasilkan oleh pujangga keraton, penyebaran nilai-nilai yang dianggap sebagai “tolok ukur perilaku terhormat” bagi seluruh anak negeri dilakukan.
Akan tetapi kekuatan kebudayaan keraton, juga sastra sebagai penyebar nilai, tidak bertahan lama. Kuntowijoyo (2006: 16) mengingatkan kita tentang masa-masa meredupnya sastra keraton ditandai oleh berubahnya sastra tembhang yang secara ketat mengatur jumlah kata dan iramanya (mengisyaratkan posisi sosial dan etiket yang ketat), dan berganti dengan prosa yang relatif lebih longgar aturannya. Penyebarannya dilakukan oleh guru-guru sekolah, kelas sosial baru, kelompok priyayi baru. Dengan demikian, kemunculan sastra prosa menjadi pertanda munculnya lapisan baru dalam perkembangan budaya, yaitu lapisan intelektual.
PEMBELAJARAN NILAI MORAL LEWAT BAHASA DAN SASTRA DAERAH DI SEKOLAH
Hazlitt (2003: 226-7) berpendapat bahwa moral dibangun dengan bahasa. Melalui interaksi sosial menggunakan bahasa dengan orang dewasa, anak-anak tiba-tiba sudah memiliki tradisi dan konvensi sosial, Kita menyerap pertimbangan moral melalui kegiatan berbahasa yang kita lakukan. Kita menyerap makna dari kata-kata yang mengalir dari organ bicara pendahulu kita.
Sejak masa kanak-kanak sampai usia sekolah, kita tanpa sadar telah mendapatkan kata-kata bermuatan moral dan nilai-nilai budaya dari orang-orang di sekeliling kita dan kita simpan di dalam ingatan jangka panjang kita.
Oleh karena alasan seperti di atas itulah, dalam gelombang perkembangan budaya di era IT ini, masyarakat menaruh kembali harapan besar pada lembaga pendidikan sekolah untuk mengasuh putra-putri mereka. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah sebagai sebuah komunitas belajar menyediakan kesempatan kepada putra-putri mereka untuk mengeksplorasi dan mengelola kebudayaan dunia secara lebih produktif melalui kemahir-wacanaan: membaca berbagai bidang pengetahuan, terampil menulis dan berkomunikasi lisan, dan peka terhadap perubahan, termasuk di dalamnya kegiatan mengapresiasi dan mencipta sastra. Orang tua siswa juga berharap agar putra-putrinya memiliki pemahaman tentang kehidupan sosial, ketekunan mengembangkan diri, sopan santun, menjadi lebih bermartabat, dan secara pribadi memberikan sumbangan untuk terbentuknya generasi yang memiliki kualitas yang tinggi (Joyce, Weil, dan Showers, 1992: 1), dan lebih dari itu, masyarakat percaya kepada sekolah sebagai institusi formal pembentuk kebiasaan dan kemampuan berpikir, sehingga pada gilirannya anak siap menghadapi perubahan zaman.
Pada saat ini, pertumbuhan dan perkembangan siswa selain diarahkan melalui pendidikan sekolah, juga dipengaruhi oleh produk teknologi komunikasi dan informasi. Tayangan televisi, siaran radio, pemberitaan media cetak, dan internet memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses berbagai perkembangan informasi yang berlangsung dengan sangat cepat. Era globalisasi memposisikan siswa sebagai bagian dari arus perkembangan teknologi komunikasi informasi yang cenderung meniadakan batas-batas geografis negara dan identitas budaya. Pada saat ini, yang terjadi bukan hanya akulturasi budaya beserta tata nilai yang menyertainya, tetapi
sudah merupakan peleburan budaya. Salah satu konsekuensi sulit yang dihadapi oleh siswa ialah seringnya siswa mengalami dilema moral ketika harus membuat keputusan dengan tepat pada situasi kehidupan yang terus berubah. Di sinilah tugas mulia dari lembaga pendidikan, yaitu memberdayakan siswa agar mampu mengatasi dilema moral, sehingga pada gilirannya, mereka dapat bertahan dengan nilai moral yang terus-menerus mengalami perubahan.
Besarnya tanggung-jawab lembaga pendidikan terhadap pembangunan moral anak bangsa diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional RI melalui terbitnya salah satu kebijakan pendidikan nasional. Melalui Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP, Depdiknas sejak tahun 2001 telah mengimplementasikan Program Pembangunan Karakter Bangsa. Melalui Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas melakukan upaya sadar untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat-istiadat, nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat, pikiran, dan cita-cita bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur yang dibangun sebagai prioritas karakter bangsa, yakni iman, takwa, jujur, disiplin, demokrasi, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, mandiri, sehat, kreatif, berilmu/berkeahlian, dan berakhlak mulia (Muhammad, 2003: i).
Mengapa pendidikan nilai dan akhlak mulia itu perlu dilakukan? Semiawan (2000: 4) menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan bahwa kekerasan dan benturan-benturan sosial dapat dicegah sejak dini dengan mengedepankan kebersamaan dan pluralitas, prinsip-prinsip toleransi, dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Berdasarkan gagasan itu, proses pembelajaran dapat diberdayakan untuk mengembangkan kompetensi nilai moral sebagai fondasi tumbuhnya power of culturing. Hal yang terpenting bagi guru adalah melatih kesadaran, sikap berdisiplin, dan etos ilmiah peserta didik. Fungsi pendidikan tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan.
Fungsi imperatif itu diharapkan mampu memasuki wilayah budaya, pendidikan, dan ideologi.
Pengalaman belajar yang diberikan di lembaga pendidikan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan dirinya menjadi makhluk yang mengedepankan nilai moral, dan kelak, bekal itu akan membawanya menjadi manusia Indonesia berakhlakul karimah. Salah satu kebijakan yang dapat dipilih untuk mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang mengedepankan semangat moral sebagai titik tolak berpikir, bersikap, dan bertindak, yakni dengan memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra untuk pendidikan nilai moral.
Mengapa pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu memanfaatkan sastra sebagai wahananya? Jawabnya terletak pada hadirnya upaya tokoh-tokoh novel yang bergelut dengan zamannya, menghadapi tantangan dengan pantang menyerah. Bahkan, dalam karya sastra banyak diciptakan tokoh protagonis yang menunjukkan pribadi yang tangguh ketika berhadapan dengan tokoh antagonis yang menguras tenaga, pikiran, bahkan sampai pada peristiwa yang menguji ketangguhan kepribadian sang tokoh.
Sastra dapat dijadikan sumber bahan pelajaran yang kaya nuansa. Oller (1983:12) memberikan pernyataannya sebagai berikut, “Literature (again, referring to those pieces involving plots and character) can provide contexts for language learning in which the language itself (its syntax, semantics, and pragmatic) becomes more memorable.” Menurut Oller, salah satu keunggulan sastra karena jenis wacana ini disusun secara periodik. Dengan menggunakan “Hipotesis Episode”, Oller menyatakan bahwa urutan logis dalam karya sastra menjadi lebih memudahkan siswa untuk memproduksi, memahami, dan menghapalkannya. Penyusunan cerita secara periodik itu dapat membangkitkan kembali ingatan siswa terhadap kebiasaan mendengarkan cerita dari orang tuanya. Selain itu, pada umumnya penyusunan cerita konsisten dengan pengalaman yang didapat oleh anak dalam kehidupannya yang nyata.
Sastra juga dapat memajankan budaya setempat kepada anak-anak. Dengan membaca “Umi Kulsum” kumpulan cerpen karya Djamil Suherman, anak dapat mengetahui budaya pesantren dan masyarakat di sekitar pesantren. Dengan membaca roman “Tenggelamnya Kapal van Der
Wijck”, anak akan mengetahui sedikit tentang seluk-beluk kehidupan di Sumatera Barat, bagaimana cara orang Minangkabau memilih menantu, dan bagaimana orang laki-laki Minangkabau menjalankan tugasnya sebagai penanggung-jawab kemenakannya. Dengan membaca “Ajam Bekisar” oleh D. Zawawi Imron, kita diajak oleh pengarangnya untuk menghayati kehidupan, cara berpikir dan bersikap orang Madura. Melalui penghayatan terhadap isi cerita pendek “Ojhan sé’-résé’ ta’ enda’ terrang” kita dibawa oleh pengarang untuk ikut merasakan indahnya bertetangga saling menolong, meskipun dengan memberikan garam dan cabai.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan sastra sebagai sumber bahan pelajaran banyak memberikan keuntungan baik dari segi bahasa maupun dari sudut budaya. Beberapa aspek yang telah disebutkan di muka merupakan faktor yang sangat mendukung upaya menciptakan atmosfer alamiah di dalam kelas.
Apresiasi nilai moral dapat menumbuhkan kesadaran bahwa terdapat kewajiban moral (oughtness) pada tiap-tiap keputusan dalam kehidupan, dan pengingkaran terhadap kewajiban tersebut membawa sanksi secara langsung atau tidak langsung. Kesadaran terhadap kewajiban moral ditunjukkan tidak dalam wujud seperangkat pengetahuan tentang hukum atau kaidah moral, melainkan dalam wujud keterampilan berpikir kritis atas setiap keputusan nilai dan sikap moral yang dipilihnya, dan secara konsisten teramati dalam hidup yang nyata. Di sinilah pentingnya pendidikan untuk melakukan hibridasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu yang terkandung dalam sastra daerah, sebagai titik tolak untuk mendeskripsikan, mengidentifikasi, menglasifikasi, memilih, dan memutuskan nilai yang perlu dipelajari oleh siswa. Nilai yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional untuk kepentingan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ada 16 Nilai seperti dipaparkan dalam kolom berikut.
NILAI DAN DESKRIPSIPENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA
Pembelajaran budaya Madura melalui bahasa dan sastra Madura untuk menanamkan kembali budaya Madura harus dianggap sebagai upaya memfasilitasi kegiatan penanaman nilai moral dan etika, sebagai dasar pembangunan karakter individu melalui program pendidikan.
Adapun pelaksanaannya tercermin pada program intrakurikuler, ekstrakurikuler, kerjasama dengan masyarakat, dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif (lihat Muhammad, 2003:
4). Akan halnya pencapaian kompetensi lintas kurikulum, guru mata pelajaran muatan lokal Bahasa Madura dapat bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain, khususnya pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam membahas topik-topik yang saling berhubungan. Kerja sama dengan guru ketiga mata pelajaran tersebut diarahkan pada