SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Per syar atan Memper oleh
Gelar Sar jana Pada Pr ogr am Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veter an” Jawa Timur
Oleh :
WIYANTI PUTRI
NPM : 0943010145
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN “ J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
Disusun Oleh :
WIYANTI PUTRI NPM. 0943010145
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing Utama
Dra.Her lina Suksmawati,M.Si NIP. 19641225 199309 2001
Mengetahui,
D E K A N
WIYANTI PUTRI
NPM. 0943010145
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi J ur usan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Pada tanggal 19 J uli 2013
Pembimbing Utama
Dra.Her linaSuksmawati, M.Si NIP. 196412251993092001
Tim Penguji :
1. Ketua
Ir. DidiekTranggono, M.Si NIP. 1951225199001 1001
2. Sekretaris
Dra.DyvaClaretta, M.Si NPT.3 6601 94 00251
3. Anggota
Dra.Her linaSuksmawati, M.Si NIP. 196412251993092001
Mengetahui,
DEKAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “POLA KOMUNIKASI
ORANG TUA TUNGGAL TERHADAP PERKEMBANGAN EMOSI
REMAJ A” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dra. Herlina Suksmawati,M.Si selaku Dosen Pembimbing utama yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi
kepada penulis. Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak,
baik itu berupa moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos,M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
3. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan
dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan segenap karyawan Tata Usaha
selaku koordinator skripsi yang telah membantu mengurus administrasi yang
berkaitan dengan skripsi ini.
4. Orang tua yang telah memberikan doa, semangat, nasehat, dan kasih sayang
7. Hari Prasetya yang selalu mensupport, menemani, memotivasi dan memberi
inspirasi bagi penulis.
8. Teman-temanku Verawati, Mutiara dan Adelia yang selalu menemani, dan
memberi semangat kepada penulis.
9. Bronice yang selalu menemani dan menghibur
10. Dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, saya ucapkan
terima kasih.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak umumnya dan penulis pada khususnya.
Surabaya, 25 Juli 2013
HALAMAN J UDUL ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 10
2.1. Penelitian Terdahulu ... 10
2.2. Landasan Teori ... 12
2.2.1 Pengertian Komunikasi ... 12
2.2.2 Komunikasi Antar Pribadi ... 13
2.2.3 Komunikasi Dalam Keluarga ... 15
2.2.4 Komunikasi Orangtua dan Anak ... 19
2.2.5 Pola Komunikasi ... 20
2.2.6 Pengertian Orang tua ... 24
2.2.7 Remaja ... 25
2.4. Kerangka Berpikir ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39
3.1. Jenis Penelitian ... 39
3.2. Subjek Penelitian ... 40
3.2.1 Pola Komunikasi ... 40
3.2.2 Kecerdasan Emosi ... 41
3.2.3. Orang Tua Tunggal ... 42
3.2.4. Remaja ... 43
3.3. Informan Penelitian... 43
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.4.1. Wawancara ... 44
3.4.2. Observasi ... 46
3.4.3. Studi Literatur ... 46
3.5. Teknik Analisis Data... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data ... 48
4.1.1. Orang Tua Tunggal ... 48
4.1.2. Identitas Informan ... 49
4.1.3. Identitas Informan ... 50
4.2. Penyajian Data ... 53
4.3. Pembahasan ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
5.1 Kesimpulan... 71
5.2 Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
Lampiran 1 Ciri-Ciri Pola Komunikasi ... 76
Lampiran 2 Daftar Wawancara Untuk Orang Tua ... 77
Lampiran 3 Daftar Wawancara Untuk Anak ... 78
DALAM MEMBENTUK KECERDASAN EMOSI REMAJ A
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kecerdasan emosi remaja.Pada kenyataannya, perkembangan emosi yang banyak dikenal dengan istilah kecerdasan emosional sering terabaikan oleh banyak keluarga, sebab masih banyak keluarga yang sangat memprioritaskan kecerdasan intelektual (IQ) semata. Padahal kecerdasan emosi harus dipupuk dan diperkuat dalam diri setiap anak, sebab kecerdasan emosi sangat erat kaitannya dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan sosial, moral, interpersonal, dan spiritual.
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaitkan fenomena pola komunikasi orang tua tunggal dalam kecerdasan emosi anak dengan teori pengembangan hubungan. Teori pengembangan hubungan yang dipakai adalah Teori Penetrasi Sosial. Teori ini atau nama aslinya Social Penetration Theory merupakan bagian dari teori pengembangan hubungan atau Relationship Development Theory.
Dengan demikian peneliti menganalisis bahwa pola komunikasi membentuk kecerdasan emosi anak. Tingkat kecerdasan emosi seorang anak tidak terjadi begitu saja. Baik buruknya kecerdasan emosi anak tergantung dari bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal yang diterapkan pada anak dalam keluarga.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan manusia, sekaligus dasar
eksistensi suatu masyarakat yang dapat menentukan struktur suatu masyarakat
dalam suatu lingkungan. Tanpa melakukan komunikasi, maka seseorang akan
sulit untuk melangsungkan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, kita merasa perlu
berhubungan dengan orang lain. Kita memerlukan hubungan dan ikatan emosional
dengan mereka, bahkan kita membutuhkan pengakuan mereka atas keberadaan
dan kemampuan kita.
Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya sistematis untuk
merumuskan secara tegas. Asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan
pendapat dan sikap. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian
komunikasi, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah
perilaku orang lain. Akan tetapi, seseorang dapat mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku orang lain apabila komunikasinya itu memang komunikatif.
(http://id.m.wikipedia.org/wiki/daftar_definisi_komunikasi 02 Juni 2013, 19:19).
Secara umum ragam tingkatan komunikasi meliputi komunikasi massa,
komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi intrapribadi, dan
komunikasi antarpribadi. Komunikasi yang akan lebih jauh dibahas dalam
Komunikasi antarpribadi ( interpersonal communication ) yaitu kegiatan
komunikasi yang dilakukan seseorang dengan orang lain dengan corak
komunikasinya lebih bersifat pribadi dan sampai pada tataran prediksi hasil
komunikasinya pada tingkatan psikologis yang memandang pribadi sebagai
sesuatu yang unik. Dalam komunikasi ini jumlah perilaku yang terlibat pada
dasarnya bisa lebih dari dua orang selama pesan atau informasi yang disampaikan
bersifat pribadi. Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar orang-orang
secara tatap muka, yang menungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang
lain secara langsung, baik verbal maupun nonverbal (Mulyana,2004:73).
Komunikasi antarpribadi yang paling sederhana dapat kita amati di dalam
keluarga. Suatu keluarga terdiri dari pribadi-pribadi yakni ayah, ibu, dan
anak-anak. Peranan anggota keluarga dalam menciptakan susasana keluarga kuat sekali.
Masing-masing pribadi diharapkan tahu peranannya di dalam keluarga. Keluarga
merupakan suatu sistem yaitu suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian
yang saling berhubungan dan berinteraksi. Komunikasi melalui interaksi yang
dilakukan dalam sebuah keluarga berbeda satu sama lain, terutama komunikasi
antarpribadi yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anaknya, semua orang tua
ingin memiliki anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan
mereka. Perkembangan anak ini meliputi perkembangan fisik maupun mental.
Keluarga sebagai suatu sistem. Keluarga adalah “multibodied organism”
organisme yang terdiri dari banyak badan. Keluarga adalah satu kesatuan (entity)
atau organisme. Ia bukanlah merupakan kumpulan (collection) individu-individu.
itu. Komponen-komponen itu ialah anggota keluarga. Di dalam sistem keluarga
terdapat beberapa subsistem yaitu :
a. Marital Subsytem : merupakan sistem perkawinan antara sepasang manusia
yaitu suami dan isteri. Peranan utama perkawinan ialah untuk mencapai kepuasan
atas dasar cinta dan penghargaan. Subsistem ini mempunyai peran tersendiri dan
jelas berbeda dengan peran sebagai orang tua terhadap anak-anaknya. Marital
Subsystem berkaitan dengan perhatian masing-masing anggota pasangan suami
isteri. Sedangkan subsistem orang tua (parental subsystem) berkaitan dengan pola
transaksi dalam memberikan perhatian terhadap anak-anak mereka.
b. Parental Subsystem : yaitu subsistem keluarga yang terdiri dari orang tua
(ayah-ibu). Peran utamanya adalah memberikan perhatian, kasih sayang, dan
membesarkan anak-anak sehingga menjadi manusia yang berguna.
c. Sibling System : yaitu subsistem anak-anak dalam sistem keluarga (sibling =
saudara kandung). Di antara anak-anak terdapat suatu interaksi. Mereka belajar
berhubungan dengan keluarga dan teman-teman di luar keluarga (sekolah,
masyarakat). Mereka bereksplorasi dan bereksperimen terhadap dunia luar. Hal ini
menciptakan hubungan dengan saudara-saudara dan teman-teman dan
dikembangkan dalam hubungan sosial di rumah dan di luar rumah (Willis
2011:51-52).
Keluarga yang utuh juga memiliki aturan-aturan sistem keluarga yang
berbeda-beda. Aturan-aturan yang ada dalam sistem keluarga ialah aturan-aturan
keluarga bertujuan agar sistem keluarga berjalan dengan baik. Karena itu semua
anggota keluarga harus memahaminya. Aturan-aturan keluarga yang fleksibel
adalah baik karena prinsip aturan tidak akan hilang tetapi caranya disesuaikan
dengan keadaan. Keluarga yang utuh memiliki komponen-komponen di atas
tersebut sehingga komunikasi dan interaksi dalam keluarga akan berjalan dengan
baik.
Keluarga tidak utuh memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak.
Dalam masa perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang
hangat dan penuh kasih sayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini
tidak didapatkan secara memuaskan. Keluarga yang tidak utuh menyebabkan
struktur keluarga berubah menjadi tidak lengkap dengan hilangnya salah satu
figur orang tua. Bersamaan dengan fenomena ini istilah Single Parent atau orang
tua tunggal menjadi populer di kalangan masyarakat.
Keluarga tidak utuh bisa dikatakan sebagai keluarga pecah (broken home).
Keluarga tidak utuh dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : (1) keluarga itu terpecah
karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal
dunia (2) orangtua telah becerai (Willis 2011:66).
Sehubungan dengan hal-hal tersebut keluarga mengalami perubahan
kehidupan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang berkurang karena salah satu
kepala keluarga itu meninggal dunia membuat interaksi antara anggota keluarga
mulai renggang. Interaksi ayah-ibu dan anak yang tadinya akrab kasih sayang,
dari keluarga (ayah atau ibu). Keadaan orang tua yang demikian itu menyebabkan
hilangnya perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anaknya.
Sejalan dengan berubahnya gaya hidup dan datangnya modernisasi angka
perceraian di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat angka
perceraian meningkat dengan tajam sejak tahun 1960-an. Pada awal tahun
1970-an satu dari setiap tiga perkawin1970-an di Amerika Serikat berakhir deng1970-an
perceraian, di Jerman Barat perbandingan satu dari tujuh perkawinan, di Jepang
satu dari sepuluh. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun juga
menunjukkan peningkatan yaitu satu dari lima perkawinan. Data statistik dari
Pengadilan Agama di Surabaya juga menunjukkan angka perceraian yang
semakin meningkat (http://www.pa-surabaya.go.id/)
Perceraian menyebabkan struktur keluarga berubah menjadi tidak lengkap
dengan hilangnya salah satu figur orang tua. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal
kehilangan figur seorang ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan
tokoh identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang.
Figur ayah memberikan perlindungan, rasa aman dan kebanggaan pada diri anak.
Ketegasan seorang ayah memberikan pengaruh kuat dalam menanamkan disiplin
dan kepercayaan diri anak. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak penting
karena mempengaruhi perkembangan sosial anak. anak-anak yang mendapatkan
kehangatan dari ayah sewaktu kanak-kanak cenderung mempunyai hubungan
Anak yang hanya diasuh oleh ayahnya akibat perceraian kehilangan figur
seorang ibu. Hal ini mengakibatkan anak kehilangan kasih sayang, ketenangan,
dan rasa nyaman yang di dapat dari figur seorang ibu. Kelembutan seorang ibu
memberikan pengaruh kuat dalam proses perkembangan anak yang akan
mengalami berbagai perubahan sepanjang hidupnya.
Setiap kali membicarakan tentang kecerdasan emosi anak, pokok bahasan
tidak pernah lepas dari peran keluarga. Keluarga adalah lingkungan pertama yang
dikenal anak dan sangat berperan bagi perkembangan anak. Melalui keluarga,
anak dapat belajar menanggapi orang lain, mengenal dirinya, dan sekaligus belajar
mengelola emosinya. Pengelolaan emosi ini sangat tergantung dari pola
komunikasi yang diterapkan dalam keluarga, terutama sikap orang tua dalam
mendidik dan mengasuh anaknya. Dalam hal ini, orang tua menjadi basis nilai
bagi anak. Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua akan lebih banyak dicerna dan
dianut oleh anak. Perlakuan setiap anggota keluarga, terutama orang tua, akan
“direkam” oleh anak dan mempengaruhi perkembangan emosi dan lambat laun
akan membentuk kepribadiannya.
Pada kenyataannya, perkembangan emosi yang banyak dikenal dengan
istilah kecerdasan emosional sering terabaikan oleh banyak keluarga, sebab masih
banyak keluarga yang sangat memprioritaskan kecerdasan intelektual (IQ) semata.
Padahal kecerdasan emosi harus dipupuk dan diperkuat dalam diri setiap anak,
sebab kecerdasan emosi sangat erat kaitannya dengan kecerdasan-kecerdasan
demikian, memperlihatkan kecerdasan emosi anak bukanlah hal yang mudah bagi
orang tua.
Emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi
masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.
Kecenderungan untuk bertindak ini dibentuk oleh pengalaman kehidupan serta
budaya (Goleman, 1999). Emosi juga berarti seluruh perasaan yang kita alami
seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, dan cinta. Sebutan yang
diberikan kepada perasaan tertentu mempengaruhi bagaimana seorang berpikir
mengenai perasaan itu, dan bagaimana ia bertindak.
Kemampuan seseorang dalam memaknai perasaan tindakannya merupakan
wilayah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional sebagai : “himpunan
bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan
dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah
semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan. Kecerdasan emosional ditandai dengan kualitas-kualitas : 1) empati; 2)
kemampuan mengungkapkan dan memahami perasaan; 3) kemampuan
mengendalikan amarah; 4) kemandirian; 5) kemampuan menyesuaikan diri; 6)
disukai orang lain; 7) kemampuan memecahkan masalah antarpribadi; 8)
ketekunan; 9) kesetiakawanan; 10) keramahan; dan 11) sikap hormat.
Demi mencapai perkembangan dengan kualitas-kualitas emosi tersebut,
orang tua yang dikatakan sebagai “pelatih emosi” perlu memanfaatkan
yang efektif, dengan mengambil peran aktif dan penuh makna dalam melatih anak
mengenai keterampilan manusiawi melalui empati dan pengertian. Dalam hal ini
orang tua mengajarkan kepada anak-anak khususnya remaja untuk menghadapi
naik turunnya kehidupan, yaitu pelibatan semua emosi, baik emosi-emosi negatif
maupun positif (Gottman dan De Claire, 1998).
Komunikasi adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan orang tua
dalam perkembangan anaknya. Kecerdasan emosi remaja tidak terlepas dari
faktor-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya, dan kualitas bermain
yang dilakukan dengan teman sebayanya. Pola komunikasi orang tua adalah
faktor utama yang mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja. Keterkaitan
pola asuh orang tua dengan pola komunikasi dengan anak dimaksudkan sebagai
upaya orang tua dalam membantu mengembangkan kecerdasan emosi remaja.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penulisan adalah Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan
orang tua tunggal dalam membentuk kecerdasan emosi remaja ?
1.3Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal dalam
1.4Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangsi pemikiran dalam
melakukan pola komunikasi antar pribadi terutama masalah yang menyangkut
kecerdasan emosi remaja.
2. Secara Praktis
Dapat memberikan masukan bagi orang tua tunggal dalam melakukan pola
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian terdahulu yang pertama berdasarkan hasil penelitian “Pola
Komunikasi Orangtua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak adalah
secara umum pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih berperan dominan
dalam membentuk kemandirian anak melalui penanaman kesadaran untuk mandiri
kepada anak dan melatih anak mandiri. Pola komunikasi linier juga bisa
membentuk kemandirian anak melalui efek komunikasi berupa ketundukan
sedangkan pola komunikasi interaksi dan transaksi melalui efek internalisasi.
Faktor lingkungan pada umumnya menyebabkan orang tua tunggal
menggunakan pola komunikasi interaksi sedangkan karakteristik orang tua
tunggal yang ada hubungannya dengan pola komunikasi adalah usia, jumlah anak
dan tingkat pendidikan. Semakin tua usia, semakin banyak jumlah anak dan
semakin tinggi pendidikan orang tua tunggal makin cenderung menggunakan pola
komunikasi transaksi. Faktor lingkungan yang ada hubungannya dengan
kemandirian anak adalah keluarga luas, sekolah, teman sebaya dan media massa.
Interaksi rendak dengan keluarga luas, sekolah negeri, interaksi sedang, dengan
teman sebaya dan intensitas penggunaan media massa yang tinggi mendorong
tumbuhnya kemandirian anak.
Karakteristik orang tua tunggal yang berperan dalam membentuk
lama waktu bekerja. Semakin tua usia orang tua tunggal ternyata menyebabkan
anak sangat mandiri. Jumlah anak sedikit atau banyak berhubungan dengan
kemandirian anak. orang tua tunggal dengan satu orang anak maupun tiga orang
anak atau lebih ternyata anak-anak mereka sangat mandiri. Pendidikan orang tua
tunggal yang rendah, jenis pekerjaan di sektor informal dengan gaji rendah, atau
yang dikategorikan berstatus sosial ekonomi rendah ternyata menyebabkan anak
menjadi sangat mandiri. Semakin lama orang tua bekerja menyebabkan anak
makin mandiri.
Pada penelitian terdahulu yang kedua yaitu “Pola Komunikasi Keluarga
dan Perkembangan Emosi Anak” (studi kasus penerapan pola komunikasi
keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak pada keluarga
jawa) yaitu penerapan pola komunikasi keluarga sebagi bentuk interaksi antara
orang tua dengan anak maupun antar anggota keluarga memiliki implikasi
terhadap proses perkembangan emosi anak. dalam proses komunikasi tersebut,
anak akan belajar mengenal dirinya maupun orang lain serta memahami
perasaannya sendiri maupun orang lain.
Pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural pada
akhirnya akan menetukan keberhadilan proses sosialisasi pada anak. proses
sosialisasi menjadi penting karena dalam proses terebut akan terjadi transmisi
sistem nili yang positif kepada anak. sistem nilai dalam budaya jawa yang
disosialisasikan kepada anak, banyak memberikan pengaruh positif terhadap
pembentukan dan perkembangan emosi anak. dalam hal ini adalah sistem nilai
nilai-nilaitentang sikap hormat, tata krama atau sopan santun, kesabaran dalam
menyelesaikan masalah-masalah, serta tolenransi yang menjafi dasar terbentuknya
sikap empati anak. dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi yang cerdas baik secara intelektual maupun emosional, yang
akhirnya menjadi dasar bagi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan sosial, moral
dan spiritual.
Persamaan antara jurnal pertama dan kedua ini sama-sama membahas
tentang pola komunikasi orang tua dalam penelitiannya. Kedua penelitian tersebut
juga sama-sama menggunakan metode kualitatif. Perbedaan antara jurnal pertama
dan kedua adalah apabila pada jurnal pertama, pola komunikasi adalah pola
komunikasi orang tua tunggal kepada anak. Apabila pada jurnal kedua pola
komunikasi adalah pola komunikasi keluarga jawa kepada anak. Maka dari itu
peneliti ingin menggali lebih dalam tentang bagaimana pola komunikasi yang
efektif antara orang tua dan anak.
2.2Landasan Teori
2.2.1 Pengertian komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penerimaa pesan atau berita antara dua
orang atau lebih dengan cara yang tepat secara timbal balik sehingga pesan yang
dimaksud dapat di pahami oleh kedua belah pihak (Dajamarah,2004:2).
Komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi ketika
manusia berinteraksi dengan manusia lain. Ilmu komuniksi apabila dipublikasikan
antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan antar ras membina kesatuan dan
persatuan umat manusia penghuni bumi (Effendy,2002:27).
Komunikasi terjadi antar satu orang dengan lainnya, mempunyai tujuan
untuk mengubah atau membentuk perilaku orang menjadi sasaran komunikasi.
Disamping itu komunikasi merupakan merupakan proses yang penyampaiannya
menggunakan simbol-simbol dalam kata-kata, gambar-gambar dan angka-angka.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa komunikasi memiliki pengertian
yang luas dan beragam walaupun secara singkat komunikasi merupakan suatu
proses pembentukan, penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan yang
terjadi dalam diri seseorang atau diantara dua orang atau lebih dengan tujuan
tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa komunikasilah yang
berhubungan dengan manusia itu dan tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa
komunikasi.
2.2.2 Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) adalah
komunikasi antar orang” secara tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung , baik verbal maupun
nonverbal (Mulyana,2004:13).
Komunikasi antar pribadi juga didefinisikan sebagai komunikasi yang
terjadi diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang terlihat jelas diantara
mereka, misalnya percakapan seoranng ibu dengan anaknya, seperti suami-istri,
dipandang dan dijelaskan sebagai bahan-bahan yang terintergrasi dalam tindakan
komunikasi antar pribadi (Devito,1997:231).
Menurut Malcolm R. Parks bahwa komunikasi antarpribadi merupakan
bentuk komunikasi yang terutama diatur oleh norma relasional atau relasional
norm. Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi dalam kelompok yang sangat
kecil. Ini tidak berarti bahwa bentuk komunikasi tersebut tidak dapat terjadi dalam
kelompok yang lebih besar. Namun demikian, norma-norma hubungan
dikembangan dan dipelihara hanya pada hubungan yang dekat dan akrab. Begitu
ukuran kelompok menjadi bertambah besar, maka komunikasi menjadi lebih
formal dan kurang berdifat pribadi. Apabila hal ini terjadi maka norma kultural
atau kelompok menjadi sumber kendali yang dominan terhadp komunikasi.
Menurut Parks, beberapa hal yang membedakan komunikasi antarpribadi dari
komunikasi non-antarpribadi. Pertama, norma atau aturannya terutama ditentukan
oleh orang-orang tertentu di dalam hubungan tertentu. Kedua, komunikasi lebih
bersifat pribadi. Kepribadian para partisipan menjadi kepedulian utama. Ketiga,
norma yang mengatur komunikasi antarpribai lebih fleksibel daripada
norma-norma yang mengatur komunikasi non-antarpribadi. Individu-individu yang
terlibat dalam komunikasi antarpribai memiliki lebih banyak pilihan untuk
menentukan bagaimana berkomunikasi. Norma-norma yang berlaku seluruhnya
tidak dipaksakan oleh norma-norma kultural atau kelompok. Keempat,
norm-norma relasional atau relational norm dari komunikasi antarpribadi tidak harus
antar pribadi inilah bahwa individu lebih mampu mengekspresikan
kepribadiannya dan dapat dirasakan dampaknya (Budyatna & Ganinem,2011:14).
2.2.3 Komunikasi Dalam Keluar ga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan
hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu
kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial,
keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling
berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antarab satu dengan lainnya,
walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan
dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga
pedagosis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang
hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota
merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling
memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian
pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih
sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan,
yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling
melengkapi dan saling menyempurkan diri itu terkandung perealisasian peran dan
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga
(ibu dan ayah) adalah kesatuarahan dan kesatujuan atau keutuhan dalam
mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin
diri.
“Keutuhan” orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat
dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan
dasar-dasar kecerdasan emosional dalam diri mereka. Keluarga yang “utuh”
memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap
kedua orangtuanya, yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak untuk
memiliki dan mengembangkan kecerdasan emosional. Kepercayaan diri orang tua
yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan, dan bantuan
orang tua yang diberikan kepada anak akan “menyatu” dan memudahkan anak
untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Keluarga dikatakan “utuh”, apabila di samping lengkap anggotanya, juga
dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama nak-anaknya. Jika dalam keluarga
terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas
hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu di rumah tetap dirasakan
kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh,
arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap
dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya. Dengan perkataan
lain, setiap tindakan pendidikan yang diupayakan orang tua harus senantiasa
dipertautkan dengan dunia anak. dengan demikian setiap peristiwa yang terjadi
“pertemuan” antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan. Di samping
itu, orang tua perlu mendasarkan dirin pada sikap saling mempercayai dalam
membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar kecerdasan
emosional. Atas dasar sikap saling mempercayai ini, mereka akan merasa
memiliki kebebasan berkreatifitas guna mengembangkan diri masing-masing.
Dengan demikian, apa yang diupayakan orang tua untuk membantu anak
menginternalisasi nilai-nilai moral, dirasakan sebagai bantuan untuk dikenali dan
dipahami, diendapkan, dan di pribadikan dalam diri anak. anak yang merasakan
adanya keutuhan di dalam keluarga dapat melahirkan pemahaman terhadap dunia
“keorangtuaan” orang tua dalam berperilaku yang taat moral dan utuh. Artinya,
upaya orang tua untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam dirinya
tidak hanya sekedar informasi, tetapi dapat ditangkap kebenarannya. David
mengkatagorikan keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang, keluarga
kuasa, keluarga protektif, keluarga kacau, dan keluarga simbiotis.
Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan
hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan
anak. dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap
anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta.
Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak
menentang otoritas , segera ditertibkan karena di dalam keluarga terdapat
aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman, walaupun tidak selalu
melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan
untuk dipecahkan bersama.
Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada
keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan,
ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak
sebagai bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak
memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”.
Keluarga protektif lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari
perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari
karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua lebih banyak pada
upaya memberi dukungan, perhatian dan garis-garis pedoman sebagai rujukan
kegiatan. Esensi dinamika keluarga adalah komunikasi dialogis yang didasarkan
pada kepekaan dan rasa hormat.
Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam
keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi
kebutuhan anak-anak. anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam
karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Keluarga kacau
selalu tidak rukun. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap relasi (anak).
Orang tua menggambarkan kemarahan satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi
antara orang tua dengan anak-anaknya. Anak merasa nyaman dan tidak disayang.
Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapatkan
hal sering menimbulkan kontradiksi karena pada hakikatnya tidak ada keluarga.
Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.
Keluarga simbiotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang
kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. keluarga ini berlebihan
dalam melakukan relasi. Orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri
sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan ‘demi keselamatan”. Orang tua
banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan
anak-anaknya. Anak dewasa dalam keluarga ini belum memperlihatkan perkembangan
sosialnya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja.
Rumah dan keluarga mendominasi para anggota keluarga.
Di antara kelima pengertian keluarga dalam kategori David tersebut, yang
memberikan kontribusi positif bagi upaya orang tua membantu anak untuk
memiliki dan mengembangkan diri adalah keluarga seimbang. Karena dalam
keluarga ini, orang tua memiliki rasa tanggung jawab dan dapat dipercaya, saling
membantu di antara sesama anggota keluarga dalam mengembangkan diri, adanya
rasa kebersamaan, dan pola komunikasi yang baik (Shochib,2010:17-21).
2.2.4 Komunikasi Or angtua dan Anak
Bentuk-bentuk komunikasi dalam keluarga, salah satunya adalah
komunikasi orang tua dengan anak. Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan
anak dalam satu ikatan keluarga di mana orang tua bertanggung jawab dalam
mendidik anak. Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat
antara orang tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau
nasehat.
Hubungan interpersonal antara orangtua dan anak muncul melalui
transformasi nilai-nilai. Transformasi nilai dilakukan dalam bentuk sosialisasi.
Pada proses sosialisasi di masa kanak-kanak orangtua adalah membentuk
kepribadian anak-anaknya dengan menanamkan nilai-nilai yang dianut oleh
orangtua. Hal yang dilakukan orangtua pada anak di masa awal pertumbuhannya
sangat mempengaruhi berbagai aspek psikologis anak-anak.
Keluarga merupakan wadah dalam hubungan interpersonal antara orangtua
dan anak yang membawa suatu proses aktivitas transformasi nilai yang terkait
dengan perkembangan anak. Hubungan interpersonal muncul dalam bentuk
komunikasi keluarga antara orangtua dan anak. Hubungan interpersonal dalam
keluarga dikembangkan dalam tahapan hubungan interpersonal untuk mencapai
tujuan komunikasi keluarga.
2.2.5 Pola Komunikasi
1. Pengertian Pola Komunikasi
Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang
atau lebih dalam proses pengiriman, dan penerimaan cara yang tepat sehingga
pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah,2004:1). Cara orang tua
anak. Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh
tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak seperti:
a. Perilaku yang patut dicontoh
Artinya setiap perilaku yang dilakukan harus didasarkan pada kesadaran
bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi
anak-anaknya.
b. Kesadaran diri
Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka agar
perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral, oleh sebab itu orang tua
senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui
komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun nonverbal.
c. Komunikasi
Komunikasi yang terjadi antara orang tua dengan aanak-anaknya terutama
yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan
permasalahannya.
2. Tipe Pola Komunikasi
Salah satu faktor keluarga yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak
adalah bagaimana pola komunikasi yang diterapkan pada pengasuhan orang tua.
Dari penelitian Diana Baumrind pada 1971, ada beberapa tipe jenis pengasuhan
yang ditunjukkan oleh para orang tua yang dapat mempengaruhi perkembangan
a) Otoriter (Authotarian)
Merupakan pola komunikasi yang ditandai oleh pembatasan,
menghukum, memaksa anak mengikuti aturan dan kontrol yang ketat.
Orang tua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul
anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah.
Selain itu orang tua otoriter menatapkan batas-batas yang tegas dan tidak
memberi peluang kepada anak untuk berkompromi (bermusyawarah). Efek
pengasuhan ini, antara lain anak mengalami inkompetensi sosial, sering
tidak berbahagia, kemampuan komunikasi lemah, dan tidak memiliki
inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif.
b) Demokratis (Authoritative)
Pola komunikasi ini mendorong anak untuk mandiri tetapi masih
menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan anak. jadi orang
tua masih melakukan kontrol pada anak tetapi tidak terlalu ketat.
Umumnya orang tua bersikap tegas tapi mau memberikan penjelasan
mengenai aturan yang diterapkan dan mau bermusyawarah atau
berdiskusi. Selain itu orang tua bersikap hangat dan sayang terhadap anak,
menunjukkan rasa senang dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak. Efek pengasuhan demokratis, yaitu anak mempunyai
kompetensi sosial, percaya diri, dan bertanggung jawab secara sosial. Juga
tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada
bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan
baik.
c) Membiarkan (Permissive Indulgent)
Merupakan pola komunikasi yang mana orang tua sangat terlibat
dalam kehidupan anak tetapi menetapkan sedikit batas, tidak terlalu
menuntut, dan tidak mengontrol mereka. Orang tua membiarkan anak
melakukan apa saja yang mereka inginkan sehingga anak tidak pernah
belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu mengharapkan
kemauannya dituruti. Efek pengasuhannya yaitu anak kurang memiliki
rasa hormat pada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan
perilakunya. Kemungkinan mereka juga mendominasi, egosentris, tidak
menuruti aturan, dan mengalami kesulitan dalam hubungan dengan teman
sebaya.
d) Mengabaikan (Permissive Indifferent)
Pada pola ini orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Anak yang orang tuanya permissive-indifferent mengembangkan perasaan
bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri
mereka. Efek pengasuhan ini adalah inkompetensi sosial, kendali diri yang
buruk, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari
keluarga, serta saat remaja suka membolos dan nakal.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah :
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya
sangat berpengaruh dalam mengasuh anak.
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola-pola pengasuhan yang
diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam
mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggapnya berhasil dalam mendidik
anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima
di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan
pola asuh terhadap anaknya. Gaya pengasuhan (parenting style) mengacu pada
pola keseluruhan dalam mengasuh anak, bukan sekedar sebuah tindakan tunggal
(Meggitt,2013:18-19).
2.2.6 Pengertian Orang Tua
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia orang tua adalah ayah dan ibu
kandung. Sedangkan menurut (Wright, 1991:12), orang tua dibagi empat macam
a. Orang tua kandung
Orang tua kandung adalah ayah dan ibu yang mempunyai hubungan darah
secara biologis (yang melahirkan).
b. Orang tua angkat
Pria dan wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orang tua
sendiri berdasarkan ketentuan hukum atau adat yang berlaku.
c. Orang tua asuh
Orang yang membiayai hidup seseorang yang bukan anak kandungnya
atas dasar kemanusiaan.
d. Orang tua tunggal
Seseorang yang mengasuh dan mendidik anaknya sendiri, karena pasangan
hidupnya meninggal dunia atau telah bercerai.
2.2.7 Remaja
Konsep tentang “Remaja”, bukanlah berasal dari bidang hukum,
melainkan berasal dari bidang ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Antropologi,
Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi. Kecuali itu, konsep remaja juga merupakan
konsep yang relatif baru, yang muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata
di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Dengan
perkataan lain, masalah remaja baru menjadi pusat perhatian ilmu-ilmu sosial
dalam 100 tahun terakhir ini saja.
Tidak mengherankan kalau dalam berbagai undang-undang yang ada di
konsep remaja tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Hukun
di Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang
diberikan untuk itu pun bermacam-macam.
Hukum perdata misalnya, memberikan batas usia 21 tahun (atau kurang
dari itu asalkan sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang. Di
bawah usia tersebut seseorang masih membutuhkan wali (orang tua) untuk
melakukan tindakan hukum perdata (misalnya : mendirikan perusahaan atau
membuat perjanjian di hadapan pejabat hukum).
Di sisi lain, hukum pidana memberi batasan 18 tahun sebagai usia dewasa
(atau kurang dari itu tetapi sudah menikah). Anak-anak yang berusia kurang dari
18 tahun masih tanggung jawab orang tuanya kalau melanggar hukum pidana.
Tingkah laku mereka yang melanggar hukum itu pun (misalnya : mencuri) belum
disebut sebagai kejahatan (kriminal) melainkan hanya disebut sebagai
“kenakalan” (Wirawan,2004:4-5).
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting. Diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu
berproduksi. Selain itu remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung
(dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence),
minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan
isu-isu moral (Yusuf,2001:184).
Menurut Hurlock, menyatakan bahwa usia yang dapat dikatakan sebagai
masa “strom and stres”, frustasi dan penderitaan, konflik dan penyesuaian, mimpi
dan melamun cinta dan perasaan terlinealisasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial
budaya orang dewasa (Yusuf,2001:184).
Beberapa tokoh psikologi remaja memberikan beberapa definisi tentang
remaja antara lain : (Yusuf,2007:185-186).
1. Hal menyatakan remaja sebagai masa yang berada dalam dua situasi,
antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan
otoritas dewasa. Selain itu pengalaman sosial selama remaja dapat
mengarahkannya untuk menginternalisasi sifat-sifat yang diwariskan oleh
generasi sebelumnya.
2. Barker memberikan penekanan orientasi remaja pada masalah
sosiopsikologis. Hal ini dikarenakan bahwa remaja merupakan periode
pertumbuhan fisik yang sangat cepat dan peningkatan dalam koordinasi
maka remaja merupakan masa transisi antara masa anak dan masa dewasa.
Oleh karena pertumbuhan fisik berkaitan dengan sifat-sifat yang diterima
anak, maka pertumbuhan fisik seseorang menentukan pengalaman
sosialnya.
Remaja adalah masa transisi dari suatu periode anak ke dewasa,
menurut WHO (World Health Organization) masa remaja adalah :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali dia menunjukkan tanda-tanda
2. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menuju dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh dengan
keadaan yang relatif mandiri (Wirawan,2004:9).
Masa remaja adalah masa saat seseorang harus menghadapi
tekanan-tekanan emosi yang saling bertentangan. Di saat sisi remaja mencoba melepaskan
diri dari ketergantungan sebagai anak, tetapi di sisi lain belum berhasil
membuktikan kemampuan mandiri sebagai orang dewasa (Hari,2012:264-268).
2.2.8 Emosi
Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau
sesuatu. Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Emosi dapat
ditunjukkan ketika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang,
ataupun takut terhadap sesuatu.
Kata "emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari
émouvoir, 'kegembiraan' dari bahasa Latinemovere, dari e- (varian eks-) 'luar' dan
movere 'bergerak'. Kebanyakan ahli yakin bahwa emosi lebih cepat berlalu
daripada suasana hati. Sebagai contoh, bila seseorang bersikap kasar, manusia
akan merasa marah. Perasaan intens kemarahan tersebut mungkin datang dan
pergi dengan cukup cepat tetapi ketika sedang dalam suasana hati yang buruk,
seseorang dapat merasa tidak enak untuk beberapa jam
2.2.9 Kecerdasan Emosi
Kecerdasan adalah salah satu milik kita yang paling berharga. Akan tetapi
kecerdasan adalah suatu konsep yang sulit didefinisikan sehingga orang-orang
paling cerdas pun belum mencapai kesepakatan perihal definisi dan cara
pengukurannya.
Beberapa ahli mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, ahli lain mendeskripsikannya sebagai kapasitas
beradaptasi dan belajar dari pengalaman. Ahli lain berpendapat bahwa kecerdasan
meliputi karakteristik seperti kreativitas dan keahlian interpersonal. Kita akan
menggunakan definisi kita tentang kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan
masalah dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman.
Persoalan berkenaan dengan kecerdasan adalah berbeda dengan tinggi,
berat, dan usia, kecerdasan tidak dapat diukur secara langsung. Kita tidak dapat
membuka tempurung kepala seseorang untuk melihat seberapa banyak kecerdasan
yang ia miliki, kita hanya dapat mengevaluasi kecerdasan secara tidk langsung
dengan cara mempelajari dan membandingkan tindakan kecerdasan yang
ditunjukkan oleh orang-orang. Cara kita membahas kecerdasan berasal dari
perubahan fokus ke arah penilaian dari perbedaan-perbedaan individu.
Perbedaan-perbedaan individu adalah Perbedaan-perbedaan yang konsisten dan stabil pada tiap-tiap
orang (Santrock,2007:317).
Perkembangan emosi anak menentukan tingkat kecerdasan emosional anak.
emosi anak bisa dilihat dari bagaimana cara anak mampu mengungkapkan
perasaan mereka dengan kata-kata, bagaimana anak menggunakan bahasanya
untuk mengekspresikan emosinya, bagaimana anak berpikir menggunakan sudut
pandang orang lain hingga bagaimana cara anak untuk mengatur emosinya
sendiri.
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris:
emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai,
mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal
ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan.
Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan
alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan
ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting
daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan seseorang.
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari
kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi
diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan
bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi
sebagai alat untuk memotivasi diri.
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan
emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca
perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan
dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk
memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada
anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki
kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti
dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan
memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan
diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997)
mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.
Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya
pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya,
kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi
pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada
diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan
pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang
lain.
Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan
untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan
dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi
tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu
menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan
emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk
cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa
menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah-masalah
emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu
memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang
berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik
antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih
mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup
kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif.
Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan
emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan
benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai
energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida
memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik
dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima
perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri
sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Unsur
penting kecerdasan emosional terdiri dari kecakapan pribadi (mengelola diri
(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
(http://www.duniapsikologi.com/kecerdasan-emosional-pengertian-definisi-dan-unsur-unsurnya/ (09-07-2013 : 10.26))
Perkembangan emosi dikaitakan dengan bagaimana tingkat kecerdasan
emosi anak. Kecerdasan emosional, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Emotional Intelligence (EI) mengacu pada kemampuan mengenali, memahami,
mengatasi dan mengekspresikan emosi dengan layak. Kecerdasan emosional
meliputi :
a. Perasaan
b. Pemikiran
c. Perilaku
Konsep ini secara khusus diasosiasikan dengan Daniel Goleman, seorang
psikolog Amerika. Hasil kerjanya telah banyak mempengaruhi bidang pendidikan
(maupun bisnis). Konsep ini dilihat sebagai cara meningkatkan pencapaian
murid-murid serta membantu mereka dalam menjalani kehidupan, baik pribadi maupun
di lingkungan kerja. Kecerdasan emosional sering kali mengacu pada ‘EQ –
Emotional Quotient’, bertolak belakang dengan ‘IQ – Intelligence Quotient’.
Goleman memfokuskan pandangannya pada lima area utama kecerdasan
emosional :
1) Kesadar an dir i. Memahami respons emosional atau perasaan kita adalah
faktor yang paling penting dalam kecerdasan emosional, karena hal
2) Kontr ol emosi. Kita dapat menggunakan strategi untuk mengontrol emosi
kita. Hal ini dapat membantu ketika kita bereaksi selayaknya dalam situasi
yang penuh tekanan.
3) Motivasi dir i. Ketika kita memiliki tujuan, kontrol emosi akan membantu
kita dalam mencapainya (sebagai contoh, dengan memfokuskan perasaan
secara produktif dan mengontrol implus kita).
4) Empati. Kemampuan untuk mengenali tanda-tanda pada orang lain ketika
kita sedang membina hubungan yang baik dengan mereka. Empati itu
penting dalam membina serta memelihara hubungan dengan orang lain.
Empati dapat membantu kita dalam mengatasi konflik.
5) Mengatasi hubungan. Pemahaman yang baik mengenai emosi dapat
membantu kita untuk mengatasi kondisi emosi orang lain (Meggit,2013:
257-258).
Daniel Goleman melalui bukunya, yang mengungkapkan tentang
“kecerdasan emosional” (EQ) telah mengubah seluruh paradigma kecerdasan.
Tulisan Goleman disusun berdasarkan hasil riset dari beberapa universitas
terkemuka Amerika yang dilakukan oleh para neurosaintis yang mencatat bahwa
emosi manusia merupakan faktor penting dalam kecerdasan manusia. Pada saat
emosi kita sehat dan matang, dan tidak ada kerusakan pada bagian otak yang
terkait, kita dapat menggunakan seberapapun IQ yang kita miliki secara efektif.
Tetapi pada saat emosi kita terganggu atau kurang matang, atau ada kerusakan
pada pusat emosional dalam otak, kita tidak dapat menggunakan IQ kita berapa
Daniel Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kecerdasan yang terkait dengan yang kita temui sehari-hari. Kita berhubungan dan
berinteraksi setiap hari dengan orang lain sehingga perlu untuk memahami orang
lain dan situasinya. Selain itu yang lebih penting, EQ juga berhubungan dengan
kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri yang berupa
ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan. Daniel goleman mendefinisikan
kecerdasan emosional (EQ) sebagai kesanggupan untuk memperhitungkan atau
menyadari situasi tempat kita berada, untuk membaca emosi orang lain dan emosi
kita sendiri, serta untuk bertindak dengan tepat (Hartono,2012: 7-8).
2.3 Teori Pengembangan Hubungan
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaitkan fenomena pola komunikasi
orang tua tunggal dalam kecerdasan emosi anak dengan teori pengembangan
hubungan. Teori pengembangan hubungan yang dipakai adalah Teori Penetrasi
Sosial. Teori ini atau nama aslinya Social Penetration Theory merupakan bagian
dari teori pengembangan hubungan atau Relationship Development Theory. Teori
penetrasi sosial dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Tailor dalam
bukunya yang pertama terbit berjudul Social Penetration : The Development of
Interpersonal Relationship terbit pada tahun 1973 dan mengalami revisi pada
1987 berupa artikel terkisah dimuat dalam buku Interpersonal Processes oleh
Dalmas A. Tailor dan Irwin Altman (1987) yang akan dibahas berikut ini
(Budyatna,2011:225). Menurut kedua penulis tersebut komunikasi adalah penting
dalam mengembangkan dan memelihara hubungan-hubungan antar pribadi.
baik dan kepuasan umum suatu hubungan. Komunikasi yang baik atau
“keterbukaan” juga dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif dan saling
menyukai.
Studi yang dilakukan mereka berpendapat bahwa membuat diri mudah
atau dapat di akses oleh pihak lain melalui pengungkapan diri pada hakikatnya
memberikan kepuasan. Sebaliknya, kepuasan mengarah kepada pengembangan
perasaan yang positif bagi orang lain. Jadi, komunikasi dalam keakraban
pengungkapan diri tampil sebagai syarat mutlak bagi pengembangan hubungan
antar pribadi yang memuaskan. Altman dan Taylor dalam teori penetrasi sosial
mereka menjelaskan secara terperinci peran dari pengungkapan diri, keakraban,
dan komunikasi dalam pengembangan hubungan antar pribadi (Budyatna &
Ganinem,2011:226).
2.4 Kerangka Berpikir
Pola komunikasi orang tua tunggal sangat mempengaruhi kecerdasan
anak, khusunya kecerdasan emosinya. Ketika salah satu dari orang tuanya tidak
lagi menemaninya dalam pertumbuhannya anak akan merasa kehilangan. Anak
yang belum siap dengan kondisi ini dapat mempengaruhi kecerdasan emosinya.
Permasalahan yang di timbulkan dari pola komunikasi orang tua tunggal
dalam membentuk kecerdasan emosi anak bermacam-macam, seperti halnya
kecenderungan anak bertingkah laku murung, suka menyendiri, pemarah dan
kurang percaya dengan kemampuannya. Kecerdasan emosi sangat ditentukan dari
perkembangan emosi sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan emosi anak
tersebut. Apabila orang tua bisa menggunakan pola komunikasi yang baik dan
terbuka kepada anak, maka perkembangan emosi anak juga akan berkembang
dengan baik, begitu pula dengan tingkat kecerdasan emosinya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss yaitu Komunikasi yang
efektif adalah komunikasi yang menimbulkan lima hal : pengertian, kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan (Rakhmat,2005:12)
Hal tersebut sangat berkaitan, wawancara mendalam ini digunakan untuk
mengetahui bagaimana pola komunikasi apa yang di gunakan orang tua dalam
kecerdasan emosi anak. Indeepth interview ini dipakai dengan tujuan untuk
mengetahui, memahami pola komunikasi apa yang terjadi. Wawancara secara
garis besar dibagi menjadi dua yaitu wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang
sudah baku, wawancara yang susunan pertanyaannya sudah ditentukan oleh
peneliti. Sedangkan wawancara tak berstruktur bersifat luwes susunan kata dan
pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan kebutuhan kondisi saat
wawancara. Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara tak
berstruktur, sehingga ada pertanyaan yang menarik untuk ditanyakan, penulis
dengan mudah dapat mengganti dan menambah daftar pertanyaan.
Gambar Bagan Kerangka Berpikir :
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 J enis Penelitian
Pada penelitian ini penulis tidak membicarakan hubungan antara variabel
sehingga tidak ada pengukuran variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini
difokuskan pada pola komunikasi orangtua tunggal terhadap kecerdasan emosi
anak, sehingga tipe penelitian yang digunakan dalam penelitin ini adalah
penelitian kualitatif.
Tipe penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang memberikan
gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanyaperlskuan
terhadap objek yang diteliti (Kountur, 2003:53). Metode ini merupakan suatu
metode yang berupaya untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena
tertentu secara terperinci, yang pada akhirnya akan diperoleh pemahaman lebih
jelas tentang fenomena yang sedang diteliti.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan statistik atau
angka-angka tertentu. Hasil dari penelitian kualitatif ini tidak dapat digeneralisasikan
(membuat kesimpulan yang berlaku umum) atau bersifat universal, jadi hanya
dapat berlaku pada situasi dan keadaan yang sesuai dan keadaan dimana penelitian
Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik pokok yaitu mementingkan
makna dan konteks, dimana proses penelitiannya lebih bersifat siklus daripada
linier. Dengan demikian pengumpulan data dan analisis data berlangsung secara
stimulan, lebih mementingkan keadaan dibandingkan keleluasaan penelitian,
sementara peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menggunakan pengamatan berperan serta (participant
observation) yang didefinisikan mengadakan pengamatan dan mendengarkan
secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya sekalipun dengan
wawancara mendalam (indepht interview) (Moelong, 2002:117).
Untuk meneliti pola komunikasi dan perubahan gejala sosial yang ada
peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis yaitu peneliti berusaha
“mengungkap” proses interpretasi dan melihat segala aspek “subjek” dari perilaku
manusia dengan cara masuk ke dunia konseptual orng-orang yang sedang diteliti
sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan
pada peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
3.2 Subjek Penelitian
3.2.1 Pola Komunikasi
Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang
atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan dengan cara yang tepat
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah,2004:1).
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau
komponen yaitu gambaran atau rencana yang menjadi langkah-langkah pada suatu
aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas
terjadinya hubungan antara organisasi ataupun juga manusia. Terdapat empat pola
komunikasi di dalam hubungan orang tua dan anak. pola komunikasi orang tua
dapat ditandai dengan cara orang tua memperlakukan anak. Demikian ciri-cirinya
menurut Santrock dalam (Hari,2012:216-218) : Dapat dilihat pada tabel yang ada
di halaman lampiran.
3.2.2 Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris:
emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai,
mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal
ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan.
Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan
alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan
ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting
daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan seseorang.
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari
kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi
diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan