• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM Perbedaan Subjective Well Being dan Hardiness Pada Siswa SMA Program Akselerasi Dengan Program Reguler di Surakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM Perbedaan Subjective Well Being dan Hardiness Pada Siswa SMA Program Akselerasi Dengan Program Reguler di Surakarta."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM

REGULER DI SURAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Oleh:

PANJI PRASETYA F.100110061

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

ii

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM

REGULER DI SURAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Oleh:

PANJI PRASETYA F.100110061

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)
(4)
(5)

v

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM

REGULER DI SURAKARTA

Panji Prasetya

Dr. Nanik Prihartanti, M.Si

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Panji.p_priyadi@ymail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui apakah ada perbedaan subjective well being dan hardiness pada siswa program akselerasi dengan siswa program regular, 2) untuk mengetahui tingkat SWB dan Hardines pada masing-masing program. Responden pada penelitian ini adalah siswa program reguler dan siswa program akselerasi. Penelitian ini dilakukan di SMA N 3 Surakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik Cluster Random Sampling, yaitu dengan mengacak kelas untuk dijadikan subjek penelitian. Siswa yang dipakai sebagai responden penelitian adalah kelas reguler XII MIPA 1, XII MIPA 2 dan kelas akselerasi XI Aksel 1, XI aksel 3. Alat ukur dalam penelitian ini berupa skala Kesejahteraan Subjektif dan skala Hardiness. Perhitungan analisis data pada penelitian ini menggunakan uji t (t-test), untuk variabel subjective well being ditunjukkan t= -1,301 dengan sig. (2-tailed) sebesar (0,197) (p>0,05) sedangkan pada variabel hardiness ditunjukkan t= -0, 615 dengan sig. (2-tailed) sebesar (0,348) (p>0,05). Pada variabel subjective well being Mean Empirik pada kelas regular (ME=105,72) dan pada kelas akselerasi (ME=108,92). Pada variabel hardiness Mean Empirik pada kelas regular (ME=133,26) dan pada kelas akselerasi (ME=134,78). Menunjukkan bahwa ada perbedaan tetapi tidak signifikan subjective well being dan hardiness pada siswa program reguler dan siswa program akselerasi. Subjective well being dan hardiness siswa akselerasi dan reguler pada kategori sedang.

(6)

1 PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia

sudah mengalami kemajuan yang

begitu pesat. baik dari segi

kurikulum maupun program

penunjang yang dirasa mampu untuk

mendukung peningkatan kualitas

pendidikan. Salah satu program

pendidikan yang saat ini sedang

ramai diperbincangkan adalah

tentang program akselerasi atau

program percepatan belajar untuk

pendidikan dasar dan menengah.

Program akselerasi memberikan

kesempatan bagi para siswa dalam

percepatan belajar dari waktu enam

tahun menjadi lima tahun pada

jenjang SD dan tiga tahun menjadi

dua tahun pada jenjang SMP dan

SMA (Nulhakim, 2008). Program

akselerasi merupakan salah satu

alternatif pendidikan bagi siswa yang

memiliki kecerdasan di atas rata-rata

atau anak cerdas berbakat, yang

merupakan program percepatan

belajar dalam bentuk pemadatan

waktu menjadi dua tahun dari tiga

tahun pendidikan masa formal

(reguler) (Zuhdi, 2006). Tujuan dari

pengadaan program ini adalah untuk

memberikan pelayanan pendidikan

yang maksimal bagi siswa yang

memiliki bakat serta potensi

istimewa. Hal tersebut sesuai dengan

Amanat UU No 20 Tahun 2003

tentang sistem pendidikan nasional

pada bab IV bagian kesatu pasal 5

ayat 4 yang berbunyi: warga Negara

yang memiliki potensi kecerdasan

dan bakat istimewa berhak

memperoleh pendidikan khusus.

Penyelenggaraan program

akselerasi memberi dampak

psikologi, diantaranya pada masa

transisi tiga bulan pertama, siswa

mengalami stress karena

Pemberian materi yang begitu cepat

(Zuhdi,2006). Hal tersebut sesuai

dengan hasil wawancara yang

dilakukan peneliti kepada 3 orang

subjek yang menyebutkan bahwa

siswa mengalami stress pada saat awal masuk program akselerasi.

Materi disampaikan secara cepat,

tugas sekolah banyak, dan ulangan

mendadak. Bahkan ada salah seorang

siswa yang berkeinginan untuk

pindah ke kelas reguler, namun

karena prosedur yang sulit membuat

siswa tersebut mengurungkan

(7)

2 reguler dan memilih bertahan di

program akselerasi..

Dilihat dari sisi materi yang

diberikan terdapat perbedaan antara

siswa akselerasi dengan siswa

reguler. Ada beberapa materi yang

justru tidak diberikan di kelas

akselerasi karena dianggap tidak

penting dan untuk mengejar waktu

pembelajaran yang singkat. Hal itu

juga diungkapkan oleh 3 siswa SMA

program akselerasi di Surakarta

bahwa guru hanya memaparkan

materi yang dirasa penting untuk

ujian nasional maupun tes masuk

PTN dan itu pun hanya disampaikan

secara singkat sehingga beberapa

siswa mengeluh karena mereka

dituntut memahami materi yang

banyak dalam kurun waktu yang

singkat. Menurut Putri, Alsa,

&Widiana (2005) hal-hal tersebut

menyebabkan stress bagi anak karena peran guru seharusnya

mengajar dengan penuh komitmen

dan dedikasi tinggi justru terkesan

hanya sekedar meyelesaikan materi

tepat waktu tanpa memperhatikan

siswanya paham atau kah tidak .

Masalah penyesuaian sosial

biasanya siswa akselerasi lebih

mengutamakan prestasi akademik,

siswa cenderung mengurangi waktu

untuk aktivitas lain sehingga

kesempatan untuk melakukan

hubungan sosial dengan teman

sebaya menjadi berkurang. Siswa

akselerasi biasanya kurang aktif

dalam mengikuti kegiatan

ekstrakurikuler dengan alasan lelah,

malas, atau ingin tidur di rumah

(Maimunah, 2009). Dari hasil

wawancara peneliti dengan subjek

berinisial LRI, juga menyebutkan

bahwa kebanyakan siswa akselerasi

tidak melibatkan dirinya dalam

kegiatan di luar akademik dengan

alasan bahwa kegiatan tersebut akan

mengganggu kegiatan belajarnya di

sekolah. Bahkan dari pihak sekolah

pun secara tidak langsung melarang

siswa akselerasi untuk mengikuti

kegiatan di luar akademik. Sebagai

contoh untuk kegiatan sekolah

seperti class meeting siswa akselerasi

tidak diperbolehkan ikut karena pada

saat acara tersebut agenda mereka

adalah KBM aktif. Hal ini

menghambat proses sosialisasi siswa

di sekolah terhadap teman sebayanya

(8)

3 Siswa akselerasi yang tidak

memiliki waktu untuk bermain

dikarenakan padatnya pembelajaran

disekolah ataupun dirumah,

sedangkan siswa reguler yang bebas

melakukan itu sesuai dengan fase

perkembangannya. Program akselerasi yang awalnya ditujukan

sebagai program unggulan untuk

membawa angin segar di dunia

pendidikan tetapi malah justru

memberatkan siswanya. Hal ini

sejalan dengan penelitian dari Tim

Psikologi UGM (Puspita, 2007)

menunjukkan bahwa program

akselerasi memiliki beberapa

masalah. Di satu sisi program

akselerasi memiliki keuntungan bagi

mereka yang memiliki kemampuan

intelektual lebih karena dapat

mempercepat masa studi. Namun di

sisi lain, program akselerasi

memberikan dampak psikologis yang

kurang baik terhadap siswa.

Fenomena tersebut menunjukan ada

masalah dalam pengadaan program

akselerasi.

Subjective well being merupakan evaluasi seseorang

tentang hidupnya, termasuk penilaian

kognitif terhadap kepuasan hidupnya

serta evaluasi afektif dari mood dan emosi (Diener & Lucas, 1999).

Menurut Suh, Diener, Oishi, &

Triandis, (2009) subjective well being merupakan kebutuhan universal umat manusia dan menjadi

kebutuhan yang mendesak seiring

dengan makin kompleksnya masalah

yang dihadapi manusia pada abad

modern ini. Istilah subjective well being merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya. Penilaian ini

secara kognitif berupa pandangan

terhadap kepuasan serta afeksi

seperti perasaan kegembiraan atau

tidak mengalami depresi. Hasil penelitian Jersild (Darmayanti, 2012)

mengungkapkan bahwa terdapat

keragaman hal-hal yang dapat

menyebabkan seseorang berbahagia

berdasarkan pada tingkat

perkembangan usianya. Bagi remaja

usia 15-18 tahun, hal-hal yang dapat

mendatangkan bahagia adalah: (1)

pergi rekreasi beramai-ramai,

melakukan kegiatan dengan

keluarga; (2) mencapai peningkatan

diri, berhasil di sekolah, dan merasa

penting atau berarti di

lingkungannya; (3) memperoleh

(9)

4 bersahabat karib, dan mendapatkan

teman yang pasti; (4) melakukan

aktifitas pribadi yang menyenangkan,

seperti bermain (games); dan (5)

merasa bermanfaat bagi orang lain

atau bagi kemanusiaan secara umum.

Subjective well being merupakan kebutuhan universal umat manusia,

maka tidak terkecuali di ranah

pendidikan subjective well being juga

sangat penting.

Komponen Subjective Well Being menurut (Diener & Lucas, 2000) dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Komponen kognitif

Komponen kognitif dari

Subjective Well Being adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup,

yang didefinisikan sebagai penilaian

dari hidup seseorang. Evaluasi

terhadap kepuasan hidup dapat

dibagi menjadi:

1) Evaluasi terhadap kepuasan

hidup global, yaitu evaluasi

subjek terhadap hidupnya secara

menyeluruh (Diener, 2006).

2) Evaluasi terhadap kepuasan pada

domain tertentu. Salah satu teori

yang memabahas tentang domain

satisfaction adalah teori dari Huebner tentang kepuasan hidup

anak-anak dan remaja dalam

konteks sekolah. Menurut

Huebner, ia membagi life satisfaction anak-anak dan remaja ke dalam 5 domain utama yaitu, family, friends, school, living environment, and, self (Huebner, E. S., 1994; Huebner,

E. S., Laughlin, J. E., Ash C., &

Gilman, R., 1998).

b. Komponen afektif

Secara umum komponen

Subjective Well Being merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa

yang terjadi di dalam hidup

seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe

dari reaksi afektif yang ada, seorang

peneliti dapat memahami cara

seseorang mengevaluasi kondisi dan

peristiwa dalam hidupnya (Diener,

dkk, 2004).

1. Evaluasi terhadap keberadaan

afek positif. Afek positif

merepresentasikan emosi yang

menyenangkan, seperti kasih

sayang.

2. Evaluasi terhadap keberadaan

afek negatif. Afek negatif

merepresentasikan mood dan

emosi yang tidak menyenangkan,

(10)

5 yang dialami seseorang sebagai

reaksinya terhadap kehidupan,

kesehatan, keadaan, dan

peristiwa yang mereka alami.

Terdapat dua pendekatan

teori yang digunakan dalam

Subjective Well Being, yaitu: a. Bottom up theories

Menurut teori bottom-up, Subjective Well Being ditentukan oleh mampu tidaknya seseorang

mencari dan memenuhi kebutuhan

universal yang fundamental.

Pendekatan ini berusaha

mengidentifikasi faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi Subjective Well

Being, khususnya adalah faktor situasional, kejadian-kejadian

eksternal, dan demografi (Diener, et

al., 1999).

Berikut model Subjective Well Being berdasarkan perspektif

“bottom-up”

Gambar 1

Model Subjective Well Being perspektif “bottom-up”

b. Top down theories

Subjective Well Being yang dialami seseorang tergantung dari

cara individu tersebut mengevaluasi

dan menginterpretasi suatu peristiwa

atau kejadian dalam sudut pandang

yang positif. Pendekatan ini

Mempertimbangkan jenis

kepribadian, sikap, dan cara-cara

yang digunakan untuk

menginterpretasi suatu peristiwa.

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan

Subjective Well Being diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah Faktor eksternal:

 Kebudayaan

 Kesehatan

 Prestasi belajar

 Penampilan fisik

 Status sosial ekonomi

 Dukungan sosial

Kesejahteraan

(11)

6 persepsi, keyakinan, dan sifat

kepribadian seseorang.

Berikut model Subjective Well Being berdasarkan perspektif

“top-down”:

Gambar 2

Model Subjective Well Being perspektif “top-down”

Menurut Zuhdi (2006)

penyelenggaraan program akselerasi

memberi dampak psikologi,

diantaranya pada masa transisi tiga

bulan pertama, siswa mengalami

stress karena pemberian materi yang begitu cepat. Faktor kepribadian

yang diduga dapat berperan dalam

menghadapi stres adalah kepribadian

tahan banting (hardiness). Menurut

Kobasa (1982) kepribadian hardiness

adalah tipe kepribadian yang

mempunyai kecenderungan untuk

mempersepsikan atau memandang

peristiwa-peristiwa hidup yang

potensial mendatangkan tekanan

sebagai sesuatu yang tidak terlalu

mengancam.

Menurut Hadjam (2004),

kepribadian tahan banting

(hardiness) mengurangi pengaruh

kejadian-kejadian hidup yang

mencekam dengan meningkatkan

penggunaan strategi penyesuaian,

antara lain dengan menggunakan

sumber-sumber sosial yang ada di

lingkungannya untuk dijadikan

tameng, motivasi, dan dukungan

dalam menghadapi masalah

ketegangan yang dihadapinya dan

memberikan kesuksesan. Saat

menghadapi kondisi yang menekan,

individu yang tahan banting juga

akan mengalami stres atau tekanan,

namun tipe kepribadian ini dapat

menyikapi secara positif keadaan Faktor internal:

 Religiusitas

 Kepribadian tangguh

 Optimisme

 Harga diri

Kesejahteraan

(12)

7 tidak menyenangkan tadi agar dapat

menimbulkan kenyamanan melalui

cara-cara yang sehat. Berkaitan

dengan terbentuknya penilaian dan

respon positif dalam menghadapi

sumber stres, siswa yang memiliki

kepribadian hardiness (kontrol, komitmen, dan tantangan) akan

memberikan penilaian positif atas

situasi yang penuh stess sehingga

cenderung memberikan respon yang

positif. Siswa akan menjadi optimis

bahwa situasi tersebut dianggap

sebagai tantangan yang berarti dapat

diubah sehingga akan mampu

menghadapi dan menggelolanya.

Kobasa dan Maddi (2005)

menjelaskan hardiness sebagai suatu konstelasi karakteristik kepribadian

yang berfungsi sebagai sumber daya

untuk menghadapi

peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan

stres.

Franken (dalam Heriyanto,

2011) menjelaskan adanya tiga aspek

hardiness. Ketiga aspek itu adalah : a. Kontrol

Kontrol adalah keyakinan

individu bahwa dirinya dapat

mempengaruhi peristiwa-peristiwa

yang terjadi atas dirinya, (Kobasa

dan Maddi, 2005). Aspek ini berisi

keyakinan bahwa individu dapat

memengaruhi atau mengendalikan

apa saja yang terjadi dalam

hidupnya.

b. Komitmen

Komitmen adalah kecenderungan

untuk melibatkan diri dalam aktivitas

yang sedang dihadapi, (Kobasa dan

Maddi, 2005). Aspek ini berisi

keyakinan bahwa hidup itu bemakna

dan memiliki tujuan.

c. Tantangan

Tantangan adalah kecenderungan

untuk memandang suatu perubahan

yang terjadi sebagai kesempatan

untuk mengembangkan diri, bukan

sebagai ancarnan terhadap rasa

amannya (Kobasa dan Maddi, 2005).

Aspek ini berupa pengertian bahwa

hal-hal yang sulit dilakukan atau

diwujudkan adalah sesuatu yang

umum terjadi dalam kehidupan, yang

pada akhirnya akan datang

kesempatan untuk melakukan dan

mewujudkan hal tersebut.

Faktor yang mempengaruhi

hardiness menurut Florian (dalam Heriyanto, 2001) antara lain :

a. Kemampuan untuk membuat

(13)

8 kemampuan individu-individu

merencanakan hal yeng realistis

maka saat individu menemui

suatu masalah maka individu akan

tahu apa hal terbaik yang dapat

individu lakukan dalam keadaan

tersebut.

b. Memiliki rasa percaya diri dan

positif citra diri, individu akan

lebih santai dan optimis jika

individu memiliki rasa percaya

diri yang tinggi dan citra diri yang

positif maka individu akan

terhindar dari stres.

c. Mengembangkan keterampilan

komunikasi, dan kapasitas untuk

mengelola perasaan yang kuat dan

impuls.

Colangelo, 1991 (dalam

Hawadi, 1999) menyebutkan bahwa

istilah akselerasi merujuk pada

pelayanan yang diberikan dan

kurikulum yang disampaikan.

Sebagai model pelayanan, pengertian

akselerasi termasuk juga perguruan

tinggi pada usia muda, meloncat

kelas dan mengikuti pelajaran

tertentu pada kelas diatasnya.

Sementara itu, sebagai model

kurikulum, akselerasi berarti

mempercepat bahan ajar dari yang

seharusnya dikuasai siswa pada saat

itu. Secara konseptual akselerasi

didefinisikan oleh Pressey, 1949

(dalam Hawadi, 1999) sebagai :

"progress through and educational program at rates, faster or ages

younger than convensional”.

Diartikan bahwa akselerasi sebagai

suatu kemajuan yang diperoleh

dalam program pengajaran pada

waktu yang lebih cepat atau usia

yang lebih muda daripada yang

konvensional.

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui apakah ada

Perbedaan subjective well being pada

siswa SMA program akselerasi dan

program reguler di Surakarta.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

teknik classter random sampling.

Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah siswa kelas

program akselerasi dan program

reguler di SMA Negeri 3 Surakarta.

Pada kelas reguler dibagi menjadi

kelas MIPA dan IPS dengan

keseluruhan siswa berjumlah 1012

siswa yang tersebar dalam 24 kelas.

(14)

9 sekarang hanya tinggal kelas XI

terdiri dari 3 kelas dengan jumlah

siswa sebanyak 59 siswa.

Metode pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian

yaitu, skala Subjective Well Being dan skala hardiness.

teknik analisis data yang

digunakan untuk menguji hipotesis

adalah analisis statistic parametric yaitu dengan Uji T Independent Sample T Test. Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan

bantuan komputer program SPSS 15.0 for windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini melibatkan 90

responden dengan jumlah siswa

akselerasi sebanyak 36 orang dan

siswa reguler sebanyak 54. Hasil uji

independent sampel T-test menyatakan bahwa tingkat subjective

well-being dan hardineess pada siswa akselerasi dan reguler adalah

sama. Hal tersebut didapat dari hasil

uji t pada variable subjective well-being t= -1,301 dengan sig. (2-tailed) sebesar (0,197) (p>0,05) dan hasil uji

t pada variable hardiness t= -0, 615 dengan sig. (2-tailed) sebesar (0,348)

(p>0,05) sehingga Ho ditolak artinya

bahwa tidak ada perbedaan tingkat

subjective wellbeing dan hardiness pada siswa SMA program akselerai

dan program reguler.

Berdasarkan hasil

perhitungan statistik diperoleh

bahwa hasil subjective well-being tergolong dalam kategori sedang

dengan rerata empirik (RE) = 107

dan rerata hipotetik (RH) = 100

Sedangkan hasil hardiness tergolong

dalam kategori sedang dengan rerata

empirik (RE) = 133,87 dan rerata

hipotetik (RH) =125.

Subjective well being dan hardiness kelas akselerasi dan reguler berada dalam kategori rerata

yang sama diduga akibat pemilihan

subjek yang digunakan adalah siswa

akselerasi kelas XI sehingga subjek

sudah menempuh program

akselerasi selama 1 tahun. Sehingga

subjek kelas akselerasi sudah cukup

banyak waktu untuk melakukan

proses adaptasi. Dampak psikologi

pada program akselerasi biasa

muncul pada masa transisi 3 bulan

(15)

10 Dugaan berikutnya

dikarenakan oleh proses seleksi,

kesungguhan anak mengikuti

program, dan kemampuan anak

dalam menerima materi pemadatan.

Hasil wawancara yang dilakukan

peneliti pada subjek berinisial N

yang merupakan guru BP SMA N 3

Surakarta menjelaskan proses

penerimaan siswa akselerasi melalui

berbagai tahap, selain IQ > 120

subjek diharuskan mengikuti

wawancara bahasa inggris – indonesia, TPA, tes dasar, tes IPA,

dan psikotes kuesioner. Proses yang

dijalani tersebut mengindikasikan

bahwa siswa kelas akselerasi di

SMA N 3 Surakarta memang

mampu secara intelektual dan

memiliki minat untuk menjadi

bagian kelas akselerasi sehingga

siswa tersebut merasa sejahtera

(Diener, 1999). Pernyataan tersebut

memperkuat dugaan bahwa

subjective well being siswa akselerasi tidak ada perbedaan

dengan siswa reguler.

Penelitian ini menunjukan

hardiness antara siswa akselerasi dan reguler memiliki perbedaan tetapi

tidak signifikan. Hardiness antara

siswa akselerasi dengan reguler

memiliki kategori yang sama yaitu

kategori sedang. Subjek dengan

hardiness sedang melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar

lebih banyak, subjek merasa

perubahan akan membantu dirinya

berkernbang dan mendapatkan

kebijaksanaan serta belajar banyak

dari pengalaman yang telah didapat,

dan kejadian dalam lingkungan

subjek dapat ditangani oleh dirinya

sendiri. (Kobasa, 2005). Padahal

seperti yang tercantum dalam

penatalaksanaan psikologi program

akselerasi (2007) siswa akselerasi

dituntut untuk memiliki tanggung

jawab mengerjakan tugas dalam

waktu lebih singkat, materi lebih

abstrak, lebih kompleks, dan lebih

mendalam, penggunaan keterampilan

belajar dan menerapkan strategi

pemecahan masalah, berorientasi

pada peserta didik, belajar

berkelanjutan serta menerapkan

keterampilan penelitian, bekerja

secara mandiri dan adanya interaksi

(16)

11 Faktor-faktor hardiness seperti

kemampuan untuk membuat rencana

yang realistis, rasa percaya diri,

pengembangan ketrampilan

komunikasi, dan kapasitas untuk

mengelola perasaan yang kuat dan

impuls merupakan faktor internal

yang menguatkan hardiness seseorang. Hal ini memperlihatkan

bahwa hardiness bukan merupakan karakter yang dibentuk dari kondisi

lingkungan. Melainkan muncul

sebagai kepribadian bawaan

seseorang. Sehingga tidak terdapat

perbedaan hardiness antara siswa akselerasi dan reguler.

Penelitian mengenai subjective

well being dan hardiness siswa SMA program akselerasi dan reguler

di kota Surakarta masih memiliki

beberapa kelemahan, diantaranya:

a. Subjek dalam mengisi skala

kemungkinan dipengaruhi oleh

social desirability yaitu subjek cenderung memberikan

jawaban yang bukan

sebenarnya, cenderung

menutup-nutupi, dan kurang

sesuai dengan keadaan dirinya.

b. Jumlah subjek yang sedikit

dan memiliki karakter khusus

membuat penelitian ini tidak

dapat digeneralisasi pada

remaja SMA. Hasil penelitian

ini hanya berlaku pada subyek

penelitian ini.

c. Hanya menggambarkan

kondisi populasi remaja SMA

yang menempuh program

akselerasi dan Reguler di kota

Surakarta sehingga penerapan

pada ruang lingkup yang lebih

luas dengan karakteristik yang

berbeda kiranya perlu

dilakukan pada penelitian

lebih lanjut dengan

menggunakan variabel yang

serupa atau menambah

variabel-variabel lain yang

belum disertakan dalam

penelitian.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian

dan pembahasan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Ada perbedaan tetapi tidak

signifikan subjective well being

(17)

12 akselerasi dan reguler di

Surakarta.

2. Ada perbedaan tetapi tidak

signifikan hardiness pada siswa SMA program akselerasi

dan reguler di Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darmayanti, N. (2012). Model Kesejahteraan Subjektif Remaja Penyintas Bencana Tsunami Aceh 2004. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Penatalaksanaan

Psikologi Program

Akselerasi. Diakses 11 Januari 2015 dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa:

www.departemenpendidikann asional.com

Diener, E. & Lucas, R.E. Personality and subjective well being. Edited by Kahneman, D. Diener, E. Schwarz, N. (1999). Well-Being: The Foundations of Hedonic Psychology. New York: Russell Sage Foundation.

Diener, E., & Lucas, R. E. (2000). Explaning differences in societal levels of

happiness:Relative standards, need fulfillment, cultere, and evaluation theory. Journal of Happiness Studies, 1, 41-78. Diener, E., Scollon, C. N., & Lucas,

R. E. (2004). The elvoving concept of subjective well-being: The multifaceted nature happiness. Costa & I. C. Siegler (Eds), Advances in cell aging and gerontology : vol. 15 (187-220). Amsterdam: Elsevier.Science Direct.

Diener E, Wirtz, Tov, Kim-Prieto, C., Choi, D., Oishi, S., & Biswas, R. (2009). New Well-Being Measures: Short Scale to Assess Flourishing and Positive and Negative Feelings. satisfaction. In C. R Synder & S. J Lopez (Eds), Handbook of possitive psychology (2nd ed), (pp. 63-73). New York, NY: Oxford University press. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar

dan Menengah. (2003).

Informasi Mengenai Program Percepatan Belajar”, Jakarta.

Hadi, S. (2007). Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta: Penerbit Andi

(18)

13 Psychological Journal. Vol. 19, No. 2, 122-135.

Hawadi, R.A, (2004) “Akselerasi A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Siswa Berbakat Intelektual”. Jakarta: Grasindo.

Heriyanto, (2011). Mengelola konflik di Dalam Organisasi. Jurnal Anima, 47: 207-279. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Huebner, S.E. (2001). Manual for the

multidimensional student’s life

satisfaction scale

Kobasa, S. C. (1982). Hardiness and Health : A Prospective Study. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 42, No.1, 168-177.

Maddi, S. R & Kobasa, S. C. (2005). The Hardy Executive: Healt Under Stress. Homwood, II: Dow Joness-Irwin

Maimunah, S. (2009). Naskah Publikasi: Gambaran Penyesuaian Sosial dan Emosi Siswa Program Akselerasi. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.

Nulhakim, T. R. (2008). Program Akselerasi Bagi Siswa Berbakat Akademik. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No 073 tahun ke-14 Juli 2008. Puspita, Rima. (2007). Program

Bimbingan Pribadi-Sosial Untuk Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal SiswaProgram Akselerasi SMA PRISMA Serang Tahun Ajaran 2006/2007). Skripsi

Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UPI Bandung

Putri, D.S.A.R., Alsa, A., &Widiana, H.S. (2005). Perbedaan Sosialisasi Antara Siswa Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler Dalam Lingkungan Pergaulan di Sekolah. Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No. 1(28-40). Yogyakarta: UAD.

Referensi

Dokumen terkait

SMA YP Unila Bandar Lampung terletak di Jalan Jenderal Suprapto No. 88 Tanjung Karang Bandar Lampung. Letak yang cukup strategis ini yang berada di pusat kota namun tidak

Siswa yang berada pada tingkat 5 adalah siswa yang dapat menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan soal, mempunyai ide/gagasan untuk menyelesaikan soal tersebut, menyelesaikan

Teat dipping menggunakan dekok daun kersen ( Muntingia calabura L ) dengan konsentrasi 20% (T2) memiliki kemampuan yang lebih untuk menurunkan tingkat kejadian mastitis

Berbeda dengan video promosi, teknologi yang akan diterapkan ini bersifat interaktif dan lebih menarik karena informasi yang dapat ditampilkan tidak hanya berupa teks dan

Hal ini dapat dilihat dari prosentase rata-rata hasil dari setiap aspek yang berkategorikan mampu antara lain, Aspek anak mampu menjawab judul cerita dari siklus I sebesar 53,3%

Berdasarkan data di atas, secara garis besar tutupan makroalga terendah adalah pada lokasi Crystal Bay 3,75%, Selanjutnya Toyopakeh 16,25%, SD Point 20%, Sampalan 35% dan tertinggi

Faktor yang mempengaruhi validitas alat ukur dan contohnya dalam pembelajaran matematika SD, Reliabilitas;pengertian alat ukur yang reliabel dan jenis- jenis reliabilitas

Analisis Implikasi Pembiayaan Syariah Pada Pedagang Kecil di Pasar Tanjung Jember; Choirin Nikmah, 090810201139; 2013; 58 halaman; Jurusan Manajemen Fakultas