commit to user
TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
MUTIADANARWIDYA S.S NIM : E0007169
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS
MARET SURAKARTA
2011
commit to user
commit to user MOTTO
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang sebab Aku ini
Allahmu;Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong engkau;Aku akan memegang engkau
dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan”
(Yesaya 41:10)
“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga”
(Pengkhotbah 9:10)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan berusaha
mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”
(Hamka)
”Tuhan menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Ia menitipkan kekuatan di setiap
kelemahan. Ia menitipkan sukacita di setiap dukacita. Ia menitipkan harapan di setiap
keraguan akan hari esok dan Tuhan berjanji untuk menjadikan semua indah pada waktunya”
(Tes. Tia Danar Widya)
commit to user PERSEMBAHAN
kepada :
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih
1. Tuhan Yesus Kristus akan cinta kasihNya yang luar biasa diberikan dalam kehidupanku
dan menjadikan hidupku berarti.
2. Kedua orang tuaku tercinta Ayah Ir. Sudiro dan Bunda Susmiyati, S.Pd atas segala kasih
sayang, cinta, perhatian dan didikan untuk hidup dalam Tuhan Yesus.
3. Pengisi hati, atas segala kasih sayang, doa, semangat dan perhatian untukku.
4.Seluruh keluarga besarku dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan dan semangat yang
diberikan.
commit to user ABSTRAK
Mutiadanarwidya S.S,2011.TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009).Fakultas Hukum UNS.
Penelitian Hukum ini menelaah dari segi yuridis mengenai kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi nomor 6.PK/PID /2009.
Penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian normatif yang bersifat preskriptif yang mengunakan data sekunder, dimana Penulis mengumpulkan data- data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis putusan, buku literatur, dan perundang-undangan. Kemudian dari semua data yang terkumpul dilakukan analisa data deduksi dengan metode silogisme. Tujuan Penelitian Hukum ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum dari lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa alasan lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi adalah sebagai berikut:Pertama alasannya disebabkan mengenai masalah adanya kesalahan penerapan peraturan hukum oleh hakim tunggal pemeriksa Praperadilan pada putusannya. Kedua pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi dikarenakan Judex Facti salah menerapkan hukum.
commit to user
commit to user KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis
mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “ANALISIS
KONSTRUKSI HUKUM PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI MUNGKID DALAM PENGAJUAN KASASI DAN ALAS HUKUM FORMIL HAKIM MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN KASASI PERKARA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS NOMOR 2631 K/PIDSUS/2009”.
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta..
Atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama
melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini,
maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
kepada :
1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak Edy Herdyanto,SH.MH selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
3. Bapak Bambang Santoso,S.H,M.Hum selaku Pembimbing Akademik
Penulis dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing Penulis
dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis
selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
commit to user
5. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.
6. Kedua orang tuaku yang telah memberikanku doa, kasih sayang, dan
didikan yang menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan
ini.
7. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan.
8. Sahabat-sahabatku Angkatan 2007 Reguler, Teman-teman Angkatan 2007
Reguler, teman-teman kuliah, dan semua pihak yang membantu dalam
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima
dengan senang hati
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan
Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal
baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRAK (BAHASA INGGRIS)...vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 11
1. Tinjauan Umum tentang Lembaga Swadaya Masyarakat... 11
a. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat... 12
b. Peran dan ciri Lembaga Swadaya Masyarakat... 12
2. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan ... 13
a. Pengertian Pra Peradilan ... 13
b. Tujuan Pra Peradilan ... 13
c. Wewenang Pra Peradilan dan Acara Pra Peradilan... 14
commit to user
3. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali ... 16
a. Tujuan Peninjauan Kembali ... 16
b. Alasan Peninjauan Kembali ... 16
c. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali ... 18
d. Tata cara Peninjauan kembali ... 18
e. Asas-asas Peninjauan Kembali ... 19
4. Tinjauan Umum tentang Korupsi... 21
a. Istilah Korupsi ... 21
b. Pengertian Perbuatan Korupsi... 22
c. Macam-macam korupsi ... 23
B. Kerangka Pemikiran... 27
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan... 30
1. Deskripsi Kasus... 30
2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan ... 32
3. Alasan Pemohon mengajukan Pra Peradilan... 32
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 33
5. Alasan-alasan Pengajuan Kasasi ... 33
6. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali ... 38
7. Pembahasan ...42
B. Kedudukan Hukum Lembaga Swadaya masyarakat Sebagai Pemohon Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan ... 47
1. Pertimbangan Hakim PK ... 47
2. Amar Putusan Hakim Kasasi ... 53
3. Pembahasan... 56
commit to user BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ... 60
B. Saran-Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia
menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang
Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia, misalnya
hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana
yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka
diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk me
Hukum merupakan upaya dari dari suatu Negara untuk menjamin
perlindungan terhadap hak-hak dan demi kepentingan umum. Hal ini tidak
terlepas dari tujuan nasional Negara Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajuklan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam
alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara hukum atau “Rule of
Law” dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang
bersifat universal, seperti : Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi,
legalitas dari tindakan Negara/pemerintahan dalam arti tindakan aparatur Negara
yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan
yang bebas.
Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia dalam tindak pidana dibuktikan dengan adanya proses peyelidikan,
penyidikan, penahanan, penuntutan, pra peradilan, pemeriksaan sidang,
pembuktian, kemudian putusan pengadilan yang dilakukan oleh hakim sebagai
pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
commit to user
mengadili. Semua proses tersebut dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan
demi tetap tegaknya hukum.
Terhadap putusan pengadilan yang tidak memuaskan terdakwa atau
penuntut umum, maka dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan Peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang. Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak
asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Karena hakim adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dan juga
kekhilafan.
Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan dan
pembagian kekuasaan dalam Negara, serta pemerintahan berdasarkan hukum
tersebut harus dijamin dalam suatu konstitusi. Selain itu, konstitusi tersebut harus
pula menjamin kemerdekaan warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan, menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan
sebagainya, dengan kata lain harus menjamin kehidupan berdemokrasi. Untuk itu
semua harus ada lembaga yang bertugas menegakkan konstitusi, demokrasi dan
hukum, yaitu :Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD
1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang.
Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dikenal adanya
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari
banding dan kasasi diatur dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar
biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali diatur dalam
Bab XVIII KUHAP.
Upaya hukum dapat dilakukan terdakwa maupun penuntut umum terhadap
putusan hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dengan mengajukan banding,
kecuali terhadap putusan bebas. Apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak
menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan kasasi. Upaya
commit to user
KUHAP Bab XVII. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh terpidana
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
adalah Peninjauan Kembali. Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan upaya
hukum luar biasa, karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas
kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan
hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (gezag van gewijsde) tidak bisa
diubah lagi. Asas kepastian hukum itu disebut neb is in idem, artinya tidak boleh
terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama.
Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar
biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali
dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu
adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian
hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan.
Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim
secara manusiawi.
Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk menemukan
kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun demikian, demi
kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat dilakukan satu kali
saja. Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar :
1. terdapat keadaan baru (Novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2. dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain.
3. putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
commit to user
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian di revisi dengan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004, menetapkan bahwa "setiap orang, yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap". Ketentuan ini
dikenal sebagai "asas praduga tidak bersalah"( presumption ofinnocence ), yang
kemudian diatur oleh KUHAP di dalam Penjelasan Umum sub 3.e. dengan
rumusan yang sama. Jika dilihat dari kaca mata hukum, maka Undang-undang
No. 14 tahun 1970 merupakan salah satu dari latar belakang dan landasan
yuridis lahirnya Undang-undang No.8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara
Pidana. Hal tersebut di atas merupakan salah satu dari dasar hukum dan latar
belakang lahirnya praperadilan sebagai salah satu fungsi dan wewenang
Pengadilan Negeri yang melembaga dan menjadi satu kesatuan di dalanmya.
Dalam rangka menegakkan keadilan dan kepastian hukum pembuat
undang-undang menciptakan suatu mekanisme atau sistem dalam KUHAP
tentang praperadilan yang merupakan suatu lembaga yang berwenang
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan
maupun tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum.
Diadakannya suatu lembaga praperadilan seperti yang diatur dalam Pasal 77
sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah
untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
tersangka/terdakwa atas upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum.
Keberadaan praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan
terhadap hak-hak asasi (hak-hak tersangka dan terdakwa) manusia yang
sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara harizontal. Yang
dimaksud dengan pengawasan secara horizontal adalah pengawasan yang
dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut
commit to user
Seperti halnya pemeriksaan kasasi terhadap putusan praperadilan, maka
KUHAP juga tidak mengatur tentang pemeriksaan Peninjauan kembali (PK)
terhadap putusan praperadilan. Akan tetapi dalam praktik hukum sudah pernah
terjadi pemeriksaan peninjauan kembali oleh MA terhadap putusan praperadilan
yang didasarkan pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 21 UU
No. 14 Tahun 1970. Dengan demikian, pemeriksaan peninjauan kembali (PK)
tetap dapat dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan telaah yurudis
mengenai kedudukan LSM dalam permohonan peninjauan kasus korupsi yang
dihentikan penyidikannya. Untuk itu penulis terdorong untuk menulis Penulisan
Hukum dengan judul “TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN
PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN
PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN
PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (Studi Kasus Putusan MA No. 6/
PK/ Pid/ 2009)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Lembaga Swadaya masyarakat mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) sebagai pemohon pemeriksanaan peninjauan kembali terhadap
putusan para peradilan tentang keabsahan penhentikan penyidikan perkara
korupsi ?
2. Apakah terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penghentian
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud
penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini
adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam
permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan para
peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara korupsi
b. Untuk mengetahui langkah hukum yang dilakukan oleh lembaga swadaya
masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap
putusan para peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara
korupsi.
2. Tujuan Subjektif
a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun
penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam
meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman
Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan
hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti
bagi penulis.
c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari
penelitian ini adalah :
commit to user
a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data
sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk
mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada
khususnya.
c. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal
untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun
untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri
ini agar dapat ditegakkan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji,
kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang
commit to user
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Menurut Peter
Mahmud Marzuki, ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar
prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2006: 41).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2006: 93). Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus.
4. Jenis dan Sumber Penelitian
Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini
berupa jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan
dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan
kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-
arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.
Bahan hukum yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi :
1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,
commit to user
4) Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 6/ PK/ Pid/ 2009
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain
sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan -
bahan dari internet.
5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka dan rujukan
internet untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.
6. Teknik Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini, permasalahan hukum akan dianalisis dengan dengan
logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian
ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat
membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut
diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir
adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah.
Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus
M.Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan
oleh Aristoteles, pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion
(Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran
hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis
minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip
commit to user
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual ( Johnny Ibrahim, 2008:249).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi
penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat
bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang
melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai
tinjauan umum tentang tinjauan tentang lembaga swadaya
masyarakat, tinjauan tentang pra peradilan, tinjauan tentang
peninjauan kembali dan tinjauan tentang korupsi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yaitu tentang kedudukan lembaga swadaya
masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali
terhadap putusan pra peradilan tentang penghentian pengyidikan
perkara korupsi.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini akan berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan
pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan
nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non
pemerintah (Ornop) dewasa ini keberadaanya sangat mewarnai kehidupan
politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih dari 10.000 LSM beroperasi
di Indonesia baik ditingkat nasional, propinsi maupun di tingkat
kabupaten/kota, dimana dari tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah.
Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan
teknologi informasi merupakan faktor-faktor yang mendorong terus
bertambahnya jumlah LSM di Indonesia.
Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula
dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar
4000-7000 LSM, maka pada tahun 2008 jumlah LSM menurut Departemen
Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM. Iklim segar yang dibawa oleh
angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya
penyaluran aspirasi.
Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan
berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Dominasi pemerintah pada
masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol
yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol
masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial
dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutan-
tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat
dan dilain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek
kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidang-
commit to user
seiring dengan diberikannya kebebasan yang luas memberikan kesempatan
pada kelompok-kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai
bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai
asas dan tujuan masing-masing. Tidak ada lagi hegemoni ideologi yang
dijalankan lewat berbagai undang-undang yang mendudukan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi seperti pada masa orde baru
yang menyebabkan aktifitas
LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses
demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik
khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah
maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu
yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.
Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta
yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM memiliki karakteristik
yang bercirikan: nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat
sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri ini menjadikan LSM
dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik
dan ekonomi.
Ciri-ciri LSM tersebut juga membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi
dan melayani kepentingan masyarakat yang tidak begitu diperhatikan oleh
sektor politik dan swasta. Kemunculan LSM merupakan reaksi atas
melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik,
dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah
terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya
LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama
pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara,
tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi
terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.
Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan
tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-rochman menyebut pola hubungan
commit to user
pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara
kerja dan orientasi LSM.
2. Tinjauan Tentang Pra Peradilan
a. Pengertian Pra Peradilan
Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Pra
Peradilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya
sebelum, atau mendahului, berarti ”Pra Peradilan” sama dengan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 1996:1).
Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur undang-undang ini tentang :
1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
b. Tujuan Pra Peradilan
Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa
yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka,
supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum
serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai
dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun
perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan
penyidik pada waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang
commit to user
tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan
koreksi.
Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan
tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasibnya kepada
siapapun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk
menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan
terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR,
pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan
suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan
pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan
pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama
pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan
penuntutan.
c. Wewenang Pra Peradilan
1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa
2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi
4) Memeriksa permintaan rehabilitasi
d. Acara Pra Peradilan
Acara Pra Peradilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP),
pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81
KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut :
1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim
yang ditunjuk menetapkan hari sidang
2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
commit to user
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada
benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim
mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari
pejabat yang berwenang.
3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya
4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Pra
Peradilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
5) Putusan Pra Peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan lagi
pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu
diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1
sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga
hal tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan jelas
dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP)
7) Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim itu
memuat pula :
(a) dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus
segera membebaskan tersangka.
(b) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
(c) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan
atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan
commit to user
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka
dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
(4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita
ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam
putusan dicantukan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu
disita.
3. Tinjauan tentang Peninjauan Kembali
a. Tujuan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali pertama kali diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal
19 Juli 1969 baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana
tetapi belum dapat dijalankan karena masih diperlukan peraturan
lebih lanjut mengenai beberapa persoalan. Peninjauan Kembali
adalah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar
menjalankan keadilan, agar sendi-sendi hukum yang asasi di
masyarakat terlindungi (Usman Hamid,
http://www.hukumonline.com).
b. Alasan Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali dapat diajukan atas dasar alasan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu :
(1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
commit to user
(2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu
ternyata telah bertentangan satu sama lain.
(3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dalam Pasal 263
ayat (2) KUHAP tersebut maka terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan oleh
terdakwa atau ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat (1)
KUHAP. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa,
berlaku ketentuan seperti dalam Pasal 266 KUHAP, sebagai berikut
:
(1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan bahwa
permintaan Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa
putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu tetap berlaku
disertai dasar pertimbangannya.
(2) Apabila Mahkamah Agung mambenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dinyatakan
Peninjuauan Kembali itu dan menyatakan putusan yang dapat
berupa :
(a) Putusan bebas.
(b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
commit to user
(d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
c.Pihak Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai orang
yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, maka dibuka
kemungkinan bagi terdakwa atau ahli warisnya untuk mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali, terhadap suatu putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan pengecualian
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut,
maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
penasehat hukum tanpa ada kuasa dari terpidana sendiri harus
dinyatakan tidak dapat diterima, karena diajukan oleh orang yang
tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan Kembali
yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak
dapat diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris
berhubung terpidana masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa
dari terpidana sehingga belum berhak mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:298 ).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk
mengajukan Peninjauan Kembali hanya diberikan kepada terpidana
atau ahli warisnya dan hanya terhadap putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak memuat
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi hak ini
tidak diberikan kepada Jaksa Agung.
d. Tata Cara Peninjauan Kembali.
Tata cara pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal
264 KUHAP yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Permintaan Peninjauan Kembali diajukan kepada panitera
Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
commit to user
b) Permintaan Peninjauan Kembali disertai alasan-alasannya.
Alasan-alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan yang
dicatat oleh panitera yang menerima Peninjauan Kembali
tersebut.
c) Permintaan Peninjauan Kembali oleh panitera ditulis dalam
surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon,
dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara.
d) Ketua Pengadilan Negari menunjuk hakim yang tidak
memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan
Kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan
kembali itu memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
e) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut
hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
f) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan
yang ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon
dan panitera dan berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita
acara pendapat yang ditandatangani hakim dan panitera.
g) Ketua pengadilan melanjutkan permintaan Peninjauan
Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah
Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada
pemohon dan penuntut umum.
e. Asas-Asas Peninjauan Kembali.
1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
Asas tersebut diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP
yang menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam
putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana
yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah
Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi
commit to user
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4
KUHAP.
Asas pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi
putusan semula ini sejalan dengan tujuan yang terkandung
dalam lembaga upaya Peninjauan Kembali yaitu membuka
kesempatan kepada terpidana untuk membela
kepentingannya agar terlepas dari ketidakbenaran penegakan
hukum ( M.Yahya Harahap, 2002:639 ).
2) Permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan
pelaksanaan putusan.
Asas tersebut tidak mutlak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan Kembali
tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus
pelaksanaan pelaksanaan putusan sehingga proses
permohonan Peninjauan Kembali dapat berjalan namun
pelaksanaan putusan juga tetap berjalan.
Dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan
penangguhan penghentian pelaksanaan putusan sehingga
ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP dapat sedikit diperlunak
menjadi permintaan Peninjauan Kembali tidak secara mutlak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
Anjuran Pasal 268 ayat (1) KUHAP tersebut banyak yang
menyalahgunakan sehingga sikap yang seperti itu dapat
menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan
penegakan hukum, yang dikehendaki dalam Pasal tersebut
ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta
mengkaitkan dengan jenis pidana maupun sifat dan kualitas
yang menjadi landasan permintaan Peninjauan Kembali (
commit to user
3) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 283 ayat (3) KUHAP membenarkan atau
memperkenankan Peninjauan Kembali atas suatu perkara
hanya satu kali saja. Asas ini disebut sebagai asas Nebis In
Idem yang dikemukakan dalam Pasal 76 KUHP, sedang dalam
perkara perdata diatur dalam Pasal 1918 BW. Asas ini juga
berlaku terhadap permintaan Kasasi dan Kasasi Demi
Kepentingan Hukum. Dalam Peninjauan Kembali, asas ini
lebih menyentuh rasa keadilan karena asas ini merupakan
suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan
dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran
demi tegaknya kepastian hukum ( M.Yahya Harahap,
2002:640 ).
4. Tinjauan tentang Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin “ Corruptio “ atau “ Corruptus “
yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “ Corruption “,
dalam bahasa Belanda “ Korruptie “ dan selanjutnya dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan “ Korupsi “. Korupsi secara harafiah berarti
jahat atau busuk, sedangkan I. A. N Kramer ST menterjemahkan sebagai
busuk, rusak, atau dapat disuap. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi
berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak, atau suap (
Darwan Prinst, 2002 : 1 ).
Istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum di
Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt / Perpu / 013 /
1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan
juga dalam Undang-Undang No. 24 / Prp / 1960 tentang Pengusutan
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini
kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971
commit to user
tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang No. 31 tahun
1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 ( dua ) tahun
kemudian ( 16 Agustus 2001 ) dan kemudian diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.
Pengertian korupsi mengalami perkembangan sesuai dengan
perkembangan yang ada di masyarakat, dengan munculnya Undang-
Undang No. 3 Tahun 1971, pengertian korupsi mengalami perkembangan
karena adanya beberapa Pasal di dalam KUHP yang dimasukkan ke dalam
ketentuan Undang-Undang tersebut. Pengertian dari perbuatan korupsi
tercantum dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ), untuk ayat 1 yaitu :
(1) Barangsiapa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung dapat
merugikan keuangan negaradan atau perekonomian Negara atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
(2) Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara.
(3) Barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal
209, 210, 337, 415, 416, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP.
(4) Barangsiapa yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
seperti dimaksud Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
(5) Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti tersebut dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP tidak
melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu : “ Barangsiapa melakukan
commit to user
dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 melihat dari 2 segi Tindak
Pidana Korupsi yaitu Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.
Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai
berikut :
(1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara ( Pasal 2 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 ).
(2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ).
(3) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan
memgingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 ).
(4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
( Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(5) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
karena ada hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(6) Memberi atau menjanjikan kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili ( Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
commit to user
(7) Pemborong, ahli bangunan yang ada pada waktu membuat
bangunan, atau menjual bahan bangunan yang ada pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan barang bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a ( Pasal 7 ayat (1) huruf b
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 ).
(9) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).
(10) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyeahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c ( Pasal 7 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ).
(11) Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus
atau untuk semantara waktu, dengan sengaja menggelapkan yang
satu surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
).
(12) Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
commit to user
daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi ( Pasal 9
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(13) Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jawaban umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu dengan sengaja mengelapkan, menghancurkan,
merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau
daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan di
muka pejabat yang berwenang yang dikuasai kerena jabatannya.
Atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, kta, surat,
atau daftar tersebut ( Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 ).
(14) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud
mengantungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, atau meneima pembayaran dengan potongan
atau mengerjakan sesuatu bagi diinya sendiri ( Pasal 12 huruf e
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(a) Pada waktu menjalankan tugas m,eminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang lain atau Kas Umum tersebut
mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan hutang ( huruf f ).
(b) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima
pekerjaan, atau menyerahkan barang seolah-olah merupakan
hutang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal trsebut bukan
merupakan hutang ( huruf g ).
(c) Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah Negara
yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
commit to user
dikethui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, atau
(d) Baik langsung ataupun tidak langsung dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya ( huruf i ).
(15) Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukan itu ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 ).
Sedangkan Korupsi Pasif sebagai berikut :
(1) Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau idak bertentangan dengan
kewajiban ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(2) Hakim atau Advokad yang menerima pemberian janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili ( Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 ).
(3) Orang yang menerima menyerahkan bahan dan keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
membiarkan perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c Undang-Undang Nomo 20 Tahun 2001 ( Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(4) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negra yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atu menurut
commit to user
hubungan dengan jabatannya ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 ).
(5) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau
tidak melkukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanny yang
bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 12 huruf a dari huruf b
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(6) Hakim menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaran yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 12 huruf d
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).
(7) Setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima
gratifikasi yang diberikan berhubunggan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya ( Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) (R. Wiyono, 2005).
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik
tinjauan pustaka dan paparan latar belakang di atas, dalam kaitannya dengan masalah
commit to user
pemikiran yang tentunya akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih riil
[image:40.595.105.497.163.494.2]mengenai alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian ini.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penjelasan Kerangka Pemikiran
Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar
biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali
dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu
adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian
hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan.
Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim
secara manusiawi. Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk
menemukan kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun
demikian, demi kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat
commit to user
Terhadap putusan praperadilan dapat atau tidaknya diajukan upaya hukum
dijelaskan dalam Pasal 83 KUHAP, yang isinya: Terhadap putusan praperadilan
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat
dimintakan banding; Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan
praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi
dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, maka
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh penasehat hukum tanpa ada
kuasa dari terpidana sendiri harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena
diajukan oleh orang yang tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak dapat
diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris berhubung terpidana
masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa dari terpidana sehingga belum
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang
Keabsahan Penghentian Penyidikan
1. Deskripsi Kasus
Pada bulan September Tahun 2005 telah dilakukan penyidikan dugaan
tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak oleh PPNS Dirjen
Pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu selaku Dirut PT. Ramayana Lestari
Sentosa. Berdasar Surat Nomor B.5845/0.1.4/Epp.2/II/2005 tertanggal 15
Nopember 2005, Kejaksaan Tinggi Jakarta menyatakan hasil pemeriksaan atas
perkara tersebut sudah lengkap (P21). Kejaksaan Tinggi dalam perkembangan
penanganan perkara ini telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) dengan alasan tersangka telah membayar kekurangan dan
dendanya. Berdasar KUHAP Pasal 140 penghentian penuntutan adalah karena
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan
tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, Penuntutan dihentikan
demi hukum dalam KUHP Pasal 76, 77, 78 dan seterusnya antara lain ne bis
in idem, tersangka meninggal dunia, dan kadaluarsa
Berdasar argumen tersebut tidak terdapat alasan penghentikan
penuntutan berdasar tersangka telah membayar kerugian Negara, penghentian
penuntutan harus berdasar karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum. Dengan demikian tindakan Termohon mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan adalah tidak sah karena tidak berdasar
ketentuan sebagaimana diatur KUHAP.
2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan
commit to user
1) Nama : BOYAMIN
Tempat lahir : Ponorogo
Tanggal lahir : 20 Juli 1968
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Jamsaren No.60 Serengan Surakarta
Pekerjaan : Swasta
2) Nama : SUPRIYADI
Tempat lahir : Kebumen
Tanggal lahir : 8 Pebruari 1981
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl.Asahan II/3 Rt.02 Rw.15 Bencongan Curug,
Tangerang
Pekerjaan : Mahasiswa
Para Pemohon Peninjauan Kembali selaku untuk dan atas nama
PERKUMPULAN MASYARAKAT ANTI KORUPSI INDONESIA
(MAKI) dahulu Pemohon Praperadilan
b. Termohon Pra Peradilan
PEMERINTAH R.I. Cq. JAKSA AGUNG R.I. Cq. KEPALA
KEJAKSAAN TINGGI DKI JAKARTA, berkedudukan di Jl. H.R.Rasuna
Said No.2 Jakarta Selatan; Termohon Peninjauan Kembali dahulu
Termohon Praperadilan.
3. Alasan Pemohon Mengajukan Pra Peradilan
a. Bahwa pertimbangan penghentian penuntutan atas dasar tersangka telah
membayar kerugian Negara dan atau membayar kekurangan menjadikan
seorang warga Negara istimewa dan kebal hukum. Hal ini sungguh
commit to user
hukum. Pengembalian dan atau pembayaran kekurangan tidak menghapus
pidana;
b. Bahwa dalam UU Perpajakan harus dibedakan denda sebagai sangsi
administrasi dan denda sebagai sangsi pidana. Apabila
pelanggaran/kejahatan pajak telah memasuki tahapan penyidikan maka
yang berlaku adalah sangsi pidana, artinya pembayaran kekurangan dan
denda harus berdasar keputusan yang dikeluarkan Majelis Hakim
persidangan pidana. Denda sebagai sangsi administrasi hanya berlaku
apabila belum/tidak dilakukan proses pidana berupa penyidikan, apalagi
sudah dinyatakan lengkap (P21) maka pembayaran tidak menghapus
pidananya;
c. Bahwa berdasar ketentuan Pasal 44 B UU No.6 Tahun 2000 Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan atas dasar permintaaan Menteri
Keuangan, dengan demikian kewenangan Termohon sebagai bagian dari
lembaga Kejaksaan adalah menghentikan Penyidikan, bukan Penuntutan
Penghentian Penuntutan tetap harus berdasar ketentuan KUHAP;
d. Bahwa dengan dinyatakan lengkap (P21) perkara ini maka penyidikan
telah selesai dan kewenangan berpindah kepada Jaksa selaku Penuntut
Umum, dengan demikian proses penyidikan sudah tidak dihentikan lagi;
(e) Bahwa karenanya tindakan Termohon sebagaimana tersebut di atas jelas
dan nyata sebagai bentuk penuntutan yang dilakukan secara tidak sah dan
melawan hukum sehingga oleh karenanya harus dibatalkan dan atau batal
demi hukum dan selanjutnya Termohon diperintahkan untuk melakukan
proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan KUHAP;
(f) Bahwa berdasar Pasal 80 KUHAP, sebagai pihak yang berkepentingan
kami wajib melakukan tindakan hukum permohonan Pra peradilan atas
dihentikannya Penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum;
(g) Bahwa berdasar poin 12 sebelumnya dijelaskan pihak ketiga yang
berkepentingan dapat diartikan secara luas sehingga masyarakat dapat
mengajukan permohonan pra peradilan. Masyarakat disini dapat diwakili
commit to user
yang menyatakan apabila tidak ada pelapor atau penyidik yang
mengajukan pra peradilan, maka masyarakat yang diwakili oleh LSM atau
Ormas dapat mengajukannya;
(h) Bahwa berdasar hal-hal tersebut di atas jelas dan nyata, Pemohon selaku
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anti Korupsi yang berdasar UU
Nomor 28 Tahun 1999 jo UU Nomor 31 Tahun 1999, mempunyai hak dan
kewajiban serta berperan bersama-sama dalam menciptakan
penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme;
(i) Bahwa oleh karenanya atas tindakan Termohon tersebut, jelas dan nyata
kepentingan Pemohon dan seluruh Warga Masyarakat Indonesia dan
terciptanya penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek
KKN menjadi terhambat justru oleh aparat penegak hukum itu sendiri,
sehingga demi kepastian pelaksanaan dan p