• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

MUTIADANARWIDYA S.S NIM : E0007169

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS

MARET SURAKARTA

2011

(2)

commit to user

(3)
(4)

commit to user MOTTO

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang sebab Aku ini

Allahmu;Aku akan meneguhkan bahkan akan menolong engkau;Aku akan memegang engkau

dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan”

(Yesaya 41:10)

“Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga”

(Pengkhotbah 9:10)

“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita dan berusaha

mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”

(Hamka)

”Tuhan menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Ia menitipkan kekuatan di setiap

kelemahan. Ia menitipkan sukacita di setiap dukacita. Ia menitipkan harapan di setiap

keraguan akan hari esok dan Tuhan berjanji untuk menjadikan semua indah pada waktunya”

(Tes. Tia Danar Widya)

(5)

commit to user PERSEMBAHAN

kepada :

Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih

1. Tuhan Yesus Kristus akan cinta kasihNya yang luar biasa diberikan dalam kehidupanku

dan menjadikan hidupku berarti.

2. Kedua orang tuaku tercinta Ayah Ir. Sudiro dan Bunda Susmiyati, S.Pd atas segala kasih

sayang, cinta, perhatian dan didikan untuk hidup dalam Tuhan Yesus.

3. Pengisi hati, atas segala kasih sayang, doa, semangat dan perhatian untukku.

4.Seluruh keluarga besarku dan sahabat-sahabatku atas doa, dukungan dan semangat yang

diberikan.

(6)

commit to user ABSTRAK

Mutiadanarwidya S.S,2011.TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.6.PK/PID/2009).Fakultas Hukum UNS.

Penelitian Hukum ini menelaah dari segi yuridis mengenai kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi nomor 6.PK/PID /2009.

Penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian normatif yang bersifat preskriptif yang mengunakan data sekunder, dimana Penulis mengumpulkan data- data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis putusan, buku literatur, dan perundang-undangan. Kemudian dari semua data yang terkumpul dilakukan analisa data deduksi dengan metode silogisme. Tujuan Penelitian Hukum ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum dari lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa alasan lembaga swadaya masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi adalah sebagai berikut:Pertama alasannya disebabkan mengenai masalah adanya kesalahan penerapan peraturan hukum oleh hakim tunggal pemeriksa Praperadilan pada putusannya. Kedua pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan tentang keabsahan penghentian penyidikan perkara korupsi dikarenakan Judex Facti salah menerapkan hukum.

(7)

commit to user

(8)

commit to user KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,

berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis

mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul “ANALISIS

KONSTRUKSI HUKUM PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI MUNGKID DALAM PENGAJUAN KASASI DAN ALAS HUKUM FORMIL HAKIM MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN KASASI PERKARA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS NOMOR 2631 K/PIDSUS/2009”.

Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-

syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta..

Atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama

melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini,

maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

2. Bapak Edy Herdyanto,SH.MH selaku Ketua Bagian Hukum Acara.

3. Bapak Bambang Santoso,S.H,M.Hum selaku Pembimbing Akademik

Penulis dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing Penulis

dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis

selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

(9)

commit to user

5. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah

banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh

studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.

6. Kedua orang tuaku yang telah memberikanku doa, kasih sayang, dan

didikan yang menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan

ini.

7. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan.

8. Sahabat-sahabatku Angkatan 2007 Reguler, Teman-teman Angkatan 2007

Reguler, teman-teman kuliah, dan semua pihak yang membantu dalam

penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari

kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh

karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima

dengan senang hati

Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan

Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum ini, atas amal

baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

(10)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRAK (BAHASA INGGRIS)...vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 11

1. Tinjauan Umum tentang Lembaga Swadaya Masyarakat... 11

a. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat... 12

b. Peran dan ciri Lembaga Swadaya Masyarakat... 12

2. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan ... 13

a. Pengertian Pra Peradilan ... 13

b. Tujuan Pra Peradilan ... 13

c. Wewenang Pra Peradilan dan Acara Pra Peradilan... 14

(11)

commit to user

3. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali ... 16

a. Tujuan Peninjauan Kembali ... 16

b. Alasan Peninjauan Kembali ... 16

c. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali ... 18

d. Tata cara Peninjauan kembali ... 18

e. Asas-asas Peninjauan Kembali ... 19

4. Tinjauan Umum tentang Korupsi... 21

a. Istilah Korupsi ... 21

b. Pengertian Perbuatan Korupsi... 22

c. Macam-macam korupsi ... 23

B. Kerangka Pemikiran... 27

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan... 30

1. Deskripsi Kasus... 30

2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan ... 32

3. Alasan Pemohon mengajukan Pra Peradilan... 32

4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 33

5. Alasan-alasan Pengajuan Kasasi ... 33

6. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali ... 38

7. Pembahasan ...42

B. Kedudukan Hukum Lembaga Swadaya masyarakat Sebagai Pemohon Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pra Peradilan tentang Keabsahan Penghentian Penyidikan ... 47

1. Pertimbangan Hakim PK ... 47

2. Amar Putusan Hakim Kasasi ... 53

3. Pembahasan... 56

(12)

commit to user BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 60

B. Saran-Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(13)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia

merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia

menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang

Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–hak asasi manusia, misalnya

hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana

yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka

diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk me

Hukum merupakan upaya dari dari suatu Negara untuk menjamin

perlindungan terhadap hak-hak dan demi kepentingan umum. Hal ini tidak

terlepas dari tujuan nasional Negara Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajuklan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam

alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara hukum atau “Rule of

Law” dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang

bersifat universal, seperti : Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi,

legalitas dari tindakan Negara/pemerintahan dalam arti tindakan aparatur Negara

yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan

yang bebas.

Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia dalam tindak pidana dibuktikan dengan adanya proses peyelidikan,

penyidikan, penahanan, penuntutan, pra peradilan, pemeriksaan sidang,

pembuktian, kemudian putusan pengadilan yang dilakukan oleh hakim sebagai

pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk

(14)

commit to user

mengadili. Semua proses tersebut dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan

demi tetap tegaknya hukum.

Terhadap putusan pengadilan yang tidak memuaskan terdakwa atau

penuntut umum, maka dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang

berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

permohonan Peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

Undang-Undang. Berbagai upaya hukum tersebut diadakan untuk menjamin hak

asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Karena hakim adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dan juga

kekhilafan.

Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan dan

pembagian kekuasaan dalam Negara, serta pemerintahan berdasarkan hukum

tersebut harus dijamin dalam suatu konstitusi. Selain itu, konstitusi tersebut harus

pula menjamin kemerdekaan warga Negara untuk mengeluarkan pikiran dengan

lisan maupun tulisan, menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan

sebagainya, dengan kata lain harus menjamin kehidupan berdemokrasi. Untuk itu

semua harus ada lembaga yang bertugas menegakkan konstitusi, demokrasi dan

hukum, yaitu :Lembaga Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 24 Ayat (1) UUD

1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang.

Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia dikenal adanya

upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari

banding dan kasasi diatur dalam Bab XVII KUHAP, sedangkan upaya hukum luar

biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali diatur dalam

Bab XVIII KUHAP.

Upaya hukum dapat dilakukan terdakwa maupun penuntut umum terhadap

putusan hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dengan mengajukan banding,

kecuali terhadap putusan bebas. Apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak

menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka dapat mengajukan kasasi. Upaya

(15)

commit to user

KUHAP Bab XVII. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh terpidana

terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

adalah Peninjauan Kembali. Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan upaya

hukum luar biasa, karena sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas

kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan

hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (gezag van gewijsde) tidak bisa

diubah lagi. Asas kepastian hukum itu disebut neb is in idem, artinya tidak boleh

terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama.

Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar

biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali

dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu

adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian

hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan.

Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim

secara manusiawi.

Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk menemukan

kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun demikian, demi

kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat dilakukan satu kali

saja. Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar :

1. terdapat keadaan baru (Novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya

akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu

diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

2. dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,

akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang

dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang

lain.

3. putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau

(16)

commit to user

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian di revisi dengan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004, menetapkan bahwa "setiap orang, yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib

dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan

kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap". Ketentuan ini

dikenal sebagai "asas praduga tidak bersalah"( presumption ofinnocence ), yang

kemudian diatur oleh KUHAP di dalam Penjelasan Umum sub 3.e. dengan

rumusan yang sama. Jika dilihat dari kaca mata hukum, maka Undang-undang

No. 14 tahun 1970 merupakan salah satu dari latar belakang dan landasan

yuridis lahirnya Undang-undang No.8 Tahun 1982 tentang Hukum Acara

Pidana. Hal tersebut di atas merupakan salah satu dari dasar hukum dan latar

belakang lahirnya praperadilan sebagai salah satu fungsi dan wewenang

Pengadilan Negeri yang melembaga dan menjadi satu kesatuan di dalanmya.

Dalam rangka menegakkan keadilan dan kepastian hukum pembuat

undang-undang menciptakan suatu mekanisme atau sistem dalam KUHAP

tentang praperadilan yang merupakan suatu lembaga yang berwenang

memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan

maupun tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum.

Diadakannya suatu lembaga praperadilan seperti yang diatur dalam Pasal 77

sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah

untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak

tersangka/terdakwa atas upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau

penuntut umum.

Keberadaan praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan

terhadap hak-hak asasi (hak-hak tersangka dan terdakwa) manusia yang

sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara harizontal. Yang

dimaksud dengan pengawasan secara horizontal adalah pengawasan yang

dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut

(17)

commit to user

Seperti halnya pemeriksaan kasasi terhadap putusan praperadilan, maka

KUHAP juga tidak mengatur tentang pemeriksaan Peninjauan kembali (PK)

terhadap putusan praperadilan. Akan tetapi dalam praktik hukum sudah pernah

terjadi pemeriksaan peninjauan kembali oleh MA terhadap putusan praperadilan

yang didasarkan pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 21 UU

No. 14 Tahun 1970. Dengan demikian, pemeriksaan peninjauan kembali (PK)

tetap dapat dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan telaah yurudis

mengenai kedudukan LSM dalam permohonan peninjauan kasus korupsi yang

dihentikan penyidikannya. Untuk itu penulis terdorong untuk menulis Penulisan

Hukum dengan judul “TELAAH YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERMOHONAN

PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN

PRA PERADILAN TENTANG KEABSAHAN PENGHENTIAN

PENYIDIKAN PERKARA KORUPSI (Studi Kasus Putusan MA No. 6/

PK/ Pid/ 2009)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Lembaga Swadaya masyarakat mempunyai kedudukan hukum (legal

standing) sebagai pemohon pemeriksanaan peninjauan kembali terhadap

putusan para peradilan tentang keabsahan penhentikan penyidikan perkara

korupsi ?

2. Apakah terhadap putusan para peradilan tentang keabsahan penghentian

(18)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan

penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud

penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini

adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga swadaya masyarakat dalam

permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan para

peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara korupsi

b. Untuk mengetahui langkah hukum yang dilakukan oleh lembaga swadaya

masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali terhadap

putusan para peradilan tentang keabsahan penhentian penyidikan perkara

korupsi.

2. Tujuan Subjektif

a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun

penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam

meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman

Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan

hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti

bagi penulis.

c. Memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan

yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari

penelitian ini adalah :

(19)

commit to user

a. Merupakan salah satu sarana bagi Penulis untuk mengumpulkan data

sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk

mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk sedikit memberi sumbangan pengetahuan dan pikiran dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada

khususnya.

c. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani

kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan

mengembangkan kemampuan Penulis dalam bidang hukum sebagai bekal

untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum maupun

untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri

ini agar dapat ditegakkan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan

serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan

masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian

1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji,

kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang

(20)

commit to user

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Menurut Peter

Mahmud Marzuki, ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai preskriptif dan

terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan

hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan

norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar

prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam aturan hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2006: 41).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical

approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2006: 93). Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus.

4. Jenis dan Sumber Penelitian

Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini

berupa jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan

dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan

kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-

arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.

Bahan hukum yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi :

1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi,

(21)

commit to user

4) Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 6/ PK/ Pid/ 2009

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain

sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan -

bahan dari internet.

5. Teknik Pengumpulan Sumber Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka dan rujukan

internet untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

6. Teknik Analisis Penelitian

Dalam penelitian ini, permasalahan hukum akan dianalisis dengan dengan

logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian

ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat

membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut

diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir

adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah.

Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus

M.Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan

oleh Aristoteles, pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis

mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat

khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion

(Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran

hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis

minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip

(22)

commit to user

menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat

individual ( Johnny Ibrahim, 2008:249).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi

penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat

bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang

melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai

tinjauan umum tentang tinjauan tentang lembaga swadaya

masyarakat, tinjauan tentang pra peradilan, tinjauan tentang

peninjauan kembali dan tinjauan tentang korupsi.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan

pembahasan yaitu tentang kedudukan lembaga swadaya

masyarakat dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali

terhadap putusan pra peradilan tentang penghentian pengyidikan

perkara korupsi.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan

pembahasan permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

(23)

commit to user

BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan

nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non

pemerintah (Ornop) dewasa ini keberadaanya sangat mewarnai kehidupan

politik di Indonesia. Diperkirakan saat ini lebih dari 10.000 LSM beroperasi

di Indonesia baik ditingkat nasional, propinsi maupun di tingkat

kabupaten/kota, dimana dari tahun ketahun jumlah ini semakin bertambah.

Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan

teknologi informasi merupakan faktor-faktor yang mendorong terus

bertambahnya jumlah LSM di Indonesia.

Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula

dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar

4000-7000 LSM, maka pada tahun 2008 jumlah LSM menurut Departemen

Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM. Iklim segar yang dibawa oleh

angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya

penyaluran aspirasi.

Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan

berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Dominasi pemerintah pada

masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol

yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol

masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial

dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutan-

tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat

dan dilain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek

kehidupan yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidang-

(24)

commit to user

seiring dengan diberikannya kebebasan yang luas memberikan kesempatan

pada kelompok-kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai

bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai

asas dan tujuan masing-masing. Tidak ada lagi hegemoni ideologi yang

dijalankan lewat berbagai undang-undang yang mendudukan Pancasila

sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi seperti pada masa orde baru

yang menyebabkan aktifitas

LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses

demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik

khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah

maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu

yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.

Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta

yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM memiliki karakteristik

yang bercirikan: nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat

sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri ini menjadikan LSM

dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik

dan ekonomi.

Ciri-ciri LSM tersebut juga membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi

dan melayani kepentingan masyarakat yang tidak begitu diperhatikan oleh

sektor politik dan swasta. Kemunculan LSM merupakan reaksi atas

melemahnya peran kontrol lembaga-lembaga Negara, termasuk partai politik,

dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah

terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya

LSM, terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama

pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara,

tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi

terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.

Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan

tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-rochman menyebut pola hubungan

(25)

commit to user

pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara

kerja dan orientasi LSM.

2. Tinjauan Tentang Pra Peradilan

a. Pengertian Pra Peradilan

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Pra

Peradilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya

sebelum, atau mendahului, berarti ”Pra Peradilan” sama dengan

sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 1996:1).

Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang

pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang

diatur undang-undang ini tentang :

1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka.

2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

b. Tujuan Pra Peradilan

Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa

yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka,

supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum

serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.

Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai

dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun

perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan

penyidik pada waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang

(26)

commit to user

tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan

koreksi.

Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan

tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasibnya kepada

siapapun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk

menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan

terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR,

pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan

suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan

pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan

pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama

pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan

penuntutan.

c. Wewenang Pra Peradilan

1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa

2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi

4) Memeriksa permintaan rehabilitasi

d. Acara Pra Peradilan

Acara Pra Peradilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah

tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP),

pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau

penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti

kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81

KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut :

1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim

yang ditunjuk menetapkan hari sidang

2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya

(27)

commit to user

penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau

rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,

akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada

benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim

mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari

pejabat yang berwenang.

3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-

lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya

4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan

negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada Pra

Peradilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.

5) Putusan Pra Peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan lagi

pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu

diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1

sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).

6) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga

hal tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan jelas

dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP)

7) Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim itu

memuat pula :

(a) dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan

atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut

umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus

segera membebaskan tersangka.

(b) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian

penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau

penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.

(c) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan

atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan

(28)

commit to user

sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau

penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka

dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.

(4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita

ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam

putusan dicantukan bahwa benda tersebut harus segera

dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu

disita.

3. Tinjauan tentang Peninjauan Kembali

a. Tujuan Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali pertama kali diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal

19 Juli 1969 baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana

tetapi belum dapat dijalankan karena masih diperlukan peraturan

lebih lanjut mengenai beberapa persoalan. Peninjauan Kembali

adalah upaya hukum luar biasa untuk memperbaiki putusan yang

berkekuatan hukum tetap. Tujuannya agar pengadilan benar-benar

menjalankan keadilan, agar sendi-sendi hukum yang asasi di

masyarakat terlindungi (Usman Hamid,

http://www.hukumonline.com).

b. Alasan Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali dapat diajukan atas dasar alasan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu :

(1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan

kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan

penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu

(29)

commit to user

(2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa

sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai

dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu

ternyata telah bertentangan satu sama lain.

(3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dalam Pasal 263

ayat (2) KUHAP tersebut maka terhadap suatu putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan

permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu

perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi

tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan oleh

terdakwa atau ahli warisnya sesuai dengan Pasal 263 ayat (1)

KUHAP. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa

permohonan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa,

berlaku ketentuan seperti dalam Pasal 266 KUHAP, sebagai berikut

:

(1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan bahwa

permintaan Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa

putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu tetap berlaku

disertai dasar pertimbangannya.

(2) Apabila Mahkamah Agung mambenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dinyatakan

Peninjuauan Kembali itu dan menyatakan putusan yang dapat

berupa :

(a) Putusan bebas.

(b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

(30)

commit to user

(d) Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

c.Pihak Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali.

Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai orang

yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali, maka dibuka

kemungkinan bagi terdakwa atau ahli warisnya untuk mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali, terhadap suatu putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan pengecualian

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut,

maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh

penasehat hukum tanpa ada kuasa dari terpidana sendiri harus

dinyatakan tidak dapat diterima, karena diajukan oleh orang yang

tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan Kembali

yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak

dapat diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris

berhubung terpidana masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa

dari terpidana sehingga belum berhak mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:298 ).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk

mengajukan Peninjauan Kembali hanya diberikan kepada terpidana

atau ahli warisnya dan hanya terhadap putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak memuat

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jadi hak ini

tidak diberikan kepada Jaksa Agung.

d. Tata Cara Peninjauan Kembali.

Tata cara pengajuan Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal

264 KUHAP yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Permintaan Peninjauan Kembali diajukan kepada panitera

Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat

(31)

commit to user

b) Permintaan Peninjauan Kembali disertai alasan-alasannya.

Alasan-alasan tersebut dapat diutarakan secara lisan yang

dicatat oleh panitera yang menerima Peninjauan Kembali

tersebut.

c) Permintaan Peninjauan Kembali oleh panitera ditulis dalam

surat keterangan yang ditandatangani panitera serta pemohon,

dicatat dalam daftar dan dilampirkan pada berkas perkara.

d) Ketua Pengadilan Negari menunjuk hakim yang tidak

memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan

Kembali, untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan

kembali itu memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

e) Dalam pemeriksaan itu pemohon dan penuntut umum ikut

hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

f) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan

yang ditandatangani oleh hakim, penuntut umum, pemohon

dan panitera dan berdasarkan berita acara tersebut dibuat berita

acara pendapat yang ditandatangani hakim dan panitera.

g) Ketua pengadilan melanjutkan permintaan Peninjauan

Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara

pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah

Agung yang tembusan kata pengantarnya sampai kepada

pemohon dan penuntut umum.

e. Asas-Asas Peninjauan Kembali.

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Asas tersebut diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP

yang menegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam

putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana

yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Mahkamah

Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang melebihi

(32)

commit to user

menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana

yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 4

KUHAP.

Asas pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi

putusan semula ini sejalan dengan tujuan yang terkandung

dalam lembaga upaya Peninjauan Kembali yaitu membuka

kesempatan kepada terpidana untuk membela

kepentingannya agar terlepas dari ketidakbenaran penegakan

hukum ( M.Yahya Harahap, 2002:639 ).

2) Permintaan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan

pelaksanaan putusan.

Asas tersebut tidak mutlak menangguhkan maupun

menghentikan pelaksanaan eksekusi. Peninjauan Kembali

tidak merupakan alasan yang menghambat apalagi menghapus

pelaksanaan pelaksanaan putusan sehingga proses

permohonan Peninjauan Kembali dapat berjalan namun

pelaksanaan putusan juga tetap berjalan.

Dalam hal-hal yang eksepsional dapat dilakukan

penangguhan penghentian pelaksanaan putusan sehingga

ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP dapat sedikit diperlunak

menjadi permintaan Peninjauan Kembali tidak secara mutlak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.

Anjuran Pasal 268 ayat (1) KUHAP tersebut banyak yang

menyalahgunakan sehingga sikap yang seperti itu dapat

menimbulkan bahaya dan keguncangan dalam pelaksanaan

penegakan hukum, yang dikehendaki dalam Pasal tersebut

ialah sikap dan kebijaksanaan yang matang dan beralasan serta

mengkaitkan dengan jenis pidana maupun sifat dan kualitas

yang menjadi landasan permintaan Peninjauan Kembali (

(33)

commit to user

3) Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali.

Pasal 283 ayat (3) KUHAP membenarkan atau

memperkenankan Peninjauan Kembali atas suatu perkara

hanya satu kali saja. Asas ini disebut sebagai asas Nebis In

Idem yang dikemukakan dalam Pasal 76 KUHP, sedang dalam

perkara perdata diatur dalam Pasal 1918 BW. Asas ini juga

berlaku terhadap permintaan Kasasi dan Kasasi Demi

Kepentingan Hukum. Dalam Peninjauan Kembali, asas ini

lebih menyentuh rasa keadilan karena asas ini merupakan

suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan

dan dengan berani mengorbankan keadilan dan kebenaran

demi tegaknya kepastian hukum ( M.Yahya Harahap,

2002:640 ).

4. Tinjauan tentang Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin “ Corruptio “ atau “ Corruptus

yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “ Corruption “,

dalam bahasa Belanda “ Korruptie “ dan selanjutnya dalam bahasa

Indonesia dengan sebutan “ Korupsi “. Korupsi secara harafiah berarti

jahat atau busuk, sedangkan I. A. N Kramer ST menterjemahkan sebagai

busuk, rusak, atau dapat disuap. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi

berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak, atau suap (

Darwan Prinst, 2002 : 1 ).

Istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum di

Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt / Perpu / 013 /

1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan

juga dalam Undang-Undang No. 24 / Prp / 1960 tentang Pengusutan

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini

kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971

(34)

commit to user

tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang No. 31 tahun

1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 ( dua ) tahun

kemudian ( 16 Agustus 2001 ) dan kemudian diubah dengan Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.

Pengertian korupsi mengalami perkembangan sesuai dengan

perkembangan yang ada di masyarakat, dengan munculnya Undang-

Undang No. 3 Tahun 1971, pengertian korupsi mengalami perkembangan

karena adanya beberapa Pasal di dalam KUHP yang dimasukkan ke dalam

ketentuan Undang-Undang tersebut. Pengertian dari perbuatan korupsi

tercantum dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ), untuk ayat 1 yaitu :

(1) Barangsiapa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung dapat

merugikan keuangan negaradan atau perekonomian Negara atau

diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

(2) Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara

langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara.

(3) Barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal

209, 210, 337, 415, 416, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP.

(4) Barangsiapa yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

seperti dimaksud Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau oleh pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

(5) Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-

singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan

kepadanya seperti tersebut dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP tidak

melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu : “ Barangsiapa melakukan

(35)

commit to user

dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 melihat dari 2 segi Tindak

Pidana Korupsi yaitu Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif.

Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai

berikut :

(1) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara ( Pasal 2 Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 ).

(2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 3

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ).

(3) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan

memgingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan

atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap

melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 ).

(4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak

berbuat sesuatu jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

( Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).

(5) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

karena ada hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (

Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).

(6) Memberi atau menjanjikan kepada Hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili ( Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

(36)

commit to user

(7) Pemborong, ahli bangunan yang ada pada waktu membuat

bangunan, atau menjual bahan bangunan yang ada pada waktu

menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang

dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau

keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).

(8) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau

penyerahan barang bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud dalam huruf a ( Pasal 7 ayat (1) huruf b

Undang-Undang No.20 Tahun 2001 ).

(9) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keselamatan negara dalam keadaan perang ( Pasal 7 ayat (1) huruf c

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ).

(10) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyeahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang

sebagaimana dimaksud dalam huruf c ( Pasal 7 ayat (1) huruf d

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 ).

(11) Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus

atau untuk semantara waktu, dengan sengaja menggelapkan yang

satu surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau

membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau

digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

).

(12) Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau

(37)

commit to user

daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi ( Pasal 9

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(13) Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jawaban umum secara terus-menerus atau untuk

sementara waktu dengan sengaja mengelapkan, menghancurkan,

merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau

daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan di

muka pejabat yang berwenang yang dikuasai kerena jabatannya.

Atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, kta, surat,

atau daftar tersebut ( Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 ).

(14) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud

mengantungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,

atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, atau meneima pembayaran dengan potongan

atau mengerjakan sesuatu bagi diinya sendiri ( Pasal 12 huruf e

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(a) Pada waktu menjalankan tugas m,eminta, menerima, atau

memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara yang lain atau Kas Umum tersebut

mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal

tersebut bukan merupakan hutang ( huruf f ).

(b) Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima

pekerjaan, atau menyerahkan barang seolah-olah merupakan

hutang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal trsebut bukan

merupakan hutang ( huruf g ).

(c) Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah Negara

yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan

(38)

commit to user

dikethui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, atau

(d) Baik langsung ataupun tidak langsung dengan sengaja turut serta

dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat

dilakukan perbuatan, untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan

untuk mengurus atau mengawasinya ( huruf i ).

(15) Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat

kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukan itu ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 ).

Sedangkan Korupsi Pasif sebagai berikut :

(1) Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima

pemberian atau janji karena berbuat atau idak bertentangan dengan

kewajiban ( Pasal ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(2) Hakim atau Advokad yang menerima pemberian janji untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang

diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili ( Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 ).

(3) Orang yang menerima menyerahkan bahan dan keperluan Tentara

Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

membiarkan perbuatan orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf a atau huruf c Undang-Undang Nomo 20 Tahun 2001 ( Pasal 7

ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(4) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negra yang menerima hadiah

atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga,

bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atu menurut

(39)

commit to user

hubungan dengan jabatannya ( Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 ).

(5) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah

atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau

janji tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau

tidak melkukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanny yang

bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 12 huruf a dari huruf b

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(6) Hakim menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut

diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan mempengaruhi nasihat

atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkaran yang

diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ( Pasal 12 huruf d

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ).

(7) Setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima

gratifikasi yang diberikan berhubunggan dengan jabatannya dan

berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya ( Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) (R. Wiyono, 2005).

B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pada proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik

tinjauan pustaka dan paparan latar belakang di atas, dalam kaitannya dengan masalah

(40)

commit to user

pemikiran yang tentunya akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih riil

[image:40.595.105.497.163.494.2]

mengenai alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian ini.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Penjelasan Kerangka Pemikiran

Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) disebut sebagai upaya hukum luar

biasa karena UU memberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali

dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu. Ketatnya persyaratan untuk itu

adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian

hukum, karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan.

Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan hakim

secara manusiawi. Tujuan dibukanya lembaga Peninjauan Kembali adalah untuk

menemukan kebenaran hukum dan keadilan yang sesungguhnya. Namun

demikian, demi kepastian hukum maka Peninjauan Kembali ini hanya dapat

(41)

commit to user

Terhadap putusan praperadilan dapat atau tidaknya diajukan upaya hukum

dijelaskan dalam Pasal 83 KUHAP, yang isinya: Terhadap putusan praperadilan

dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, 80 dan 81 KUHAP tidak dapat

dimintakan banding; Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan

praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau

penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi

dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, maka

permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh penasehat hukum tanpa ada

kuasa dari terpidana sendiri harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena

diajukan oleh orang yang tidak berhak. Demikian juga permohonan Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh istri terpidana harus pula dinyatakan tidak dapat

diterima, karena sebagai istri belum menjadi ahli waris berhubung terpidana

masih hidup dan tidak mendapat surat kuasa dari terpidana sehingga belum

(42)

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengajuan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Pra Peradilan tentang

Keabsahan Penghentian Penyidikan

1. Deskripsi Kasus

Pada bulan September Tahun 2005 telah dilakukan penyidikan dugaan

tindak pidana penggelapan dan atau penyimpangan pajak oleh PPNS Dirjen

Pajak terhadap tersangka Paulus Tumewu selaku Dirut PT. Ramayana Lestari

Sentosa. Berdasar Surat Nomor B.5845/0.1.4/Epp.2/II/2005 tertanggal 15

Nopember 2005, Kejaksaan Tinggi Jakarta menyatakan hasil pemeriksaan atas

perkara tersebut sudah lengkap (P21). Kejaksaan Tinggi dalam perkembangan

penanganan perkara ini telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKPP) dengan alasan tersangka telah membayar kekurangan dan

dendanya. Berdasar KUHAP Pasal 140 penghentian penuntutan adalah karena

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, Penuntutan dihentikan

demi hukum dalam KUHP Pasal 76, 77, 78 dan seterusnya antara lain ne bis

in idem, tersangka meninggal dunia, dan kadaluarsa

Berdasar argumen tersebut tidak terdapat alasan penghentikan

penuntutan berdasar tersangka telah membayar kerugian Negara, penghentian

penuntutan harus berdasar karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa

tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan

demi hukum. Dengan demikian tindakan Termohon mengeluarkan Surat

Ketetapan Penghentian Penuntutan adalah tidak sah karena tidak berdasar

ketentuan sebagaimana diatur KUHAP.

2. Identitas Lengkap Pemohon dan Termohon Pra Peradilan

(43)

commit to user

1) Nama : BOYAMIN

Tempat lahir : Ponorogo

Tanggal lahir : 20 Juli 1968

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. Jamsaren No.60 Serengan Surakarta

Pekerjaan : Swasta

2) Nama : SUPRIYADI

Tempat lahir : Kebumen

Tanggal lahir : 8 Pebruari 1981

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl.Asahan II/3 Rt.02 Rw.15 Bencongan Curug,

Tangerang

Pekerjaan : Mahasiswa

Para Pemohon Peninjauan Kembali selaku untuk dan atas nama

PERKUMPULAN MASYARAKAT ANTI KORUPSI INDONESIA

(MAKI) dahulu Pemohon Praperadilan

b. Termohon Pra Peradilan

PEMERINTAH R.I. Cq. JAKSA AGUNG R.I. Cq. KEPALA

KEJAKSAAN TINGGI DKI JAKARTA, berkedudukan di Jl. H.R.Rasuna

Said No.2 Jakarta Selatan; Termohon Peninjauan Kembali dahulu

Termohon Praperadilan.

3. Alasan Pemohon Mengajukan Pra Peradilan

a. Bahwa pertimbangan penghentian penuntutan atas dasar tersangka telah

membayar kerugian Negara dan atau membayar kekurangan menjadikan

seorang warga Negara istimewa dan kebal hukum. Hal ini sungguh

(44)

commit to user

hukum. Pengembalian dan atau pembayaran kekurangan tidak menghapus

pidana;

b. Bahwa dalam UU Perpajakan harus dibedakan denda sebagai sangsi

administrasi dan denda sebagai sangsi pidana. Apabila

pelanggaran/kejahatan pajak telah memasuki tahapan penyidikan maka

yang berlaku adalah sangsi pidana, artinya pembayaran kekurangan dan

denda harus berdasar keputusan yang dikeluarkan Majelis Hakim

persidangan pidana. Denda sebagai sangsi administrasi hanya berlaku

apabila belum/tidak dilakukan proses pidana berupa penyidikan, apalagi

sudah dinyatakan lengkap (P21) maka pembayaran tidak menghapus

pidananya;

c. Bahwa berdasar ketentuan Pasal 44 B UU No.6 Tahun 2000 Jaksa Agung

dapat menghentikan penyidikan atas dasar permintaaan Menteri

Keuangan, dengan demikian kewenangan Termohon sebagai bagian dari

lembaga Kejaksaan adalah menghentikan Penyidikan, bukan Penuntutan

Penghentian Penuntutan tetap harus berdasar ketentuan KUHAP;

d. Bahwa dengan dinyatakan lengkap (P21) perkara ini maka penyidikan

telah selesai dan kewenangan berpindah kepada Jaksa selaku Penuntut

Umum, dengan demikian proses penyidikan sudah tidak dihentikan lagi;

(e) Bahwa karenanya tindakan Termohon sebagaimana tersebut di atas jelas

dan nyata sebagai bentuk penuntutan yang dilakukan secara tidak sah dan

melawan hukum sehingga oleh karenanya harus dibatalkan dan atau batal

demi hukum dan selanjutnya Termohon diperintahkan untuk melakukan

proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan KUHAP;

(f) Bahwa berdasar Pasal 80 KUHAP, sebagai pihak yang berkepentingan

kami wajib melakukan tindakan hukum permohonan Pra peradilan atas

dihentikannya Penyidikan secara tidak sah dan melawan hukum;

(g) Bahwa berdasar poin 12 sebelumnya dijelaskan pihak ketiga yang

berkepentingan dapat diartikan secara luas sehingga masyarakat dapat

mengajukan permohonan pra peradilan. Masyarakat disini dapat diwakili

(45)

commit to user

yang menyatakan apabila tidak ada pelapor atau penyidik yang

mengajukan pra peradilan, maka masyarakat yang diwakili oleh LSM atau

Ormas dapat mengajukannya;

(h) Bahwa berdasar hal-hal tersebut di atas jelas dan nyata, Pemohon selaku

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anti Korupsi yang berdasar UU

Nomor 28 Tahun 1999 jo UU Nomor 31 Tahun 1999, mempunyai hak dan

kewajiban serta berperan bersama-sama dalam menciptakan

penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek korupsi,

kolusi dan nepotisme;

(i) Bahwa oleh karenanya atas tindakan Termohon tersebut, jelas dan nyata

kepentingan Pemohon dan seluruh Warga Masyarakat Indonesia dan

terciptanya penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari praktek

KKN menjadi terhambat justru oleh aparat penegak hukum itu sendiri,

sehingga demi kepastian pelaksanaan dan p

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Kita akan lakukan Instalasi kabel untuk Phase / tegangan untuk Stop Kontak terlebih dahulu, menggunakan kabel merah sebagai tanda kabel Instalasi Phase /

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu dasar dikabulkannya gugatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) atas Penerbitan

Hal ini ditunjukan oleh beberapa perilaku siswa yaitu: belum memahami dengan baik cara bergaul yang baik antara siswa dengan guru, kurang menghargai guru yang sedang mengajar di

Sesudah dilakukan proses rekonstruksi citra menggunakan software koreksi_ortho.exe dan DEM-SRTM didapat nilai RMS terjadi perubahan hal ini disebabkan karena

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu ditolaknya permohonan gugatan Penggugat (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) terhadap

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu tidak dapat diterimanya permohonan banding Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruh

Interpretasi dan Modifikasi Model : Pengujian terhadap nilai residual mengindikasikan bahwa secara signifikan model yang sudah dimodifikasi tersebut dapat diterima