• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN SOFTWARE KOREKSI_ORTHO.EXE DARI LAPAN UNTUK KOREKSI GEOMETRIK CITRA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN SOFTWARE KOREKSI_ORTHO.EXE DARI LAPAN UNTUK KOREKSI GEOMETRIK CITRA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMANFAATAN SOFTWARE KOREKSI_ORTHO.EXE DARI LAPAN

UNTUK KOREKSI GEOMETRIK CITRA DI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI

diajukan oleh

Dani Fajar Ardianto

11.01.2961

kepada

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

AMIKOM YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2014

(2)
(3)

3

UTILIZATION OF LAPAN KOREKSI_ORTHO.EXE SOFTWARE FOR GEOMETRIC CORRECTION IMAGE IN THE AREA OF DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PEMANFAATAN SOFTWARE KOREKSI_ORTHO.EXE DARI LAPAN UNTUK KOREKSI GEOMETRIK CITRA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Dani Fajar Ardianto Hanif Al Fatta Jurusan Teknik Informatika STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

ABSTRACTION

SPOT - 4 satellite has advantages in sensor system that carries two identical sensors called HRVIR ( Haute Resolution Visible Infrared ) . Each sensor can be set pengamatanya left and right axes , cut toward the satellite trajectory , at -27 ˚ to +27 ˚ , means the satellite SPOT - 4 is capable of recording up to 7 coverage of the left and right fields . Thus satellite data recorded is divided into two categories: the data nadir SPOT data recorded perpendicular to the surface of the earth right angle sensor or greater than one degree and data SPOT oblique ( skew ) that the data recorded by the sensor angle is greater than one degree . The purpose of this thesis is to use image processing initial data geometric correction and Digital Elevation Models Shuttle Radar Topography Mission - ( DEM - SRTM ) satellite image data for correction of remotely sensed data SPOT - 4 level 2A oblique , is necessary because the position of the object in the image recorded with the angle sensor produces more than one degree change in position ( shift ) relief.

In this study broadly divided into 2 data processing methods , namely Geometric correction and orthorectification . Geometric correction is done by using the method of polynomial and Landsat orthorectification as a reference in determining the point belt ( GCP / Ground Control Point ) . Orthorectification digunaan to geometrically correct image , also correcting the image based on geographical altitude . The process of using the software koreksi_ortho.exe orthorectification.

The main results obtained from the geometric correction process a SPOT - 4 image orthorectification . Based on the decision taken GCP point of Landsat orhorektifikasi and do orthorectification process results obtained root mean square error ( RMSE ) of 0.96 so it can be concluded that the SPOT - 4 image orthorectification results orthorectification process has an accuracy equal to the accuracy of the USGS Landsat orthorectification product which has an accuracy 30 meters.

Keywords : 4 Oblique SPOT , Landsat orthorectification , geometric correction , polynomial , orthorectification , DEM - SRTM , SPOT - 4 image orthorectification

(4)

4 1. Pendahuluan

Orthorektifikasi merupakan sistem koreksi geometrik untuk mengeliminasi kesalahan akibat perbedaan tinggi permukaan bumi serta proyeksi akusisi citra yang umumnya tidak orthogonal (oblique). Othorektifikasi adalah proses memposisikan kembali citra sesuai lokasi sebenarnya, dikarenakan pada saat pengambilan data terjadi pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring pada satelit dan variasi topografi. Orthorektifikasi selain digunakan untuk mengkoreksi citra secara geometrik, juga mengkoreksi citra berdasarkan ketinggian geografisnya. Koreksi geometrik jika tidak menggunakan orthorektifikasi, maka puncak gunung akan bergeser letaknya dari posisi sebenarnya, walaupun sudah dikoreksi secara geometrik. Sumber (Purwadhi, 2008).

Proses orthorektifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan menggunakan software Koreksi_Ortho.exe , software ini di kenal dengan nama koreksi ortho yang dikeluarkan dari LAPAN.

2. Landasan Teori 2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Sumber (Lillesand dan Kiefer, 1979).

Dalam definisi yang lain penginderaan jauh dianggap sebagai suatu teknik perolehan dan analisis informasi tentang bumi seperti yang didefinisikan sebagai berikut, penginderaan jauh ialah berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan data dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan dari permukaan bumi. Sumber (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1986).

Penginderaan jauh dalam penjelasan yang lain merupakan teknik yang berkembang menjadi ilmu karena dalam perkembanganya penginderaan jauh melingkupi beberapa sistem yang perlu ditangani oleh pakar-pakar yang menguasai bidangnya sendiri-sendiri (Sutanto, 1987). Sehingga menurut Sutanto pengertian penginderaan jauh merupakan suatu ilmu sedangkan bila digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau pekerjaanya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka.

Dalam bukunya Sutanto (1986) memberikan penjelasan Penginderaan Jauh merupakan perolehan data dan informasi yang berasal dari data tentang

(5)

5

obyek atau bahan (sasaran) yang terletak dipermukaan bumi di atmosfer dengan menggunakan sensor yang dipasang pada wahana yang berjarak jauh terhadap sasaran yang diindera. Untuk mengadakan pengukuran terhadap interaksi antara sasaran penginderaan dan radiasi elektromagnetik, pengukuranya pada umumnya dilakukan dengan cara Multispektral.

2.2 Citra Digital

Data penginderaan jauh dapat berbentuk citra format analog dan citra format digital. Citra analog secara teoritis diartikan sebagai citra yang cara perekamanya dilakukan setiap titik dalam sinyal-sinyal video dan konversi kedalam gambar (Purwadhi, 2010). Sedangkan citra format digital adalah citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi dan ditampilkan dalam logika biner (Danoedoro, 1996). Citra ini meliputi citra yang dihasilkan melalui bantuan penyiam (scanner) yang dihasilkan dengan bantuan perangkat lunak CAD (Computer Aided Design), maupun citra yang diperoleh dari sistem perekaman melalui sensor yang dipasang pada media magnetik (disket, harddisk, compact disk, maupun CCT atau (Computer Compatible Tape) dan dapat ditampilkan menjadi gambar pada layar monitor.

Citra penginderaan jauh terdiri dari bagian terkecil yang disebut pixel (picture element). Tiap pixel mempunyai posisi tertentu dalam bentuk baris dan kolom yang menyajikan suatu sampling kontinu dari permukaan bumi. Tiap pixel mempunyai nilai bervariasi yang biasa disebut derajat keabuan (grey level). Nilai pixel (derajat keabuan) pada berbagai lokasi pixel sangat bervariasi dengan julat nilai 0 sampai 255 (sistem 8bit = 2 ). Nilai ini menunjukkan gradasi tingkat keabuan tiap pixel dengan pembagian tingkat dari nilai 0 (hitam) berturut-turut hingga nilai 255 (putih sangat cerah) ( Jensen 1986). Pengubahan citra kontinu menjadi digital diperlukan proses pembuatan kisi-kisi arah horizontal dan vertikal, sehingga diperoleh gambar dalam bentuk array dua dimensi. Proses tersebut dikenal sebagai proses digitalisasi/sampling. Citra monochrome atau citra hitam-putih merupakan citra satu kanal, di mana citra f(x, y) merupakan fungsi tingkat keabuan dari hitam ke putih; x menyatakan variabel baris (garis jelajah) dan y menyatakan variabel kolom atau posisi di garis jelajah.Sebaliknya citra bewarna dikenal juga dengan citra multi-spektral.

2.3 Landsat Orthorektifikasi

Pada tahun 1972, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan sebuah satelit bernama ERST-1 sebagai bagian awal dari

(6)

6

misi Earth Observing Sistem (EOS). EOS terdiri dari komponen ilmiah dan sistem informasi data yang memberikan dukungan kepada sejumlah satelit terkoordinasi dengan orbit kutub dan orbit beringklinasi rendah untuk observasi global jangka panjang dari permukaan daratan dan lautan (EOSAT, 1999). Keberhasilan satelit ini dilanjutkan dengan peluncuran satelit kedua dengan nama Landsat-1, hingga tahun 1999 telah diluncurkan sebanyak 6 satelit (landsat-1 sampai Landsat-7).

2.4 Karakteristik Citra Satelit SPOT

SPOT (Systeme Probatoire de I'Observation de la Terre) adalah proyek kerja sama antara Prancis, Swedia dan Belgia di bawah koordinasi CNES (Centre National d'Etudes Spatiales), badan ruang angkasa Prancis. SPOT-1 diluncurkan pada 23 Februari 1986 dari stasiun Peluncuran Kourou, Guyana Prancis dengan membawa dua sensor identik yang disebut HRV (Haute Resolution Visibel, Resolusi Tinggi Pada Cahaya Tampak). Disebut sensor identik karena kedua sensor tersebut sepenuhnya sama. Sumber (Danoedoro 1996 : 31).

SPOT 4 diluncurkan pada tanggal 24 Maret 1998 dan fitur perbaikan besar atas SPOT 1, 2, dan 3. Fitur utama adalah modifikasi HRV, menjadi resolusi tinggi tampak dan inframerah (HRVIR) instrumen.Band ini memiliki tambahan pada panjang gelombang inframerah pertengahan (1,58-1,75 mikron), dimaksudkan untuk memberikan kemampuan untuk pengintaian geologi, vegetasi. Satelit ini berada dalam ketinggian 832 km dengan sudut ingklinasi 98.7 (dan equator crossing pada pukul 10.30 pagi) polar orbit kembali kelokasi yang sama setiap 28 hari, akan tetapi memungkinkan untuk off-nadir viewing (pengamatan menyamping) setiap empat hari tergantung dari lokasi lintang, karena masing-masing sensor dapat diatur sumbu pengamatanya kekiri dan kekanan. Melalui mekanisme pengamatan menyamping ini pula dapat dihasilkan citra stereoskopis berdasarkan dua tanggal perekaman yang berbeda.Sumber (http://spotimage.fr/).

Penomeran pada citra SPOT menggunakan sistem KJ berdasarkan standar penomeran dari Kedeputian Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) Indonesia. Sistem ini mengacu pada lintasan dimana cara satelit SPOT-4 merekam data secara nadir dan condong (oblique, off nadir) sampai tujuh bidang liputan kekiri dan kekanan pada suatu wilayah dengan sudut sensor -27 (barat) sampai dengan +27 derajat arah (timur). Data satelit yang direkam dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu data SPOT nadir dimana sudut

(7)

7

sensor lebih kecil dari satu derajat dan data oblique (oblique, off nadir) dengan sudut sensor lebih besar dari satu derajat. Sumber (Muchlisin 2008).

2.5 Distorsi Geometrik dan Radiometrik

Distorsi geometrik merupakan distorsi spasial, yaitu terjadi pergeseran posisi spasial citra yang ditangkap.Distorsi geometrik ini disebabkan oleh kesalahan yang terjadi seperti kerusakan sensor (internal), platform (eksternal) dan gerakan bumi.Sumber (Jensen, 1986).

Distorsi Radiometrik muncul dalam bentuk distribusi intensitas yang tidak tepat. Sumber distorsi ini adalah kamera (internal) dalam bentuk shading effect, atmosfer (eksternal) dalam bentuk besarnya intensitas yang tidak sama walaupun untuk obyek yang kategorinya sama, akibat adanya kabut, posisi matahari atau substansi atmosfer lainnya. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan koreksi posisi secara pergeseran geometrik adalah dengan menggunakan metode transformasi bilinier dan least square Jumlah pasangan persamaan diatas adalah sebanyak ground control points yang digunakan. Salah satu citra dijadikan acuan (koordinat pixel (X, Y )), maka koordinat pixel citra yang diregistrasi (X, Y ) dapat dihitung dari persamaan diatas dengan menyelesaikan koefisien a, b, c, dan d. Sumber (Suhendra, 2008).

2.6 Titik Kontrol Tanah (GCP)

Penentuan GCP (Ground Control point) atau titik kontrol tanah adalah proses penandaan lokasi yang berkoordinat berupa sejumlah titik yang diperlukan untuk kegiatan mengkoreksi data dan memperbaiki keseluruhan citra yang akhirnya disebut sebagai proses rektifikasi. Rektifikasi geometrik merupakan proses untuk menjadikan geometrik citra menjadi planimetrik (Haralik,1973 dalam Jensen,1986). Proses ini memerlukan titik kontrol medan (GCP/Ground Cotrol Point) yang telah diketahui pada citra dengan kordinat tertentu dan mengenali lokasi yang sama pada citra (kolom dan baris), sehingga suatu pixel tidak hanya diketahui kolom dan barisnya dalam meter setelah rektifikasi selesai, namun juga diketahui pula koordinatnya pada proyeksi, peta standar. Tingkat akurasi GCP sangat tergantung pada jumlah sampel GCP terhadap lokasi dan waktu pengambilan.Lokasi ideal saat pengambilan GCP adalah perempatan jalan, sudut jalan, perpotongan jalan perindustrian, kawasan yang memiliki warna mencolok, persimpangan rel dengan jalan dan benda/ monumen/ bangunan yang mudah diidentifikasi atau

(8)

8

dikenal.Perlu dihindari pohon, bangunan, dan tiang listrik selain sulit diidentifikasi, karena kesamaannya yang tinggi.

Distorsi geometrik citra terbagi dalam dua golongan, yaitu distorsi yang bersifat sistematik dan tidak sistematik. Distorsi yang bersifat sistematik ini dapat dimodelkan sedangkan yang bersifat tidak sistematik tidak dapat dimodelkan (Jensen, 1986). Perangkat lunak pengolah citra yang ada belum dilengkapi dengan modul untuk mengevaluasi keandalan koreksi geometrik berdasarkan titik cek. Selama ini, ketelitian koreksi geometrik diwujudkan dengan harga RMSE ( Root Mean Square Error ) titik kontrol tanah padahal seharusnya dari harga RMSE titik cek.

Distorsi geometrik yang dapat dikoreksi dengan analisis dari karakteristik sensor dan efemeris orbit adalah scan skew, nonlinearitas kecepatan scaningmirror, distorsi panoramik, kecepatan wahana, dan geometrik perspektif temasuk juga kelengkungan bumi (Jensen, 1986). Sedangkan kesalahan-kesalahan yang hanya bisa dikoreksi dengan menggunakan titik kontrol medan adalah posisi sensor (roll, pitch, yaw) dan ketinggian (altitude).

2.7 Ketelitian Geometrik

Distorsi geometrik adalah ketidaksempurnaan geometrik citra yang terekam pada saat pencitraannya, hal ini menyebabkan ukuran, posisi, dan bentuk citra menjadi tidaksesuai dengan kondisi sebenarnya. Ditinjau dari sumber kesalahannya, distorsi geometrik disebabkan oleh kesalahan internal dan kesalahan eksternal. Kesalahan internal lebih banyak disebabkan oleh geometrik sensor dan bersifat sistematik sedangkan kesalahan eksternal disebabkan oleh bentuk dan karakter obyek data tersebut. Sumber (Danoedoro, 1996).

2.8 Orthorektifikasi

Orthorektifikasi merupakan sistem koreksi geometrik untuk mengeliminasi kesalahan akibat perbedaan tinggi permukaan bumi serta proyeksi akusisi citra yang umumnya tidak orthogonal (oblique). Othorektifikasi adalah proses memposisikan kembali citra sesuai lokasi sebenarnya, dikarenakan pada saat pengambilan data terjadi pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring pada satelit dan variasi topografi. Orthorektifikasi selain digunakan untuk mengkoreksi citra secara geometrik, juga mengkoreksi citra berdasarkan ketinggian geografisnya. Koreksi geometrik jika tidak menggunakan orthorektifikasi, maka puncak gunung akan bergeser letaknya

(9)

9

dari posisi sebenarnya, walaupun sudah dikoreksi secara geometrik. Sumber (Purwadhi, 2008).

3. Tinjauan Umum

3.1 Kajian Daerah Penelitian

Pada penelitian ini data citra SPOT-4 yang digunakan menggunakan data SPOT scene KJ 292.365 dengan tanggal akusisi 07092009, direkam secara oblique dengan sudut sensor 25.08˚, lokasi perekaman (scene center location) S007˚48’07’’ Lintang Selatan E110˚11’36’’ Bujur Timur, Yogyakarta.

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di bagian tengah selatan Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan dan Propinsi Jawa Tengah di bagian lainnya. Batas dengan Propinsi Jawa Tengah meliputi:Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut, Kabupaten Magelang di bagian barat laut, Kabupaten Purworejo di bagian barat.Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai luas 3.185,80 km², terdiri dari 4 kabupaten dan 1 Kota, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Setiap kabupaten/kota mempunyai kondisi fisik yang berbeda sehingga potensi alam yang tersedia juga tidak sama.

Komponen fisiografi yang menyusun Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdiri dari 4 (empat) satuan fisiografis yaitu Satuan Pegunungan Selatan (Dataran Tinggi Karst) dengan ketinggian tempat berkisar antara 150-700 meter, Satuan Gunungapi Merapi dengan ketinggian tempat berkisar antara 80-2.911 meter, Satuan Dataran Rendah yang membentang antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulonprogo pada ketinggian 0-80 meter, dan Pegunungan Kulonprogo dengan ketinggian hingga 572 meter. Secara fisiografi daerah ini terbagi menjadi:

1. Gunung Api Merapi dan lereng gunung api, terletak di bagian utara DIY pada ketinggian ± 500 m hingga ± 2.911 m, dengan susunan material dari endapan aktivitas Gunung Api Merapi.

2. Dataran Aluvial, terletak di bagian tengah membentang ke selatan DIY hingga Samudra Indonesia. Wilayah ini mempunyai topografi datar-hampir datar, sehingga merupakan lahan yang baik untuk permukiman dan pertanian.

3. Pegunungan Kulon Progo yang terletak di bagian barat DIY dengan batas bagian timur adalah lembah progo dan bagian selatan dibatasi

(10)

10

oleh dataran aluvial pantai. Wilayah ini mempunyai lereng curam-hingga sangat curam sehingga proses erosi dan longsor sering terjadi dan perlu tindakan konservasi tanah.

4. Dataran Tinggi Gunungkidul, yang meliputi bagian tenggara DIY. Bagian utara daerah ini dibatasi oleh pegunungan Batur Agung dengan garis yang terjal dan memanjang. Bagian tengah merupakan ledok Wonosari dengan topografi datar bergelombang dan pada bagian selatan merupakan perbukitan karst yang disebut Gunung Sewu. Lereng perbukitan karst tersebut curam dan merupakan lahan kritis.

Secara geomorfologi, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 6 kelompok satuan bentuk lahan utama, yaitu bentuk marin dan eolin, fluvial, struktural-denudasional, solusional, vulkanik, dan denudasional. Jika menurut keadaan geomorfologi yang terbentuk oleh faktor endogen dan eksogen, maka Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 6 satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Dataran ; Satuan Perbukitan Rendah Satuan Perbukitan Sedang ; Satuan Perbukitan Tinggi (Pegunungan) ; Satuan Kaki Lereng Gunung Merapi ; Satuan Tubuh Gunung Merapi.

Rekaman proses tektonisme sangat banyak dijumpai di dataran Yogyakarta. Diawali dari data sesar akibat pengangkatan Pegunungan Kulon Progo dan Selatan, sesar-sesar di sepanjang dataran gunung api terbentuk belakangan serta sesar-sesar minor oleh gempa-gempa tektonik yang berlangsung. Pengaruh dari proses tektonisme ini membuat topografi Daerah Istimewa Yogyakarta dilihat pada citra terdapat penampakan patahan yang memanjang membuat bentuk patahan lurusan disekitar sungai opak. Beda tinggi pada daerah patahan membuat sebagian daerah naik dan daerah lainya turun sehingga terbentuk pegunungan pada daerah patahan.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Penelitian

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Satu unit Notebook dengan Processor Intel Pentium Dual Core Inside, memori RAM 2 Gb DDR II 800 Ghz, Hardisk berkapasitas 320 Gb, VGA Ati Radeon 945GM Expres Chipset Chontrollel 256 Mb 32 bit dan Sistem Operasi Windows Vista, untuk pengolahan data dan menjalankan perangkat lunak Koreksi_Ortho.exe.

(11)

11

2. Software Koreksi_orto.exe untuk proses orthorektifikasi sesudah dilakukan penentuan titik GCP, merupakan software yang dikembangkan oleh LAPAN.

3. Printer sebagai alat output

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa :

1. Citra SPOT-4 oblique level 2A dengan nomer KJ 292.365 dengan tanggal akusisi 07092009 Yogyakarta. Diperoleh dari LAPAN.

2. Citra Landsat7 Terkoreksi orthorektifikasi USGS zone 49s untuk refrensi pengambilan titik GCP. Diperoleh dari kedeputian LAPAN.

3. DEM-SRTM Untuk Proses Orthorektifikasi didapat dari kedeputian LAPAN.

4. Pembahasan 4.1 Tahap Penelitian 4.1.1 Persiapan

Data yang akan dikoreksi berupa citra SPOT 4 oblique Level 2A dengan no KJ 292.365 dengan tanggal akusisi 07092009 Yogyakarta hasil perekaman stasiun bumi parepare dengan sudut sensor 25 derajat pada lokasi dengan garis lintang selatan S007˚48’07’’ dan bujur timur E110˚11’36’’. Citra SPOT ini direkam secaraoblique yaitu data yang direkam dengan sudut sensor lebih besar dari satu derajat terhadap nadir. Pengaruh dari sudut sensor terhadap ketelitian geometrik adalah semakin besar sudut sensor maka akan semakin besar pula kesalahan atau pergeseran karena sudut sensor tidak kearah nadir dari lokasi obyek yang sudut elevasinya atau ketinggianya cukup besar. Penentuan titik kontrol tanah diambil dari citra Landsat7 orthorektifikasi produk USGS zone 49s untuk refrensi pengambilan titik GCP. Sedangkan DEM-SRTM digunakan untuk proses orthorektifikasi.

Software yang digunakan untuk mengkoreksi geometrik yang diakibatkan oleh akusisi data secara oblique menggunakan software imagine ERMAPPER 7.0 dalam pengambilan titik GCP sedangkan proses orthorektifikasi untuk mengetahui perbaikan ketelitian geometrik menggunakan software koreksi_ortho.exe.

(12)

12

Pemrosesan dilakukan melalui dua tahap, dengan menggunakan masing-masing software yang berbeda. Adapun urutan tahap yang harus dilakukan adalah :

1. Pengolahan awal menggunakan software ERMAPPER 7.0

2. Proses Orthorektifikasi menggunakan software koreksi_Ortho.exe dari Lapan.

4.1.3 Uji Ketelitian

Proses pengecekan untuk memperjelas apakah citra hasil rekonstruksi masih terjadi distorsi atau tidak, citra SPOT-4 orthorektifikasi hasil rekonstruksi ditumpangtindihkan dengan citra Landsat Orthorektifikasi yang diproduksi oleh USGS. Pengecekan dilakukan dengan melihat hasil tumpangtindih pada posisi obyek, tekstur yang terdapat pada citra SPOT-4 orthorektifikasi harus berimpit (sama posisinya) dengan objek yang berada pada citra landsat.

(13)

13 Diagram Alir Pengolahan Data

Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam diagram alir berikut :

Citra Landsat Orthorektifikasi

Citra SPOT-4 oblique

DEM-SRTM

Konversi Tiff ke ers* Polynomial setup Orde pertama (linier) Penentuan GCP + pergeseran Resampling Koreksi Geometrik ERMAPPER 7.0 Rekonstruksi Citra menggunakan Koreksi ortho.exe SPOT-4 terkoreksi Citra SPOT-4 Orthorektifikasi

1. koreksi geometrik Metode Polynomial menggunakan titik kontrol tanah atau ground control points (GCP) dan Landsat ortorektifikasi sebagai acuan.

2. Setelah SPOT-4 terkoreksi selanjutnya dilakukan koreksi orto menggunakan DEM-SRTM sebagai acuan.

(14)

14 4.2 Hasil Penelitian

Hasil utama yang diperoleh dari penelitian ini berupa citra SPOT 4 Orthorektifikasi scene K/J 292365 daerah Yogyakarta hasil proses orthorektifikasi. Metode yang digunakan untuk mendapatkan hasil akhir terdiri dari dua tahap pengolahan data yaitu koreksi geometrik dan orthorektifikasi. Pengolahan awal proses koreksi geometrik menggunakan software ERMAPPER 7.0 adalah proses rektifikasi geometrik yaitu mengubah aspek geometrik pada citra dengan cara merujuk pada proyeksi peta yang baku, sehingga koordinat pada citra menjadi sama dengan koordinat pada citra yang digunakan sebagai data acuan. Proses ini hal yang paling utama dilakukan adalah merelokasi setiap pixel dalam suatu citra input pada posisi tertentu di citra output yang telah terkoreksi dengan melakukan transformasi. Pada tahap proses penentuan GCP dilakukan sebanyak 40 titik GCP dengan sebaran merata.

Proses koreksi geometrik menggunakan mode polynomial menggunakan transformasi orde pertama (linier), dengan cara menyiapkan citra satelit yang telah terkoreksi didaerah yang sama dengan citra yang akan dikoreksi. Koreksi ini yang dijadikan data acuan merupakan citra satelit Landsat orthorektifikasi yang sudah terkoreksi sesuai standar USGS level advance. Penentuan titik GCP dilakukan dengan cara membandingkan penampakan objek yang sama pada kedua citra baik citra yang akan dikoreksi maupun citra yang dijadikan acuan dalam pengambilan titik GCP. Titik kontrol GCP harus tersebar merata pada semua bidang area citra pengambilan titik kontrol harus mewakili dan merata pada seluruh citra, untuk memudahkan dalam pengambilan titik kontrol, obyek yang dipilih sebagai titik kontrol adalah obyek yang mudah dikenali pada citra, seperti posisi jalan, sungai dan kenampakan obyek yang khas. Hasil penentuan titik GCP pada koreksi geometrik ini akan didapat hasil berupa citra SPOT-4 yang sudah terkoreksi geometrik.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Proses Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan langkah memperbaiki posisi citra satelit sesuai dengan kondisi sebenarnya di permukaan bumi baik itu posisi sistem koordinat lintang dan bujur maupun informasi yang terkandung didalamnya.Kesulitan saat pengambilan titik GCP terjadi pada daerah yang memiliki tingkat kecuraman tinggi atau topografinya tidak merata terutama pada daerah dengan beda tingginya cukup besar seperti pada lereng merapi dan

(15)

15

daerah yang mempunyai topografi berbukit seperti daerah Gunungkidul dan Kulon Progo. Nilai Error titik GCP daerah dengan topografi berbukit mempunyai nilai Error yang cukup besar karena pada daerah dengan topografi yang tidak merata menjadikan pada saat perekaman dengan sistem oblique membuat objek yang mempunyai beda tinggi amat besar akan terjadi pergeseran relief (displacement). Daerah yang memiliki topografi datar membuat pengambilan titik GCP tidak begitu sulit karena pada daerah datar tidak banyak terjadi pergeseran relief sehingga nilai Error yang didapat juga relatif kecil.

Penggunaan citra landsat orthorektifikasi USGS sebagai acuan di dalam koreksi orthorektifikasi SPOT-4 disebabkan karena ketelitian geometrik citra orthorektifikasi Landsat USGS sangat baik mencapai 50 m atau 1,5 pixel pada daerah berbukit dibandingkan dengan data satelit lain level yang sama pada resolusi menengah. Dimana untuk saat ini citra yang dapat dijadikan acuan untuk proses orthorektifikasi baru Landsat orthorektifikasi USGS dengan mempertimbangkan level satelit yang sama pada resolusi menengah. Saat melakukan koreksi citra satelit sebelum melakukan koreksi terlebih dahulu dilakukan pengecekan zone area untuk disamakan dengan zone data acuan Landsat USGS. Perbedaan zone area antara citra yang dikoreksi dan citra terkoreksi akan membuat kesulitan pada saat dilakukan pengambilan GCP karena zone yang berbeda membuat software tidak mau merektifikasi walaupun penampakan dan daerahnya sama. Titik kontrol GCP yang akan digunakan sebagai acuan dalam proses koreksi geometrik haruslah merupakan kenampakan obyek yang dapat diidentifikasikan baik pada citra yang akan dikoreksi maupun citra terkoreksi. Tampilan awal Level 2A oblique sebelum dilakukan koreksi geometrik, masih terjadi pergeseran posisi objek-objek pada citra dimana garis samping masih kurang begitu lurus karena citra SPOT-4 masih membentuk sudut β terhadap garis horizontal, hal ini berarti citra SPOT-4 juga membentuk sudut β terhadap citra landsat orthorktifikasi produk USGS.

4.3.2 Proses Orthorektifikasi

Keunikan Citra SPOT yaitu mempunyai kemampauan mengubah sudut sensor atau Mirror angle (sudut sensor) adalah kemampuan sensor melihat kearah bukan nadir yaitu -27 barat sampai +27’ timur dari jejak satelit dibumi (ground track). Langkah selanjutnya dalam perbaiki hasil citra yang sudah terkoreksi GCP adalah meningkatkan ketelitian geometrik citra SPOT melalui proses koreksiortho menggunakan software koreksi_orto yang di buat sesuai ketentuan LAPAN, adapun fungsi dari koreksi ortho ini adalah untuk

(16)

16

mengeliminasi dampak perbedaan beda tinggi permukaan bumi yang berakibat pada distorsi pergeseran dimana pada kajian ini banyak ditemukan adanya pergeseran letak objek pada area yang bergelombang atau curam dari beberapa scene yang di koreksi geometrik. Tujuan dari proses orthorektifikasi ini untuk menghilangkan pengaruh perbedaan elevasi pada saat proses perekaman secara oblique.

Metode koreksi orthorektifikasi ini di lakukan dengan menggunakan data acuan DEM-SRTM (Digital Elevation Models-Shuttle Radar Topographic Mission) sesuai area scene yang dikoreksi.Data DEM-SRTM memperbaiki atau mengkoreksi citra yang memiliki topografi berbukit karena pada lokasi tersebut terdapat pergeseran relief yang cukup ekstrim akibat pergerakan sensor. Sebagai acuan pada scene yang dikoreksi dilihat besarnya sudut incident dan sudut orientasi yang akan di lakukan koreksi pada citra yang sudah terkoreksi kemudian dilakukan pembacaan DEM-SRTM dengan memperhitungkan sudut inscident juga scene_orientation pada scene metadata dari masing-masing scene yang akan dikoreksi orthorektifikasi. Sesudah dilakukan proses rekonstruksi citra menggunakan software koreksi_ortho.exe dan DEM-SRTM didapat nilai RMS terjadi perubahan hal ini disebabkan karena software akan mengkoreksi scene citra berdasarkan perubahan beda tinggi obyek sehingga perhitungan posisi pada area yang beda tinggi akan bergeser dan dilakukan perbaikan oleh citra dimana citra akan direkonstruksi ulang pada proses resampling menggunakan DEM-SRTM posisi ketinggian topografi permukaan serta bujur dan lintang scene SPOT-4 posisinya disamakan dengan posisisi topografi yang sebenarnya serta bujur dan lintang data Landsat orthorektifikasi produksi USGS. Sebagaimana diketahui scene citra SPOT-4 oblique yang diambil dari sudut sensor 25,08˚, maka masing-masing pixel pada citra akan mengandung parameter koordinat x,y dan Z dibumi dimana Z merupakan informasi ketinggian. Sehingga obyek yang mempunyai ketinggian tertentu akan bergeser posisinya. Besarnya pergeseran obyek pada citra akan diperbaiki menggunakan DEM-SRTM yang mempunyai ketelitian vertikal besar. Proses kerjanya dilakukan secara otomatis pada software koreksi_ortho.exe dengan mempertimbangkan sudut kelengkungan bumi.

4.3.3 Hasil Uji Ketelitian

Sistem perekaman dengan sudut sensor lebih dari satu derajat dari titik nadir membuat posisi obyek akan bergeser dari posisi sebenarnya dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah pergeseran relief pada data citra satelit SPOT-4

(17)

17

oblique. Untuk memperbaikinya diperlukan koreksi geometrik untuk memproyeksikan sistem koordinat citra dengan koordinat pada citra acuan dan proses rekonstruksi citra (orthorektifikasi) untuk memperbaiki posisi citra yang terjadi pergeseran relief pada saat perekaman dengan sistem miring pada citra SPOT-4 oblique sehingga dihasilkan citra SPOT-4 orthorektifikasi. Untuk memperjelas apakah citra orthorektifikasi hasil koreksi geometrik dan rekonstruksi citra masih terjadi distorsi atau tidak dilakukan proses pengecekan melalui cara tumpangtindih dan dengan melihat nilai dari RMSError.

Proses pengecekan untuk memperjelas apakah citra hasil rekonstruksi masih terjadi distorsi atau tidak, citra SPOT-4 orthorektifikasi hasil rekonstruksi ditumpangtindihkan dengan citra Landsat Orthorektifikasi yang diproduksi oleh USGS. Pengecekan dilakukan dengan melihat hasil tumpangtindih pada posisi obyek, tekstur yang terdapat pada citra SPOT-4 orthorektifikasi harus berimpit (sama posisinya) dengan objek yang berada pada citra landsat. Dari tahap penyelesaian ini akan diharapkan hasil perbedaan hasil gambaran citra yang relatif lebih baik dari citra aslinya pada citra SPOT-4 oblique. Dimana hasil tumpang tindih menunjukkan bahwa pada posisi objek, tekstur yang terdapat pada citra SPOT 4 orthorektifikasi berimpit sama posisinya dengan objek yang berada pada citra landsat.

5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengolahan data awal (praprocessing) citra satelit pada koreksi geometrik menggunakan metode polynomial dan orthorektifikasi Berdasarkan nilai RMSError sebesar 0,96, didapat tingkat ketelitian citra SPOT orthorektifikasi mempunyai ketelitian sama dengan ketelitian Landsat orthorektifikasi yang dihasilkan oleh USGS (ketelitian 30 meter).

2. Hasil pengujian Citra SPOT orthorektifikasi tidak terdapat distorsi dikarenakan dalam proses orthorektifikasi menggunakan DEM-SRTM posisi citra yang terjadi pergeseran relief (displacement) telah diposisikan kembali sesuai lokasi sebenarnya. Dalam hal ini DEM-SRTM sangat bermanfaat dalam proses orthorektifikasi untuk memperbaiki/mengkoreksi citra akibat pengaruh topografi berbukit karena pada lokasi-lokasi tersebut terdapat pergeseran relief yang cukup ekstrim akibat pergeseran sensor.

(18)

18 5.2 Saran

1. Pada penelitian ini pengujian hanya dilakukan berdasarkan pengamatan letak objek saat dilakukan surface maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna.

2. Kondisi topografi perlu dipertimbangkan saat penentuan titik GCP yang akan dimanfaatkan dalam proses orthorektifikasi.

3. Untuk pemetaan skala rinci atau menengah disarankan menggunakan citra yang sudah terkoreksi orthorektifikasi karena perbaikan ketelitian geometrik yang diakibatkan oleh akusisi data secara oblique telah terkoreksi.

4. Semakin datar area suatu bidang semakin kecil nilai RMS Error yang didapat sedangkan pada area yang curang dan bergelombang akan membuat nilai RMS Error tinggi.

5. Penggunaan citra landsat orthorektifikasi USGS sebagai acuan di dalam koreksi orthorektifikasi SPOT-4 oblique karena ketelitian geometrik citra orthorektifikasi landsat USGS sangat baik mencapai 50 m atau 1,5 pixel pada daerah berbukit dibandingkan dengan data satelit lain level yang sama pada resolusi menengah. 6. Proses koreksi geometrik menggunakan titik GCP yang diambil dari Landsat

orthorektifikasi produksi USGS menggunakan fungsi transformasi polynomial 7. Proses orthorektifikasi ini untuk menghilangkan pengaruh perbedaan elevasi

beda tinggi permukaan bumi dan kesalahan akibat lengkung bumi pada saat proses perekaman secara oblique.

8. Ketelitian dari proses orthorektifikasi menggunakan DEM-SRTM pada hasil akhir ditunjukkan dengan RMSError sebesar 0,96 dimana batas toleransi yang ditetapkan harus dibawah <1 nilai RMSError sesuai standar yang telah ditentukan Kedeputian Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional Indonesia, dengan demikian citra SPOT 4 orthorektifikasi telah memenuhi standar ketelitian sehingga dapat digunakan untuk pemetaan skala rinci atau menengah.

(19)

19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Berbagai Jenis Produk Citra SRTM, Diakses pada tanggal 14 Oktober 2013 dari

http://srtm.csi.cgiar.org/

Anonim, sistem orbit satelit SPOT. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013, dari

http://myopera.com/ilmyaku/archive/monthly/?day=20091101

Anonim, Spesifikasi Citra SPOT. Diakses pada tanggal 11 januari 2014 dari

http://spotimage.fr/

Danoedoro, Projo. 1996. Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya Dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. EOSAT, 1999. Landsat Data Hanbook. The Earth Observation Satellite Company

(EOSAT), USGS-EROS Data Center Sioux Falls, SD 57198

Jensen, J. R., 1986, Introductory Digital Image Processing- a Remote Sensing Perspective. Prentice Hall : London.

John J. Qu, Wei Gao. 2006. Earth Science Satellite Remote Sensing (data, computational processing, and tools) Volume 2.Tshinghua University Press. Beijing

Lillesand and Kiefer. 1979. Remote Sensing and image interpretation. John Willey and Sons, New York.

Mapper., E.R. 1998. Earth Resources Mapper User Manual.Ver. 6.0. 87 Collin Street, West Perth, Western Australia.

Muchlisin Dkk. 2008.Koreksi Geometrik Data Satelit SPOT-4 Level 2A Oblique Studi Kasus Kabupaten Sukabumi.Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN. Jakarta. Purwadhi, 2008. Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Lembaga

Penerbangan Antariksa Nasional : Jakarta

Setyoko dan Purwoko. 2008. Proses Orthorektifikasi Untuk Meningkatkan Ketelitian Geometrik Citra Satelit. Berita Indraja Vol VII LAPAN. Jakarta

Suastika, Komang G. 1998. Pemanfaatan Transformasi Dua Dimensi Untuk Koreksi Geometrik Data Landsat TM Pada Berbagai Kondisi Topografi. Tesis S2. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Suhendra, Adang. 2008. Pengantar Pengolahan Citra. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya

Sutanto, 1986.Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sutanto, 1987.Penginderaan Jauh Jilid II. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Supriana, wahyu.2002. Teknik Perbaikan Data Digital Koreksi Dan Penajaman Citra

(20)

20

Trisakti, Bambang. 2005. Orthorektifikasi Data Citra Resolusi Tinggi Menggunakan ASTER-DEM. PIT MAPIN XIV Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

maka dapat dihitung berapa rumah yang akan menerima suplai daya listrik, dengan estimasi jumlah kebutuhan minimum listrik per rumah di wilayah pedesaan pada Tabel 2

Mahasiswa jurusan Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang yang mempelajari ilmu agama Islam berupa tasawuf lebih mendalam

Judul skripsi : Implementasi Perjanjian Hutang-Piutang Antara Petani Tebu dan Koperasi Unit Desa di Kalipare Kabupaten Malang Tinjauan Akad Qardh Fiqh Syafi’iyah.. Malang,

Memperketat pengawasan terhadap proses pengeringan dimesin dryer Bahan Baku yang bermutu rendah diolah kembali Membersihkan :gudang bahan baku dari genangan air dan meninggikan

Perluasan pasar yang dilakukan para produsen kosmetik Korea Selatan karena banyak konsumen dalam negeri atau luar negeri telah merasakan khasiat dari produk kosmetik Korea

Maka Finite Element Method bisa dikatakan sebagai suatu metode numerik untuk mencari solusi dari distribusi pada variabel bidang yang sulit untuk

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, karena sering dilaporkan dibeberapa daerah. angka

Senenan No.8 Jepara 51 Budianto Purwahjo /