• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 2011). Retardasi mental juga memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak normal pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 2011). Retardasi mental juga memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak normal pada"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Retardasi mental merupakan kelemahan jiwa dengan intelegensi yang kurang dari masa perkembangan sejak lahir atau masa anak-anak (Choiriyyah, Nugraha, dan Nugraheni, 2011). Retardasi mental juga memiliki kecerdasan dibawah rata-rata anak normal pada umumnya dan memiliki hambatan dalam bidang penyesuaian diri maupun interaksi sosial (Novitasari, 2012).

Anak yang mengalami retardasi mental membutuhkan perhatian khusus dari orang tua berupa membantu anak retardasi mental agar timbul sikap percaya diri untuk berkomunikasi kepada orang tua maupun orang lain, serta dapat mandiri terhadap perawatan dirinya. Kepercayaan diri orang tua juga sangat penting untuk membantu atau merawat anaknya yang mengalami retardasi mental, faktor-faktor yang dapat membangkitkan rasa kepercayaan diri orang tua anak retardasi mental adalah faktor lingkungan, faktor harga diri, dan faktor sikap (Listiyaningsih & Dewayani, 2009).

Hasil penelitian kualitatif Benny, Nurdin, dan Chundrayetti (2014) dari ketiga partisipan (ibu) yang menjadi subyek penelitian, didapatkan 1 diantaranya yang memenuhi seluruh aspek dalam penerimaanya terhadap anak yang mengalami retardasi mental, penelitian menemukan bahwa faktor terbesar yang melatarbelakangi penerimaan ibu adalah faktor agama.

Gangguan perkembangan paling umum terjadi adalah retardasi mental. Angka kejadian retardasi mental diberbagai negara berkembang secara umum berkisar 1-3% setiap populasi (Risnawati dkk, 2010). Retardasi mental di Amerika berjumlah 9,1/1000 orang (Ndraha,2014) dan di negara China sebanyak 9,3/1000 orang (Maulik, 2013).

(2)

Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penyandang cacat di Indonesia adalah sebesar 2.126.785 jiwa. Retardasi mental sendiri berjumlah 345.815 jiwa atau berkisar 0,016%. Provinsi Sumatera Utara sendiri terdapat jumlah penyandang cacat pada tahun 2010 adalah 118.603 jiwa dan retardasi mental berjumlah 19.284 jiwa (Novitasari, 2010). Hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah anak retardasi mental sebesar 22,07% dari 439 ribu anak cacat yang tersebar di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia (Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2011). Jumlah populasi anak retardasi mental menempati paling besar yaitu 66.610 anak di banding jumlah anak dengan kecacatan lainnya. Penelitian terbaru Riskesdas, di Indonesia retardasi mental pada usia 24-59 bulan di Indonesia merupakan persentase tertinggi ketiga yaitu 0,14% menurut angka kecacatannya dan hasil ini masih tercatat dari tahun 2010-2013 (Riskesdas, 2013).

Tingginya angka kejadian retardasi mental tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, anak-anak retardasi mental harus mendapatkan pendidikan yang baik terutama dari keluarga sehingga mereka lebih mandiri minimal untuk aktivitas sehari-hari. Namun pada kenyataannya tidak semua keluarga dapat menerima kondisi kelainan yang dialami anaknya (Benny dkk., 2014). Anak retardasi mental inilah salah satu yang dapat menimbulkan kecemasan pada keluarga. Keluarga dengan anak retardasi mental akan mengalami banyak permasalahan akibat keberadaan anak tersebut, terutama seorang ibu dapat mengalami kecemasan dan perilaku penolakan terhadap anaknya yang mengalami retardasi mental (Benny dkk., 2014).

Kecemasan memiliki anak retardasi mental menjadi ketakutan yang nyata dialami oleh keluarga khususnya seorang ibu adalah ketakutan melahirkan bayi dengan kecacatan (Petik D et al. 2012). Kecemasan ini setara dengan penelitian Norhidayah, Wasilah, dan Husein (2013) menunjukkan bahwa salah satu permasalahan kecemasan ditinjau dari segi

(3)

paritasnya, dengan adanya ketakutan tentang resiko berulangnya kelainan retardasi mental pada anak berikutnya. Sedangkan menurut penelitian Hastuti (2004) menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dialami oleh orang tua khususnya seorang ibu dari anak retardasi mental adalah mengacu pada tingkah laku dan emosi anak retardasi mental, masalah keuangan, kemandirian anak, dan masa depan anak retardasi mental yang sering membuat orang tua merasa cemas.

Hasil penelitian Tsuraya (2013) kecemasan pada orang tua yang memiliki anak speech delay ditinjau dari setiap aspek kecemasan secara umum tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua sudah bisa menerima anaknya dan tidak mengalami kecemasan terhadap anak speech delay meskipun kadang orang tua sulit menjaga anak. Data aspek fisik didapat 48% yang berada di cemas ringan, aspek psikis diperoleh cemas ringan 57%, dan dari segi aspek kognitif 40% didapat cemas ringan. Data ini menunjukkan orang tua memiliki cemas ringan.

Kondisi keluarga yang memiliki anak retardasi mental juga dapat mempengaruhi konsep diri keluarganya. Konsep diri yang melibatkan citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran, dan identitas diri dapat menjadi positif ataupun negatif (Salbiah, 2003). Sesuai hasil penelitian Widiyanto dan Afif (2013) keluarga yang memiliki anak retardasi mental merupakan keadaan yang dapat mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia. Keluarga dengan anak retardasi mental mengalami gangguan konsep diri citra tubuh karena adanya anggapan masyarakat sekitar bahwa keluarga atau orang tua yang memiliki anak retardasi mental merupakan keluarga dengan gen yang tidak baik sehingga menghasilkan keturunan yang tidak baik (retardasi mental). Kelainan kromosom adalah penyebab yang paling sering teridentifikasi. Harga diri yang kurang pada orang tua dengan anak retardasi mental disebabkan munculnya perasaan malu bertemu dengan orang lain karena mempunyai anak

(4)

retardasi mental dan tidak dapat menjadikan anak retardasi mental sebagai suatu kebanggaan. Serta orang tua seringkali merasa jenuh dan rapuh menghadapi anak retardasi mental.

Menurut Listiyaningsih dan Dewayani (2009) keluarga dengan anak retardasi mental memiliki kepercayaan diri yang kurang, ditinjau dari ketidak nyamanan dengan kondisinya, juga dapat menyebabkan kurang memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Kepercayaan diri yang rendah akan menyulitkan orang tua untuk merawat anak, bahkan dapat juga menyembunyikan anak dengan tidak disuruh bermain dengan anak-anak lainnya agar tidak dicemooh oleh orang lain.

Menurut Tuegeh, Rompas, dan Ransun (2012) peran terpenting dalam memandirikan anak yang mengalami retardasi mental adalah keluarga terutama seorang ibu. Ibu berperan sebagai mengasuh dan mendidik anak. Selain itu ibu mempunyai peran sebagai pengurus rumah tangga dan orang yang paling dekat atau yang paling sering berhubungan dengan anak dalam keluarga, sehingga sikap ibu merupakan faktor yang penting dalam perkembangan anak, khususnya anak yang mengalami retardasi mental.

Data yang diperoleh dari SLB C Yayasan Pembinaan Anak Cacat kota Medan pada tahun 2015, jumlah anak retardasi mental yang di didik di SLB C Yayasan Pembina Anak Cacat kota Medan adalah sebanyak 67 anak retardasi mental dan hanya 61 yang aktif berada di sekolah dasar (SD).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di YPAC kota Medan.

1.2 Tujuan Penelitian

(5)

a. Gambaran konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan.

b. Gambaran kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana gambaran konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi menta di YPAC kota Medan?

b. Bagaimana gambaran kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan?

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : a. Praktek Keperawatan

Meningkatkan wawasan serta kemampuan perawat dalam memberi asuhan keperawatan yang lebih komprehensif dan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan kualitas pelayanan pada keluarga.

b. Pendidikan keperawatan

Meningkatkan pengetahuan mahasiswa perawat dan dijadikan sebagai wahana pembelajaran nantinya dalam menerapkan asuhan keperawatan komunitas dalam memahami dan meningkatkan konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental.

(6)

Dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi peneliti, sehingga penelitian ilmiah yang diperoleh kiranya dapat dikembangkan untuk penelitian dimasa mendatang dan dapat digunakan sebagai sumber informasi awal bagi penelitian keperawatan tentang gambaran konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan.

d. YPAC kota Medan

Dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan dan mempertahankan motivasi dan pelayanan kepada keluarga atau orang tua selaku pengasuh dasar anak retardasi mental.

e. Keluarga yang memiliki anak retardasi mental

Dapat digunakan sebagai tempat komunikasi dan curahan hati orang tua dan sebagai bahan masukan untuk membimbing dan merawat anak retardasi mental dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Data-data akan dikumpulkan melalui media rekam, foto-foto serta hasil interviu dengan informan yang berkecimpung dalam kesenian genjringan, hasil perekaman akan menjadi

Implementasi IDS pada server menggunakan jejaring sosial (facebook, twitter, dan whatsapp) sebagai media notifikasi memudahkan administrator dalam mengidentifikasi

Hal ini sesuai dengan pengamatan penelitian yang mengungkapkan bahwa faktor pendukung dalam menerapkan fungsi administrasi perkantoran modern di Kecamatan Barombong

M embaca merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu di miliki siswa untuk dapat memasuki dunia belajar. Keberhasilan membaca pada siswa sekolah dasar ikut

dilakukan pengerikan dengan cara kuret atau D&C (Dillatation & Curettage). Kuret adalah operasi kecil yang biasa dilakukan untuk menekan penyebab haid berat. Teknik ini

Metode yang digunakan dalam menganalisa masalah adalah Deskriptif Analisis yaitu metode yang menggambarkan masalah yang timbul pada saat peneliti mengadakan

Operasional variabel menurut Sugiyono (2017:38) yaitu merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi..

Satu kelompok yaitu siswa kelas IPA 1 yang diberi perlakuan khusus sebagai kelas ekspe rimen berupa penggunaan media gambar (audiovisual) terhadap prestasi belajar siswa,