• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Kondisi Lingkungan Rumah dengan

Masalah Kesehatan Respirasi di Pemukiman Kumuh Jakarta

Dina Faizah, Elisna Syahruddin

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Abstrak

Masalah kesehatan respirasi termasuk tuberkulosis, pneumonia, asma, dan penyakit paru obstruktif kronik memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 107 rumah tangga di pemukiman kumuh Petamburan, Jakarta Pusat, dengan consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden tentang kejadian masalah kesehatan respirasi. Kondisi lingkungan rumah seperti jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, lubang asap di dapur, jendela, luas ventilasi, pencahayaan, kelembapan, serta suhu diobservasi dan diukur menggunakan luxmeter, higrometer, termometer, dan meteran. Data dianalisis dengan chi-square test. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan hubungan bermakna antara kejadian masalah kesehatan respirasi dengan luas ventilasi (p <0,001), jendela (p =0,032), kepadatan hunian rumah (p <0,001), dan lubang asap di dapur (p =0,027). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat berhubungan dengan kejadian masalah kesehatan respirasi.

(2)

Association between Housing Environment and

Respiratory Health Problems in Jakarta’s Slums

Dina Faizah, Elisna Syahruddin Faculty of Medicine University of Indonesia Abstract

Respiratory health problem including tuberculosis, pneumonia, asthma and chronic obstructive pulmonary disease has high prevalence in Indonesia. This study aims to find out association between respiratory health problems and housing environment. A cross-sectional study was done on a total of 107 households in Petamburan slums, Jakarta, Indonesia. The sampling method was consecutive sampling. Data was obtained by interviewing subjects about incidence of respiratory health problems in their households. Housing environment such as lighting level, humidity, temperature, ventilation, bedroom crowding, smoke hole in kitchen, kind of wall and floor were observed and measured using luxmeter, hygrometer and thermometer. Data were analyzed by chi-square tests. This study found that there were significant association between incidence of respiratory health problem and ventilation (p <0,001), window (p =0,032), house crowding (p <0,001) and smoke hole in kitchen (p =0,027). The result of this study shows that poor housing environment associates with incidence of respiratory health problems.

(3)

Pendahuluan

Masalah kesehatan respirasi merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia (WHO, 2010). Masalah kesehatan respirasi tersebut tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan yang terjadi secara musiman, tetapi juga dapat terjadi secara persisten di beberapa musim yang berbeda dan menjadi sumber penyebab kematian tertinggi.1 Di Indonesia, masalah kesehatan respirasi termasuk dalam 24 indikator tercapainya Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Dari 24 indikator tersebut mencakup di antaranya prevalensi asma, prevalensi pneumonia, prevalensi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta proporsi merokok setiap hari.2

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2004, asma merupakan kasus dengan prevalensi tertinggi ketiga setelah depresi dan penyakit jantung.3 Di samping itu, prevalensi tuberkulosis (TB) paru di Indonesia sebanyak 9,4% dan setiap tahunnya seperempat juta kasus baru TB ditemukan dengan jumlah kematian sekitar 140.000 jiwa.4 TB menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Adapun ISPA merupakan penyakit infeksi yang menempati urutan ketujuh penyebab kematian di Indonesia dengan prevalensi sebesar 4,9%, sedangkan penyakit saluran napas bawah kronik (5,1%) menjadi penyebab kematian keenam.2 Sementara itu, pneumonia di Jakarta pada tahun yang sama tercatat 20.474 kasus, yang mana 9.194 kasus di antaranya diderita oleh kelompok balita.5

Data-data epidemiologi tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan respirasi merupakan masalah yang serius. Timbulnya masalah kesehatan respirasi pada seseorang ditentukan oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berupa keadaan sistem imun dalam menghadapi kemungkinan terjadinya penyakit-penyakit respirasi. Selain faktor internal berupa sistem imun dari seseorang, faktor eksternal seperti lingkungan juga turut mempengaruhi seseorang terjangkit penyakit atau masalah kesehatan respirasi, termasuk kondisi lingkungan rumah.6

Lingkungan rumah yang tidak sehat seperti keadaan lingkungan kumuh dapat menyebabkan berbagai penyakit bagi penghuninya, termasuk masalah kesehatan respirasi.7,8 Di Indonesia, terdapat lebih dari 10.000 lingkungan kumuh yang mana sebagian besar keluarga kumuh berada di DKI Jakarta. Di Jakarta sendiri, dari 1000 keluarga, 60 diantaranya tinggal di rumah kumuh.9

(4)

Hasil penelitian pada tahun 2007 di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara variabel kelembaban rumah, kepadatan penghuni rumah, luas ventilasi rumah, dan pencahayaan rumah dengan kejadian TB paru pada anak. Penelitian pada tahun 2006 di Kabupaten Banyumas menyimpulkan bahwa ada asosiasi antara TB paru dengan pencahayaan, kepadatan hunian rumah, ventilasi, keberadaan jendela ruang tidur, jenis lantai, pembagian ruang tidur, jenis dinding, kelembaban luar rumah, suhu luar rumah, kontak penderita dan status gizi.10 Sayangnya, penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut hanya terfokus pada permasalahan TB paru, padahal berdasarkan data Riskesdas yang telah disebutkan di atas bahwa masalah kesehatan respirasi lainnya seperti asma maupun ISPA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tinggi dan menjadi sepuluh besar penyebab kematian tertinggi di Indonesia.2,3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi masalah kesehatan respirasi di pemukiman kumuh Jakarta dan hubungannya dengan kondisi lingkungan rumah yang meliputi jenis lantai rumah, dinding rumah, ventilasi, kondisi jendela terbuka, intensitas pencahayaan, kelembapan, suhu dalam rumah, kepadatan hunian rumah, dan keberadaan lubang asap di dapur.

Tinjauan Teoritis

Masalah kesehatan respirasi merupakan segala kondisi yang mengganggu proses respirasi, yang mencakup pertukaran O2 dan CO2 antara udara di atmosfer dengan darah, juga antara darah dengan jaringan dalam tubuh manusia.11 Jenis penyakit respirasi yang sering terjadi antara lain infeksi (TB dan pneumonia) serta obstruksi (asma dan PPOK).2,12

Kondisi lingkungan rumah yang sehat diperlukan untuk kesehatan respirasi penghuninya.11,12 Kriteria rumah yang sehat adalah adanya bagian-bagian rumah, yakni atap, lantai, dinding, jendela, ventilasi, pembuangan asap, pencahayaan; serta sanitasi yang baik yang terdiri dari sarana pembuangan sampah, limbah, jamban, dan sarana air bersih. Selain itu, persyaratan kesehatan rumah lainnya yakni bahan bangunan, komponen penataan ruang, kepadatan hunian, kualitas udara, vektor penyakit, dan kelembapan yang sesuai.12

Pemukiman kumuh dapat menjadi salah satu faktor risiko masalah kesehatan repirasi.12 Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pemukiman kumuh merupakan lingkungan huni yang memiliki ciri-ciri: (1) banyak rumah yang tidak layak huni yakni rumah yang terbuat dari

(5)

bahan bekas dan tidak cocok untuk tempat tinggal, (2) penduduk sangat padat, yakni 250-400 jiwa/ha, (3) banyak saluran pembuangan limbah yang tersumbat, (4) tempat hunian yang berdesakan, (5) prasarana yang kurang memadai seperti MCK, air bersih, drainase, dan listrik, (6) berada di daerah pinggiran, (7) kurangnya kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, dan fasilitas sosial seperti sekolah, tempat ibadah, dan balai pengobatan. Meskipun demikian, sampai saat ini belum ada standar yang baku untuk menetapkan kumuh tidaknya suatu pemukiman.9

Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan rumah dengan masalah kesehatan respirasi di pemukiman kumuh Jakarta. Lingkungan kumuh dipilih sebagai populasi target karena faktor risiko sosial-ekonomi dan lingkungannya terbukti berhubungan dengan masalah kesehatan respirasi.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sumber data penelitian adalah data primer berupa wawancara mengenai kejadian masalah kesehatan respirasi responden dalam satu tahun terakhir, serta pengukuran kondisi lingkungan rumah dengan menggunakan alat ukur yang sesuai seperti luxmeter (pencahayaan), higrometer (kelembapan), suhu (termometer), luas ventilasi (meteran), serta kepadatan hunian rumah dihitung dengan rumus luas lantai rumah per jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah. Standar kesehatan (memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan syarat pemukiman sehat yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia.7,8

Pengumpulan data dilakukan pada 21-26 Januari 2012 dengan populasi target adalah masyarakat lingkungan kumuh Kota Jakarta.Pengambilan data dilakukan di kawasan kumuh Keluarahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Metode pengambilan sampel adalah consecutive sampling dengan jumlah responden sebanyak 104 orang. Kelurahan Petamburan terdiri atas 10 RW dan 103 RT. RW yang terpilih dalam penelitian ini adalah RW 03 karena kondisi lingkungannya yang sesuai dengan karakteristik lingkungan kumuh dalam penelitian. Dari RW 03, RT yang terlibat dalam penelitian adalah RT 01, 03, 04, 05, 06, 07, 08, dan 09. Dari masing-masing RT, diambil sekitar 10-15 keluarga sebagai sampel. Sebelum melibatkan sebuah keluarga dalam penelitian, dipastikan terlebih dahulu responden memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Kriteria inklusi

(6)

dalam penelitian ini adalah penduduk tetap Kelurahan Petamburan, dapat membaca, dapat menulis, dan dapat berbicara. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah ketidaksetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis univariat dan analisis bivariat dengan uji Chi square dan Fischer’s Exact. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS version 11.5

for Windows Operating System.

Hasil Penelitian

Tabel 1. Karakteristik Responden

Variabel Kategori n %

Jenis kelamin Laki-laki 10 9,3

Perempuan 97 90,7 Usia 18 – 25 tahun 8 7,5 25 – 65 tahun 93 86,9 > 65 tahun 6 5,6 Pekerjaan Pelajar 1 0,9 Pegawai swasta 5 4,7 Wiraswasta 19 17,7

Buruh/petani/pekerja rumah tangga 5 4,7

Ibu rumah tangga 75 70,1

Lain-lain 2 1,9

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa karakteristik responden didominasi oleh perempuan (90,7%), kelompok usia 25-65 tahun (86,9%), dan profesi ibu rumah tangga (70,1%). Sampel yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari 107 rumah responden di Kelurahan Petamburan.

(7)

Gambar 1. Prevalensi Masalah Kesehatan Respirasi

Berdasarkan Gambar 1, dari 107 rumah responden yang diteliti, terdapat 25 rumah (23,4%) yang menderita masalah kesehatan respirasi. Berdasarkan wawancara, dari 25 responden yang menderita masalah kesehatan respirasi tersebut, terdapat 3 responden yang anggota keluarga lainnya juga mengalami masalah kesehatan respirasi sehingga total terdapat 28 orang yang menderita masalah kesehatan respirasi. Adapun jumlah penghuni dari 107 rumah responden tersebut adalah 553 orang.

Gambar 2. Prevalensi Jenis Penyakit Respirasi yang Diderita 23,4%  

(8)

Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi masalah kesehatan respirasi di Kelurahan Petamburan, Jakarta Pusat, tahun 2012 adalah 23,4%. Berdasarkan Gambar 2, masalah kesehatan respirasi yang ditemukan yaitu terdapat 11 orang (10,3%) yang menderita TB Paru, 10 orang menderita asma (9,4%), dan 4 orang menderita PPOK (3,7%).

Tabel 2. Kondisi Rumah Responden

Variabel Kategori N %

Lantai rumah MS (ubin, keramik kedap air) 98 91,6

TMS 9 8,4

Dinding rumah MS (rapat, batu bata plesteran) 102 95,3

TMS 5 4,7

Ventilasi MS (>10% luas lantai rumah) 52 48,6 TMS (<10% luas lantai rumah) 55 51,4

Kondisi jendela MS (terbuka) 50 46,7

TMS (tertutup) 57 53,3

Pencahayaan alami MS (60-120 lux) 34 31,8

TMS (<60 atau >120 lux) 73 68,2

Kelembapan MS (40-70%) 100 93,5

TMS (<40 atau >70 %) 7 6,5

Suhu ruangan MS (18-300 C) 59 55,1

TMS (<18 atau >300 C) 48 44,9 Kepadatan hunian rumah MS (>9 m2) 74 69,2

TMS (<9 m2) 33 30,8

Lubang asap di dapur MS (ada) 71 66,4

TMS (tidak ada) 36 33,6

Keterangan : MS (memenuhi syarat), TMS (tidak memenuhi syarat)

Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar rumah responden telah memenuhi syarat kesehatan yaitu lantai rumah yang terbuat dari ubin atau keramik kedap air (91,6%), dinding rumah rapat atau terbuat dari batu bata plesteran (95,3%), kelembapan 40-70% (93,5%), suhu ruangan 18-300 (55,1%), kepadatan hunian rumah >9 m2 (69,2%), dan terdapat lubang asap di dapur (66,4%). Namun, sebagian besar rumah responden tidak memenuhi syarat kesehatan tidak

(9)

memenuhi syarat kesehatan untuk variabel luas ventilasi (51,4%), kondisi jendela tertutup (53,3%), dan pencahayaan alami tidak adekuat (68,2%).

Tabel 3. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi

Variabel Penyakit Respirasi Uji p

Tidak Ada Ada Kemaknaan

1. Lantai rumah Fisher test 1,000

a. Memenuhi syarat 75 (70,1%) 23 (21,5%) b. Tidak memenuhi syarat 7 (6,5%) 2 (1,9%)

2. Dinding rumah Fisher test 0,332

a. Memenuhi syarat 79 (73,8%) 23 (21,5%) b. Tidak memenuhi syarat 3 (2,8%) 2 (1,9%)

3. Ventilasi Chi-square <0,001

a. Memenuhi syarat 48 (40,2%) 4 (3,7%) b. Tidak memenuhi syarat 34 (31,8%) 21 (19,6%)

4. Kondisi jendela terbuka Chi-square 0,032

a. Memenuhi syarat 43 (40,2%) 7 (6,5%) b. Tidak memenuhi syarat 39 (36,4%) 18 (16,8%)

5. Pencahayaan alami Chi-square 0,053

a. Memenuhi syarat 30 (28,0%) 4 (3,7%) b. Tidak memenuhi syarat 52 (48,6%) 21 (19,6%)

6. Kelembapan Fisher test 0,350

a. Memenuhi syarat 78 (72,9%) 22 (20,6%) b. Tidak memenuhi syarat 4 (3,7%) 3 (2,8%)

7. Suhu ruangan Chi-square 0,201

a. Memenuhi syarat 48 (44,9%) 11 (10,3%) b. Tidak memenuhi syarat 34 (31,8%) 14 (13,1%)

8. Kepadatan hunian rumah Chi-square <0,001

a. Memenuhi syarat 64 (59,8%) 10 (9,3%) b. Tidak memenuhi syarat 18 (16,8%) 15 (14,0%)

9. Lubang asap di dapur Chi-square 0,027

a. Memenuhi syarat 59 (55,1%) 12 (11,2%)

(10)

Tabel 3 menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara kejadian masalah kesehatan respirasi dengan ventilasi, kondisi jendela terbuka, kepadatan hunian rumah, dan keberadaan lubang asap di dapur. Sebaliknya, tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian masalah kesehatan respirasi dengan jenis lantai rumah, jenis dinding, pencahayaan alami, kelembapan, dan suhu ruangan.

Pembahasan

Tabel 1 menunjukkan terdapat 23,4% rumah di Kelurahan Petamburan yang penghuninya menderita masalah kesehatan respirasi. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa studi bahwa masalah kesehatan respirasi secara global merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting. Dapat dilihat pada hasil statisik WHO tahun 2012 yang cukup banyak membahas tuberkulosis, asma, PPOK, dan pneumonia.13,14

Penelitian ini juga menemukan bahwa prevalensi masalah kesehatan respirasi di Kelurahan Petamburan adalah TB Paru (10,3%), asma (9,4%), dan PPOK (3,7%). Temuan ini sesuai dengan laporan WHO bahwa ketiga penyakit tersebut memiliki prevalensi yang tinggi di Indonesia. Prevalensi kasus tuberkulosis adalah 289 kasus untuk setiap 100.000 penduduk Indonesia dengan jumlah kematian sebanyak 27 kematian. Pada tahun 2007, kasus TB Paru di Jakarta tercatat sebesar 22.815 kasus dengan tingkat kesembuhan mencapai 83,68%.5 Adapun pada tahun 2008, jumlah kematian akibat asma dan PPOK adalah sekitar 8,2 dan 53 kematian untuk setiap 100.000 penduduk Indonesia.15

Penelitian ini dilakukan di pemukiman kumuh Petamburan. Namun, tabel 2 menunjukkan pada sebagian besar rumah responden terdapat enam dari sembilan variabel kondisi lingkungan rumah yang telah memenuhi syarat kesehatan, yaitu lantai rumah yang terbuat dari ubin atau keramik kedap air, dinding rumah rapat atau terbuat dari batu bata plesteran, kelembapan 40-70%, suhu ruangan 18-300, kepadatan hunian rumah >9 m2, dan terdapat lubang asap di dapur. Hal ini merupakan kondisi yang baik untuk kesehatan lingkungan warga di pemukiman kumuh Petamburan. Meskipun sampai saat ini belum ada standar yang baku untuk menetapkan kumuh tidaknya suatu pemukiman, temuan penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang menyatakan bahwa pemukiman kumuh merupakan lingkungan

(11)

yang memiliki ciri-ciri penduduk sangat padat (250-400 jiwa/ha) dan tempat hunian yang berdesakan.9

Analisis statistik bivariat menunjukkan bahwa terdapat empat variabel dari sembilan variabel bebas yang memiliki hubungan bermakna (p <0,005) dengan kejadian masalah kesehatan respirasi, yaitu ventilasi, kondisi jendela terbuka, kepadatan hunian rumah, dan keberadaan lubang asap di dapur. Sebaliknya, variabel jenis lantai, dinding, pencahayaan alami, kelembapan, dan suhu tidak memiliki hubungan bermakna (p >0,005) dengan kejadian masalah kesehatan respirasi.

Rumah dengan luas ventilasi dan jendela yang kurang baik akan berpengaruh terhadap kejadian masalah kesehatan respirasi. Ventilasi rumah berfungsi untuk mengeluarkan udara yang tercemar (bakteri, CO2) di dalam rumah dan menggantinya dengan udara yang segar dan bersih atau untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya ultra violet. Dalam penelitian ini, ventilasi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Rumah dengan ventilasi kurang menyebabkan cahaya tidak dapat masuk ke dalam rumah mengakibatkan meningkatnya kelembaban dan suhu udara di dalam rumah. Dengan demikian, masalah kesehatan respirasi contohnya kuman tuberkulosis paru akan tumbuh dengan baik dan dapat menginfeksi penghuni rumah. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian masalah kesehatan respirasi.8,17

Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga satu rumah tinggal. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuinya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Kondisi ini tidak sehat karena menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen. Selain itu, bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi sistem respirasi akan mudah menular kepada anggota keluarga lain. Hal ini disebabkan dalam etiologi penyakit seperti Streptococcus pneumonia, atau kuman Mycobacterium tuberculosis berukuran sangat kecil, bersifat aerob, dapat bertahan hidup lama dalam sputum kering serta ekskreta lain dan dengan mudah dapat dieksresikan melalui inhalasi butir sputum lewat batuk, bersin maupun bicara (droplet infection).6,17

Pada penelitian ini, pencahayaan alami yang buruk tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Memang belum ditemukan penelitian lain yang

(12)

menyebutkan hubungan antara sinar matahari langsung dengan kejadian penyakit respirasi umumnya. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa kondisi pencahayaan yang buruk memiliki hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya jenis bakteri yang dapat dimatikan jika bakteri tersebut mendapatkan sinar matahari secara langsung. Demikian pula dengan kuman TB dapat mati karena cahaya sinar ultraviolet dari sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. Cahaya matahari pagi diutamakan karena mengandung sinar ultraviolet yang dapat membunuh kuman. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Subagyo et al (2007)9 dan Fatimah (2008)6 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pencahayaan alami dengan kejadian tuberkulosis paru.6,10,17

Suhu ruang tidur tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Hal ini sesuai dengan hasil analisis multivariat pada penelitian sebelumnya (Fatimah, 2008)6 yang menyimpulkan bahwa suhu tidak mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian TB paru yang merupakan salah satu masalah kesehatan respirasi yang sering terjadi. 6,17

Kelembaban dalam penelitian ini adalah kelembaban dalam ruang tidur , memenuhi syarat jika nilai kelembabannya antara 40%-70%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembaban tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Kelembaban diakibatkan oleh ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan padat penghuni. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat membuat cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah sehingga meningkatkan kelembaban di dalam rumah dan menjadi faktor risiko penularan penyakit infeksi sistem respirasi misalnya TB paru. 6,17

Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian TB paru dengan jenis lantai ataupun dinding. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa lantai merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru. Selain itu berdasarkan teori, jenis dinding pada rumah akan berpengaruh terhadap kelembaban dan mata rantai penularan TB paru yang merupakan salah satu masalah kesehatan respirasi. Seseorang yang bertempat tinggal dengan jenis dinding yang tidak permanen atau semi permanen yang terbuat dari papan tidak kedap air atau anyaman bambu serta sebagian tembok yang tidak diplester memiliki risiko lebih

(13)

tinggi untuk menderita masalah kesehatan respirasi dibanding orang yang bertempat tinggal dengan jenis dinding yang permanen atau memenuhi syarat.10,16

Salah satu faktor perancu yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini adalah status gizi. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan bahwa faktor status gizi berhubungan dengan kejadian masalah kesehatan respirasi. Sejumlah studi tersebut menyimpulkan bahwa orang dengan status gizi atau indeks masa tubuh (IMT) <18,5 mempunyai risiko meningkatkan kejadian masalah kesehatan respirasi sebanyak 2,737–4,949 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang memiliki IMT ≥18,5. 6,17

Keterbatasan penelitian ini yaitu prevalensi penyakit respirasi yang didapatkan hanya berasal dari responden yang berobat ke dokter dan didiagnosis menderita penyakit respirasi. Responden yang tidak berobat ke dokter meskipun menunjukkan gejala penyakit respirasi ataupun silent killer tidak dikategorikan dalam kelompok yang menderita penyakit respirasi.

Kesimpulan

Prevalensi masalah kesehatan respirasi pada masyarakat pemukiman kumuh Petamburan, Jakarta Pusat, tahun 2012 adalah 23,4%, terdiri atas TB Paru (10,3%), asma (9,4%), dan PPOK (3,7%). Terdapat hubungan antara kondisi lingkungan rumah yaitu luas ventilasi, kondisi jendela, kepadatan hunian rumah, dan keberadaan lubang asap di dapur dengan kejadian masalah kesehatan respirasi.

Saran

Dari temuan penelitian ini, dapat disarankan untuk melakukan edukasi yang tepat kepada masyarakat mengenai bahaya dan cara pencegahan merupakan faktor penting untuk mengurangi prevalensi masalah kesehatan respirasi di Indonesia. Selain itu, melakukan upaya promosi kesehatan melalui iklan layanan masyarakat dan lainnya seperti pola hidup bersih dan sehat serta perlu terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menghindari risiko terjadinya masalah kesehatan respirasi.

(14)

Kepustakaan

1. World Health Organization (WHO). World Health Statistic 2010. Dari URL http://www.who.int/en. Diakses 18 Agustus 2011.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Dari URL http://www.depkes.go.id. Diakses 17 Agustus 2011.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2004. Dari URL http://www.depkes.go.id. Diakses 18 Agustus 2011.

4. Aditama TY, Surya A, Bantoro W, Basri C, Rahayu D, Diantika, et al. Pedoman Penanggulangan TB di Tempat Kerja. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.

5. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007. Dari URL http://www.depkes.go.id. Dikases 18 Agustus 2011.

6. Fatimah S. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap [Tesis]. Semarang: Program Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro; 2008.

7. Harmayani KD & Konsukartha IGM. Pencemaran air tanah akibat pembuangan limbah domestik di lingkungan kumuh: Studi kasus banjir Ubung Sari, Kelurahan Ubung. Jurnal Pemukiman Natah. 2007;5(2):62-108.

8. Pudjiastuti W. Strategi mengatasi maslah kesehatan dan lingkungan hidup di pemukiman kumuh lewat program pemasaran sosial. Makara, Sosial Humaniora. 2002;6(2):76-81. 9. Murtanti JR, Rutiana D. Strategi perencanaan pembangunan pemukiman kumuh: Kasus

pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit, Surakarta. Gema Teknik. 2007;1:89-96.

10. Subagyo A. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas [Tesis]. Semarang: Program Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro; 2007.

11. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12th Ed. New Jersey: John Wiley & Sons Inc; 2008

12. Fauci as, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Ed. New York: McGraw Hill’s Company; 2012. 13. World Health Organization. World Health Statistics 2012. Geneva: WHO; 2012. 14. World Health Organization. Indonesian: Health Profile. Geneva: WHO; 2012.

(15)

15. Department of Measurement and Health Information of WHO. Age-standardized death rates per 100.000 by cause. Geneva: WHO; 2011.

16. Nurhidayah I. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang [Skripsi]. Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran; 2007.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Responden
Gambar 1. Prevalensi Masalah Kesehatan Respirasi
Tabel 2. Kondisi Rumah Responden
Tabel 3. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Masalah Kesehatan Respirasi

Referensi

Dokumen terkait

Jika investigasi dalam mencari kebenaran tidak dilaksanakan dengan baik, maka reputasi dari individu yang tidak bersalah akan sulit diperbaiki dan pelaku kecurangan

Latar Belakang dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi stres, yang dapat menyebabkan penyakit fisik dan tekanan psikologis yang telah diinvestigasi dan terjadi di

Saat ini proses administrasi tugas akhir pada STMIK Dumai masih terkomputerisasi secara sederhana, hal ini menyebabkan bagian akademik mengalami beberapa kesulitan

Proses peroksidasi lipid dalam patogenesis katarak senilis akan terjadi reaksi radikal bebas dengan asam lemak tidak jenuh ganda yang terdapat pada membran sel lensa

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang berbunyi rata-rata hasil belajar siswa setelah menggunakan media pembelajaran maket konstruksi tangga beton bertulang

Pada dasarnya hukum dibuat oleh kekuasaan (penguasa politik) untuk mengatur interaksi rakyat dari kaum tersebut, baik interaksi sesama mereka, atau interaksi

Asisten untuk Laboratorium Kualitas Udara berasal dari mahasiswa S1 JTL yang telah memenuhi kualifikasi yang disyaratkan sesuai dengan ketentuan recruitment LKU setiap

• Proses pembentukan tanah terutama berupa proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran bahan organik dan mineral di permukaan tanah, pembentukan struktur