• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN USAHA SAPI PERAH DAN UPAYA PERBAIKANNYA: KASUS DI KABUPATEN REJANG LEBONG-BENGKULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN USAHA SAPI PERAH DAN UPAYA PERBAIKANNYA: KASUS DI KABUPATEN REJANG LEBONG-BENGKULU"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN USAHA SAPI PERAH DAN UPAYA

PERBAIKANNYA: KASUS

DI

KABUPATEN

REJANG

LEBONG-BENGKULU

(Performance of The Dairy Cattle Farming and Improvement Efforts:

A Case Study of Rejang Lebong – Bengkulu)

UMI PUDJI ASTUTI1,GUNAWAN2danRUSWENDI1 1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

2Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan

ABSTRACT

The need of milk resources in Indonesia had met primarily from imported stuff, while the rest supplied by the dairy cattle farming that raised traditionally. The Indonesian Agency for Agriculture Research and Development has already found some of the technology innovation for dairy farming, but its application need to accelerate, one of them through collaboration among local and provincial relevan institutes. The average milk production in Rejang Lebong is still consider low (6 l/day/head), due to the most of the farmers only did milking for once a day, although it’s potential for twice a day. Through the improvement on better feeding strategy and application of good farming practices, it’s hoped to increase milk production up to 12 l/day/head and could avoid the disease of mastitis. The result showed that dairy cattle farming could be complement the household revenue from the farming system and could be as a main income resources (68.18%). The dairy cattle farmers have not been adapted yet to formulated feed using local resources. The effort to optimize the use of local resources for feed could be done by technological supervised, which through the better technological improvement may increase farmers’ income by 37.93% per year.

Keywords: Dairy cattle farming, technological improvement, Bengkulu

ABSTRAK

Kebutuhan bahan baku susu di Indonesia hingga saat ini sebagian besar berasal dari impor, dan sebagian lagi dari peternak sapi perah rakyat di pedesaan yang dipelihara secara tradisional. Beberapa teknologi Badan Litbang Pertanian telah banyak dihasilkan, namun penerapannya oleh petani perlu diakselerasi, salah satunya melalui kerjasama antara BPTP dengan dinas dan instansi terkait. Produksi susu di Rejang Lebong rata-rata masih rendah (6 l/ekor/hari), karena 90% peternak baru memerah 1 kali sehari, sedangkan hal tersebut berpotensi untuk dilakukan 2 kali sehari. Dengan perbaikan teknologi pakan dan pemeliharaan maka produksi susu akan meningkat sampai 12 l/ekor/hari serta terhindar dari kemungkinan gangguan penyakit mastitis. Hasil identifikasi dan analisis keragaan menunjukkan bahwa usaha sapi perah dapat melengkapi usaha pertanian dan sebagai sumber usaha pokok (68,18%). Peternak sapi perah belum terbiasa menyusun ransum dengan memanfaatkan bahan pakan lokal, dan hal ini dapat diupayakan melalui pendampingan teknologi. Hasil perbaikan teknologi dapat meningkatkan pendapatan rata-rata sebesar 37.93% per peternak per tahun.

Kata kunci: Usaha sapi perah, perbaikan teknolog, Bengkulu

PENDAHULUAN

Pembangunan peternakan merupakan bagian intergral dari pembangunan pertanian yang mengemban misi untuk penyediaan pangan asal ternak yang bergizi dan berdaya saing tinggi, meningkatkan pendapatan petani serta menciptakan lapangan kerja di bidang

agribisnis peternakan dengan memanfaatkan sumber daya peternakan secara optimal. Sampai saat ini, kebutuhan produksi susu nasional sebagian besar tercukupi dari impor yang berasal dari Australia dan New Zealand. Susu yang menjadi faktor penentu membangun tubuh manusia di Indonesia ternyata masih

(2)

didominasi oleh produksi luar (ANONIM, 2007).

Mengembangkan sapi perah bukanlah hal yang sulit, sayangnya bibit sapi perah belum mampu berproduksi secara optimal. Menata Industri bukan hanya dilihat dari hasil akhirnya (susu), tetapi juga masalah bibit. Hal ini dikarenakan industri sapi perah di Indonesia masih berbasis peternakan rakyat yang mempunyai struktur modal rendah. Oleh karena itu sudah saatnya kita menghasilkan sapi perah Indonesia yang leih adaptif, misal persilangan sapi perah unggul (Frisian Ongole, Indonesian Milking Zebu) yang mungkin sesuai dengan kondisi agroekologi dan ketersediaan pakan.

Menurut NASUTION (1988) agar petani menguasai pengetahuan dan keterampilan baru, maka perlu diajari, dilatih, dan dibimbing hingga mampu melakukannya sendiri. Kegiatan pendampingan teknologi yang dilakukan oleh BPTP Bengkulu dalam bentuk pengawalan penerapan teknologi didasarkan pada anjuran/rekomendasi teknologi yang berasal dari Balai penelitian ternak maupun BPTP. Kerjasama antara BPTP dengan Dinas dan Instansi terkait diperlukan untuk membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh petani dari segi teknologi sehingga program pembangunan peternakan daerah berjalan dengan baik.

Kecukupan protein hewani secara nasional masih jauh dari target yang telah ditetapkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988 sebesar 6 gram/kapita/tahun, ekuivalen dengan konsumsi susu 7,2 kg/kapita/tahun. Di Provinsi Bengkulu kecukupan protein hewani masih rendah, baru mencapai 4,35 gram/ kapita/tahun pada tahun 2005 dan diperkirakan

baru akan tercapai target 6 gram/kapita/tahun pada tahun 2011. Rendahnya Konsumsi bahan pangan asal ternak khususnya susu disebabkan rendahnya daya beli, juga belum membudaya-nya konsumsi susu bagi masyarakat Bengkulu. Pada umumnya susu yang dikonsumsi adalah susu olahan yang harganya relatif mahal dibandingkan mengkonsumsi susu segar.

Upaya peningkatan konsumsi susu dilakukan oleh Dinas Peternakan Provinsi melalui program Gerimis Mas (gerakan minum susu bagi masyarakat), sedangkan di Kabupaten Kepahiang melalui program Gerimis Bagus (gerakan minum susu bagi anak usia sekolah). Kegiatan pendampingan teknologi BPTP bertujuan untuk menggali pemasalahan dalam pengembangan ternak sapi perah dan memperoleh keragaan produktivitas sapi perah di Kabupaten Rejang Lebong serta upaya perbaikannya.

METODOLOGI

Kegiatan dilaksanakan di Kecamatan Selupu Rejang mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juli Tahun 2007 (Tabel 1) dengan metode pengamatan lapangan dan desk study. Untuk mendapatkan data awal, pelaksanaan kegiatan diawali koordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu, sedangkan untuk data primer dilakukan wawancara meng-gunakan kuesioner. Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif.

Parameter yang diamati adalah produksi susu, curahan tenaga kerja, dan pendapatan peternak.

Tabel 1. Alokasi waktu tahapan kegiatan pendampingan keragaanproduktivitas sapi perah di Rejang Lebong

No. Tahapan kegiatan Alokasi waktu Output

1. Koordinasi Maret 2006 Kebutuhan paket teknologi

2. Pengambilan data primer April 2006 Terkumpulnya data dasar peternak 3. Pengamatan lapangan April 2006 Diperolehnya keragaan sapi perah 4. Analisis tabel dan diskriptif Mei – Juni 2006 Alternatif pemecahan masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan peternak sapi perah

Dari 22 orang responden, didapatkan sebaran umur petani peternak sapi perah termuda adalah 27 tahun dan tertua 61 tahun.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi perah dapat dilakukan oleh semua

(3)

golongan usia peternak, dan sebagian besar dilakukan oleh usia peternak 30 – 59 tahun. BPS (2007) mengklasifikasikan usia peternak di Rejang Lebong termasuk usia produktif, sehingga populasi ternak yang dipelihara diharapkan akan dapat ditingkatkan. Jumlah ternak yang dipelihara oleh peternak tidak terlepas dari jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia.

Tabel 2. Pengelompokan petani peternak sapi perah menurut umur di Kabupaten Rejang Lebong

No Kelompok umur Jumlah petani peternak (orang) 1 20 – 29 2 2 30 – 39 6 3 40 – 49 7 4 50 – 59 5 5 60 – 69 2 Jumlah 22 Sebaran pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak dapat mengandalkan tenaga kerja keluarga karena jumlah anggota keluarga relatif kecil dan banyak yang sekolah atau menjalankan usaha lainnya. Tingkat pendidikan petani peternak sapi perah adalah 9,09% sekolah dasar dasar, 81,82% lulus SLTP dan 9,09% lulus SLTA. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal responden tergolong rendah sehingga untuk adopsi suatu teknologi memerlukan pendekatan khusus.

Tabel 3. Pengelompokan petani peternak sapi perah menurut jumlah anak

No Jumlah anak Jumlah petani peternak (orang) 1 1 – 2 15 2 3 – 4 7 3 5 – 6 2 4 7 – 8 1 Jumlah 22 Usaha sapi perah di Rejang Lebong merupakan usaha pokok peternak (68,12%), sedangkan 31,82% sebagai usaha sambilan. Kondisi ini menunjukan bahwa usaha ternak sapi perah dapat melengkapi usaha pertanian dengan demikian usaha sapi perah harus mendapat perhatian khusus karena apabila

terjadi kegagalan akan berdampak pada pengurangan pendapatan keluarga. Curahan waktu yang diberikan responden untuk mencari rumput berkisar antara 3 jam sampai 8 jam per hari dengan rata-rata 4,8 jam perhari, sedangkan untuk memandikan ternak antara 0,5 – 2 jam/hari.

Tingginya curahan waktu untuk mencari rumput menunjukkan bahwa pakan sapi perah sebagian besar adalah rumput segar. Itu sebabnya sebagian besar responden tidak terlalu menginginkan penambahan sapi lagi yang disebabkan kekhawatiran mereka tidak dapat memberi pakan dan rumput. Hal ini perlu mendapat perhatian agar petani ternak tidak tergantung pada rumput segar.

Keragaan ternak

Jumlah sapi yang dimiliki tiap responden berkisar antara 2 sampai 11 ekor dengan rata-rata 5 ekor, dari populasi sapi perah sebanyak 107 ekor. Sedangkan dari 63 ekor induk sapi sebanyak 32 ekor atau 50,79% dari jumlah induk dalam keadaan laktasi. Hasil wawancara menunjukkan 15 responden (68,18%) menyata-kan jumlah sapi yang mereka miliki sudah cukup banyak dan hanya 15 responden (22,73%) yang merasa jumlah sapi perah mereka terlalu sedikit.

Dari sisi makanan ternak, ternyata seluruh responden (100%) menggunakan rumput segar. Jenis rumput unggul seperti King grass diberikan oleh 11 responden (50,00%), rumput gajah oleh 8 responden (36,36%), dan 13,64% memberikan rumput biasa. Dari ketersediaan rumput teridentifikasi bahwa 77,27% rumput yang mereka tanam tidak mencukupi sehingga harus mencari rumput di sekitar desa dan limbah pertanian seperti daun jagung. Jumlah rumput yang diberikan berkisar antara 25 – 70 kg/ekor/hari tergantung besarnya ternak sapi, kondisi ini menggambarkan adanya peluang untuk mengembangkan pakan ternak dari limbah pertanian yang tersedia di sekitar desa.

Pakan tambahan yang diberikan pada sapi hanya berupa limbah pertanian berupa daun jagung dan dedak halus dengan kisaran harga antara Rp. 35.000,- sampai Rp. 150.000,-/ bulan, atau rata-rata Rp. 94.000,-/bulan. Sebagian besar (72,72%) peternak memberikan pakan 2 kali/hari, tapi ada juga yang

(4)

memberikan 3 kali/hari (13,64%), dan 13,64% waktu pemberiannya tak menentu. Keragaan ini menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi perah di Rejang Lebong masih tradisional, hal ini juga terekam dari wawancara bahwa peternak sapi perah menganggap bahwa pakan masih menjadi masalah yang serius, sementara dari ketersediaan bahan pakan di lapangan cukup memadai. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh:

• Petani peternak sapi perah belum terbiasa menyusun ransum dengan memanfaatkan bahan pakan lokal.

• Petani peternak sapi perah belum terbiasa memberikan pakan tambahan sehingga kebutuhan pakan hanya dari rumput.

• Tidak semua petani peternak sapi perah menanam rumput unggul, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sapi masih mencari rumput lapangan dan limbah pertanian.

Produksi susu dari 32 ekor induk laktasi, baru mencapai 190 liter/hari atau rata-rata produksi 6 l/ekor/hari. Menurut KANISSIUS (1995) rata-rata produksi susu sapi perah keturunan IB bisa mencapai 15 - 20 l/hari, sehingga produksi susu sapi di Rejang Lebong masih berpotensi untuk ditingkatkan. Rendah-nya produksi susu sapi perah ini disebabkan oleh: (1) tipe sapi perah sebagian besar adalah tipe B, hal ini dapat dilihat dengan perkem-bangan ambing yang kurang sempurna sehingga produksi susunya juga tidak maksimal, (2) mutu pakan yang rendah, karena masih berupa pakan hijauan saja, (3) kurangnya modal petani untuk membeli konsentrat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka teknologi pembuatan pakan menggunakan limbah pertanian menjadi sangat penting di Rejang Lebong.

Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya dualisme dalam pengembangan sapi perah di Rejang Lebong, di satu sisi ingin meningkatkan produksi susu, di sisi yang lain produksi yang telah dihasilkan sebanyak 6 l/ekor/hari baru 50% dikonsumsi oleh peternak. Konsumsi susu di Provinsi Bengkulu tahun 2005 lalu baru mencapai 4,35 gram/hari/kapita, hal ini terjadi karena jangkauan pemasaran susu sapi segar masih terbatas dan masyarakat belum terbiasa mengkonsumsi susu sapi segar. BUDI (2008) menyatakan bahwa pemasaran

susu segar yang langsung ke end user (konsumen) merupakan fenomena ideal karena harga susu segar lebih murah dibandingkan susu olahan (Rp. 2000,-), dan kandungan nutrisinya jauh lebih tinggi. Titik kritis yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana susu segar dapat sampai ke tangan konsumen dalam keadaan higienis. Oleh karena itu di samping promosi minum susu seperti program Gerimas Mas di Kepahiang dan Gerimis Bagus di Provinsi Bengkulu, juga peningkatan kualitas susu harus menjadi prioritas oleh peternak.

Dilihat dari kondisi lingkungan dan peternak di Rejang Lebong masih berpeluang untuk pengembangan sapi perah antara lain melalui inseminasi buatan (IB), namun dalam pelaksanaannya persediaan N2 cair dan semen beku jenis sapi perah sangat terbatas. Keterbatasan semen beku sapi perah ini membuat petani ternak tidak mempunyai pilihan bila inseminator menginseminasi dengan semen jenis sapi lain seperti Simental, Brahman maupun sapi Brangus. Oleh karena itu Kantor Perikanan dan Peternakan Rejang Lebong perlu merencanakan dan menganggar-kan dana pembelian semen sapi perah.

Dukungan kelembagaan

Semua responden mengusahakan sapi perah melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) yang sudah berjalan sejak tahun 2002. Mereka juga sudah memiliki kelompok tani ternak, yaitu 54,54% yang menjadi anggota Kelompok Tani Usaha dan 55,46% menjadi anggota Kelompok Tani Mulya. Dari segi pembinaan kelompok, maka Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) paling sering melakukan pembinaan dibandingkan petugas kabupaten dan provinsi. Responden (100%) menyatakan informasi yang disampaikan dapat dipercaya. Ini menunjukkan kepercayaan responden merupakan aset untuk meningkatkan dinamika kelompok.

Pendapatan

Pendapatan responden yang berasal dari usaha sapi perah pada saat pendataan berkisar dari Rp. 7.500,- sampai dengan Rp. 33.000,- per hari. Dengan asumsi masa laktasi 305 hari, maka pendapatan petani sapi perah rata-rata

(5)

Rp. 5.679.680,- per tahun. Setelah dikurangi pengeluaran, pendapatan bersih menjadi Rp. 4.551.680,- per tahun atau Rp. 379.730,- per bulan.

Bila produksi susu mencapai 10 l/ekor/hari dan usaha pengolahan susu berjalan lancar sehingga produksi susu segar terserap, maka seharusnya pendapatan rata-rata per petani ternak dari usaha sapi perah Rp. 9.150.000,- per tahun atau Rp. 762.500,- per bulan. Angka ini masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah produksi dan persentase sapi laktasi.

KESIMPULAN

Dari ketersediaan tenaga kerja dan umur peternak, pemeliharaan sapi perah di setiap keluarga masih dapat ditingkatkan dengan konsekuansi peningkatan inovasi teknologi. Peningkatan produksi susu harus diimbangi dengan penciptaan program promosi minum susu segar dan penerapan inovasi pengolahan susu secara higienis. Perbaikan teknologi eksisting di Rejang Lebong dapat meningkat-kan pendapatan peternak 37,93%.

DAFTAR PUSTAKA

A.A.KANISSIUS. 1995. Beternak sapi perah. Cetakan ke-8 Yogyakarta.

ANONIMUS. 1996. Buletin. Teknologi dan informasi pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. Jawa Timur.

BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Bengkulu dalam angka. Badan Pusat Statistik Bengkulu. BUDI. 2008. Agri ternak dalam TROBOS Januari

2008.

NASUTION. 1988. Komunikasi pembangunan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

ROGERS. 1986. Komunikasi dan pembangunan. LP3ES. PT. AUUD. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Alokasi waktu tahapan kegiatan pendampingan keragaan produktivitas sapi perah di Rejang Lebong
Tabel 2. Pengelompokan petani peternak sapi perah

Referensi

Dokumen terkait

[r]

11 Saya ragu mengikuti layanan bimbingan belajar yang dapat membantu permasalahan belajar saya.. 12 Meskipun lelah saya tetap mengikuti layanan

Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau menyediak menyediakan an barang yang diberikan oleh syarikat

Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa

Marjin reaktivitas padam teras silisida ditentukan dengan perhitungan neutronik teras seperti dalam teori, pada konfigurasi teras silisida sebagai fungsi jenis bahan penyerap

Lingkup penelitian meliputi pembuatan: paduan U-7Mo dengan teknik peleburan, pembuatan serbuk U-7Mo dengan dikikir dan hydride - dehydride - grinding mill, IEB U-7Mo/Al

Penerapan model group investigation, perubahan positif pada siswa kelas IPS 4 berupa peningkatan terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar pada

Van Rijswijk et.al dalam bukunya Natural Fibre Composites (2001) menjelaskan komposit adalah bahan hibrida yang terbuat dari resin polimer diperkuat dengan serat,