• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 sebagai bahan pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 sebagai bahan pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo - USD Repository"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940 SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP

VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Grace Felicyta Kartika NIM : 06 8114 154

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940 SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP

VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Grace Felicyta Kartika NIM : 06 8114 154

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2010

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

(6)
(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Carbopol 940 Sebagai Bahan Pengental Terhadap Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Semenjak masa perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan, semangat, bimbingan, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt. selaku dosen Pembimbing Skripsi atas segala bimbingan, masukan, kritik, dan sarannya.

3. Rini Dwiastuti, S. Farm, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji serta memberi kritik dan saran yang membangun.

4. Agatha Budi Susiana L., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji, serta atas bimbingannya dalam perkuliahan.

(8)

5. P. Sunu Hardiyanta, S.J., Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., dan A. Tri Priantoro, M.For., Sc. atas segala bimbingan selama perkuliahan dan penyusunan proposal.

6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas segala bimbingan dan ajaran selama perkuliahan.

7. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Iswandi, Mas Ottok, Mas Parlan, Mas Bimo atas segala bantuan dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian. 8. Orangtua dan Kakak-kakakku atas doa, cinta, dan dukungannya.

9. Sihendra, partnerku selama penelitian, penyusunan skripsi, sekaligus selama masa kuliah. Terimakasih atas segala masukan, perhatian, semangat, kebersamaan, dan kasih sayang yang telah kamu berikan.

10.Wiwit, Irene, Rani, Chicha, Intan, terimakasih atas kebersamaan, semangat, canda tawa, dan bantuannya selama penelitian, kerja di laboratorium, dan ujian. Serta Lina, Dani, Rico, teman-temanku satu laboratorium, dan Yos, Lia, Ardani, Ci Vita, teman-temanku satu bimbingan, atas kebersamaan dan bantuannya.

11.Yoki, Shasha, Anton, Astina, Win, Rani, Aan, Uthie, Chicha, Iwan, Yakob, Lina, dan Irene teman-teman FST seperjuanganku sejak semester 1 atas persahabatannya.

12.Lita, Yemi, Rere, Nancy, sahabat-sahabatku dan teman-temanku kos Muria, atas persahabatan dan canda tawanya, serta Mbak Niken.

13.Teman-teman FST 2006, teman-teman kelas C 2006, dan semua teman-teman Farmasi atas segala kebersamaannya.

(9)

14.Segenap karyawan dan laboran yang telah membantu selama perkuliahan penulis di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

15.Semua pihak dan teman-teman yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini oleh karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis

(10)
(11)

INTISARI

Suatu sediaan shampoo harus memiliki viskositas yang memadai serta mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil. Karena hal tersebut mempengaruhi efisiensi pembersihan dan persepsi konsumen. Tetapi busa memiliki karakteristik mudah hilang atau pecah. Maka salah satu cara untuk meningkatkan kestabilan busa adalah dengan menaikkan viskositas sediaan.

Lewat penelitian eksperimental ini diharapkan dapat diketahui apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo. Sekaligus untuk mengetahui hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa.

Pada penelitian dibuat 5 jenis sediaan shampoo menggunakan bahan pengental Carbopol 940 dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b. Kemudian dilakukan pengukuran viskositas dan ketahanan busa pada waktu 2 hari, 15 hari, dan 30 hari setelah pembuatan. Hasil yang didapat diuji statistik menggunakan SPSS 16.0 dengan uji korelasi Pearson.

Ditemukan bahwa peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas sediaan shampoo, namun diperkirakan tidak berpengaruh terhadap ketahanan busa sediaan shampoo. Maka dari itu belum dapat ditemukan hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada sediaan shampoo.

Kata kunci : shampoo, Carbopol, viskositas, ketahanan busa

(12)

ABSTRACT

In addition to good viscosity, shampoo should be able to produce stable and sufficient amount of foam. Because both affect the cleansing efficiency and the consumers’ perception. But the foam has the characteristic of being easily lost or collapsed. One way to increase the foam stability is by increasing the bulk viscosity.

The aim of this experimental research is to know whether the increase of Carbopol 940 concentration is able to affect the viscosity and foam stability of shampoo, and at the same time to know the correlation between viscosity and foam stability.

In this research, 5 types of shampoo were made using Carbopol 940 as a thickening agent with concentration 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% w/w. Then the viscosity and foam stability were measured 2 days, 15 days, and 30 days after being manufactured. The results were analyzed using SPSS 16.0 with Pearson correlation analysis.

The result showed that the increase of Carbopol 940 concentration affected the shampoo viscosity, but it maynot affect the foam stability of the shampoo. So the correlation between viscosity and foam stability of shampoo hasnot been found in this research.

Key words : shampoo, Carbopol, viscosity, foam stability

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ……… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

(14)

A. Shampoo ... 6

1. Karakteristik shampoo ... 6

2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo ... 6

3. Formulasi shampoo ... 7

B. Surfaktan ... 9

1. Karakteristik surfaktan ... 9

2. Jenis-jenis surfaktan ... 10

3. Sodium lauryl sulphate ... 11

4. Cocamidopropyl betaine ... 11

C. Carbopol ... 12

D. Viskositas ... 13

E. Busa ... 15

1. Karakteristik busa ... 15

2. Mekanisme pembentukan busa ... 16

3. Stabilitas busa... 16

4. Metode pengukuran stabilitas busa ... 17

F. Landasan Teori ... 21

G. Hipotesis ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Jenis Rancangan Penelitian ... ... 23

B. Variabel Penelitian ... 23

C. Definisi Operasional ... 23

D. Alat dan Bahan Penelitian ... 24

(15)

E. Tata Cara Penelitian ... 25

1. Pembuatan shampoo ... 25

2. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo ... 26

F. Analisis Hasil ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

A. Formulasi Sediaan Shampoo ... 28

B. Viskositas Sediaan Shampoo ... 32

C. Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ... 37

D. Hubungan Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 44

A. Kesimpulan ... ... 44

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

LAMPIRAN ... 49

BIOGRAFI PENULIS ... 65

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson

antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo... 33 Tabel II. Hasil uji Repeated Anova viskositas sediaan shampoo

pada hari 2, 15, dan 30 ... 35 Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10,

30, 60, 90, dan 120 ... 38 Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi

Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan

busa shampoo ... 39 Tabel V. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa sediaan shampoo

pada hari 2, 15, dan 30 ... 41

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol... 12

Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian... 14

Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis ... 15

Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis ... 18

Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis ... 19

Gambar 6. Struktur skematik Carbopol... 30

Gambar 7. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas shampoo ... 34

Gambar 8. Kurva perubahan viskositas shampoo pada hari 2, 15 dan 30 ... 36

Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa shampoo ... 40

Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2, 15 dan 30 ... 42

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengukuran dan uji viskositas sediaan shampoo... 49

Lampiran 2. Pengukuran dan uji ketahanan busa sediaan shampoo ... 53

Lampiran 3. Pengukuran dan uji ketahanan busa antarmenit... 57

Lampiran 4. Uji pH sediaan shampoo ... 60

(19)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Rambut yang menghiasi kepala manusia merupakan suatu kebutuhan estetika, sehingga orang menghabiskan banyak waktu untuk merawat dan memperbaiki rambutnya. Maka tidak heran apabila shampoo menduduki 12% pasaran kosmetik karena penggunanya yang sangat banyak. Shampoo juga merupakan produk utama dalam kosmetik perawatan rambut (Limbani, 2009). Ini berarti formulasi shampoo yang baik sangat diperlukan. Shampoo sendiri adalah sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun aerosol yang mengandung surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi, humektan, dan menghasilkan busa (foaming) (Rieger, 2000). Shampoo berguna untuk menghilangkan kotoran, lemak, dan minyak dari rambut, serta membuat rambut berkilau dan mudah diatur (Young, 1972).

Hal yang perlu diperhatikan dalam memformulasi shampoo antara lain adalah viskositas dan sifat alir sediaan. Karena selain mempengaruhi efisiensi pembersihan, viskositas juga mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk yang bersangkutan. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu sediaan shampoo

untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah dari tangan. Selain itu viskositas juga berpengaruh terhadap karakteristik busa, efisiensi pengisian produk, dan pengemasan (Leidetrier, 1995 dan De Lathauwer, 2004). Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa bahan pengental (thickening

(20)

2

agent) atau pengatur viskositas (viscosity modifier) memainkan peran penting dalam formulasi sediaan kosmetik (Karsheva, 2007).

Di samping itu busa dari shampoo juga merupakan hal yang sangat penting. Hal ini karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut, membuat rambut mudah dicuci, serta mencegah batangan-batangan rambut menyatu sehingga menyebabkan kusut (Mitsui, 1997). Sifat busa (foaming) dari

shampoo terutama ditentukan oleh surfaktan. Busa (foam) sendiri ialah suatu dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan (Schramm, 2005).

Selain itu karakteristik busa shampoo juga berperan penting dalam menentukan apakah sediaan shampoo tersebut dapat diterima oleh konsumen atau tidak. Suatu sediaan shampoo harus mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil (Limbani, 2009). Namun busa sebenarnya tergolong sulit untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas busa adalah viskositas sediaan (Schramm, 2005). Maka dari itu dapat diartikan bahwa selain befungsi sebagai pengatur viskositas, bahan pengental secara tidak langsung juga berperan sebagai penstabil busa (Fonseca, 2005).

(21)

kebanyakan penelitian yang berkaitan dengan viskositas dan busa menggunakan bahan pengental natrium klorida.

Karsheva (2005) menguji pengaruh bahan pengental dan suhu terhadap rheologi sediaan shampoo. Ditemukan bahwa suhu mempengaruhi rheologi dan NaCl dalam jumlah yang cukup diperlukan pula untuk memperoleh viskositas yang sesuai.

Selain itu Evren (2007) juga menguji mengenai viskositas dan busa dari 30 macam sediaan shampoo yang semuanya mengandung SLES, betaine, dan NaCl. Menurut hasil penelitian, konsentrasi NaCl 3-5% akan menaikkan viskositas, namun di atas konsentrasi 7% viskositas menurun. Ditemukan pula bahwa peningkatan konsentrasi NaCl akan meningkatkan kapasitas busa dan viskositas

shampoo dengan campuran betaine dan SLES akan meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi kedua surfaktan tersebut.

(22)

4

B. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti adalah :

1. Apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo ?

2. Apakah viskositas berhubungan dengan ketahanan busa sediaan shampoo?

C. Keaslian Penelitian

Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan

shampoo belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa shampoo.

2. Manfaat metodologis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai metode pengukuran ketahanan busa.

3. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan

(23)

E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap viskositas shampoo.

2. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap ketahanan busa shampoo.

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Shampoo 1. Karakteristik shampoo

Shampoo adalah sediaan kosmetik dalam bentuk cair, gel, emulsi, ataupun aeorosol yang mengandung surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi, humektan, dan menghasilkan busa (foaming) (Fonseca, 2005). Shampoo harus memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran dari rambut dan kulit kepala tanpa menghilangkan terlalu banyak sebum (Mitsui, 1997). Selain berguna untuk menghilangkan kotoran, shampoo juga membuat rambut tetap berkilau dan mudah diatur (Young, 1972).

Shampoo yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu : a. Memiliki kemampuan membersihkan yang baik.

b. Menghasilkan busa yang banyak (creamy) dan tahan lama. c. Melindungi rambut dari gesekan selama pencucian atau keramas. d. Membuat rambut berkilau dan lembut setelah pemakaian.

e. Aman bagi kulit kepala, rambut, dan mata (Mitsui, 1997). 2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo

Surfaktan pada shampoo akan menurunkan tegangan antarmuka antara kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan akan berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non polar akan berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak.

(25)

surfaktan tersebut akan menyusun diri membentuk micel dengan kotoran terjebak di bagian dalamnya. Bagian luar micel yang merupakan gugus polar mudah berinteraksi dengan air, sehingga saat pembilasan micel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga akan ikut terbawa (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000). 3. Formulasi shampoo

Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula shampoo meliputi: a. Surfaktan primer yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan

anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan kationik sebenarnya juga bisa digunakan, karena mampu membentuk busa dengan baik, mampu membersihkan, dan membuat rambut mudah diatur. Namun sifatnya iritatif khususnya untuk mata, sehingga perlu dikombinasi dengan surfaktan nonionik atau amfoter (Rieger, 2000).

b. Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant yang bekerja memperbaiki detergensi dan pembusaan, serta menjaga kondisi rambut. Surfaktan amfoter banyak digunakan karena dapat melembutkan rambut. Beberapa jenis surfaktan nonionik juga digunakan karena dapat memperbanyak dan menstabilkan busa (Rieger, 2000).

c. Bahan aditif yang berfungsi untuk menunjang formula dan memberikan karakteristik tertentu. Bahan aditif meliputi :

(26)

8

karboksimetil), dan polimer karboksivinil (Carbopol). Sedangkan untuk menurunkan viskositas dapat digunakan sejumlah kecil solven seperti alkohol, senyawa polioksialkilen, atau sodium xilen sulfonat (Rieger, 2000).

2) Pelembut (conditioning agent): berfungsi untuk membuat rambut mudah diatur dan berkilau. Selain surfaktan kationik, umumnya juga digunakan senyawa berlemak seperti lanolin dan mineral oil, polipeptida, dan resin sintetik (Rieger, 2000).

3) Agen pengkelat: berfungsi untuk mencegah pembentukan dan deposisi sabun Ca dan Mg pada rambut saat pencucian dengan air sadah. Umumnya menggunakan garam EDTA atau polifosfat (Rieger, 2000).

4) Agen pemburam (opacifier) dan penjernih (clarifying agent): untuk memperoleh penampilan buram atau berkilau seperti mutiara (pearlesence) dapat ditambahkan alkalonamid (stearat, behenat), glikolmonostearat, glikoldistearat, propilen glikol, zinc oxide, titanium dioxide, dan magnesium aluminium silikat (Veegum). Sedangkan untuk membuat shampoo menjadi transparan dapat digunakan alkohol (etanol, isopropanol, propilen glikol, hexilen glikol, dan dimetiloktindiol) (Rieger, 2000).

(27)

6) Pewarna: digunakan pewarna yang sesuai untuk makanan, obat, dan kosmetik (Food Drug & Cosmetic grade) (Fonseca, 2005).

7) Fragrance atau parfum: diperlukan untuk meningkatkan penerimaan konsumen. Dalam penggunaannya harus diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (tidak berpengaruh pada viskositas dan stabilitas sediaan). Parfum juga tidak boleh menyebabkan perubahan warna pada sediaan maupun rambut dan harus non-irititatif (Rieger, 2000).

8) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH shampoo, biasanya 5,5-6,5. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam fosfat (Fonseca, 2005).

Selain itu shampoo juga dapat dicampur dengan zat aktif tertentu jika diinginkan adanya suatu efek terapetik. Misalnya dengan penambahan zinc pyrithione, ketoconazole, selenium sulfida, ataupun ekstrak tanaman (Fonseca, 2005).

B. Surfaktan 1. Karakteristik surfaktan

(28)

10

satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk membuat sistem tetap dalam dua fase yang tidak bercampur, sehingga terbentuk batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).

Molekul surfaktan memiliki gugus polar (hidrofilik) dan nonpolar (lipofilik). Struktur ini memungkinkan surfaktan untuk kontak dengan zat polar seperti air sekaligus kontak dengan zat nonpolar yang tidak campur dengan air. Sehingga surfaktan disebut sebagai senyawa amfifil. Bagian polar dari surfaktan sering disebut sebagai kepala, sedangkan bagian nonpolar yang berupa rantai hidrokarbon disebut sebagai ekor (Rieger, 1996).

2. Jenis-jenis surfaktan

Berdasarkan gugus polarnya, surfaktan digolongkan menjadi:

a. Surfaktan anionik: bermuatan negatif, contohnya yaitu RCOO-Na+ (sabun) dan RC6H4SO3-Na+ (alkylbenzene sulfonat).

b. Surfaktan kationik: bermuatan positif, contohnya yaitu RNH3+Cl- (garam

amina rantai panjang) dan RN(CH3)3+Cl- (amonium klorida kuarterner).

c. Surfaktan zwitterionik atau amfoter: bemuatan positif dan negatif sekaligus, contohnya yaitu RN+H2CH2COO- (asam amino rantai panjang) dan

RN+(CH3)2CH2CH2SO3- (sulfobetaine).

(29)

RC6H4(OC2H4)xOH (polioksietilen alkilfenol), dan R(OC2H4)xOH

(polioksietilen alkohol) (Rosen, 2004). 3. Sodium lauryl sulphate

Sodium lauryl sulphate (SLS) termasuk dalam golongan surfaktan alkil sulfat dan sifatnya anionik. Alkil sulfat merupakan ester organik dari asam sulfat dengan rantai hidrokarbon yang berbeda-beda panjangnya dan umumnya memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik. SLS memiliki 12 atom karbon dan merupakan surfaktan yang paling sering digunakan dan cukup baik ditoleransi oleh kulit. SLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel, 2009). SLS umumnya diperoleh dalam bentuk serbuk putih atau atau pasta. Sifatnya sukar larut dalam air dingin namun kelarutannya meningkat dengan cepat seiring dengan kenaikan suhu. Sehingga dapat dibuat larutan SLS yang sangat jenuh pada suhu 35-400C (Rieger, 2000).

4. Cocoamidopropyl betaine

(30)

12

Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel, 2009). Selain itu betaine juga merupakan surfaktan yang lembut, daya busanya tidak dipengaruhi oleh pH, dan sifatnya kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik (Rieger, 2000). Betaine sifatnya tidak begitu mengiritasi, bahkan dengan adanya betaine dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik (Barel, 2009). Hal tersebut terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi (1994) bahwa cocoamidopropyl betaine memiliki efek antiiritan yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke larutan SLS. Baik wheat protein maupun cocoamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi. Sehingga betaine tepat untuk produk-produk seperti shampoo dan sabun cair.

C. Carbopol

Resin carbomer atau Carbopol merupakan polimer sintetik dari asam akrilat dengan bobot molekul tinggi. Rantai polimernya terhubung silang-menyilang (crosslinked) dengan alil sukrosa atau alil pentaeritritol. Secara teoritis bobot molekul Carbopol diperkirakan antara 7 x 105 sampai 4 x 109. Carbopol digunakan dalam formulasi sediaan farmasetik cair dan semi padat sebagai pengatur sifat alit (rheology modifier) (Rowe, 2009).

(31)

Pemeriannya yaitu serbuk kering, putih, ringan, higroskopis, densitas bulk tinggi, mengandung lembab maksimum 2%, dan memiliki pKa 6,0±0,5. pH untuk dispersi Carbopol 0,5% dalam air berkisar antara 2,7-3,5. Ada bermacam-macam resin Carbopol dengan viskositas 0-80.000 cps. Viskositas Carbopol sendiri juga dipengaruhi oleh pH dan keberadaan elektrolit. Jumlah maksimum elektrolit yang boleh ada hanyalah 3%, karena jika lebih dari itu maka akan terbentuk massa yang sangat elastis seperti karet. Viskositas maksimum Carbopol dicapai pada pH 7, namun sebenarnya pada pH 4,5-11 pun sudah menunjukkan viskositas dan kejernihan yang cukup baik. Netralisasi yang berlebihan akan membuat suasana menjadi sangat basa sehingga viskositas Carbopol justru menurun dan tidak dapat balik lagi meskipun ditambahkan asam. Carbomer dapat mengembang hingga 1000 kali dalam air dan membentuk gel pada pH 4,5-11. Hal ini bisa terjadi karena gugus karboksilat pada senyawa ini akan terionisasi saat ada penambahan basa. Sehingga polimer ini menjadi bermuatan negatif dan akan terjadi saling tolak-menolak antara sesamanya (Allen, 2002).

Carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien di antara semua Carbopol yang lain, di mana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen, 2002).

D. Viskositas

Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas () digambarkan dengan persamaan metematika :

rate shear

stress shear

 

(32)

14

Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress) akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati. Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian, viskositas tidak berbanding lurus dengan kecepatan geser. Tipe non-Newtonian meliputi plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).

Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)

(33)

memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan terlepas, sehingga viskositas turun (Aulton, 1988).

Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)

Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).

E. Busa 1. Karakteristik busa

(34)

16

menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung akan naik ke atas. Ketika gelembung gas terbentuk di bawah permukaan cairan, maka gelembung itu akan langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi atau gaya tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan berbusa kecuali diberi surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan (Exerowa, 1998). 2. Mekanisme pembentukan busa

Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan. Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling mendekat, sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling bergabung membentuk busa yang lebih besar (Exerowa, 1998).

3. Stabilitas busa

(35)

Penyebab utama dari pecahnya busa (foam collapse) adalah penipisan (thinning) lapisan film dan koalesen. Thinning terjadi karena busa cenderung naik ke atas namun sekaligus ditarik ke bawah karena adanya aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi. Karena ditarik dari 2 arah maka film busa menipis sehingga lebih mudah pecah (rupture). Di samping itu, ukuran busa yang bervariasi menyebabkan adanya gradien tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas, di mana busa-busa kecil akan bergabung menjadi busa yang lebih besar (koalesen). Ukuran busa yang semakin besar berarti tegangan permukaan semakin besar, sehingga semakin mudah pecah (Tadros, 2005 dan Schramm, 2005).

Untuk mencegah pecahnya busa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan viskositas bulk dari cairan, misalnya dengan penambahan gliserol atau polimer. Peningkatan viskositas sediaan akan membuat kecepatan drainage

menurun. Bila kecepatan drainage menurun, maka thinning dapat diminimalisasi. (Tadros, 2005). Di samping itu polimer yang mengelilingi busa akan menciptakan suatu halangan sterik sehingga menghambat busa-busa untuk saling bergabung (Schramm, 2005). Selain itu stabilitas busa juga dapat didukung oleh peningkatan viskositas permukaan dan atau elastisitas permukaan lewat pencampuran beberapa macam surfaktan sehingga didapat film surfaktan yang rapat dan tidak mudah pecah (Tadros, 2005).

4. Metode pengukuran stabilitas busa

(36)

18

a. Mengukur waktu hidup suatu gelembung tunggal. Cara ini kurang reprodusibel karena adanya kemungkinan intervensi dari luar berupa getaran ataupun faktor pengacau lain yang turut mempengaruhi hilangnya busa.

b. Mengukur volume busa yang terbentuk lewat pemberian aliran gas, penggojokan, atau pengadukan (uji dinamis) seperti pada gambar 4. Metode ini relatif sulit, karena pembentukan dan hilangnya busa tidak selalu seragam. Namun demikian ini adalah metode yang banyak digunakan. Pada metode ini gas dengan kecepatan konstan dialirkan ke dalam larutan yang akan diuji lewat semacam ayakan berpori (porous orifice). Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang terjadi pada keadaan steady state.

Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis (Schramm, 2005)

(37)

surfaktan) menggunakan pipet pada jarak tertentu ke dalam wadah lain yang berisi larutan yang sama. Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang terbentuk dan yang hilang setiap periode tertentu.

Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis (Schramm, 2005)

Selain itu ada pula prosedur metode-metode lain yang telah dilakukan oleh para peneliti, antara lain:

a. Sebanyak 2,95 g sabun ditimbang, diserbuk, dan dilarutkan dalam 800ml

(38)

20

b. Sebanyak 0,5 g sampel shampoo diencerkan dengan 50 ml (400C) aquadest

dan diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojok 20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit ke-0 dan ke-5 (Evren, 2007).

c. Pinazo (2001) melakukan modifikasi metode Ross-Miles dengan cara menjaga volume cairan dalam wadah bagian atas tetap konstan lewat pemompaan kembali larutan yang telah diteteskan. Kemudian diukur tinggi busa setelah larutan mengalir selama 1 menit dan diamati perubahan tinggi busa selama periode waktu tertentu.

d. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dengan konsentrasi 0,5-1,5%b/v dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. Kemudian busa dibentuk lewat sistem pengadukan Janke and Kunkel Ultra-Turrax T25 (Staufen, Germany) selama 10 detik. Lalu diukur volume busa yang terbentuk pada menit 0, ke-60, dan ke-120 (Amaral, 2008).

e. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dituang ke silinder gelas berdiameter 42 mm dengan lempeng gelas G-2 di bagian dasarnya. Sebuah syringe dihubungkan ke bagian dasar silinder. Kemudian gas dimasukkan secara manual lewat

syringe tersebut selama waktu tertentu. Lalu diukur tinggi busa yang terbentuk dan diukur perubahan tinggi busanya selama waktu tertentu (Lunkenheimer, 2003).

(39)

g. Sebanyak 40 ml larutan surfaktan 0,1%b/v dituang ke gelas ukur 100 ml. Kemudian gelas ukur tersebut diputar balik selama 10 kali dengan kecepatan 2 detik per putaran. Busa yang terbentuk diukur dalam satuan mm pada menit ke-0 dan menit ke-1 (Piispanen, 2004).

Dari semua metode tersebut sebenarnya tidak ada yang benar-benar tepat, karena semuanya memberikan hasil dengan variasi yang besar. Walaupun terdapat banyak modifikasi dan standarisasi metode lain berdasarkan uji Ross-Miles, namun tetap saja tidak ada metode baku yang seragam untuk mengukur busa. Hal ini karena adanya difusi dan kemungkinan terjadinya perubahan distribusi ukuran busa. Saat ini para peneliti tengah mendiskusikan tentang penggunaan spektroskopi NMR atau MRI untuk memonitor stabilitas busa (Lunkenheimer, 2003 dan Schramm, 2005).

F. Landasan Teori

Untuk mendapatkan sediaan shampoo yang baik, maka salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan rambut juga menentukan persepsi dan penerimaan konsumen.

(40)

22

karena berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain adalah koalesen dan penipisan (thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan (drainage). Salah satu cara untuk mencegah thinning pada busa adalah dengan meningkatkan viskositas dari sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga film busa tidak cepat pecah. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan viskositas adalah polimer. Di samping itu polimer juga akan menghalangi busa untuk saling bergabung satu sama lain.

Carbopol merupakan suatu polimer dan biasa digunakan sebagai bahan pengental. Jenis Carbopol yang memiliki viskositas dan kejernihan paling baik adalah Carbopol 940. Maka dengan dibuat beberapa sediaan shampoo

menggunakan bahan pengental Carbopol 940 yang konsentrasinya dibuat bertingkat dan kemudian dianalisis, dapat diketahui bagaimana konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa. Dari situ dapat diketahui pula bagaimana hubungan antara viskositas dengan kestabilan atau ketahanan busa.

G. Hipotesis

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Sediaan Padat-Semi Solid Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah peningkatan konsentrasi Carbopol 940.

2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah viskositas dan ketahanan busa shampoo.

3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah alat dan bahan yang digunakan, kecepatan putar pengaduk, dan lama waktu pencampuran. 4. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah jumlah gas

(udara) yang masuk ke tabung pada saat pengukuran ketahanan busa.

C. Definisi Operasional

1. Shampoo adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas dua macam surfaktan, pengental, air, serta bahan aditif lain yang meliputi pengatur pH dan pengawet, dan dibuat sesuai prosedur pembuatan shampoo pada penelitian ini.

(42)

24

2. Carbopol 940 adalah bahan pengental yang digunakan dalam formula

shampoo, dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b.

3. Viskositas adalah tahanan shampoo untuk mengalir yang diukur dengan menggunakan viscotester dan dinyatakan dalam satuan cps.

4. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa pada menit ke-0 setelah divortex dengan tinggi busa pada menit ke-5 setelah divortex dan dinyatakan dalam satuan cm.

D. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan meliputi seperangkat alat gelas Pyrex-Germany, neraca Mettler-Toledo GB3002, neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate

Cenco, thermometer, stirrer paddle, pH meter merk Hanna, vortex dari Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, viscotester seri VT 04 RION-Japan, tabung reaksi berskala dan bertutup FORTUNA® W.-Germany.

Bahan yang digunakan meliputi sodium lauryl sulphate (Bratachem),

(43)

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan shampoo

Formula:

A Carbopol 940 * gram Natrium hidroksida 20%b/v q.s pH 7,0 B Sodium lauryl sulphate 10,0 gram

Nipagin 0,1 gram C Cocamidopropyl betaine 10,0 gram

Asam sitrat 50%b/v q.s pH 5,0 - 6,0 Natrium klorida 25%b/v 8,0 gram Aqua demineralisata ad 100,0 gram * 0,1 ; 0,3; 0,5 ; 0,7; 0,9

Bagian A: Setengah bagian aqua demineralisata dimasukkan ke dalam beaker gelas. Pasang ke alat pengaduk beserta stirrer paddle, lalu nyalakan dengan kecepatan tinggi (800 rpm). Masukkan Carbopol 940 sedikit demi sedikit. Setelah semua Carbopol 940 dimasukkan, lanjutkan pengadukan selama 15 menit dengan kecepatan 400 rpm. Kemudian ditambahkan larutan natrium hidroksida 20%b/v secukupnya hingga pH 7,0 dan aduk dengan kecepatan 100 rpm. Pengadukan dilanjutkan selama 2 menit hingga terbentuk suatu mucilago.

(44)

26

Bagian C: Masukkan larutan sodium lauryl sulphate ke dalam mucilago Carbopol dan aduk dengan kecepatan 150 rpm selama 5 menit. Tambahkan natrium klorida 25%b/v dan lanjutkan pengadukan selama 5 menit. Tambahkan

cocamidopropyl betaine dan asam sitrat 50%b/v secukupnya hingga pH 6,0 lalu lanjutkan lagi pengadukan selama 10 menit.

Untuk satu kali pembuatan dibuat shampoo sebanyak 600 g, kemudian dibagi 3 ke wadah yang berbeda untuk disimpan selama 2 hari, 15 hari, dan 30 hari sebelum dilakukan pengukuran. Masing-masing direplikasi 3 kali.

2. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo

a. Uji viskositas. Sebanyak 150 g shampoo dimasukkan perlahan-lahan ke dalam wadah dan dipasang pada viscotester. Nyalakan alat dan lihat viskositasnya dengan mengamati gerakan jarum penunjuk pada viscotester.

b. Uji ketahanan busa. Ditimbang shampoo sebanyak 0,5 g dan larutkan dalam 50 ml air. Ambil 10 ml larutan shampoo dan masukkan perlahan-lahan lewat dinding ke tabung reaksi berskala ukuran 25 ml yang telah ditempeli dengan kertas milimeter blok. Tutup bagian atas tabung reaksi dan vortex dengan kecepatan maksimal selama 2 menit. Catat tinggi busa pada menit ke-0 dan menit ke-5. Hitung selisih tinggi busa sebagai nilai ketahanan busa.

F. Analisis Hasil

(45)
(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Formulasi Sediaan Shampoo

Bahan-bahan dasar untuk membuat sediaan shampoo meliputi surfaktan primer, surfaktan sekunder, dan bahan aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan utama karena bertanggung jawab atas sifat detergensi dan pembersihan rambut. Larutan surfaktan akan membasahi baik kotoran maupun rambut lewat penurunan tegangan muka. Kemudian kotoran maupun minyak pada rambut akan terdispersi pada larutan surfaktan tersebut dan menjadi mudah dibilas oleh air (Rieger, 2000).

Surfaktan yang dipilih untuk pembuatan shampoo ini adalah surfaktan yang banyak digunakan dalam sediaan shampoo yang beredar di pasaran, yaitu

sodium lauryl sulphate (SLS) sebagai surfaktan primer dan cocamidopropyl betaine (CAB) sebagai surfaktan sekunder. SLS merupakan surfaktan anionik yang memiliki karakteristik sebagai pembentuk busa yang baik, memiliki daya pembersih yang tinggi, dan stabil pada air sadah. Sifatnya sebagai pembentuk busa dan pembersih yang baik dapat terlihat dari nilai HLB SLS yang tinggi, yaitu 40. Menurut Liebermann (1996) surfaktan dikatakan memiliki sifat sebagai pembersih yang baik bila memiliki nilai HLB di atas 12, karena berarti surfaktan tersebut cenderung bersifat hidrofil, sehingga saat penggunaannya akan mudah terbilas oleh air. SLS bersifat sukar larut dalam air dingin, namun kelarutannya meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000). Maka dalam proses pembuatan shampoo digunakan air hangat untuk

(47)

melarutkan SLS yang berbentuk serbuk. Di samping itu penambahan CAB di sini bertujuan supaya busa yang dihasilkan oleh SLS lebih stabil dan sekaligus untuk mengurangi sifat iritatif dari SLS. CAB sendiri merupakan jenis surfaktan amfoter, namun karena pH shampoo di sini asam maka CAB akan cenderung berada dalam bentuk kation.

Sebagai pengatur kekentalan (viscosity modifier) digunakan Carbopol 940. Carbopol 940 merupakan tipe Carbopol yang memiliki penampilan paling jernih dan viskositas paling tinggi, yaitu 40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH 7,5) (Allen, 2002). Carbopol 940 mampu bekerja menaikkan viskositas sediaan karena dapat mengembang dalam air sehingga membentuk suatu sistem gel yang kaku. Di mana struktur Carbopol yang semula berbentuk coiled akan menjadi lurus, seperti terlihat pada gambar 6. Supaya pengembangannya maksimum maka perlu ditambahkan suatu basa. Di sini bahan yang digunakan adalah NaOH, di mana 1 g Carbopol dapat dinetralisasi oleh kurang lebih 0,4 g NaOH (Rowe, 2009). Untuk netralisasi Carbopol 940 di sini dipilih NaOH, karena dari hasil percobaan diperoleh mucilago Carbopol yang lebih bening daripada jika menggunakan trietanolamin.

Lewat penambahan NaOH akan terbentuk gugus COONa sesuai persamaan reaksi (1). Gugus COONa yang merupakan garam akan terdisosiasi dalam air menjadi COO- dan Na+ sesuai persamaan reaksi (2).

COOH + NaOH  COONa + H2O (1)

(48)

30

Karena sama-sama bermuatan negatif, maka antar gugus-gugus COO- ini akan terjadi saling tolak-menolak. Selain itu NaOH juga akan menyebabkan putusnya rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Pada akhirnya Carbopol yang telah berinteraksi dengan air ini akan membentuk suatu struktur jaringan koloidal 3 dimensi atau yang sering disebut house of card, sehingga terbentuk suatu sistem yang kental dan bersifat viskoelastis (Osborne, 1990). Viskoelastis berarti sediaan tersebut memiliki sifat viscous seperti cairan dan elastis seperti padatan (Martin, 1983). Jadi saat ada gaya geser maka sediaan tersebut akan memiliki tahanan untuk mengalir, namun akan mulur seiring dengan meningkatnya gaya atau stress

yang diberikan. Kemudian sediaan tersebut akan dengan cepat kembali ke konsistensi semula ketika stress dihilangkan.

Gambar 6. Struktur skematik Carbopol (Osborne, 1990)

(49)

(NaCl). NaCl yang merupakan garam akan terdisosiasi sempurna saat berada dalam air menjadi Na+ dan Cl-. Karena kekuatan disosiasi NaCl lebih besar daripada COONa, maka reaksi akan bergeser sehingga terbentuk molekul COONa lagi. Karena ion-ion Na+ menutupi sebagian gugus COO- pada Carbopol, maka muatan menjadi netral, gaya tolak-menolak berkurang, dan viskositas menurun. pH shampoo harus disesuaikan dengan pH rambut dan kulit kepala, yaitu sekitar 5-6. pH shampoo yang terlalu asam akan merusak ikatan hidrogen dan jembatan garam pada struktur rambut. Sebaliknya pH lebih dari 8,5 akan merusak ikatan disulfida dan pH lebih dari 12 akan merusak ikatan hidrogen dan jembatan garam pula. Bila ketiga ikatan tersebut hilang maka rambut akan menjadi kasar dan kemudian rusak (Corcoran, 1997). Karena pH awal sediaan shampoo yang dibuat sekitar 7, maka ditambahkan asam sitrat sampai dicapai pH yang sesuai. Sebenarnya pH juga berpengaruh pada viskositas, di mana dengan penambahan asam maka ion-ion H+dapat berinteraksi lagi dengan COO- menjadi COOH lagi, sehingga gaya tolak-menolak berkurang dan viskositas menurun. Namun dalam hal ini untuk mencapai viskositas shampoo yang memadai atau mudah dituang diperlukan penambahan asam cukup banyak hingga pH 3. Maka dari itu penambahan asam sitrat di sini tidak diperuntukkan sebagai viscosity modifier.

(50)

32

antimikroba spektrum luas, dan sangat efisien melawan kapang maupun jamur (Rowe, 2009). Selain itu berdasarkan Anonim (1999) dinyatakan bahwa nipagin ataupun nipasol merupakan pengawet yang sesuai bagi sediaan gel, karena tidak mempengaruhi efisiensi polimer untuk menaikkan viskositas sediaan. Di samping itu nipagin merupakan pengawet golongan paraben yang memiliki kelarutan paling tinggi dalam air dibanding jenis paraben yang lain (Anonim, 1979).

Untuk pembuatan shampoo ini digunakan air demineralisata. Tujuannya adalah untuk menghindari keberadaan mineral-mineral seperti Ca dan Mg yang mungkin terdapat dalam air. Karena ion-ion tersebut dapat menutup muatan negatif pada Carbopol sehingga viskositas menjadi lebih sulit dikendalikan. Selain itu pada proses pencampuran sebaiknya dilakukan pengadukan perlahan. Hal ini supaya tidak banyak udara yang masuk dan terjebak sehingga mengakibatkan munculnya banyak gelembung.

B. Viskositas Sediaan Shampoo

(51)

linier tidak digunakan di sini karena tidak dikehendaki suatu persamaan linier yang berfungsi untuk memprediksi nilai variabel tergantung dari nilai variabel bebas ataupun sebaliknya. Jadi dengan uji Pearson sudah cukup untuk mengetahui kekuatan hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas shampoo. Kekuatan hubungan tersebut dinyatakan dengan nilai r seperti terlihat pada tabel I.

Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo

Rata-rata viskositas (cps) Konsentrasi

Carbopol

(%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari

0,1 0,3 0,5 0,7 0,9

4033,33 ± 1504,44 5066,67 ± 1113,55 6033,33 ± 1761,63 6433,33 ± 1365,04 7166,67 ± 1154,70

5000,00 ± 2022,37 6433,33 ±1601,04 7300,00 ± 854,40 8466,67 ± 642,91 9500,00 ± 1000,00

5500,00 ± 2179,45 6833,33 ± 1527,53 8000,00 ± 1322,88 9000,00 ± 1322,88 10100,00 ± 793,73

r 0,988 0,998 0,999

p 0,002 0,000 0,000

Apabila nilai r yang diperoleh berada di antara 0,80 – 1,000 maka berarti terdapat korelasi yang kuat antara variabel yang diuji. Selain itu nilai p < 0,05 mengindikasikan adanya korelasi yang bermakna antara dua variabel tersebut (Dahlan, 2009). Dari hasil perhitungan diperoleh adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas sediaan shampoo. Hasil juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi Carbopol dengan viskositas sediaan shampoo. Hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo ditunjukkan pada gambar 7. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi Carbopol 940 maka viskositas

(52)

34

Selain itu dari data di tabel I terlihat pula bahwa SD yang diperoleh sangat besar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rentang viskositas Carbopol 940 yang lebar pada konsentrasi yang sama. Hal tersebut ditunjukan dari pernyataan bahwa pada kadar 0,5% dengan pH 7,5 Carbopol memiliki viskositas 40.000-60.000 cps (Allen, 2002). Rentang viskositas yang cukup lebar ini kemungkinan mengakibatkan nilai viskositas shampoo yang diperoleh memiliki SD yang cukup besar, karena dengan konsentrasi Carbopol yang sama viskositas yang diperoleh belum tentu sama persis. Rentang viskositas yang lebar ini disebabkan karena nilai viskositas tidak semata-mata hanya ditentukan dari konsentrasi bahan pengental saja. Namun juga dari interaksi yang terjadi antara bahan pengental atau polimer tersebut dengan solven, seperti interaksi karena muatannya (Attwood, 2008).

0.000.000.00 1333.33 4600.00 3500.00 2500.00 1033.34 2400.00 2000.00 3133.34 0.00 500.00 1000.00 1500.00 2000.00 2500.00 3000.00 3500.00 4000.00 4500.00 5000.00

0.1 0.3 0.5 0.7 0.9

Konsentrasi Carbopol (%b/b)

Vi s k o s it a s ( c p s ) 2300.00 1433.33 3466.67 4500.00

hari ke-2 hari ke-15 hari ke-30

r = 0,999

r = 0,998

r = 0,988

Keterangan: nilai viskositas pada kurva merupakan selisih terhadap nilai viskositas shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.

(53)

Kemudian dilakukan perbandingan hasil pengukuran viskositas pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 dengan uji Repeated Anova. Tujuannya adalah untuk melihat kestabilan viskositas dari sediaan shampoo yang dibuat. Uji Repeated

Anova dipilih karena kelompok data yang akan diuji memiliki distribusi normal dan merupakan hasil pengukuran secara berkelanjutan dari kelompok awal yang sama. Contohnya yaitu shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b diukur pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 sehingga diperoleh 3 kelompok data. Apabila data berupa kelompok yang berbeda sejak awal maka digunakan uji One Way

Anova. Hasil uji Repeated Anova untuk masing-masing sediaan shampoo tertera pada tabel II. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam nilai p yang merupakan nilai signifikansi perbedaan.

Tabel II. Hasil uji Repeated Anova viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30

Konsentrasi

Carbopol (%b/b) p 0,1

0,3 0,5 0,7 0,9

0,306 0,161 0,090 0,127 0,105

Dari tabel II terlihat bahwa nilai p > 0,05. Maka berarti tidak ada perbedaan viskositas shampoo pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30. Jadi walaupun terdapat perubahan viskositas shampoo pada hari ke-15 dan ke-30, namun perubahan itu masih dapat diabaikan dan viskositasnya dianggap sama.

(54)

36

kemiringan garis adalah antara 89,920 - 89,960. Sudut kemiringan ini hampir mendekati 900. Berarti garis tersebut mendekati lurus dan artinya viskositas dari hari ke-2, ke-15, sampai ke-30 hanya mengalami sedikit perubahan, yaitu semakin meningkat.

Peningkatan viskositas pada hari ke-15 dan ke-30 kemungkinan terjadi karena adanya hidrasi berkelanjutan dari polimernya yaitu Carbopol 940. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Liebermann (1996), bahwa salah satu faktor penyebab peningkatan viskositas sediaan selama penyimpanan adalah hidrasi polimer, di mana viskositas sediaan akan meningkat setelah 1-2 minggu. Meskipun demikian tetap saja seringkali dirasakan sukar untuk menentukan penyebab pasti dari peningkatan viskositas. Maka dari itu sedikit perubahan viskositas biasanya dianggap masih dapat diterima.

y = 883.33x + 4344.45

y = 1466.67x + 5988.89

y = 1283.34x + 5400.00

y = 983.33x + 5144.44

y = 733.34x + 3377.8

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

2 Hari 15 30

V isko si tas S h am p o o ( cp s)

carbopol 0,1%b/b carbopol 0,3%b/b

carbopol 0,5%b/b carbopol 0,7%b/b

carbopol 0,9%b/b Linear (carbopol 0,3%b/b)

Linear (carbopol 0,5%b/b) Linear (carbopol 0,7%b/b)

Linear (carbopol 0,9%b/b) Linear (carbopol 0,1%b/b)

(55)

C. Ketahanan Busa Sediaan Shampoo

Metode pengukuran ketahanan busa yang dilakukan ini diadaptasi dari prosedur pengukuran busa sabun oleh Edoga (2009). Metode tersebut dilakukan dengan cara mengaduk larutan sabun dengan sangat kuat, kemudian didiamkan 5 menit dan diamati tinggi busanya. Metode ini juga mirip dengan prosedur dari Evren (2007), yaitu dengan melarutkan 0,5 gram shampoo dalam 50 ml aquadest pada suhu 400, dimasukkan ke tabung berskala, digojok 20 kali dengan kecepatan

konstan, dan diukur volume busanya pada menit ke-0 dan ke-5. Namun Amaral (2008) melakukan uji stabilitas busa dengan mengamati volume busa setelah 60 dan 120 menit setelah pengadukan. Maka untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai ketahanan busa bila diukur pada waktu pengamatan yang berbeda, dilakukan pengukuran ketahanan busa pada menit ke 5, 10, 30, 60, 90, dan 120 setelah penggojokan. Namun karena keterbatasan peneliti dalam hal waktu penemuan sumber dan pustaka tersebut, maka pengukuran ini hanya dilakukan pada hari ke-15 dan ke-30 setelah pembuatan sediaan.

Untuk menganalisis data perbedaan nilai ketahanan busa digunakan uji

(56)

38

Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120

p Konsentrasi

Carbopol (%b/b)

Hari ke-15 Hari ke-30 0,1

0,3 0,5 0,7 0,9

0,101 0,048 0,125 0,173 0,258

0,422 0,272 0,187 0,142 0,132

Dari data di tabel III terlihat bahwa nilai p yang diperoleh hampir semuanya lebih besar dari 0,05. Kecuali nilai p pada konsentrasi Carbopol 0,3%b/b hari ke-15, ditemukan bahwa nilai ketahanan busa berbeda pada menit ke-10. Nilai p > 0,05 menunjukkan tidak adanya perbedaan antara ketahanan busa sediaan shampoo pada menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Berarti dalam penelitian ini tidak diperlukan pengamatan hingga 120 menit untuk mengukur ketahanan busa, melainkan cukup 5 menit saja.

Menurut Exerowa (1998) metode pengukuran busa dapat dilakukan menggunakan parameter tinggi kolom busa (volume). Pada metode pengukuran busa yang dilakukan di sini digunakan parameter tinggi busa. Karena dalam penelitian ini alat yang digunakan, yaitu tabung reaksi, hanya memiliki skala volume dengan interval 0,2 ml. Karena dirasa kurang sensitif, maka digunakan kertas milimeter yang memiliki skala tinggi dengan interval 0,1 cm.

(57)

Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa shampoo

Rata-rata Ketahanan busa (cm) Konsentrasi

Carbopol

(%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari 0,1

0,3 0,5 0,7 0,9

0,72 ± 0,10 0,60 ± 0,13 0,60 ± 0,18 0,57 ± 0,08 0,88 ± 0,25

0,72 ± 0,33 0,77 ± 0,06 1,02 ± 0,03 0,95 ± 0,23 0,93 ± 0,23

1,00 ± 0,10 1,05 ± 0,18 1,27 ± 0,31 1,12 ± 0,24 1,20 ± 0,10

r 0,356 0,016 0,679

p 0,556 0,980 0,207

Dari tabel IV terlihat bahwa nilai r ketahanan busa pada hari ke-2 berada di antara 0,20 – 0,399. Sesuai dengan Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya korelasi yang lemah antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa sediaan shampoo yang dibuat. Di samping itu nilai r pada hari ke-15 berada di antara 0,00 – 0,199, di mana menurut Dahlan (2009) hal ini menunjukkan adanya korelasi yang sangat lemah di antara variabel yang diukur. Tetapi nilai r pada hari ke-30 berada di antara 0,60 – 0,799. Ini berarti terdapat korelasi yang kuat antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa sediaan shampoo. Namun semua nilai p yang diperoleh lebih besar dari 0,05. Ini mengindikasikan tidak adanya korelasi yang bermakna antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa sediaan shampoo. Dengan demikian diperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi Carbopol 940 kemungkinan tidak berpengaruh terhadap ketahanan busa. Hubungan antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa shampoo ditunjukkan pada gambar 9.

(58)

40

justru terjadi fluktuasi nilai ketahanan busa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ukuran busa yang dihasilkan sangat bervariasi, sehingga kecepatan hilangnya busa juga bervariasi. Misalnya jika lebih banyak terbentuk busa dengan ukuran besar, maka busa tersebut akan lebih cepat hilang dan ini berarti ketahanan busa menurun. Untuk mengatasi hal ini bisa dengan menggunakan metode yang relatif lebih akurat dan sensitif, misalnya dengan metode Ross-Miles seperti telah dijelaskan pada halaman 18-19. Namun karena keterbatasan alat pada penelitian maka metode ini tidak bisa diterapkan di sini.

0.000.000.00

0.05 0.12 0.20 0.27 0.16 -0.15 -0.12 -0.12 -0.20 -0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35

0.1 0.3 0.5 0.7 0.9

Konsentrasi Carbopol (%b/b)

K e ta ha na n B u s a ( c m ) 0.05 0.30 0.23 0.21

hari ke-2 hari ke-15 hari ke-30

r = 0,679

r = 0,016

r = 0,356

Keterangan: nilai ketahanan busa pada kurva merupakan selisih terhadap nilai ketahanan busa shampoo dengan konsentrasi Carbopol 0,1%b/b.

Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa shampoo

(59)

perubahan ketahanan busa selama penyimpanan sediaan. Untuk membandingkan hasil pengukuran pada hari ke-2, ke-15, dan ke-30 maka dilakukan uji menggunakan Repeated Anova. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam nilai p yang merupakan nilai signifikansi perbedaan.

Tabel V. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30

Konsentrasi

Carbopol (%b/b) p 0,1

0,3 0,5 0,7 0,9

0,214 0,171 0,401 0,307 0,516

Dari tabel V terlihat bahwa semua nilai p > 0,05. Maka berarti tidak terdapat perbedaan ketahanan busa shampoo pada hari ke-2, 15, dan 30. Jadi walaupun terdapat perubahan ketahanan busa shampoo dari hari ke-15 dan ke-30, namun perubahan itu masih dapat diabaikan dan ketahanan busanya dianggap sama. Perubahan ketahanan busa yang terjadi terlihat seperti pada gambar 10.

(60)

42

y = 0.14x + 0.53

y = 0.23x + 0.30

y = 0.34x + 0.29 y = 0.16x + 0.68

y = 0.28x + 0.33

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

2 Hari 15 30

K e ta ha na n B us a S ha m poo ( c m )

carbopol 0,1%b/b carbopol 0,3%b/b carbopol 0,5%b/b carbopol 0,7%b/b carbopol 0,9%b/b Linear (carbopol 0,1%b/b) Linear (carbopol 0,3%b/b) Linear (carbopol 0,5%b/b) Linear (carbopol 0,7%b/b) Linear (carbopol 0,9%b/b)

Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2, 15 dan 30

D. Hubungan Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo Menurut Tadros (2005) salah satu faktor penyebab hilangnya busa adalah gaya gravitasi yang mempercepat drainage sehingga mengakibatkan thinning

pada lapisan film busa. Untuk memperlambat drainage, maka viskositas bulk dari sediaan perlu ditingkatkan. Misalnya dengan penambahan bahan seperti polimer. Selain lewat peningkatan viskositas, penambahan polimer semestinya juga dapat meningkatkan halangan sterik, sehingga busa-busa kecil tidak bergabung menjadi busa yang lebih besar dan mudah pecah.

(61)

dibahas sebelumnya bahwa ternyata peningkatan konsentrasi Carbopol 940 tidak berpengaruh signifikan terhadap ketahanan busa. Dengan demikian dalam penelitian ini hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa belum bisa ditentukan.

Namun jika dicoba membandingkan antara gambar 8 dan gambar 10, terlihat bahwa garis kurva sama-sama semakin naik seiring dengan pertambahan hari. Hal itu berarti menunjukkan terjadinya peningkatan viskositas maupun ketahanan busa pada penyimpanan, meskipun peningkatan tersebut tidak signifikan secara statistik. Maka dari situ dapat ditarik perkiraan adanya suatu kecenderungan di mana peningkatan viskositas berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan busa.

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Peningkatan konsentrasi Carbopol berpengaruh terhadap viskositas sediaan

shampoo.

2. Peningkatan konsentrasi Carbopol kemungkinan tidak berpengaruh terhadap ketahanan busa sediaan shampoo.

3. Belum ditemukan adanya hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada sediaan shampoo.

B. Saran

Perlu dilakukan perbaikan atau modifikasi metode untuk pengukuran ketahanan busa agar diperoleh hasil yang lebih akurat dan sensitif.

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Allen, L.V., 2002, The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical Compounding, 308-310, American Pharmaceutical Association, Washington D.C.

Amaral, M. H., das Neves, J., Oliveira, A. Z., dan Bahia M. F., 2008, Foamability of Detergent Solutions Prepared with Different Types of Surfactants and Water, Journal of Surfactant and Detergent No. 11, 276

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia IV, 158, 372, 551, 713, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1997, Featured Excipient: Carbopols (Carbomers), International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 1 No. 4, 265

Anonim, 1999, Featured Excipient: Preservatives, International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 3 No. 2, 1

Attwood, D., Alexander, T.F., 2008, Fast Track: Physical Pharmacy, 84, Pharmaceutical Press, London

Aulton, M.E., 1988, Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, 2nd edition., 26-29, Churchill Livingstone, London

Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I., 2009, Handbook of Cosmetic Science and Technology, 3rd edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc., New York

Corcoran, F., dan Akona, K., 1997, The pH of Hair Shampoos: A Topical High School Experiment, Journal of Chemical Education, 54

Dahlan, M. S., 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, 111, 157, Salemba Medika, Jakarta

De Lathauwer, G., De Rycke, D., Duynslager, A., Tanghe, S., dan Oudt, C., 2004, Thickening Of Foaming Cosmetic Formulations, Proceeding of the 6th World Surfactant Congress CESIO, Berlin Germany

(64)

46

Edoga, M. O., 2009, Comparison of Various Fatty Acid Sources for Making Soft Soap (Part 1): Qualitative Analysis, Journal of Engineering and Applied Sciences Vol.4 No. 2, 110-112

Evren, S., Gedik, G., Colbourn, E., dan Türkoglu, M., 2007, Artificial Neural Network Modeling and Optimization of Shampoo Formulations, Marmara University, Istanbul

Exerowa, D., dan Kruglyakov, P.M., 1998, Foam and Foam Films: Theory, Experiment, Application, 1-3, 494, Elsevier, Netherlands

Fonseca, S., 2005, Basics of Compounding for Hair Care – Part 1: Medicated Shampoos, International Journal of Pharmaceutical Compounding Vol. 9 No. 2, 140

Guertechin, L.O., 2009, Surfactants: Classification, in Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I., (Eds.), Handbook of Cosmetic Science and Technology, 3rd edition, 462, 771, 777, Informa Healthcare USA, Inc., New York

Joseph, D.D., 1997, Understanding Foams and Foaming, University of Minnesota, US

Karsheva, M., Georgieva, S., dan Birov, G., 2005, Flow Behaviour Of Two Industrially Made Shampoos, Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 323-328

Karsheva, M., Georgieva, S., dan Handjieva, S., 2007, The Choice of the Thickener - A Way to Improve the Cosmetics Sensory Properties, Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy, 187

Kim, Y.H., dan Kim, C.U., 1997, Mechanism of Aqueous Foam Stability and Antifoaming Action, Journal of Ind. & Eng. Chemistry Vol.3 No.2, 140 Klein, K., 2004, Shampoo Formulation: The Basic, Cosmetic and Toiletries

Magazine, 11

Leidetrier, H., Jenny, K., dan Maczkiewitz, U., 1995, Rheology of Toiletry Products – Physical Properties and Sensory Assesment, Th.Goldschmidt AGD-45116 Essen, Germany

(65)

Limbani, M., Dabhi, M.R., Raval, M.K., dan Sheth, N.R., 2009, Clear Shampoo: an Important Formulation Aspect with Consideration of the Toxicity of Commonly Used Shampoo Ingredients, Saurashtra University, India

Lunkenheimer, K., dan Malysa, K., 2003, Simple and Generally Applicable Method of Determination and Evaluation of Foam Properties, Journal of Surfactants and Detergents Vol. 6 No. 1, 69

Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A., 1983, Physical Pharmacy, 3rd edition, 524-526, Lea & Febiger, Philadelphia

Mitsui, T., 1997, New Cosmetic Science, 406, Elsevier, Netherlands

Osborne, D. W., dan Amann, A. H., 1990, Topical Drug Delivery Formulations, volume 42, 381, 384, Marcel Dekker Inc., New York

Piispanen, P.A., Persson, M., Claesson, P., dan Norin, T., 2004, Surface Properties of Surfactants Derived from Natural Products. Part 2: Structure/Property Relationships—Foaming, Dispersion, and Wetting,

Journal of Surfactants and Detergents Vol. 7 No. 2, 162

Pinazo, A.P., Infante, M.R., dan Frances, E.I., 2001, Relation of Foam Stability to Solution and Surface Properties of Gemini Cationic Surfactants Derived from Arginine, Colloids Surf. A, 70

Rieger, M.M., 2000, Harry’s Cosmetology 8th ed, 431-432, 446-448, Chemical Publishing Co. Inc., New York

Rosen, M.J., 2004, Surfactants and Interfacial Phenomena, 3rd edition, 1-3, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipient,s 6th edition, 110, 327, 441-442, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association, United Kingdom

Schramm, L.L., 2005, Emulsion, Foams, and Suspensions, 47-49, 141-142, Wiley-VCH Verlag GmbH&Co.KGaA, Weinheim

Tadros, T.F., 2005, Applied Surfactants: Principles and Applications, 259-263, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim

(66)

48

(67)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengukuran dan uji viskositas sediaan shampoo

1 cps = 0,01 dPas

Hasil pengukuran viskositas formula 1 (konsentrasi Carbopol 0.1%b/b) Replikasi ke- Viskositas hari ke-2 (cps) Viskositas hari ke-15 (cps) Viskositas hari ke-30 (cps) 1 2 3 2300 5000 4800 2700 6500 5800 3000 7000 6500 Rata-rata 4033.33 5000 5500

SD 1504.44 2022.37 2179.45

Hasil pengukuran viskositas formula 2 (konsentrasi Carbopol 0.3%b/b) Replikasi ke- Viskositas hari ke-2 (cps) Viskositas hari ke-15 (cps) Viskositas hari ke-30 (cps) 1 2 3 3800 6000 4600 4800 8000 6500 5500 8500 6500 Rata-rata 5066.67 6433.33 6833.33

SD 1113.55 1601.04 1527.53

Hasil pengukuran viskositas formula 3 (konsentrasi Carbopol 0.5%b/b) Replikasi ke- Viskositas hari ke-2 (cps) Viskositas hari ke-15 (cps) Viskositas hari ke-30 (cps) 1 2 3 4600 8000 5500 6500 8200 7200 7000 9500 7500 Rata-rata 6033.33 7300.00 8000.00

(68)

50

Hasil pengukuran viskositas formula 4 (konsentrasi Carbopol 0.7%b/b) Replikasi ke- Viskositas hari ke-2 (cps) Viskositas hari ke-15 (cps) Viskositas hari ke-30 (cps) 1 2 3 5800 8000 5500 8000 9200 8200 8000 10500 8500 Rata-rata 6433.33 8466.67 9000.00

SD 1365.04 642.91 1322.88

Hasil pengukuran viskositas formula 5 (konsentrasi Carbopol 0.9%b/b) Replikasi ke- Viskositas hari ke-2 (cps) Viskositas hari ke-15 (cps) Viskositas hari ke-30 (cps) 1 2 3 6500 8500 6500 8500 10500 9500 9500 11000 9800 Rata-rata 7166.67 9500.00 10100.00

SD 1154.70 1000.00 793.73

Uji normalitas data viskositas Hipotesis 1

H1 : data normal Ho : data tidak normal Ho ditolak bila nilai p > 0.05 Hipotesis 2

H1 : data normal Ho : data tidak normal

Ho ditolak bila nilai rasio skewness di antara -2 s/d 2

Data viskositas p (Saphiro-Wilk) Rasio skewness 2 hari 15 hari 30 hari 0.784 0.644 0.705 -0.055 -1.307 -1.135

1) Nilai p yang diperoleh > 0.05  Ho ditolak, berarti data normal

(69)

Uji korelasi Pearson konsentrasi Carbopol dan viskositas Viskositas rata-rata (cps) Konsentrasi

Carbopol

(%b/b) 2 hari 15 hari 30 hari 0.1 0.3 0.5 0.7 0.9 4033.33 5066.67 6033.33 6433.33 7166.67 5000.00 6433.33 7300.00 8466.67 9500.00 5500.00 6833.33 8000.00 9000.00 10100.00

r 0.988 0.998 0.999

p 0.002 0.000 0.000

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan korelasi (r)

0.00 – 0.199 0.20 – 0.399 0.40 – 0.599 0.60 – 0.799 0.80 – 1.000

sangat lemah lemah sedang kuat sangat kuat Nilai p < 0.05 > 0.05

Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

(70)

52

Uji Repeated Anova viskositas antarhari Hipotesis

H1 : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 berbeda Ho : viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 tidak berbeda Ho ditolak bila nilai p < 0.05

Viskositas (cps) Konsentra-

si Carbopol (%b/b)

Replikasi

ke- 2 hari 15 hari 30 hari

0.1 1

2 3 2300 5000 4800 2700 6500 5800 3000 7000 6500 p 0.306

0.3 1

2 3 3800 6000 4600 4800 8000 6500 5500 8500 6500 p 0.161 0.5 1 2

3 4600 8000 5500 6500 8200 7200 7000 9500 7500 p 0.090 0.7 1 2 3 5800 8000 5500 8000 9200 8200 8000 10500 8500 p 0.127 0.9 1 2 3 6500 8500 6500 8500 10500 9500 9500 11000 9800 p 0.105

(71)

Lampiran 2. Pengukuran dan uji ketahanan busa sediaan shampoo Hasil pengukuran ketahanan busa formula 1 (konsentrasi Carbopol 0.1%b/b)

Gambar

Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol (Rowe, 2009)
Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)
gambar 5. Metode yang biasa digunakan adalah uji busa Ross-Miles. Pada
Gambar 6. Struktur skematik Carbopol (Osborne, 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan POJK No 10 Tahun 2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat dan Transformasi BKD yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat, telah

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kemauan untuk meningkatkan keberadaan sistem dan mengembangkan sistem bagi pembuat keputusan berhubungan positif dengan kualitas

Keperluan yang paling biasa untuk bahan anodik SOFC adalah kekonduksian elektrik yang sangat baik, aktiviti elektrokimia yang baik untuk mengoksidakan fuel,

dilakukan selama 20 menit. Setelah pemajanan, telur kemudian dipindahkan ke wadah penetasan. Prevalensi telur yang terserang jamur diamati setelah pemajanan sebelum

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II dalam meningkatkan perkembangan motorik halus anak melalui menarik garis dalam pola di Taman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan dengan orang tua terhadap penyesuaian diri pada siswa boarding school di SMA Pondok Pesantren

Tässä luvussa osoitetaan, että kaikki vapaat modulit ovat projektiivisia. An- netaan myös esimerkki projektiivisesta modulista, joka ei ole vapaa. Projek- tiivisilla moduleilla

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh kandungan protein pakan yang berbeda terhadap kualitas air dalam media pemeliharaan ikan baung