i
HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI
DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Yosephine Caga Denarihira
NIM: 079114077
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Ber ikanl ah yang t er baik unt uk segal a sesuat u yang baik,
dengan begit u..hat imu akan puas dengan apa yang kamu per ol eh.
K arya sederhana ini dipersembahkan untuk:
T uhan Yesus K ristus yang terkasih. .
Bapak I bu yang telah memberikan yang terbaik bagiku. . .
A tak dan E la yang tersayang. .
Dewacandra yang telah memberikan banyak motivasi. . .
dan teman- teman yang telah membantu selama ini. .
vi
HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI
DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING
Yosephine Caga Denarihira
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Subjek yang digunakan di dalam penelitian ini sebanyak 58 sales marketing berusia 27-57 tahun. Alat pengumpulan data menggunakan dua skala, yaitu skala kompetensi komunikasi dan skala kinerja. Skala kompetensi komunikasi berisi 30 item valid dengan nilai reliabilitas ( sebesar 0,909. Sedangkan skala kinerja berisi 23 item yang valid dengan nilai reliabilitas ( sebesar 0,859. Teknik pengujian hipotesis yang digunakan adalah teknik korelasi Pearson Product Moment. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai rxy = 0,405 dan nilai probabilitas (p) = 0,001 < 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini diterima.
vii
CORRELATION BETWEEN COMMUNICATION COMPETENCY WITH JOB PERFORMANCE OF SALES MARKETING
Yosephine Caga Denarihira
ABSTRACT
This reserach aimed to find out the correlation between communication competency with job performance of sales marketing. The hypothesis in this research was a positive correlation between communication competency with job performance of sales marketing. The subjects who were used in this research were 58 sales marketing at the age of 27-57 years old. The tools for collecting the data were using two scales, they were communication competency scale and job performance scale. Communication competency scale consisted of 30 valid items with value of reliability ( ) of 0,909. Whereas job performance scale consisted of 23 valid items with value of reliability ( ) of 0,859. Hypothesis test technique that was used in this research was correlation technique of Pearson Product Moment. The result of hypothesis test showed value of rxy = 0,405
and value of probability (p) = 0,001 < 0,05 which showed that there were positive correlation between communication competency with job performance of sales marketing. Therefore, the hypothesis in this research was accepted.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan karunia
kasih-Nya sehingga penulis mampu memberikan yang terbaik dalam penulisan
skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah mendukung selama proses penulisan skripsi. Ucapan terima kasih penulis
tujukan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus terkasih yang telah melindungi dan membimbing
penulis dengan penuh kasih dan pengajaran.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi.
3. Ibu Titik Kristiyani, M. Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi.
4. Ibu P. Henrietta PDADS., S. Psi, M. A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah merelakan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
5. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. A. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah mendukung penulis hingga skripsi ini selesai.
6. Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Bu Nanik yang telah banyak
membantu, terima kasih banyak atas kerja samanya selama ini.
7. Bapak Ibu yang telah mendukung penulis selalu dalam doa, penghiburan,
dan tak henti-hentinya memberikan yang terbaik bagi penulis.
x
9. Dewacandra yang selalu menemani dan memberikan motivasi kepada
penulis.
10.Tyas, manda, arum, ika yang telah mendukung dan menghibur saat putus
asa.
11.Mocha, terima kasih penghiburannya yang selalu dapat membuat penulis
tersenyum.
12.Siska, terima kasih untuk bantuannya selama ini.
13.Teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu..terima
kasih banyak atas segala sesuatu yang telah kalian berikan selama ini.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
xii
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja ... 27
B. Kompetensi Komunikasi ... 30
1. Definisi Komunikasi ... 30
2. Kompetensi Komunikasi ... 31
3. Aspek Kompetensi Komunikasi ... 32
C. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Komunikasi dengan Kinerja pada Sales Marketing ... 37
D. Hipotesis ... 41
BAB III. METODE PENELITIAN ... 42
A. Jenis Penelitian ... 42
B. Variabel Penelitian ... 42
C. Definisi Operasional ... 43
1. Kinerja Sales Marketing ... 43
2. Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing... 44
D. Subjek Penelitian ... 44
E. Metode Pengumpulan Data ... 45
F. Kredibilitas Alat Ukur ... 49
xiii
2. Seleksi Item ... 50
3. Reliabilitas ... 53
G. Metode Analisis Data ... 55
1. Uji Asumsi Data ... 55
2. Uji Hipotesis ... 56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57
B. Pelaksanaan Penelitian ... 58
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 59
D. Deskripsi Data Penelitian ... 62
E. Hasil Penelitian ... 64
1. Uji Asumsi Data ... 64
2. Uji Hipotesis ... 66
F. Hasil Penelitian Tambahan ... 67
G. Pembahasan ... 68
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Keterbatasan Penelitian ... 72
C. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 75
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pemberian Nilai Skor pada Skala Kompetensi Komunikasi
terhadap Sales Marketing ... 47
Tabel 2. Distribusi Item Skala Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing ... 47
Tabel 3. Blue Print Skala Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing ... 47
Tabel 4. Blue Print Skala Kinerja ... 49
Tabel 5. Hasil Seleksi Item Skala Kompetensi Komunikasi terhadap Sales Marketing ... 52
Tabel 6. Hasil Seleksi Item Skala Kinerja ... 53
Tabel 7. Usia ... 59
Tabel 8. Jenis Kelamin ... 60
Tabel 9. Status Pernikahan ... 60
Tabel 10. Lama Bekerja Sales Marketing ... 61
Tabel 11. Pendidikan Terakhir Subjek Penelitian ... 61
Tabel 12. Deskripsi Data Penelitian ... 62
Tabel 13. Hasil Uji Normalitas ... 65
Tabel 14. Hasil Uji Hipotesis ... 67
Tabel 15. Perbandingan Usia dilihat dari Mean Empirik ... 68
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan antara Kompetesi Komunikasi dengan
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Kompetensi Komunikasi dan Skala Kinerja ... 77
Lampiran 2. Data Hasil Penelitian ... 91
Lampiran 3. Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 98
Lampiran 4. Statistik Deskriptif Data Penelitian ... 107
Lampiran 5. Hasil Uji Beda Mean ... 109
Lampiran 6. Hasil Uji Asumsi ... 114
Lampiran 7. Hasil Uji Hipotesis ... 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
pesat menyebabkan setiap perusahaan menghadapi persaingan yang
semakin ketat. Hal tersebut mengakibatkan setiap perusahaan harus
memiliki target yang akan dicapai agar mampu bersaing dengan
perusahaan lain. Perusahaan yang ingin mencapai target yang telah
ditentukan membutuhkan peran dari anggota perusahaan tersebut. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari peran karyawan yang menjadi penggerak di
dalam dinamika perusahaan. Dalam hal ini, para karyawan terutama sales
marketing diharapkan memiliki kinerja yang baik.
Sales marketing merupakan karyawan yang ditugaskan oleh
perusahaan untuk menjualkan atau memasarkan suatu produk barang atau
jasa. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa sales marketing merupakan ujung tombak perusahaan karena sales marketing memiliki tugas untuk
bertatap muka dan berinteraksi secara langsung dengan konsumen untuk
memasarkan produk-produk perusahaan. Sales marketing bertugas untuk meraih konsumen agar memiliki keinginan untuk bergabung dengan
perusahaan, baik sebagai nasabah, sebagai agen dari perusahaan tersebut,
Suatu perusahaan agar berhasil dan mampu bersaing dengan
perusahaan lain memerlukan sales marketing dengan kinerja yang baik.
Seperti yang diutarakan oleh Sudarmanto (2009) yang menjelaskan bahwa
organisasi yang berhasil dan efektif merupakan organisasi dengan individu
yang di dalamnya memiliki kinerja yang baik. Sales marketing dengan
kinerja yang baik akan mampu untuk meningkatkan pendapatan
perusahaan sehingga target yang ditentukan oleh perusahaan dapat
tercapai. Di sisi lain, sales marketing dengan kinerja yang buruk dapat mengakibatkan kemunduran perusahaan dan kesulitan untuk bertahan
dalam era persaingan.
Kinerja (performance) merujuk pada pengertian sebagai tindakan. Campbell, McCloy, Oppler, & Sager (1993, dalam Sonentag 2002)
menekankan bahwa kinerja merupakan tindakan yang hanya dapat
ditingkatkan, yaitu melalui pengukuran. Sedangkan, Mangkunegara (2000)
menyatakan bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Bernardin (2003) menambahkan bahwa kinerja merupakan catatan hasil
yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau
aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu.
Setiap perusahaan dalam periode waktu tertentu melakukan
penilaian/pengukuran terhadap kinerja para sales marketing, atau disebut
menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting
untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Selain itu,
tujuan dari pengukuran atau evaluasi kinerja adalah untuk melihat tinggi
rendahnya kinerja organisasi atau perusahaan tersebut (Wirawan, 2009).
Evaluasi kinerja didasarkan dari aspek-aspek atau dimensi yang
menjadi tolok ukur kinerja yang kemudian dikembangkan menjadi
indikator kinerja. Dimensi kinerja menurut Wirawan (2009) dibagi
menjadi 3, yaitu hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang memiliki
hubungan dengan pekerjaan. Hasil kerja merupakan keluaran kerja dalam
bentuk barang dan jasa yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan
kualitasnya. Perilaku kerja adalah perilaku karyawan yang memiliki
hubungan dengan pekerjaan. Selanjutnya dimensi kinerja yang terakhir
adalah sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan. Sifat
pribadi tertentu diperlukan untuk dapat melaksanakan suatu jenis
perusahaan.
Selain itu, Wirawan (2009) menjelaskan bahwa kinerja
(performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor internal pegawai,
faktor lingkungan internal organisasi, dan faktor lingkungan eksternal
organisasi. Faktor internal pegawai terdiri dari faktor-faktor bawaan dan
faktor-faktor yang diperoleh pada saat individu berkembang. Faktor-faktor
bawaan antara lain bakat dan sifat pribadi. Sedangkan faktor-faktor yang
diperoleh pada saat individu berkembang antara lain pengetahuan,
organisasi terkait dengan dukungan organisasi tempat individu bekerja,
strategi organisasi, dan sistem manajemen. Kemudian faktor yang terakhir
adalah faktor lingkungan eksternal organisasi yang merupakan kejadian
atau situasi yang terjadi di lingkungan organisasi yang mempengaruhi
kinerja karyawan.
Salah satu faktor internal pegawai yang mempengaruhi kinerja
adalah kompetensi. Kompetensi merupakan salah satu hal penting dalam
dinamika organisasi. McAshan (1981, dalam Sudarmanto 2009)
menyatakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan yang dimiliki/atau dicapai seseorang, yang menjadi bagian
dari dirinya sehingga mampu untuk menjalankan penampilan kognisi,
afeksi, dan perilaku psikomotorik tertentu. Pendapat tersebut juga
didukung oleh pernyataan Spencer, 1993 (dalam Sudarmanto, 2009) yang
menjelaskan bahwa kompetensi sebagai atribut kualitas sumber daya
manusia berpengaruh signifikan terhadap kinerja individu. Demikian pula
dengan pendapat yang diungkapkan oleh Sudarmanto (2009). Menurut
Sudarmanto (2009), perilaku yang merupakan tindakan seseorang dalam
pekerjaan ditentukan oleh keterampilan atau keahlian yang dimiliki.
Ketika seorang sales marketing semakin terampil atau semakin ahli dalam pekerjaannya, maka akan semakin mendorong penampilan kerja yang baik
Salah satu bentuk kompetensi adalah kompetensi komunikasi.
Littlejohn dan Jabusch mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai:
“the ability and willingness of an individual to participate responsibly in a transaction in such a way as to maximize the outcomes of shared meanings”
(Littlejohn & Jabusch, 1982 dalam Shockley & Zalabak, 2006).
Definisi tersebut memiliki pemahaman bahwa kompetensi komunikasi
tidak hanya membutuhkan pengetahuan akan perilaku yang sesuai
terhadap kondisi sekitar, tetapi juga motivasi dari individu untuk terlibat
dalam komunikasi yang menghasilkan pemahaman satu sama lain. Di
dalam organisasi, setiap karyawan terutama sales marketing harus memiliki motivasi dan pengetahuan untuk berinteraksi dengan orang
lain/anggota organisasi lain. Kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh
setiap orang akan mempermudah antar individu untuk saling memahami
makna. Di samping itu, ketika setiap individu memiliki kompetensi
komunikasi yang baik, maka hal tersebut dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya pertukaran informasi yang salah ketika sedang melakukan
interaksi. Oleh karena itu, tingkat kompetensi komunikasi yang baik
merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan anggota organisasi,
terutama dalam tim pemasaran atau sales marketing.
Perusahaan yang ingin memajukan nama perusahaannya sehingga
mampu bersaing pasti memerlukan tim pemasaran atau sales marketing
yang handal. Salah satu kunci utama keberhasilan seorang sales marketing agar dapat menarik minat para konsumen adalah sales marketing tersebut
marketing harus memiliki kompetensi komunikasi yang baik agar informasi yang disampaikan mudah dipahami dan mampu menarik
konsumen. Oleh karena itu, setiap sales marketing yang mampu menjelaskan dan mampu menarik konsumen dapat dikatakan mampu
melakukan pekerjaannya dengan baik atau memiliki kinerja yang baik.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada
hubungan antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales
marketing?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan
kajian teoritis dunia Psikologi, terutama Psikologi Organisasi mengenai
2. Manfaat Praktis
Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat membantu
para karyawan dan pimpinan untuk melakukan evaluasi/refleksi diri
terhadap kinerja/performansi kerja dan hubungannya dengan
kompetensi komunikasi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KINERJA
1. Definisi Kinerja
Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi
kerja yang di dalam bahasa inggris disebut juga dengan istilah
performance. Wirawan (2009) menyatakan bahwa kinerja adalah
keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau
indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu.
Konsep mengenai keluaran yang dihasilkan dalam waktu tertentu
tersebut juga disampaikan Bernardin (2003) yang menjelaskan
bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi
(dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas
selama periode waktu tertentu. Bernardin (2003) menekankan
bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari segi hasil yang telah
diproduksi. Kinerja didefinisikan sebagai hasil yang dicapai oleh
seseorang menurut ukuran yang berlaku, dalam kurun waktu
tertentu, berkenaan dengan pekerjaan serta perilaku dan
tindakannya (Suwatno & Priansa, 2011).
Pengertian kinerja sebagai hasil juga dikemukakan oleh
karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Di sisi lain, kinerja merujuk pengertian sebagai tindakan.
Campbell, McCloy, Oppler, & Sager (1993, dalam Sonentag 2002)
menekankan bahwa kinerja merupakan tindakan yang hanya dapat
ditingkatkan, yaitu melalui pengukuran. Campbell et al. (1993,
dalam Sonnentag, 2002) menjelaskan bahwa kinerja merupakan
kebutuhan organisasi yang memperkerjakan seseorang untuk
melakukan tugas dengan baik. Meskipun demikian, kinerja tidak
didefinisikan sebagai tindakan itu sendiri, tetapi oleh penilaian dan
proses evaluasi (cf. Ilden & Schneider, 1991; Motowildo, Borman,
& Schmit, 1997, dalam Sonnentag, 2002).
Sedangkan Cascio (1998) mendefinisikan performansi kerja
atau kinerja terkait dengan tiga hal, yaitu pencapaian prestasi yang
dilakukan karyawan dalam menjalankan tugas yang dibebankan
padanya, bagaimana menentukan ukuran keberhasilan dalam
menjalankan tugasnya, dan memberikan penilaian terhadap
kemajuan yang telah dicapai dalam menjalankan tugasnya secara
periodik.
Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kinerja memiliki dua pengertian, yaitu kinerja
tindakan memiliki pengertian bahwa kinerja merupakan tindakan
yang dapat ditingkatkan melalui proses evaluasi dan penilaian.
Tindakan yang dimaksud terkait dengan pelaksanaan tugas yang
diberikan sehingga semakin baik seorang sales marketing mampu melaksanakan tugasnya, maka akan semakin baik pula kinerja yang
dimiliki.
Kinerja sebagai hasil memiliki pengertian sebagai hasil
kerja yang telah dicapai oleh seorang individu dengan penuh
tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya selama periode
waktu tertentu. Kedua definisi inilah yang akan digunakan dalam
penelitian.
2. Dimensi Kinerja
Menurut Sudarmanto (2009), dimensi kinerja merupakan
aspek-aspek yang menjadi ukuran atau tolok ukur dalam menilai
kinerja. Wirawan (2009) menyatakan bahwa dimensi kinerja
adalah unsur-unsur dalam pekerjaan yang menunjukkan kinerja.
Dimensi-dimensi kinerja kemudian dikembangkan menjadi
indikator kinerja sehingga dapat digunakan untuk mengukur
kinerja. Menurut Wirawan (2009), dimensi kinerja secara umum
a. Hasil Kerja
Hasil kerja adalah keluaran kerja dalam bentuk barang dan
jasa yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya.
Misalnya, kuantitas dari hasil kerja seorang sales marketing adalah berapa banyak produk perusahaan yang dapat terjual
dalam masa penilaian dibagi dengan jumlah hari dalam masa
penilaian. Kualitasnya adalah seberapa tepat sales marketing
mampu untuk melaksanakan pekerjaannya atau memenuhi
standar yang telah ditentukan oleh perusahaan. Selain itu,
kualitas hasil kerja seorang sales marketing juga dapat dilihat
dari seberapa baik keahlian menjual yang dimiliki oleh sales
marketing.
b. Perilaku Kerja
Ketika berada di tempat kerja, seorang karyawan memiliki
dua perilaku, yaitu perilaku pribadi dan perilaku kerja. Perilaku
pribadi adalah perilaku yang tidak memiliki hubungan dengan
pekerjaan, misalnya cara berjalan, cara berbicara, dan cara
makan siang. Sedangkan perilaku kerja merupakan perilaku
karyawan yang ada hubungannya dengan pekerjaan, seperti
misalnya perilaku kerja yang perlu dimiliki oleh seorang sales
marketing antara lain kerja keras, ramah terhadap pelanggan,
cepat tanggap, berpenampilan yang menarik, dan melakukan
Perilaku kerja diperlukan karena merupakan persyaratan
dalam melaksanakan pekerjaan. Sales marketing yang memiliki
perilaku kerja tertentu yang sesuai dengan ketentuan dari
organisasi, maka sales marketing tersebut dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan menghasilkan kinerja yang
diharapkan oleh organisasi. Perilaku kerja dicantumkan dalam
standar kinerja, prosedur kerja, kode etik, dan peraturan
organisasi. Standar prosedur kerja mengatur bagaimana cara
karyawan berbicara dan berjalan ketika bekerja.
Perilaku kerja dapat digolongkan menjadi perilaku kerja
general dan perilaku kerja khusus. Perilaku kerja general adalah
perilaku kerja yang diperlukan semua jenis pekerjaan.
Sedangkan perilaku kerja khusus adalah perilaku yang
diperlukan dalam satu jenis pekerjaan tertentu. Kedua jenis
perilaku kerja ini dijabarkan menjadi indikator perilaku kerja.
c. Sifat Pribadi yang Memiliki Hubungan dengan Pekerjaan
Sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan
adalah sifat pribadi karyawan yang diperlukan dalam
melaksanakan pekerjaaannya. Sifat pribadi tertentu diperlukan
untuk dapat melaksanakan suatu jenis pekerjaan. Sifat pribadi
yang dinilai dalam evaluasi kinerja hanya sifat pribadi sales
marketing yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Seorang
memandang masa depan (Sugiyanto, 2012). Sugiyanto (2012)
menekankan bahwa optimisme ditandai dengan semangat kerja
yang tinggi sewaktu menerima tugas penuh tantangan sehingga
mampu memperhitungkan hal-hal yang bersifat realistis.
Sales marketing juga perlu memiliki cara berpikir yang
positif agar mampu mendorong semangat optimis dalam
pelaksanaan tugas. Misalnya, seorang sales marketing yang
mengalami penolakan oleh pelanggannya diharapkan memiliki
pemikiran yang positif terhadap suatu profesi pekerjaan (dalam
hal ini dalam bidang pemasaran) agar tidak langsung mundur
atau menyerah.
Di samping itu, dimensi kinerja yang dapat dijadikan tolok ukur
dalam menilai kinerja menurut Miner (1988, dalam Sudarmanto,
2009) adalah:
a. Kualitas yang mencakup tingkat kesalahan, kerusakan, dan
kecermatan.
b. Kuantitas, yaitu jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
c. Penggunaan waktu dalam kerja yang terdiri dari tingkat
ketidakhadiran, keterlambatan, waktu kerja efektif/jam kerja
hilang.
d. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja.
Empat dimensi kinerja tersebut terkait dengan aspek
yang terkait dengan aspek keluaran atau hasil pekerjaan adalah
kualitas hasil dan kuantitas keluaran. Sedangkan penggunaan waktu
dalam kerja (tingkat kepatuhan terhadap jam kerja, disiplin) dan
kerja sama merupakan dua hal yang terkait dengan aspek perilaku
individu.
Dimensi kinerja menurut kedua ahli tersebut sama-sama
memiliki dua hal yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam
mengukur kinerja, yaitu hasil kerja dan perilaku kerja. Meskipun
demikian, dimensi kinerja yang akan digunakan sebagai acuan
teoritis dalam penelitian adalah dimensi kinerja menurut Wirawan
(2009). Wirawan (2009) menambahkan aspek sifat pribadi yang
memiliki hubungan dengan pekerjaan. Sifat pribadi yang dimaksud
merupakan sifat yang terkait dengan kemampuan-kemampuan yang
dibutuhkan dalam dinamika organisasi, sehingga aspek sifat pribadi
tersebut tergolong dalam perilaku kerja. Misalnya integritas,
kecerdasan, pengetahuan, inisiatif, dan keterampilan.
3. Model Evaluasi Kinerja
Setiap organisasi memiliki karakteristik masing-masing
yang berbeda antara organisasi yang satu dengan lainnya. Seperti
misalnya jenis organisasi, budaya organisasi, tujuan organisasi, dan
lainnya. Perbedaan karakteristik ini menyebabkan suatu organisasi
performansi kerja anggota organisasinya. Berikut ini uraian
mengenai model evaluasi kinerja (Wirawan, 2009):
a. Model Esai
Model esai merupakan metode evaluasi kinerja yang
penilainya merumuskan hasil penilaiannya dalam bentuk
esai. Isi esai melukiskan kekuatan dan kelemahan indikator
kinerja karyawan yang dinilai. Pada model ini, sistem
evaluasi kinerja menentukan indikator-indikator kinerja
yang harus dinilai dan definisi operasional dari setiap
indikator. Pembuatan esai mengenai indikator-indikator
tersebut tidak boleh menyimpang dari indikator dan
dimensinya.
Metode penilaian esai sering dikombinasikan
dengan model yang lain seperti model MBO dan checklist. Kombinasi tersebut bertujuan untuk melengkapi informasi
mengenai kinerja ternilai.
Keunggulan model esai yaitu memungkinkan
penilai melukiskan kinerja ternilai sangat terperinci karena
bentuknya terbuka (open ended), meskipun indikator kinerjanya terstruktur. Cara pemberian nilai dalam model
esai adalah penilai tidak hanya memberikan nilai dalam
bentuk angka untuk setiap indikator kinerja, tetapi juga
Kelemahan dari evaluasi kinerja model esai adalah
memerlukan waktu untuk menyusun suatu esai tentang
kinerja karyawan. Penilai harus merumuskan hasil
observasi kinerja ternilai dalam bentuk esai mengenai setiap
indikator kinerja. Proses ini memerlukan waktu yang lebih
lama dibandingkan model lainnya.
b. Model Critical Incident
Critical Incident atau insiden kritikal adalah
kejadian kritikal atau penting yang dilakukan karyawan
dalam pelaksanaan tugasnya. Model Critical Incident mengharuskan penilai untuk membuat catatan berupa
pernyataan yang melukiskan perilaku baik (perilaku yang
dapat diterima atau perilaku yang harus dilakukan sesuai
dengan standar) dan perilaku buruk (perilaku yang tidak
diterima atau perilaku yang harus dihindari) ternilai yang
ada hubungannya dengan pekerjaan. Pernyataan itu disebut
critical incident. Insiden-insiden dicatat oleh penilai
sepanjang periode evaluasi kinerja. Pernyataan tersebut
juga berisi penjelasan singkat mengenai apa yang terjadi
dan apa yang dilakukan karyawan ternilai. Dengan kata
lain, setiap hari penilai harus mengobservasi pegawai
yang baik dan yang buruk. Setiap catatan yang baik dan
buruk mendapatkan nilai tertentu, perilaku yang baik dapat
diberi angka yang positif, sedangkan perilaku yang tidak
dapat diterima diberi angka negatif. Pada akhir penilaian,
keduanya dijumlahkan dan merupakan nilai kinerja akhir
karyawan.
Model Insiden Kritikal mengharuskan penilai
mengobservasi secara teliti perilaku karyawan ternilai.
Kelemahan metode ini antara lain:
1) Jika penilai tidak membuat catatan kerja hariannya
karena malas atau lupa melakukannya, maka penilaian
kinerja tidak lengkap.
2) Jika penilai memiliki sepuluh anak buah atau lebih
yang harus dinilai dan membuat catatan setiap hari,
maka waktunya akan habis hanya untuk membuat
catatan sehingga penilai tidak dapat mengembangkan
pekerjaan dan produktivitas unit kerjanya.
Model evaluasi kinerja Critical Incident memerlukan waktu, mahal, dan mensyaratkan penilai untuk
memiliki keterampilan verbal, analitis, dan kemampuan
untuk menyusun deskripsi kinerja karyawan secara tertulis,
kemampuan ini sehingga pelatihan penggunaan model
evaluasi kinerja model Esai harus dilakukan.
c. Model Ranking Method
Ranking Method atau metode me-ranking
merupakan suatu metode evaluasi kinerja dengan cara
mengurutkan para pegawai dari yang nilainya tertinggi
sampai yang paling rendah. Metode ini dimulai dengan
mengobservasi dan menilai kinerja para karyawan,
kemudian me-ranking kinerja mereka. Di Indonesia,
metode ini dipraktekkan oleh pegawai negeri dalam Daftar
Urutan Kepangkatan (DUK). DUK disusun berdasarkan
tinggi rendahnya kepangkatan para pegawai dan kinerjanya.
Pegawai yang memiliki pangkat tertinggi dan memiliki
kinerja tertinggi ditempatkan pada urutan pertama,
sedangkan pegawai dengan pangkat terendah dan kinerja
rendah ditempatkan di urutan terakhir.
Ranking Method digunakan untuk mekanisme
pembinaan dan pengembangan karier. Apabila ada jabatan
yang lowong, kesempatan pengisian jabatan diberikan
kepada pegawai berdasarkan urutannya.
d. Model Checklist
Evaluasi kinerja model Checklist berisi daftar
indikator-indikator hasil kerja, perilaku kerja, atau sifat
pribadi yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan.
Cara penilaian kinerja dalam metode ini adalah penilai
mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memilih indikator
yang menggambarkan kinerja atau karakteristik ternilai dan
memberikan tanda cek (tanda √ atau ×). Salah satu bentuk
instrumen Checklist adalah Checklist berbobot, yaitu metode Checklist yang mencantumkan bobot nilai untuk setiap indikator kinerja. Proses penilaian metode ini adalah
penilai mengobservasi, kemudian memberikan tanda cek
pada indikator kinerja yang terdapat pada instrumen. Setiap
indikator memiliki bobot dan jumlah bobot, kemudian
dijumlahkan.
e. Model Graphic Rating Scales
Graphic Rating Scale merupakan salah satu model
Checklist yang menggunakan skala. Ciri dari Graphic
Rating Scale adalah indikator kinerja karyawan
dikemukakan beserta definisi singkat. Selain itu, deskriptor
level kinerja dikemukakan dalam bentuk skala yang
mengobservasi indikator kinerja karyawan ternilai dan
memberikan tanda centang (√) atau silang (×) pada skala.
Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan hasilnya
diubah kembali ke dalam kata sifat.
Keunggulan model Graphic Rating Scale adalah
semua indikator kinerja, definisi, dan nilainya terstruktur
serta terstandarisasi. Nilai kinerja setiap karyawan dengan
mudah dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh
karyawan. Model ini juga mudah dipahami oleh penilai dan
ternilai, serta mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, metode
ini digunakan secara luas di berbagai organisasi.
Di sisi lain, metode tersebut memiliki beberapa
kelemahan. Pekerjaan di suatu organisasi memiliki banyak
jenis sehingga menimbulkan pertanyaan: Apakah indikator
kinerja yang digunakan dapat mencerminkan indikator
kinerja semua jenis pekerjaan? Misalnya, sopir direktur
utama perusahaan. Apakah indikatornya harus sama dengan
indikator sopir pengiriman barang dalam unit pemasaran?
Pekerjaanya keduanya berbeda sehingga indikator
kinerjanya juga harus berbeda.
f. Model Forced Distribution
Model evaluasi kinerja Forced Distribution atau
Distribusi Paksaan merupakan sistem evaluasi kinerja yang
mengklasifikasikan karyawan menjadi 5 sampai 10
kelompok kurva normal dari yang sangat rendah sampai
yang sangat tinggi. Kelompok tersebut, misalnya kelompok
I (memiliki nilai yang sangat rendah) berjumlah 10%,
kelompok II (nilainya rendah) berjumlah 20%, kelompok
III (nilainya sedang) berjumlah 20%, kelompok IV
(memiliki nilai yang baik) berjumlah 20%, dan kelompok V
(nilainya sangat baik) berjumlah 10%. Penilai semula
mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memasukkannya
ke dalam kelompok karyawan dalam klasifikasi karyawan.
g. Model Forced Choice Scale
Cara penilaian kinerja adalah penilai dipaksa
memilih beberapa set dari empat perilaku, yang disebut
dengan tetrads. Tetrads merupakan perilaku mana yang paling baik melukiskan ternilai dan mana yang paling tidak
melukiskan perilakunya. Model Forced Choice terdiri atas
Akan tetapi sistem penilaian dengan menggunakan
metode Forced Choice memiliki beberapa kelemahan,
yaitu:
1) Memerlukan kemauan penilai untuk mengevaluasi
ternilai karena mereka tidak mengetahui apakah mereka
telah menilai baik atau buruk kinerja ternilai.
2) Karena tidak mengetahui nilai kinerjanya, karyawan
tidak mendapatkan feedback mengenai kinerjanya dalam melaksanakan tugas.
h. Model Behaviorally Anchor Rating Scale (BARS)
Sistem evaluasi kinerja model BARS merupakan
sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan perilaku
kerja yang sering digabungkan dengan sifat pribadi. BARS
terdiri atas suatu seri, 5-10 skala perilaku vertikal untuk
setiap indikator kinerja. Pada setiap dimensi, disusun 5-10
anchor, yaitu berupa perilaku yang menunjukkan kinerja
untuk setiap dimensi. Anchor-anchor tersebut disusun dari nilai tertinggi hingga nilai yang paling rendah. Anchor tersebut dapat berupa critical insident yang diperoleh
melalui job analysis.
Model BARS umumnya disusun oleh suatu tim
bertugas mengidentifikasi karakteristik dimensi kinerja dan
mengidentifikasi 5-10 insiden kritikal untuk setiap dimensi.
Selanjutnya, insiden kritikal tersebut ditelaah dan dinilai
oleh anggota tim. Insiden kritikal yang terpilih harus
disetujui oleh 70% anggota tim dan kemudian ditempatkan
dalam skala tinggi hingga rendah.
i. Model Behavior Obeservation Scale (BOS)
Metode penilaian kinerja BOS sama dengan BARS.
Kedua metode ini didasarkan pada perilaku kerja.
Perbedaannya, dalam BOS, penilai diminta untuk
menyatakan berapa kali perilaku tersebut muncul. Penilai
mengobservasi perilaku ternilai berdasarkan anchor perilaku yang tersedia, selanjutnya penilai memberikan cek
pada skala deskripsi level kinerja yang tersedia. Setelah hal
tersebut dilakukan, angka pada skala yang dicek kemudian
dijumlahkan.
j. Model Behavior Expectation Scale (BES)
Pada saat merekrut seorang pegawai atau karyawan,
organisasi/perusahaan mengharapkan (expectation) agar pegawai tersebut melaksanakan pekerjaan dengan baik.
dalam uraian tugasnya. Pegawai tersebut diwajibkan untuk
menyelesaikan tugasnya dengan cara tertentu, berperilaku
sesuai dengan kode etik, dan mengikuti prosedur tertentu
agar mampu menciptakan kinerja sesuai dengan standar
kinerja yang disusun oleh organisasi.
Instrumen evaluasi kinerja Behavior Expectation
Scale (BES) atau Skala Perilaku yang Diharapkan yang
setiap anchor-nya dimulai dengan kata ‘dapat diharapkan’ atau ‘could be expected’. Misalnya, dengan menggunakan kalimat ‘dapat diharapkan datang ke tempat kerja 5 hari
dalam 1 minggu’.
k. Management by Objective (MBO)
Evaluasi kinerja dengan menggunakan teknik MBO
mengharuskan adanya hierarki tujuan dalam organisasi atau
perusahaan. Setiap perusahaan memiliki objektif, yaitu
tujuan atau sasaran yang akan dicapai dalam tahun
mendatang sebagai penjabaran tujuan dalam rencana
strategis perusahaan. Objektif perusahaan kemudian
dijabarkan dalam tujuan divisi, bagian, seksi hingga tujuan
setiap pegawai anggota unit kerja tertentu.
Ketika pegawai melaksanakan pekerjaan untuk
formatif, yaitu evaluasi untuk mengontrol ketimpangan dan
mengoreksi jika diperlukan. Evaluasi formatif dilakukan
beberapa kali sesuai dengan kebutuhan. Pada akhir tahun,
evaluasi kinerja sumatif dilakukan untuk mengukur kinerja
akhir pegawai.
Evaluasi kinerja model MBO dapat dilaksanakan
pada pekerjaan yang keluarannya dapat diukur secara
kuantitatif. Misalnya untuk mengukur kinerja karyawan
bagian produksi, kinerjanya dapat dihitung atau di unit
pelayan pelanggan. Model MBO sulit dilaksanakan untuk
pegawai yang memiliki pengukuran kinerja rumit karena
terdiri atas hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang
memiliki hubungan dengan pekerjaan. Misalnya, metode
MBO ini digunakan untuk mengukur kinerja para guru dan
dosen.
l. 360Degree Performance Appraisal Model
Model evaluasi kinerja dalam metode ini digunakan
sistem evaluasi Esai, MBO, BARS, Checklist, dan sebagainya. Hal yang membedakan model evaluasi kinerja
360 Derajat dengan sistem-sistem tersebut adalah
penilainya lebih dari satu atau penilai multiple. Penilainya
kerja (anggota tim kerja), pelanggan, nasabah, klien, dan
diri sendiri (self evaluation).
Formulir penilaian yang didistribusikan kepada para
penilai sering berada di tempat berbeda untuk menilai
kinerja ternilai. Sejumlah organisai menggunakan
information communication technology, seperti e-mail
untuk mendistribusikan instrumen evaluasi kinerja dan
mengolah hasilnya, kemudian menyampaikan hasilnya
kepada ternilai. Selanjutnya, hasil penilaian penilai
dianalisis untuk mendapatkan nilai rata-rata yang kemudian
diberikan kepada ternilai sebagai feedback.
m. Model Paired Comparison
Sistem evaluasi kinerja Paired Comparison Model atau Model Perbandingan Pasangan adalah kinerja setiap
karyawan dibandingkan dengan kinerja karyawan lainnya,
sepasang demi sepasang. Setiap karyawan semula dinilai
kinerjanya, kemudian dibandingkan dengan kinerja setiap
karyawan lainnya. Dasar dari perbandingan adalah kinerja
menyeluruh atau nilai akhir dari kinerja karyawan. Jumlah
pasangan yang dibandingkan dapat dihitung dengan rumus
( )
dimana N adalah jumlah pegawai yang
dibandingkan.
Model evaluasi kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model Graphic Rating Scales. Alasan digunakan model Graphic
Rating Scales dikarenakan model tersebut mudah dipahami oleh
peneliti dan subjek. Selain itu, model Graphic Rating Scales juga mudah dilaksanakan sehingga metode ini sering digunakan secara
luas di berbagai organisasi. Melalui metode Graphic Rating Scales, semua indikator kinerja, definisi, dan nilainya terstruktur serta
terstandarisasi sehingga nilai kinerja setiap subjek dapat dengan
mudah dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh subjek.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Seseorang memiliki kinerja atau performansi kerja yang
baik tidak terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja tersebut. Menurut Timple (1992, dalam Mangkunegara,
2010), faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal (disposisional) adalah faktor yang
dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Seperti misalnya, kinerja
seseorang baik disebabkan karena orang tersebut memiliki
kemampuan tinggi dan termasuk orang dengan tipe pekerja keras.
Di sisi lain, seseorang memiliki kinerja yang buruk disebabkan
memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan.
Misalnya, perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja,
bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.
Penjelasan tersebut menekankan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja menurut Timple (1992, dalam
Mangkunegara, 2010) dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Demikian halnya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja menurut Wirawan (2009). Secara garis
besar, Wirawan (2009) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal terdiri dari faktor internal karyawan/pegawai dan
faktor lingkungan internal organisasi. Sedangkan faktor eksternal
terdiri dari faktor lingkungan eksternal organisasi. Menurut
Wirawan (2009), ketiga faktor tersebut saling bersinergi yang pada
akhirnya menghasilkan kinerja.
Faktor internal pegawai yaitu faktor-faktor dari dalam diri
pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang
diperoleh ketika individu tersebut berkembang. Faktor-faktor
bawaan misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan
kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh misalnya
Selanjutnya, faktor-faktor lingkungan internal organisasi
antara lain berasal dari dukungan organisasi tempat individu
bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya
kinerja karyawan. Sebaliknya, apabila sistem kompensasi dan iklim
kerja organisasi buruk, maka kinerja karyawan akan menurun.
Faktor internal organisasi lainnya misalnya strategi organisasi,
dukungan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan
pekerjaan, serta sistem manajemen dan kompensasi. Oleh karena
itu, manajemen organisasi harus menciptakan lingkungan internal
organisasi yang kondusif sehingga dapat mendukung dan
meningkatkan produktivitas karyawan.
Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan eksternal
organisasi yang merupakan keadaan, kejadian, atau situasi yang
terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi
kinerja karyawan. Faktor-faktor internal karyawan bersinergi
dengan faktor lingkungan internal organisasi dan
faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi. Sinergi ini mempengaruhi
perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja
karyawan. Perilaku kerja karyawan antara lain etos kerja, disiplin
kerja, motivasi kerja, semangat kerja, kepuasan kerja, dan
kepemimpinan. Pada akhirnya, kinerja karyawan yang menentukan
B. KOMPETENSI KOMUNIKASI
1. Definisi Komunikasi
Komunikasi memiliki definisi yang meluas. Miller (2005,
dalam West & Turner, 2007) menggarisbawahi bahwa
konseptualisasi komunikasi telah meluas dan telah mengalami
banyak perubahan selama bertahun-tahun”. Menurut West dan
Turner (2007), komunikasi merupakan proses sosial dimana
individu menggunakan simbol untuk menyusun dan
menafsirkan/mengartikan makna dalam lingkungan mereka. Di
samping itu, komunikasi juga merupakan proses penyampaian
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau
mengubah sikap, pendapat, dan perilaku baik secara langsung
maupun tidak langsung (Effendy, 2001 dalam Hariyanto, 2009).
Definisi lain mengatakan bahwa komunikasi adalah setiap
bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang
ditanggapi oleh orang lain (Supratiknya, 1995). Johnson (1981,
dalam Supratiknya, 1995) menekankan bahwa setiap bentuk
tingkah laku yang mengungkapkan pesan tertentu juga merupakan
sebentuk komunikasi.
Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh tersebut, maka
peneliti menyimpulkan definisi komunikasi seorang sales
marketing sebagai proses sosial dimana sales marketing
laku yang mengungkapkan pesan tertentu yang dapat
mempengaruhi/mempersuasi orang lain, dengan tujuan untuk
memberitahu sikap, pendapat, dan perilaku baik secara langsung
maupun tidak langsung.
2. Kompetensi Komunikasi
Berbagai macam penelitian dilakukan untuk memahami
peranan dari kompetensi komunikasi. Para peneliti mendefinisikan
kompetensi komunikasi secara berbeda-beda. Menurut Littlejohn
dan Jabusch (1982, dalam Shockley & Zalabak, 2006), kompetensi
komunikasi merupakan suatu kemampuan dan keinginan seseorang
untuk berparitisipasi dengan penuh tanggung jawab di dalam suatu
transaksi tertentu sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil dari
suatu proses diskusi. Sedangkan definisi lain menyatakan bahwa
kompetensi komunikasi merupakan sejumlah kemampuan,
selanjutnya, disebut resources, yang dimiliki oleh seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi (Jablin &
Sias, 2001 dalam Payne, 2005). Definisi ini merupakan pendekatan
strategik, berorientasi tujuan terhadap kompetensi yang
menekankan pengetahuan dan kemampuan. Secara khusus,
Shockley dan Zalabak (2006) mendefinisikan kompetensi
pengetahuan, kepekaan, keterampilan, dan nilai-nilai. Kompetensi
komunikasi muncul dari interaksi, teori, praktek, dan analisis.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi merupakan
kemampuan seseorang yang digunakan dalam proses komunikasi
untuk ikut serta dalam kegiatan yang terkait dengan proses diskusi
dan kemampuan yang dimiliki ditujukan agar dalam penyampaian
pesan dapat dimengerti oleh orang lain/lebih efektif.
3. Aspek Kompetensi Komunikasi
Aspek-aspek yang terdapat dalam kompetensi komunikasi
(Shockley & Zalabak, 2006), yaitu:
a. Knowledge Competency
Shockley dan Zalabak (2006) memberikan definisi
terhadap knowledge competency sebagai kemampuan untuk
memahami lingkungan komunikasi organisasi. Knowledge
competency merupakan pemahaman dari teori dan
prinsip-prinsip. Di samping itu, knowledge competency merupakan dasar yang penting untuk mendukung kepekaan individu
terhadap kehidupan organisasi, untuk memandu
keterampilan individu, dan untuk membantu dalam
memahami penerapan standar etika serta nilai-nilai pribadi
Knowledge competency ini dapat dikembangkan melalui eksplorasi dari interaksi secara aktif yang
merupakan bagian dari proses alami komunikasi
antarpribadi. Misalnya seorang sales marketing yang mengerti cara untuk berkomunikasi dengan baik kepada
konsumen (yang didasarkan dari prinsip dan teori
komunikasi yang telah dimiliki) dan mampu untuk
menyesuaikan cara berbicara dengan kondisi lingkungan
sekitar.
Knowledge competency tidak sekedar didasarkan
pada pengetahuan akan teori-teori dan prinsip dan
komunikasi, melainkan dari pengetahuan mengenai hal-hal
yang terkait dengan bidang pemasaran. Knowledge
competency yang harus dimiliki oleh setiap sales marketing
antara lain pengetahuan mengenai produk sehingga mampu
untuk menyampaikan produk yang ditawarkan dengan
jelas, pengetahuan akan konsep pemasaran, dan
pengetahuan akan strategi pemasaran.
b. Sensitivity Competency
Sensitivity atau kepekaan adalah kemampuan untuk
merasakan secara tepat makna dari organisasi dan perasaan.
seseorang untuk memahami apa yang orang lain rasakan
dan lakukan.
Shockley dan Zalabak (2006) mendefinisikan
sensitivity competency sebagai kemampuan untuk
mengungkapkan makna organisasi dan merasakan dengan
teliti/seksama. Sensitivity competency ini dapat dikembangkan melalui pemeriksaan pribadi kita
‘penggunaan teori-teori’ tentang komunikasi dan
organisasi.
Seperti misalnya, seorang sales marketing yang
bertemu dan berkomunikasi dengan konsumen. Sales
marketing tersebut merasa bahwa ketika terjadi proses
komunikasi, feedback yang diberikan oleh konsumen dirasa kurang. Konsumen tersebut hanya menjawab seadanya saja.
Oleh karena itu, seorang sales marketing harus peka
terhadap kondisi/suasana hati dari konsumen sehingga
karyawan tersebut dapat menyesuaikan cara berkomunikasi.
Sensitivity competency yang dimiliki oleh setiap
sales marketing mempermudah sales marketing dalam
mengenali dan merasakan apa yang konsumen alami
sehingga mampu untuk memberikan solusi dari
permasalahan konsumen melalui produk-produk yang
c. Skills Competency
Shockley dan Zalabak (2006) menjelaskan bahwa
skills competency merupakan kemampuan untuk
menganalisis situasi organisasi dengan seksama dan untuk
menjalankan atau memulainya diperlukan pesan organisasi
secara efektif. Skills competency berfokus pada pengembangan kemampuan analisis yang penting dan juga
kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dalam
berbagai setting. Selain itu, skill competency ini dapat dikembangkan melalui analisis dan berlatih di setiap
kesempatan.
Sales marketing yang sedang mempromosikan
barang produksi perusahaan kepada calon pembeli harus
dapat mengkondisikan dirinya sehingga intonasi bicaranya
tegas dan jelas. Selain itu juga cara berkomunikasi sales
marketing tersebut juga harus memiliki kalimat yang
persuasif sehingga calon pembeli pada akhirnya mau untuk
membeli.
Sales marketing dengan skills competency yang baik
akan mampu untuk menganalisis perkembangan pasar dan
melihat produk-produk baru dari pesaing yang muncul.
Dengan demikian, sales marketing akan semakin
menggunakan kesempatan untuk menawarkan produk
kepada konsumen.
d. Values Competency
Values atau nilai-nilai menekankan pada pentingnya
mengambil tanggung jawab pribadi untuk komunikasi yang
efektif dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi
terhadap keunggulan organisasi. Values competency dapat dikembangkan melalui diskusi yang dilakukan oleh
seseorang secara bertanggung jawab untuk berpartisipasi
dalam komunikasi organisasi. Di dalam values
competency, kesuksesan suatu organisasi dapat diawali
dengan keterlibatan atau peran seseorang dalam komunikasi
yang efektif.
Sales marketing yang ingin menyampaikan
informasi kepada calon pembeli maka sales marketing tersebut harus menyadari diri sendiri terlebih dahulu bahwa
dirinya memiliki tanggung jawab kepada calon pembeli
yang memiliki hak untuk menerima informasi secara jelas
dan mudah dipahami. Kesadaran diri tersebut menyebabkan
setiap sales marketing harus mampu untuk mengkomunikasikan informasi dengan baik dan efektif
C. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI
DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING
Perusahaan yang ingin mewujudkan visi dan misinya sehingga
mampu untuk bersaing dengan perusahaan lain tidak terlepas dari peran
tim pemasaran. Para sales marketing tersebut bertugas untuk menarik
minat para konsumen untuk ikut bergabung, baik dalam bentuk jasa atau
sebagai nasabah. Oleh karena itu, sales marketing yang memiliki tugas
untuk bertatap muka secara langsung dan memberikan informasi mengenai
produk perusahaan pasti memerlukan kemampuan berkomunikasi yang
baik. Dengan demikian, informasi yang disampaikan dapat dengan jelas
diterima oleh konsumen. Kemampuan untuk berkomunikasi tersebut
disebut dengan kompetensi komunikasi.
Littlejohn dan Jabusch (1982, dalam Shockley & Zalabak, 2006)
mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai suatu kemampuan dan
keinginan seseorang untuk berparitisipasi dengan penuh tanggung jawab di
dalam suatu transaksi tertentu sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil
dari suatu proses diskusi. Kompetensi komunikasi merupakan salah satu
sumber daya manusia dan salah satu bentuk kompetensi yang perlu
dimiliki oleh setiap anggota organisasi terutama sales marketing dan memiliki peranan penting di dalam dinamika organisasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Spencer, 1993 (dalam Sudarmanto, 2009) yang
menjelaskan bahwa kompetensi sebagai atribut kualitas sumber daya
individu tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja organisasi
dan dinamika organisasi. Dengan demikian, kompetensi komunikasi
merupakan salah faktor individual yang dapat mempengaruhi kinerja atau
performansi kerja.
Tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh sales marketing
dalam perannya di organisasi adalah untuk mempersuasi konsumen agar
berminat membeli barang atau jasa yang ditawarkan.Ketika seorang sales
marketing memiliki kompetensi komunikasi, maka sales marketing
tersebut lancar dalam berkomunikasi dan mampu untuk memberikan
informasi yang jelas serta mudah dipahami. Selain itu sales marketing
yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan membuat proses
komunikasi yang dilakukan menjadi lebih efektif sehingga mampu
menarik minat para konsumen.
Di sisi lain, sales marketing yang kurang berkompeten dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukan
dengan konsumen. Sales marketing yang kurang memiliki kompetensi komunikasi dapat menyebabkan proses komunikasi menjadi tidak efektif
sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, baik antara sales
marketing dengan konsumen ataupun sesama anggota organisasi.
Sales marketing yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik
adalah sales marketing yang berkompeten. Sales marketing yang berkompeten memiliki cara kerja yang efektif sehingga mampu untuk
tersebut dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik. Hal ini didukung oleh
pendapat dari Wirawan (2009) yang menjelaskan bahwa kinerja
merupakan fungsi dari kompetensi, sikap, dan tindakan. Kinerja sales
marketing menentukan seberapa baik kinerja organisasi. Organisasi
dengan individu-individu yang memiliki kinerja yang baik akan menjadi
organisasi yang berhasil dan efektif sehingga mampu bersaing dengan
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan dalam
bagan dibawah ini:
Gambar 1
Hubungan antara Kompetensi Komunikasi dengan Kinerja
D. HIPOTESIS
Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dijelaskan, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi yang dimiliki
oleh sales marketing dengan kinerja dari sales marketing tersebut. Hal ini
berarti bahwa semakin baik kompetensi komunikasi seorang sales
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang termasuk
dalam kategori penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah
penelitian dimana hubungan antara variabel diteliti dan dijelaskan. Dalam
penelitian korelasi sederhana, hanya terdapat dua variabel yang kemudian
akan dikorelasikan, diteliti, dan dijelaskan (Hasan, 2002). Penelitian
korelasional memiliki tujuan untuk meneliti sejauh mana variabel pada
satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya. Pada penelitian
ini, peneliti ingin mencari hubungan antara kompetensi komunikasi
dengan kinerja terhadap sales marketing pada salah satu perusahaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. VARIABEL PENELITIAN
Variabel bebas (x) : kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh sales
marketing
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Kinerja Sales Marketing
Kinerja memiliki dua pengertian, yaitu kinerja sebagai tindakan
dan kinerja sebagai hasil. Kinerja sebagai tindakan memiliki pengertian
bahwa kinerja merupakan tindakan yang dapat ditingkatkan melalui
proses evaluasi dan penilaian. Sedangkan kinerja sebagai hasil memiliki
pengertian sebagai hasil kerja yang telah dicapai oleh seorang karyawan
dengan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya selama
periode waktu tertentu. Kinerja sales marketing dalam penelitian ini diukur dengan skala kinerja yang didasarkan pada tiga dimensi kinerja,
yaitu:
a. Hasil kerja
b. Perilaku kerja
c. Sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan
Penilaian dalam skala kinerja terhadap sales marketing akan dilakukan
oleh atasan (manajer atau supervisor). Hal ini untuk mengurangi
terjadinya subjektivitas yang dapat memperlemah penelitian.
Semakin tinggi nilai skor yang diperoleh sales marketing pada penilaian dalam skala kinerja menunjukkan bahwa kinerja yang dimiliki
oleh sales marketing tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, semakin
rendah nilai skor yang diperoleh sales marketing pada penilaian dalam skala kinerja menunjukkan bahwa kinerja yang dimiliki oleh sales
2. Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing
Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan karyawan atau
sales marketing yang digunakan dalam proses komunikasi untuk ikut
serta dalam kegiatan yang terkait dengan proses diskusi dan
kemampuan yang dimiliki ditujukan agar dalam penyampaian pesan
dapat dimengerti oleh orang lain/lebih efektif.
Skala kompetensi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini
disusun berdasarkan empat aspek, yaitu:
a. Pengetahuan atau Knowledge Competency b. Sensitivitas atau Sensitivity Competency
c. Keterampilan atau Skills Competency d. Nilai atau Values Competency
Skor yang tinggi pada skala kompetensi komunikasi menunjukkan
bahwa tingkat kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh sales
marketing tinggi. Demikian pula sebaliknya, skor yang rendah pada
skala kompetensi komunikasi menunjukkan bahwa tingkat kompetensi
komunikasi pada sales marketing rendah.
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini yaitu sales marketing yang bekerja
pada salah satu perusahaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
mengenai sampel juga diutarakan oleh Hasan (2002). Sampel merupakan
bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu. Sampel
tersebut harus memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap sehingga
dianggap dapat mewakili populasi (Hasan, 2002). Sampling penelitian
dalam penelitian ini menggunakan model purposive sampling, yaitu
pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Kriteria
purposive sampling dalam penelitian ini adalah semua sales marketing
yang telah menjadi karyawan tetap dan tidak dalam masa training.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
pengukuran. Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan
sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang
terdapat pada alat ukur dan alat ukur tersebut digunakan dalam pengukuran
yang kemudian menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2001 dalam
Hasan, 2002). Pada penelitian ini terdapat 2 skala pengukuran yang akan
diberikan kepada sekelompok subjek, yaitu skala pengukuran kinerja yang
akan diisi oleh supervisor untuk menilai kinerja sales marketing dan skala pengukuran kompetensi komunikasi pada sales marketing untuk menilai
seberapa baik kompetensi komunikasi sales marketing.
Skala kompetensi komunikasi memiliki tujuan untuk
diisi secara langsung oleh sales marketing. Skala ini disusun oleh peneliti yang didasarkan pada teori kompetensi komunikasi yang diutarakan oleh
Shockley dan Zalabak (2006). Skala kompetensi komunikasi berisi 40 item
dengan menggunakan skala Likert dan memiliki empat alternatif jawaban,
yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS).
Aspek yang diungkap dalam skala kompetensi komunikasi tersebut
adalah knowledge competency, sensitivity competency, skills competency,
dan values competency. Jenis pernyataan item yang terdapat pada skala
kompetensi komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu item favorable dan
unfavorable. Item favorable merupakan item-item yang berisi pernyataan
mendukung, memihak, dan menunjukkan ciri dari atribut yang hendak
diukur. Pada item favorable, keempat alternatif jawaban bernilai 4 untuk alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 untuk alternatif jawaban
Setuju (S), nilai 2 untuk alternatif jawaban Tidak Setuju (TS), dan nilai 1
untuk alternatif jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan item
unfavorable merupakan item-item yang tidak mendukung dan tidak
menggambarkan ciri dari atribut yang diukur. Nilai pada alternatif jawaban
unfavorable berkisar dari nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS),
nilai 2 untuk jawaban Setuju (S), nilai 3 untuk jawaban Tidak Setuju (TS),
Tabel 1
Pemberian Nilai Skor pada Skala Kompetensi Komunikasi
Terhadap Sales Marketing
Distribusi Item Skala Kompetensi Komunikasi
pada Sales Marketing
Aspek
Pengetahuan Sensitivitas Keterampilan Nilai
Jumlah Total
Jenis Item Jenis Item Jenis Item Jenis Item
Fav Unfav Fav Unfav Fav Unfav Fav Unfav
Jumlah 5 5 5 5 5 5 5 5 40
12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 100%
Tabel 3
Blue Print Skala Kompetensi Komunikasi
pada Sales Marketing
diberikan oleh perusahaan. Skala pengukuran kinerja disusun oleh peneliti