• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI

DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Yosephine Caga Denarihira

NIM: 079114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Ber ikanl ah yang t er baik unt uk segal a sesuat u yang baik,

dengan begit u..hat imu akan puas dengan apa yang kamu per ol eh.

K arya sederhana ini dipersembahkan untuk:

T uhan Yesus K ristus yang terkasih. .

Bapak I bu yang telah memberikan yang terbaik bagiku. . .

A tak dan E la yang tersayang. .

Dewacandra yang telah memberikan banyak motivasi. . .

dan teman- teman yang telah membantu selama ini. .

(5)
(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI

DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING

Yosephine Caga Denarihira

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Subjek yang digunakan di dalam penelitian ini sebanyak 58 sales marketing berusia 27-57 tahun. Alat pengumpulan data menggunakan dua skala, yaitu skala kompetensi komunikasi dan skala kinerja. Skala kompetensi komunikasi berisi 30 item valid dengan nilai reliabilitas ( sebesar 0,909. Sedangkan skala kinerja berisi 23 item yang valid dengan nilai reliabilitas ( sebesar 0,859. Teknik pengujian hipotesis yang digunakan adalah teknik korelasi Pearson Product Moment. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai rxy = 0,405 dan nilai probabilitas (p) = 0,001 < 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini diterima.

(7)

vii

CORRELATION BETWEEN COMMUNICATION COMPETENCY WITH JOB PERFORMANCE OF SALES MARKETING

Yosephine Caga Denarihira

ABSTRACT

This reserach aimed to find out the correlation between communication competency with job performance of sales marketing. The hypothesis in this research was a positive correlation between communication competency with job performance of sales marketing. The subjects who were used in this research were 58 sales marketing at the age of 27-57 years old. The tools for collecting the data were using two scales, they were communication competency scale and job performance scale. Communication competency scale consisted of 30 valid items with value of reliability ( ) of 0,909. Whereas job performance scale consisted of 23 valid items with value of reliability ( ) of 0,859. Hypothesis test technique that was used in this research was correlation technique of Pearson Product Moment. The result of hypothesis test showed value of rxy = 0,405

and value of probability (p) = 0,001 < 0,05 which showed that there were positive correlation between communication competency with job performance of sales marketing. Therefore, the hypothesis in this research was accepted.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan karunia

kasih-Nya sehingga penulis mampu memberikan yang terbaik dalam penulisan

skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah mendukung selama proses penulisan skripsi. Ucapan terima kasih penulis

tujukan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus terkasih yang telah melindungi dan membimbing

penulis dengan penuh kasih dan pengajaran.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi.

3. Ibu Titik Kristiyani, M. Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi.

4. Ibu P. Henrietta PDADS., S. Psi, M. A. selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah merelakan waktunya untuk membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

5. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. A. selaku dosen pembimbing

akademik yang telah mendukung penulis hingga skripsi ini selesai.

6. Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Bu Nanik yang telah banyak

membantu, terima kasih banyak atas kerja samanya selama ini.

7. Bapak Ibu yang telah mendukung penulis selalu dalam doa, penghiburan,

dan tak henti-hentinya memberikan yang terbaik bagi penulis.

(10)

x

9. Dewacandra yang selalu menemani dan memberikan motivasi kepada

penulis.

10.Tyas, manda, arum, ika yang telah mendukung dan menghibur saat putus

asa.

11.Mocha, terima kasih penghiburannya yang selalu dapat membuat penulis

tersenyum.

12.Siska, terima kasih untuk bantuannya selama ini.

13.Teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu..terima

kasih banyak atas segala sesuatu yang telah kalian berikan selama ini.

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

(12)

xii

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja ... 27

B. Kompetensi Komunikasi ... 30

1. Definisi Komunikasi ... 30

2. Kompetensi Komunikasi ... 31

3. Aspek Kompetensi Komunikasi ... 32

C. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Komunikasi dengan Kinerja pada Sales Marketing ... 37

D. Hipotesis ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Variabel Penelitian ... 42

C. Definisi Operasional ... 43

1. Kinerja Sales Marketing ... 43

2. Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing... 44

D. Subjek Penelitian ... 44

E. Metode Pengumpulan Data ... 45

F. Kredibilitas Alat Ukur ... 49

(13)

xiii

2. Seleksi Item ... 50

3. Reliabilitas ... 53

G. Metode Analisis Data ... 55

1. Uji Asumsi Data ... 55

2. Uji Hipotesis ... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57

B. Pelaksanaan Penelitian ... 58

C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 59

D. Deskripsi Data Penelitian ... 62

E. Hasil Penelitian ... 64

1. Uji Asumsi Data ... 64

2. Uji Hipotesis ... 66

F. Hasil Penelitian Tambahan ... 67

G. Pembahasan ... 68

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Keterbatasan Penelitian ... 72

C. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemberian Nilai Skor pada Skala Kompetensi Komunikasi

terhadap Sales Marketing ... 47

Tabel 2. Distribusi Item Skala Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing ... 47

Tabel 3. Blue Print Skala Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing ... 47

Tabel 4. Blue Print Skala Kinerja ... 49

Tabel 5. Hasil Seleksi Item Skala Kompetensi Komunikasi terhadap Sales Marketing ... 52

Tabel 6. Hasil Seleksi Item Skala Kinerja ... 53

Tabel 7. Usia ... 59

Tabel 8. Jenis Kelamin ... 60

Tabel 9. Status Pernikahan ... 60

Tabel 10. Lama Bekerja Sales Marketing ... 61

Tabel 11. Pendidikan Terakhir Subjek Penelitian ... 61

Tabel 12. Deskripsi Data Penelitian ... 62

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas ... 65

Tabel 14. Hasil Uji Hipotesis ... 67

Tabel 15. Perbandingan Usia dilihat dari Mean Empirik ... 68

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hubungan antara Kompetesi Komunikasi dengan

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Kompetensi Komunikasi dan Skala Kinerja ... 77

Lampiran 2. Data Hasil Penelitian ... 91

Lampiran 3. Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 98

Lampiran 4. Statistik Deskriptif Data Penelitian ... 107

Lampiran 5. Hasil Uji Beda Mean ... 109

Lampiran 6. Hasil Uji Asumsi ... 114

Lampiran 7. Hasil Uji Hipotesis ... 117

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

pesat menyebabkan setiap perusahaan menghadapi persaingan yang

semakin ketat. Hal tersebut mengakibatkan setiap perusahaan harus

memiliki target yang akan dicapai agar mampu bersaing dengan

perusahaan lain. Perusahaan yang ingin mencapai target yang telah

ditentukan membutuhkan peran dari anggota perusahaan tersebut. Hal ini

tentunya tidak terlepas dari peran karyawan yang menjadi penggerak di

dalam dinamika perusahaan. Dalam hal ini, para karyawan terutama sales

marketing diharapkan memiliki kinerja yang baik.

Sales marketing merupakan karyawan yang ditugaskan oleh

perusahaan untuk menjualkan atau memasarkan suatu produk barang atau

jasa. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa sales marketing merupakan ujung tombak perusahaan karena sales marketing memiliki tugas untuk

bertatap muka dan berinteraksi secara langsung dengan konsumen untuk

memasarkan produk-produk perusahaan. Sales marketing bertugas untuk meraih konsumen agar memiliki keinginan untuk bergabung dengan

perusahaan, baik sebagai nasabah, sebagai agen dari perusahaan tersebut,

(18)

Suatu perusahaan agar berhasil dan mampu bersaing dengan

perusahaan lain memerlukan sales marketing dengan kinerja yang baik.

Seperti yang diutarakan oleh Sudarmanto (2009) yang menjelaskan bahwa

organisasi yang berhasil dan efektif merupakan organisasi dengan individu

yang di dalamnya memiliki kinerja yang baik. Sales marketing dengan

kinerja yang baik akan mampu untuk meningkatkan pendapatan

perusahaan sehingga target yang ditentukan oleh perusahaan dapat

tercapai. Di sisi lain, sales marketing dengan kinerja yang buruk dapat mengakibatkan kemunduran perusahaan dan kesulitan untuk bertahan

dalam era persaingan.

Kinerja (performance) merujuk pada pengertian sebagai tindakan. Campbell, McCloy, Oppler, & Sager (1993, dalam Sonentag 2002)

menekankan bahwa kinerja merupakan tindakan yang hanya dapat

ditingkatkan, yaitu melalui pengukuran. Sedangkan, Mangkunegara (2000)

menyatakan bahwa kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Bernardin (2003) menambahkan bahwa kinerja merupakan catatan hasil

yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau

aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu.

Setiap perusahaan dalam periode waktu tertentu melakukan

penilaian/pengukuran terhadap kinerja para sales marketing, atau disebut

(19)

menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting

untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Selain itu,

tujuan dari pengukuran atau evaluasi kinerja adalah untuk melihat tinggi

rendahnya kinerja organisasi atau perusahaan tersebut (Wirawan, 2009).

Evaluasi kinerja didasarkan dari aspek-aspek atau dimensi yang

menjadi tolok ukur kinerja yang kemudian dikembangkan menjadi

indikator kinerja. Dimensi kinerja menurut Wirawan (2009) dibagi

menjadi 3, yaitu hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang memiliki

hubungan dengan pekerjaan. Hasil kerja merupakan keluaran kerja dalam

bentuk barang dan jasa yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan

kualitasnya. Perilaku kerja adalah perilaku karyawan yang memiliki

hubungan dengan pekerjaan. Selanjutnya dimensi kinerja yang terakhir

adalah sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan. Sifat

pribadi tertentu diperlukan untuk dapat melaksanakan suatu jenis

perusahaan.

Selain itu, Wirawan (2009) menjelaskan bahwa kinerja

(performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor internal pegawai,

faktor lingkungan internal organisasi, dan faktor lingkungan eksternal

organisasi. Faktor internal pegawai terdiri dari faktor-faktor bawaan dan

faktor-faktor yang diperoleh pada saat individu berkembang. Faktor-faktor

bawaan antara lain bakat dan sifat pribadi. Sedangkan faktor-faktor yang

diperoleh pada saat individu berkembang antara lain pengetahuan,

(20)

organisasi terkait dengan dukungan organisasi tempat individu bekerja,

strategi organisasi, dan sistem manajemen. Kemudian faktor yang terakhir

adalah faktor lingkungan eksternal organisasi yang merupakan kejadian

atau situasi yang terjadi di lingkungan organisasi yang mempengaruhi

kinerja karyawan.

Salah satu faktor internal pegawai yang mempengaruhi kinerja

adalah kompetensi. Kompetensi merupakan salah satu hal penting dalam

dinamika organisasi. McAshan (1981, dalam Sudarmanto 2009)

menyatakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keahlian, dan

kemampuan yang dimiliki/atau dicapai seseorang, yang menjadi bagian

dari dirinya sehingga mampu untuk menjalankan penampilan kognisi,

afeksi, dan perilaku psikomotorik tertentu. Pendapat tersebut juga

didukung oleh pernyataan Spencer, 1993 (dalam Sudarmanto, 2009) yang

menjelaskan bahwa kompetensi sebagai atribut kualitas sumber daya

manusia berpengaruh signifikan terhadap kinerja individu. Demikian pula

dengan pendapat yang diungkapkan oleh Sudarmanto (2009). Menurut

Sudarmanto (2009), perilaku yang merupakan tindakan seseorang dalam

pekerjaan ditentukan oleh keterampilan atau keahlian yang dimiliki.

Ketika seorang sales marketing semakin terampil atau semakin ahli dalam pekerjaannya, maka akan semakin mendorong penampilan kerja yang baik

(21)

Salah satu bentuk kompetensi adalah kompetensi komunikasi.

Littlejohn dan Jabusch mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai:

“the ability and willingness of an individual to participate responsibly in a transaction in such a way as to maximize the outcomes of shared meanings”

(Littlejohn & Jabusch, 1982 dalam Shockley & Zalabak, 2006).

Definisi tersebut memiliki pemahaman bahwa kompetensi komunikasi

tidak hanya membutuhkan pengetahuan akan perilaku yang sesuai

terhadap kondisi sekitar, tetapi juga motivasi dari individu untuk terlibat

dalam komunikasi yang menghasilkan pemahaman satu sama lain. Di

dalam organisasi, setiap karyawan terutama sales marketing harus memiliki motivasi dan pengetahuan untuk berinteraksi dengan orang

lain/anggota organisasi lain. Kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh

setiap orang akan mempermudah antar individu untuk saling memahami

makna. Di samping itu, ketika setiap individu memiliki kompetensi

komunikasi yang baik, maka hal tersebut dapat memperkecil kemungkinan

terjadinya pertukaran informasi yang salah ketika sedang melakukan

interaksi. Oleh karena itu, tingkat kompetensi komunikasi yang baik

merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan anggota organisasi,

terutama dalam tim pemasaran atau sales marketing.

Perusahaan yang ingin memajukan nama perusahaannya sehingga

mampu bersaing pasti memerlukan tim pemasaran atau sales marketing

yang handal. Salah satu kunci utama keberhasilan seorang sales marketing agar dapat menarik minat para konsumen adalah sales marketing tersebut

(22)

marketing harus memiliki kompetensi komunikasi yang baik agar informasi yang disampaikan mudah dipahami dan mampu menarik

konsumen. Oleh karena itu, setiap sales marketing yang mampu menjelaskan dan mampu menarik konsumen dapat dikatakan mampu

melakukan pekerjaannya dengan baik atau memiliki kinerja yang baik.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada

hubungan antara kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales

marketing?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

kompetensi komunikasi dengan kinerja pada sales marketing.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan tambahan

kajian teoritis dunia Psikologi, terutama Psikologi Organisasi mengenai

(23)

2. Manfaat Praktis

Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat membantu

para karyawan dan pimpinan untuk melakukan evaluasi/refleksi diri

terhadap kinerja/performansi kerja dan hubungannya dengan

kompetensi komunikasi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan

(24)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KINERJA

1. Definisi Kinerja

Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi

kerja yang di dalam bahasa inggris disebut juga dengan istilah

performance. Wirawan (2009) menyatakan bahwa kinerja adalah

keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau

indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu.

Konsep mengenai keluaran yang dihasilkan dalam waktu tertentu

tersebut juga disampaikan Bernardin (2003) yang menjelaskan

bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi

(dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas

selama periode waktu tertentu. Bernardin (2003) menekankan

bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari segi hasil yang telah

diproduksi. Kinerja didefinisikan sebagai hasil yang dicapai oleh

seseorang menurut ukuran yang berlaku, dalam kurun waktu

tertentu, berkenaan dengan pekerjaan serta perilaku dan

tindakannya (Suwatno & Priansa, 2011).

Pengertian kinerja sebagai hasil juga dikemukakan oleh

(25)

karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Di sisi lain, kinerja merujuk pengertian sebagai tindakan.

Campbell, McCloy, Oppler, & Sager (1993, dalam Sonentag 2002)

menekankan bahwa kinerja merupakan tindakan yang hanya dapat

ditingkatkan, yaitu melalui pengukuran. Campbell et al. (1993,

dalam Sonnentag, 2002) menjelaskan bahwa kinerja merupakan

kebutuhan organisasi yang memperkerjakan seseorang untuk

melakukan tugas dengan baik. Meskipun demikian, kinerja tidak

didefinisikan sebagai tindakan itu sendiri, tetapi oleh penilaian dan

proses evaluasi (cf. Ilden & Schneider, 1991; Motowildo, Borman,

& Schmit, 1997, dalam Sonnentag, 2002).

Sedangkan Cascio (1998) mendefinisikan performansi kerja

atau kinerja terkait dengan tiga hal, yaitu pencapaian prestasi yang

dilakukan karyawan dalam menjalankan tugas yang dibebankan

padanya, bagaimana menentukan ukuran keberhasilan dalam

menjalankan tugasnya, dan memberikan penilaian terhadap

kemajuan yang telah dicapai dalam menjalankan tugasnya secara

periodik.

Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kinerja memiliki dua pengertian, yaitu kinerja

(26)

tindakan memiliki pengertian bahwa kinerja merupakan tindakan

yang dapat ditingkatkan melalui proses evaluasi dan penilaian.

Tindakan yang dimaksud terkait dengan pelaksanaan tugas yang

diberikan sehingga semakin baik seorang sales marketing mampu melaksanakan tugasnya, maka akan semakin baik pula kinerja yang

dimiliki.

Kinerja sebagai hasil memiliki pengertian sebagai hasil

kerja yang telah dicapai oleh seorang individu dengan penuh

tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya selama periode

waktu tertentu. Kedua definisi inilah yang akan digunakan dalam

penelitian.

2. Dimensi Kinerja

Menurut Sudarmanto (2009), dimensi kinerja merupakan

aspek-aspek yang menjadi ukuran atau tolok ukur dalam menilai

kinerja. Wirawan (2009) menyatakan bahwa dimensi kinerja

adalah unsur-unsur dalam pekerjaan yang menunjukkan kinerja.

Dimensi-dimensi kinerja kemudian dikembangkan menjadi

indikator kinerja sehingga dapat digunakan untuk mengukur

kinerja. Menurut Wirawan (2009), dimensi kinerja secara umum

(27)

a. Hasil Kerja

Hasil kerja adalah keluaran kerja dalam bentuk barang dan

jasa yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya.

Misalnya, kuantitas dari hasil kerja seorang sales marketing adalah berapa banyak produk perusahaan yang dapat terjual

dalam masa penilaian dibagi dengan jumlah hari dalam masa

penilaian. Kualitasnya adalah seberapa tepat sales marketing

mampu untuk melaksanakan pekerjaannya atau memenuhi

standar yang telah ditentukan oleh perusahaan. Selain itu,

kualitas hasil kerja seorang sales marketing juga dapat dilihat

dari seberapa baik keahlian menjual yang dimiliki oleh sales

marketing.

b. Perilaku Kerja

Ketika berada di tempat kerja, seorang karyawan memiliki

dua perilaku, yaitu perilaku pribadi dan perilaku kerja. Perilaku

pribadi adalah perilaku yang tidak memiliki hubungan dengan

pekerjaan, misalnya cara berjalan, cara berbicara, dan cara

makan siang. Sedangkan perilaku kerja merupakan perilaku

karyawan yang ada hubungannya dengan pekerjaan, seperti

misalnya perilaku kerja yang perlu dimiliki oleh seorang sales

marketing antara lain kerja keras, ramah terhadap pelanggan,

cepat tanggap, berpenampilan yang menarik, dan melakukan

(28)

Perilaku kerja diperlukan karena merupakan persyaratan

dalam melaksanakan pekerjaan. Sales marketing yang memiliki

perilaku kerja tertentu yang sesuai dengan ketentuan dari

organisasi, maka sales marketing tersebut dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan menghasilkan kinerja yang

diharapkan oleh organisasi. Perilaku kerja dicantumkan dalam

standar kinerja, prosedur kerja, kode etik, dan peraturan

organisasi. Standar prosedur kerja mengatur bagaimana cara

karyawan berbicara dan berjalan ketika bekerja.

Perilaku kerja dapat digolongkan menjadi perilaku kerja

general dan perilaku kerja khusus. Perilaku kerja general adalah

perilaku kerja yang diperlukan semua jenis pekerjaan.

Sedangkan perilaku kerja khusus adalah perilaku yang

diperlukan dalam satu jenis pekerjaan tertentu. Kedua jenis

perilaku kerja ini dijabarkan menjadi indikator perilaku kerja.

c. Sifat Pribadi yang Memiliki Hubungan dengan Pekerjaan

Sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan

adalah sifat pribadi karyawan yang diperlukan dalam

melaksanakan pekerjaaannya. Sifat pribadi tertentu diperlukan

untuk dapat melaksanakan suatu jenis pekerjaan. Sifat pribadi

yang dinilai dalam evaluasi kinerja hanya sifat pribadi sales

marketing yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Seorang

(29)

memandang masa depan (Sugiyanto, 2012). Sugiyanto (2012)

menekankan bahwa optimisme ditandai dengan semangat kerja

yang tinggi sewaktu menerima tugas penuh tantangan sehingga

mampu memperhitungkan hal-hal yang bersifat realistis.

Sales marketing juga perlu memiliki cara berpikir yang

positif agar mampu mendorong semangat optimis dalam

pelaksanaan tugas. Misalnya, seorang sales marketing yang

mengalami penolakan oleh pelanggannya diharapkan memiliki

pemikiran yang positif terhadap suatu profesi pekerjaan (dalam

hal ini dalam bidang pemasaran) agar tidak langsung mundur

atau menyerah.

Di samping itu, dimensi kinerja yang dapat dijadikan tolok ukur

dalam menilai kinerja menurut Miner (1988, dalam Sudarmanto,

2009) adalah:

a. Kualitas yang mencakup tingkat kesalahan, kerusakan, dan

kecermatan.

b. Kuantitas, yaitu jumlah pekerjaan yang dihasilkan.

c. Penggunaan waktu dalam kerja yang terdiri dari tingkat

ketidakhadiran, keterlambatan, waktu kerja efektif/jam kerja

hilang.

d. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja.

Empat dimensi kinerja tersebut terkait dengan aspek

(30)

yang terkait dengan aspek keluaran atau hasil pekerjaan adalah

kualitas hasil dan kuantitas keluaran. Sedangkan penggunaan waktu

dalam kerja (tingkat kepatuhan terhadap jam kerja, disiplin) dan

kerja sama merupakan dua hal yang terkait dengan aspek perilaku

individu.

Dimensi kinerja menurut kedua ahli tersebut sama-sama

memiliki dua hal yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam

mengukur kinerja, yaitu hasil kerja dan perilaku kerja. Meskipun

demikian, dimensi kinerja yang akan digunakan sebagai acuan

teoritis dalam penelitian adalah dimensi kinerja menurut Wirawan

(2009). Wirawan (2009) menambahkan aspek sifat pribadi yang

memiliki hubungan dengan pekerjaan. Sifat pribadi yang dimaksud

merupakan sifat yang terkait dengan kemampuan-kemampuan yang

dibutuhkan dalam dinamika organisasi, sehingga aspek sifat pribadi

tersebut tergolong dalam perilaku kerja. Misalnya integritas,

kecerdasan, pengetahuan, inisiatif, dan keterampilan.

3. Model Evaluasi Kinerja

Setiap organisasi memiliki karakteristik masing-masing

yang berbeda antara organisasi yang satu dengan lainnya. Seperti

misalnya jenis organisasi, budaya organisasi, tujuan organisasi, dan

lainnya. Perbedaan karakteristik ini menyebabkan suatu organisasi

(31)

performansi kerja anggota organisasinya. Berikut ini uraian

mengenai model evaluasi kinerja (Wirawan, 2009):

a. Model Esai

Model esai merupakan metode evaluasi kinerja yang

penilainya merumuskan hasil penilaiannya dalam bentuk

esai. Isi esai melukiskan kekuatan dan kelemahan indikator

kinerja karyawan yang dinilai. Pada model ini, sistem

evaluasi kinerja menentukan indikator-indikator kinerja

yang harus dinilai dan definisi operasional dari setiap

indikator. Pembuatan esai mengenai indikator-indikator

tersebut tidak boleh menyimpang dari indikator dan

dimensinya.

Metode penilaian esai sering dikombinasikan

dengan model yang lain seperti model MBO dan checklist. Kombinasi tersebut bertujuan untuk melengkapi informasi

mengenai kinerja ternilai.

Keunggulan model esai yaitu memungkinkan

penilai melukiskan kinerja ternilai sangat terperinci karena

bentuknya terbuka (open ended), meskipun indikator kinerjanya terstruktur. Cara pemberian nilai dalam model

esai adalah penilai tidak hanya memberikan nilai dalam

bentuk angka untuk setiap indikator kinerja, tetapi juga

(32)

Kelemahan dari evaluasi kinerja model esai adalah

memerlukan waktu untuk menyusun suatu esai tentang

kinerja karyawan. Penilai harus merumuskan hasil

observasi kinerja ternilai dalam bentuk esai mengenai setiap

indikator kinerja. Proses ini memerlukan waktu yang lebih

lama dibandingkan model lainnya.

b. Model Critical Incident

Critical Incident atau insiden kritikal adalah

kejadian kritikal atau penting yang dilakukan karyawan

dalam pelaksanaan tugasnya. Model Critical Incident mengharuskan penilai untuk membuat catatan berupa

pernyataan yang melukiskan perilaku baik (perilaku yang

dapat diterima atau perilaku yang harus dilakukan sesuai

dengan standar) dan perilaku buruk (perilaku yang tidak

diterima atau perilaku yang harus dihindari) ternilai yang

ada hubungannya dengan pekerjaan. Pernyataan itu disebut

critical incident. Insiden-insiden dicatat oleh penilai

sepanjang periode evaluasi kinerja. Pernyataan tersebut

juga berisi penjelasan singkat mengenai apa yang terjadi

dan apa yang dilakukan karyawan ternilai. Dengan kata

lain, setiap hari penilai harus mengobservasi pegawai

(33)

yang baik dan yang buruk. Setiap catatan yang baik dan

buruk mendapatkan nilai tertentu, perilaku yang baik dapat

diberi angka yang positif, sedangkan perilaku yang tidak

dapat diterima diberi angka negatif. Pada akhir penilaian,

keduanya dijumlahkan dan merupakan nilai kinerja akhir

karyawan.

Model Insiden Kritikal mengharuskan penilai

mengobservasi secara teliti perilaku karyawan ternilai.

Kelemahan metode ini antara lain:

1) Jika penilai tidak membuat catatan kerja hariannya

karena malas atau lupa melakukannya, maka penilaian

kinerja tidak lengkap.

2) Jika penilai memiliki sepuluh anak buah atau lebih

yang harus dinilai dan membuat catatan setiap hari,

maka waktunya akan habis hanya untuk membuat

catatan sehingga penilai tidak dapat mengembangkan

pekerjaan dan produktivitas unit kerjanya.

Model evaluasi kinerja Critical Incident memerlukan waktu, mahal, dan mensyaratkan penilai untuk

memiliki keterampilan verbal, analitis, dan kemampuan

untuk menyusun deskripsi kinerja karyawan secara tertulis,

(34)

kemampuan ini sehingga pelatihan penggunaan model

evaluasi kinerja model Esai harus dilakukan.

c. Model Ranking Method

Ranking Method atau metode me-ranking

merupakan suatu metode evaluasi kinerja dengan cara

mengurutkan para pegawai dari yang nilainya tertinggi

sampai yang paling rendah. Metode ini dimulai dengan

mengobservasi dan menilai kinerja para karyawan,

kemudian me-ranking kinerja mereka. Di Indonesia,

metode ini dipraktekkan oleh pegawai negeri dalam Daftar

Urutan Kepangkatan (DUK). DUK disusun berdasarkan

tinggi rendahnya kepangkatan para pegawai dan kinerjanya.

Pegawai yang memiliki pangkat tertinggi dan memiliki

kinerja tertinggi ditempatkan pada urutan pertama,

sedangkan pegawai dengan pangkat terendah dan kinerja

rendah ditempatkan di urutan terakhir.

Ranking Method digunakan untuk mekanisme

pembinaan dan pengembangan karier. Apabila ada jabatan

yang lowong, kesempatan pengisian jabatan diberikan

kepada pegawai berdasarkan urutannya.

(35)

d. Model Checklist

Evaluasi kinerja model Checklist berisi daftar

indikator-indikator hasil kerja, perilaku kerja, atau sifat

pribadi yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan.

Cara penilaian kinerja dalam metode ini adalah penilai

mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memilih indikator

yang menggambarkan kinerja atau karakteristik ternilai dan

memberikan tanda cek (tanda √ atau ×). Salah satu bentuk

instrumen Checklist adalah Checklist berbobot, yaitu metode Checklist yang mencantumkan bobot nilai untuk setiap indikator kinerja. Proses penilaian metode ini adalah

penilai mengobservasi, kemudian memberikan tanda cek

pada indikator kinerja yang terdapat pada instrumen. Setiap

indikator memiliki bobot dan jumlah bobot, kemudian

dijumlahkan.

e. Model Graphic Rating Scales

Graphic Rating Scale merupakan salah satu model

Checklist yang menggunakan skala. Ciri dari Graphic

Rating Scale adalah indikator kinerja karyawan

dikemukakan beserta definisi singkat. Selain itu, deskriptor

level kinerja dikemukakan dalam bentuk skala yang

(36)

mengobservasi indikator kinerja karyawan ternilai dan

memberikan tanda centang (√) atau silang (×) pada skala.

Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan dan hasilnya

diubah kembali ke dalam kata sifat.

Keunggulan model Graphic Rating Scale adalah

semua indikator kinerja, definisi, dan nilainya terstruktur

serta terstandarisasi. Nilai kinerja setiap karyawan dengan

mudah dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh

karyawan. Model ini juga mudah dipahami oleh penilai dan

ternilai, serta mudah dilaksanakan. Oleh karena itu, metode

ini digunakan secara luas di berbagai organisasi.

Di sisi lain, metode tersebut memiliki beberapa

kelemahan. Pekerjaan di suatu organisasi memiliki banyak

jenis sehingga menimbulkan pertanyaan: Apakah indikator

kinerja yang digunakan dapat mencerminkan indikator

kinerja semua jenis pekerjaan? Misalnya, sopir direktur

utama perusahaan. Apakah indikatornya harus sama dengan

indikator sopir pengiriman barang dalam unit pemasaran?

Pekerjaanya keduanya berbeda sehingga indikator

kinerjanya juga harus berbeda.

(37)

f. Model Forced Distribution

Model evaluasi kinerja Forced Distribution atau

Distribusi Paksaan merupakan sistem evaluasi kinerja yang

mengklasifikasikan karyawan menjadi 5 sampai 10

kelompok kurva normal dari yang sangat rendah sampai

yang sangat tinggi. Kelompok tersebut, misalnya kelompok

I (memiliki nilai yang sangat rendah) berjumlah 10%,

kelompok II (nilainya rendah) berjumlah 20%, kelompok

III (nilainya sedang) berjumlah 20%, kelompok IV

(memiliki nilai yang baik) berjumlah 20%, dan kelompok V

(nilainya sangat baik) berjumlah 10%. Penilai semula

mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memasukkannya

ke dalam kelompok karyawan dalam klasifikasi karyawan.

g. Model Forced Choice Scale

Cara penilaian kinerja adalah penilai dipaksa

memilih beberapa set dari empat perilaku, yang disebut

dengan tetrads. Tetrads merupakan perilaku mana yang paling baik melukiskan ternilai dan mana yang paling tidak

melukiskan perilakunya. Model Forced Choice terdiri atas

(38)

Akan tetapi sistem penilaian dengan menggunakan

metode Forced Choice memiliki beberapa kelemahan,

yaitu:

1) Memerlukan kemauan penilai untuk mengevaluasi

ternilai karena mereka tidak mengetahui apakah mereka

telah menilai baik atau buruk kinerja ternilai.

2) Karena tidak mengetahui nilai kinerjanya, karyawan

tidak mendapatkan feedback mengenai kinerjanya dalam melaksanakan tugas.

h. Model Behaviorally Anchor Rating Scale (BARS)

Sistem evaluasi kinerja model BARS merupakan

sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan perilaku

kerja yang sering digabungkan dengan sifat pribadi. BARS

terdiri atas suatu seri, 5-10 skala perilaku vertikal untuk

setiap indikator kinerja. Pada setiap dimensi, disusun 5-10

anchor, yaitu berupa perilaku yang menunjukkan kinerja

untuk setiap dimensi. Anchor-anchor tersebut disusun dari nilai tertinggi hingga nilai yang paling rendah. Anchor tersebut dapat berupa critical insident yang diperoleh

melalui job analysis.

Model BARS umumnya disusun oleh suatu tim

(39)

bertugas mengidentifikasi karakteristik dimensi kinerja dan

mengidentifikasi 5-10 insiden kritikal untuk setiap dimensi.

Selanjutnya, insiden kritikal tersebut ditelaah dan dinilai

oleh anggota tim. Insiden kritikal yang terpilih harus

disetujui oleh 70% anggota tim dan kemudian ditempatkan

dalam skala tinggi hingga rendah.

i. Model Behavior Obeservation Scale (BOS)

Metode penilaian kinerja BOS sama dengan BARS.

Kedua metode ini didasarkan pada perilaku kerja.

Perbedaannya, dalam BOS, penilai diminta untuk

menyatakan berapa kali perilaku tersebut muncul. Penilai

mengobservasi perilaku ternilai berdasarkan anchor perilaku yang tersedia, selanjutnya penilai memberikan cek

pada skala deskripsi level kinerja yang tersedia. Setelah hal

tersebut dilakukan, angka pada skala yang dicek kemudian

dijumlahkan.

j. Model Behavior Expectation Scale (BES)

Pada saat merekrut seorang pegawai atau karyawan,

organisasi/perusahaan mengharapkan (expectation) agar pegawai tersebut melaksanakan pekerjaan dengan baik.

(40)

dalam uraian tugasnya. Pegawai tersebut diwajibkan untuk

menyelesaikan tugasnya dengan cara tertentu, berperilaku

sesuai dengan kode etik, dan mengikuti prosedur tertentu

agar mampu menciptakan kinerja sesuai dengan standar

kinerja yang disusun oleh organisasi.

Instrumen evaluasi kinerja Behavior Expectation

Scale (BES) atau Skala Perilaku yang Diharapkan yang

setiap anchor-nya dimulai dengan kata ‘dapat diharapkan’ atau ‘could be expected’. Misalnya, dengan menggunakan kalimat ‘dapat diharapkan datang ke tempat kerja 5 hari

dalam 1 minggu’.

k. Management by Objective (MBO)

Evaluasi kinerja dengan menggunakan teknik MBO

mengharuskan adanya hierarki tujuan dalam organisasi atau

perusahaan. Setiap perusahaan memiliki objektif, yaitu

tujuan atau sasaran yang akan dicapai dalam tahun

mendatang sebagai penjabaran tujuan dalam rencana

strategis perusahaan. Objektif perusahaan kemudian

dijabarkan dalam tujuan divisi, bagian, seksi hingga tujuan

setiap pegawai anggota unit kerja tertentu.

Ketika pegawai melaksanakan pekerjaan untuk

(41)

formatif, yaitu evaluasi untuk mengontrol ketimpangan dan

mengoreksi jika diperlukan. Evaluasi formatif dilakukan

beberapa kali sesuai dengan kebutuhan. Pada akhir tahun,

evaluasi kinerja sumatif dilakukan untuk mengukur kinerja

akhir pegawai.

Evaluasi kinerja model MBO dapat dilaksanakan

pada pekerjaan yang keluarannya dapat diukur secara

kuantitatif. Misalnya untuk mengukur kinerja karyawan

bagian produksi, kinerjanya dapat dihitung atau di unit

pelayan pelanggan. Model MBO sulit dilaksanakan untuk

pegawai yang memiliki pengukuran kinerja rumit karena

terdiri atas hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang

memiliki hubungan dengan pekerjaan. Misalnya, metode

MBO ini digunakan untuk mengukur kinerja para guru dan

dosen.

l. 360Degree Performance Appraisal Model

Model evaluasi kinerja dalam metode ini digunakan

sistem evaluasi Esai, MBO, BARS, Checklist, dan sebagainya. Hal yang membedakan model evaluasi kinerja

360 Derajat dengan sistem-sistem tersebut adalah

penilainya lebih dari satu atau penilai multiple. Penilainya

(42)

kerja (anggota tim kerja), pelanggan, nasabah, klien, dan

diri sendiri (self evaluation).

Formulir penilaian yang didistribusikan kepada para

penilai sering berada di tempat berbeda untuk menilai

kinerja ternilai. Sejumlah organisai menggunakan

information communication technology, seperti e-mail

untuk mendistribusikan instrumen evaluasi kinerja dan

mengolah hasilnya, kemudian menyampaikan hasilnya

kepada ternilai. Selanjutnya, hasil penilaian penilai

dianalisis untuk mendapatkan nilai rata-rata yang kemudian

diberikan kepada ternilai sebagai feedback.

m. Model Paired Comparison

Sistem evaluasi kinerja Paired Comparison Model atau Model Perbandingan Pasangan adalah kinerja setiap

karyawan dibandingkan dengan kinerja karyawan lainnya,

sepasang demi sepasang. Setiap karyawan semula dinilai

kinerjanya, kemudian dibandingkan dengan kinerja setiap

karyawan lainnya. Dasar dari perbandingan adalah kinerja

menyeluruh atau nilai akhir dari kinerja karyawan. Jumlah

pasangan yang dibandingkan dapat dihitung dengan rumus

(43)

( )

dimana N adalah jumlah pegawai yang

dibandingkan.

Model evaluasi kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model Graphic Rating Scales. Alasan digunakan model Graphic

Rating Scales dikarenakan model tersebut mudah dipahami oleh

peneliti dan subjek. Selain itu, model Graphic Rating Scales juga mudah dilaksanakan sehingga metode ini sering digunakan secara

luas di berbagai organisasi. Melalui metode Graphic Rating Scales, semua indikator kinerja, definisi, dan nilainya terstruktur serta

terstandarisasi sehingga nilai kinerja setiap subjek dapat dengan

mudah dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh subjek.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Seseorang memiliki kinerja atau performansi kerja yang

baik tidak terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

kinerja tersebut. Menurut Timple (1992, dalam Mangkunegara,

2010), faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal (disposisional) adalah faktor yang

dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Seperti misalnya, kinerja

seseorang baik disebabkan karena orang tersebut memiliki

kemampuan tinggi dan termasuk orang dengan tipe pekerja keras.

Di sisi lain, seseorang memiliki kinerja yang buruk disebabkan

(44)

memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan.

Misalnya, perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja,

bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.

Penjelasan tersebut menekankan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja menurut Timple (1992, dalam

Mangkunegara, 2010) dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Demikian halnya dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja menurut Wirawan (2009). Secara garis

besar, Wirawan (2009) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal terdiri dari faktor internal karyawan/pegawai dan

faktor lingkungan internal organisasi. Sedangkan faktor eksternal

terdiri dari faktor lingkungan eksternal organisasi. Menurut

Wirawan (2009), ketiga faktor tersebut saling bersinergi yang pada

akhirnya menghasilkan kinerja.

Faktor internal pegawai yaitu faktor-faktor dari dalam diri

pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang

diperoleh ketika individu tersebut berkembang. Faktor-faktor

bawaan misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan

kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh misalnya

(45)

Selanjutnya, faktor-faktor lingkungan internal organisasi

antara lain berasal dari dukungan organisasi tempat individu

bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya

kinerja karyawan. Sebaliknya, apabila sistem kompensasi dan iklim

kerja organisasi buruk, maka kinerja karyawan akan menurun.

Faktor internal organisasi lainnya misalnya strategi organisasi,

dukungan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan

pekerjaan, serta sistem manajemen dan kompensasi. Oleh karena

itu, manajemen organisasi harus menciptakan lingkungan internal

organisasi yang kondusif sehingga dapat mendukung dan

meningkatkan produktivitas karyawan.

Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan eksternal

organisasi yang merupakan keadaan, kejadian, atau situasi yang

terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi

kinerja karyawan. Faktor-faktor internal karyawan bersinergi

dengan faktor lingkungan internal organisasi dan

faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi. Sinergi ini mempengaruhi

perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja

karyawan. Perilaku kerja karyawan antara lain etos kerja, disiplin

kerja, motivasi kerja, semangat kerja, kepuasan kerja, dan

kepemimpinan. Pada akhirnya, kinerja karyawan yang menentukan

(46)

B. KOMPETENSI KOMUNIKASI

1. Definisi Komunikasi

Komunikasi memiliki definisi yang meluas. Miller (2005,

dalam West & Turner, 2007) menggarisbawahi bahwa

konseptualisasi komunikasi telah meluas dan telah mengalami

banyak perubahan selama bertahun-tahun”. Menurut West dan

Turner (2007), komunikasi merupakan proses sosial dimana

individu menggunakan simbol untuk menyusun dan

menafsirkan/mengartikan makna dalam lingkungan mereka. Di

samping itu, komunikasi juga merupakan proses penyampaian

pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau

mengubah sikap, pendapat, dan perilaku baik secara langsung

maupun tidak langsung (Effendy, 2001 dalam Hariyanto, 2009).

Definisi lain mengatakan bahwa komunikasi adalah setiap

bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang

ditanggapi oleh orang lain (Supratiknya, 1995). Johnson (1981,

dalam Supratiknya, 1995) menekankan bahwa setiap bentuk

tingkah laku yang mengungkapkan pesan tertentu juga merupakan

sebentuk komunikasi.

Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh tersebut, maka

peneliti menyimpulkan definisi komunikasi seorang sales

marketing sebagai proses sosial dimana sales marketing

(47)

laku yang mengungkapkan pesan tertentu yang dapat

mempengaruhi/mempersuasi orang lain, dengan tujuan untuk

memberitahu sikap, pendapat, dan perilaku baik secara langsung

maupun tidak langsung.

2. Kompetensi Komunikasi

Berbagai macam penelitian dilakukan untuk memahami

peranan dari kompetensi komunikasi. Para peneliti mendefinisikan

kompetensi komunikasi secara berbeda-beda. Menurut Littlejohn

dan Jabusch (1982, dalam Shockley & Zalabak, 2006), kompetensi

komunikasi merupakan suatu kemampuan dan keinginan seseorang

untuk berparitisipasi dengan penuh tanggung jawab di dalam suatu

transaksi tertentu sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil dari

suatu proses diskusi. Sedangkan definisi lain menyatakan bahwa

kompetensi komunikasi merupakan sejumlah kemampuan,

selanjutnya, disebut resources, yang dimiliki oleh seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi (Jablin &

Sias, 2001 dalam Payne, 2005). Definisi ini merupakan pendekatan

strategik, berorientasi tujuan terhadap kompetensi yang

menekankan pengetahuan dan kemampuan. Secara khusus,

Shockley dan Zalabak (2006) mendefinisikan kompetensi

(48)

pengetahuan, kepekaan, keterampilan, dan nilai-nilai. Kompetensi

komunikasi muncul dari interaksi, teori, praktek, dan analisis.

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi merupakan

kemampuan seseorang yang digunakan dalam proses komunikasi

untuk ikut serta dalam kegiatan yang terkait dengan proses diskusi

dan kemampuan yang dimiliki ditujukan agar dalam penyampaian

pesan dapat dimengerti oleh orang lain/lebih efektif.

3. Aspek Kompetensi Komunikasi

Aspek-aspek yang terdapat dalam kompetensi komunikasi

(Shockley & Zalabak, 2006), yaitu:

a. Knowledge Competency

Shockley dan Zalabak (2006) memberikan definisi

terhadap knowledge competency sebagai kemampuan untuk

memahami lingkungan komunikasi organisasi. Knowledge

competency merupakan pemahaman dari teori dan

prinsip-prinsip. Di samping itu, knowledge competency merupakan dasar yang penting untuk mendukung kepekaan individu

terhadap kehidupan organisasi, untuk memandu

keterampilan individu, dan untuk membantu dalam

memahami penerapan standar etika serta nilai-nilai pribadi

(49)

Knowledge competency ini dapat dikembangkan melalui eksplorasi dari interaksi secara aktif yang

merupakan bagian dari proses alami komunikasi

antarpribadi. Misalnya seorang sales marketing yang mengerti cara untuk berkomunikasi dengan baik kepada

konsumen (yang didasarkan dari prinsip dan teori

komunikasi yang telah dimiliki) dan mampu untuk

menyesuaikan cara berbicara dengan kondisi lingkungan

sekitar.

Knowledge competency tidak sekedar didasarkan

pada pengetahuan akan teori-teori dan prinsip dan

komunikasi, melainkan dari pengetahuan mengenai hal-hal

yang terkait dengan bidang pemasaran. Knowledge

competency yang harus dimiliki oleh setiap sales marketing

antara lain pengetahuan mengenai produk sehingga mampu

untuk menyampaikan produk yang ditawarkan dengan

jelas, pengetahuan akan konsep pemasaran, dan

pengetahuan akan strategi pemasaran.

b. Sensitivity Competency

Sensitivity atau kepekaan adalah kemampuan untuk

merasakan secara tepat makna dari organisasi dan perasaan.

(50)

seseorang untuk memahami apa yang orang lain rasakan

dan lakukan.

Shockley dan Zalabak (2006) mendefinisikan

sensitivity competency sebagai kemampuan untuk

mengungkapkan makna organisasi dan merasakan dengan

teliti/seksama. Sensitivity competency ini dapat dikembangkan melalui pemeriksaan pribadi kita

‘penggunaan teori-teori’ tentang komunikasi dan

organisasi.

Seperti misalnya, seorang sales marketing yang

bertemu dan berkomunikasi dengan konsumen. Sales

marketing tersebut merasa bahwa ketika terjadi proses

komunikasi, feedback yang diberikan oleh konsumen dirasa kurang. Konsumen tersebut hanya menjawab seadanya saja.

Oleh karena itu, seorang sales marketing harus peka

terhadap kondisi/suasana hati dari konsumen sehingga

karyawan tersebut dapat menyesuaikan cara berkomunikasi.

Sensitivity competency yang dimiliki oleh setiap

sales marketing mempermudah sales marketing dalam

mengenali dan merasakan apa yang konsumen alami

sehingga mampu untuk memberikan solusi dari

permasalahan konsumen melalui produk-produk yang

(51)

c. Skills Competency

Shockley dan Zalabak (2006) menjelaskan bahwa

skills competency merupakan kemampuan untuk

menganalisis situasi organisasi dengan seksama dan untuk

menjalankan atau memulainya diperlukan pesan organisasi

secara efektif. Skills competency berfokus pada pengembangan kemampuan analisis yang penting dan juga

kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dalam

berbagai setting. Selain itu, skill competency ini dapat dikembangkan melalui analisis dan berlatih di setiap

kesempatan.

Sales marketing yang sedang mempromosikan

barang produksi perusahaan kepada calon pembeli harus

dapat mengkondisikan dirinya sehingga intonasi bicaranya

tegas dan jelas. Selain itu juga cara berkomunikasi sales

marketing tersebut juga harus memiliki kalimat yang

persuasif sehingga calon pembeli pada akhirnya mau untuk

membeli.

Sales marketing dengan skills competency yang baik

akan mampu untuk menganalisis perkembangan pasar dan

melihat produk-produk baru dari pesaing yang muncul.

Dengan demikian, sales marketing akan semakin

(52)

menggunakan kesempatan untuk menawarkan produk

kepada konsumen.

d. Values Competency

Values atau nilai-nilai menekankan pada pentingnya

mengambil tanggung jawab pribadi untuk komunikasi yang

efektif dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi

terhadap keunggulan organisasi. Values competency dapat dikembangkan melalui diskusi yang dilakukan oleh

seseorang secara bertanggung jawab untuk berpartisipasi

dalam komunikasi organisasi. Di dalam values

competency, kesuksesan suatu organisasi dapat diawali

dengan keterlibatan atau peran seseorang dalam komunikasi

yang efektif.

Sales marketing yang ingin menyampaikan

informasi kepada calon pembeli maka sales marketing tersebut harus menyadari diri sendiri terlebih dahulu bahwa

dirinya memiliki tanggung jawab kepada calon pembeli

yang memiliki hak untuk menerima informasi secara jelas

dan mudah dipahami. Kesadaran diri tersebut menyebabkan

setiap sales marketing harus mampu untuk mengkomunikasikan informasi dengan baik dan efektif

(53)

C. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI KOMUNIKASI

DENGAN KINERJA PADA SALES MARKETING

Perusahaan yang ingin mewujudkan visi dan misinya sehingga

mampu untuk bersaing dengan perusahaan lain tidak terlepas dari peran

tim pemasaran. Para sales marketing tersebut bertugas untuk menarik

minat para konsumen untuk ikut bergabung, baik dalam bentuk jasa atau

sebagai nasabah. Oleh karena itu, sales marketing yang memiliki tugas

untuk bertatap muka secara langsung dan memberikan informasi mengenai

produk perusahaan pasti memerlukan kemampuan berkomunikasi yang

baik. Dengan demikian, informasi yang disampaikan dapat dengan jelas

diterima oleh konsumen. Kemampuan untuk berkomunikasi tersebut

disebut dengan kompetensi komunikasi.

Littlejohn dan Jabusch (1982, dalam Shockley & Zalabak, 2006)

mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai suatu kemampuan dan

keinginan seseorang untuk berparitisipasi dengan penuh tanggung jawab di

dalam suatu transaksi tertentu sebagai upaya untuk memaksimalkan hasil

dari suatu proses diskusi. Kompetensi komunikasi merupakan salah satu

sumber daya manusia dan salah satu bentuk kompetensi yang perlu

dimiliki oleh setiap anggota organisasi terutama sales marketing dan memiliki peranan penting di dalam dinamika organisasi. Hal ini sesuai

dengan pendapat Spencer, 1993 (dalam Sudarmanto, 2009) yang

menjelaskan bahwa kompetensi sebagai atribut kualitas sumber daya

(54)

individu tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja organisasi

dan dinamika organisasi. Dengan demikian, kompetensi komunikasi

merupakan salah faktor individual yang dapat mempengaruhi kinerja atau

performansi kerja.

Tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh sales marketing

dalam perannya di organisasi adalah untuk mempersuasi konsumen agar

berminat membeli barang atau jasa yang ditawarkan.Ketika seorang sales

marketing memiliki kompetensi komunikasi, maka sales marketing

tersebut lancar dalam berkomunikasi dan mampu untuk memberikan

informasi yang jelas serta mudah dipahami. Selain itu sales marketing

yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan membuat proses

komunikasi yang dilakukan menjadi lebih efektif sehingga mampu

menarik minat para konsumen.

Di sisi lain, sales marketing yang kurang berkompeten dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukan

dengan konsumen. Sales marketing yang kurang memiliki kompetensi komunikasi dapat menyebabkan proses komunikasi menjadi tidak efektif

sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, baik antara sales

marketing dengan konsumen ataupun sesama anggota organisasi.

Sales marketing yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik

adalah sales marketing yang berkompeten. Sales marketing yang berkompeten memiliki cara kerja yang efektif sehingga mampu untuk

(55)

tersebut dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik. Hal ini didukung oleh

pendapat dari Wirawan (2009) yang menjelaskan bahwa kinerja

merupakan fungsi dari kompetensi, sikap, dan tindakan. Kinerja sales

marketing menentukan seberapa baik kinerja organisasi. Organisasi

dengan individu-individu yang memiliki kinerja yang baik akan menjadi

organisasi yang berhasil dan efektif sehingga mampu bersaing dengan

(56)

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan dalam

bagan dibawah ini:

Gambar 1

Hubungan antara Kompetensi Komunikasi dengan Kinerja

(57)

D. HIPOTESIS

Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dijelaskan, maka dapat

dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi yang dimiliki

oleh sales marketing dengan kinerja dari sales marketing tersebut. Hal ini

berarti bahwa semakin baik kompetensi komunikasi seorang sales

(58)

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang termasuk

dalam kategori penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah

penelitian dimana hubungan antara variabel diteliti dan dijelaskan. Dalam

penelitian korelasi sederhana, hanya terdapat dua variabel yang kemudian

akan dikorelasikan, diteliti, dan dijelaskan (Hasan, 2002). Penelitian

korelasional memiliki tujuan untuk meneliti sejauh mana variabel pada

satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya. Pada penelitian

ini, peneliti ingin mencari hubungan antara kompetensi komunikasi

dengan kinerja terhadap sales marketing pada salah satu perusahaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel bebas (x) : kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh sales

marketing

(59)

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Kinerja Sales Marketing

Kinerja memiliki dua pengertian, yaitu kinerja sebagai tindakan

dan kinerja sebagai hasil. Kinerja sebagai tindakan memiliki pengertian

bahwa kinerja merupakan tindakan yang dapat ditingkatkan melalui

proses evaluasi dan penilaian. Sedangkan kinerja sebagai hasil memiliki

pengertian sebagai hasil kerja yang telah dicapai oleh seorang karyawan

dengan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya selama

periode waktu tertentu. Kinerja sales marketing dalam penelitian ini diukur dengan skala kinerja yang didasarkan pada tiga dimensi kinerja,

yaitu:

a. Hasil kerja

b. Perilaku kerja

c. Sifat pribadi yang memiliki hubungan dengan pekerjaan

Penilaian dalam skala kinerja terhadap sales marketing akan dilakukan

oleh atasan (manajer atau supervisor). Hal ini untuk mengurangi

terjadinya subjektivitas yang dapat memperlemah penelitian.

Semakin tinggi nilai skor yang diperoleh sales marketing pada penilaian dalam skala kinerja menunjukkan bahwa kinerja yang dimiliki

oleh sales marketing tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, semakin

rendah nilai skor yang diperoleh sales marketing pada penilaian dalam skala kinerja menunjukkan bahwa kinerja yang dimiliki oleh sales

(60)

2. Kompetensi Komunikasi pada Sales Marketing

Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan karyawan atau

sales marketing yang digunakan dalam proses komunikasi untuk ikut

serta dalam kegiatan yang terkait dengan proses diskusi dan

kemampuan yang dimiliki ditujukan agar dalam penyampaian pesan

dapat dimengerti oleh orang lain/lebih efektif.

Skala kompetensi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini

disusun berdasarkan empat aspek, yaitu:

a. Pengetahuan atau Knowledge Competency b. Sensitivitas atau Sensitivity Competency

c. Keterampilan atau Skills Competency d. Nilai atau Values Competency

Skor yang tinggi pada skala kompetensi komunikasi menunjukkan

bahwa tingkat kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh sales

marketing tinggi. Demikian pula sebaliknya, skor yang rendah pada

skala kompetensi komunikasi menunjukkan bahwa tingkat kompetensi

komunikasi pada sales marketing rendah.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini yaitu sales marketing yang bekerja

pada salah satu perusahaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel

adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(61)

mengenai sampel juga diutarakan oleh Hasan (2002). Sampel merupakan

bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu. Sampel

tersebut harus memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap sehingga

dianggap dapat mewakili populasi (Hasan, 2002). Sampling penelitian

dalam penelitian ini menggunakan model purposive sampling, yaitu

pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat

populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Kriteria

purposive sampling dalam penelitian ini adalah semua sales marketing

yang telah menjadi karyawan tetap dan tidak dalam masa training.

E. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala

pengukuran. Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan

sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang

terdapat pada alat ukur dan alat ukur tersebut digunakan dalam pengukuran

yang kemudian menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono, 2001 dalam

Hasan, 2002). Pada penelitian ini terdapat 2 skala pengukuran yang akan

diberikan kepada sekelompok subjek, yaitu skala pengukuran kinerja yang

akan diisi oleh supervisor untuk menilai kinerja sales marketing dan skala pengukuran kompetensi komunikasi pada sales marketing untuk menilai

seberapa baik kompetensi komunikasi sales marketing.

Skala kompetensi komunikasi memiliki tujuan untuk

(62)

diisi secara langsung oleh sales marketing. Skala ini disusun oleh peneliti yang didasarkan pada teori kompetensi komunikasi yang diutarakan oleh

Shockley dan Zalabak (2006). Skala kompetensi komunikasi berisi 40 item

dengan menggunakan skala Likert dan memiliki empat alternatif jawaban,

yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak

Setuju (STS).

Aspek yang diungkap dalam skala kompetensi komunikasi tersebut

adalah knowledge competency, sensitivity competency, skills competency,

dan values competency. Jenis pernyataan item yang terdapat pada skala

kompetensi komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu item favorable dan

unfavorable. Item favorable merupakan item-item yang berisi pernyataan

mendukung, memihak, dan menunjukkan ciri dari atribut yang hendak

diukur. Pada item favorable, keempat alternatif jawaban bernilai 4 untuk alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 untuk alternatif jawaban

Setuju (S), nilai 2 untuk alternatif jawaban Tidak Setuju (TS), dan nilai 1

untuk alternatif jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan item

unfavorable merupakan item-item yang tidak mendukung dan tidak

menggambarkan ciri dari atribut yang diukur. Nilai pada alternatif jawaban

unfavorable berkisar dari nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Setuju (SS),

nilai 2 untuk jawaban Setuju (S), nilai 3 untuk jawaban Tidak Setuju (TS),

(63)

Tabel 1

Pemberian Nilai Skor pada Skala Kompetensi Komunikasi

Terhadap Sales Marketing

Distribusi Item Skala Kompetensi Komunikasi

pada Sales Marketing

Aspek

Pengetahuan Sensitivitas Keterampilan Nilai

Jumlah Total

Jenis Item Jenis Item Jenis Item Jenis Item

Fav Unfav Fav Unfav Fav Unfav Fav Unfav

Jumlah 5 5 5 5 5 5 5 5 40

12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 12,5% 100%

Tabel 3

Blue Print Skala Kompetensi Komunikasi

pada Sales Marketing

diberikan oleh perusahaan. Skala pengukuran kinerja disusun oleh peneliti

Gambar

Gambar 1. Hubungan antara Kompetesi Komunikasi dengan
Gambar 1 Hubungan antara Kompetensi Komunikasi dengan Kinerja
Tabel 1 Pemberian Nilai Skor pada Skala Kompetensi Komunikasi
Tabel 4 Blue Print Skala Kinerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM

Berdasarkan kendala-kendala dalam pembelajaran siklus I yang telah diuraikan di atas, selanjutnya dilakukan beberapa upaya perbaikan untuk mengatasi kendala-kendala