• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

(Studi Di Desa Gegerung Kec. Lingsar Lombok Barat)

Oleh :

ARYA ANANTA WIJAYA D1A 109 089

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM 2013

(2)

Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

(Studi Di Desa Gegerung Kec. Lingsar Lombok Barat)

Oleh :

ARYA ANANTA WIJAYA D1A 109 089 Menyetujui, Mataram, 19 Februari 2013 Pembimbing Pertama, M. UMAR, S.H.,M.H. NIP. 19521231 198403 1 104

(3)

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TINJ AUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

(Studi Di Desa Gegerung Kec. Lingsar Lombok Barat) ARYA ANANTA WIJAYA

D1A 109 089 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem perkawinan anak di bawah umur dipandang dari segi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, serta akibat hukumnya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif-empirik dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan studi kasus Di Desa Gegerung Kecamatan Lingsar Lombok Barat.

Hasil Penelitian menyatakan bahwa perkawinan anak di bawah umur suatu hal dilarang oleh aturan perundang-undangan tetapi dapat dilaksanakan apabila dalam keadaan mendesak dan telah diberikannya dispensasi kawin oleh Pengadilan Agama hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hukum Islam perkawinan anak di bawah umur sah apabila telah akil baligh, dan mampu berumah tangga.

Simpulannya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam bahwa perkawinan di bawah umur bisa dilaksanakan asalkan sesuai dengan syarat-syarat dan prosedure yang telah berlaku. Sarannya sebelum melakukan perkawinan di bawah umur harus dipikirkan secara matang-matang sebab akibatnya untuk kedepan.

Kata Kunci : Dispensasi kawin, akil baligh,

AN ANALYSIS OF UNDERAGE MARRIAGE ACCORDING TO THE ISLAMIC LAW AND THE ACT NO. 1/1974

(A Study at Gegerung Village, Lingsar Sub- Regency, Lombok Barat Regency) ABSTRACT

This study aimed at finding out the system of underage marriage according to the Islamic Law and the Act No. 1/1974 and its legal consequence. This was a normatif empirical study with legal regulatory, conceptual and case study approach at Gegerung Village, Lingsar Sub-Regency, Lombok Barat Regency.

The relevant regulation indicated mutually allowed that underage marriage is forbidden by the law, yet it may still be conducted under emergency situation and had obtained marriage dispensation by the Court of Religious Affairs. This was in line with the Act No. 1/1974. Under the Islamic Law , the marriage of under aget children shall be valid provided that the children have reached the state of aqil baligh and they have been capable of running a household.

It was concluded that the Act No. 1/1974 and the Islamic Law mutually allowed underage marriage, on condition that the children fulfill the requirements and procedure. It was recommended that prior to conducting underage marriage, all matters pertaining to the future consequence be fully considered.

(4)

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyarakat, dari suatu parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di dalamnya akan lahir seorang anak atau lebih. Dalam kelompok individu tersebut lahir organisasi sosial yang bernama keluarga dan membentuk relasi-relasi seperti hubungan suami istri, anak dan orang tua, anak dengan saudara-saudaranya, anak dengan kakek-neneknya, anak dengan paman dan tantenya, ayah-ibu dengan saudara dan ipar-iparnya, suami istri dengan orang tua dan mertuanya, dan seterusnya.

Remaja sebagai anak yang ada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia dewasa pada masa peralihan ini biasanya terjadi percepatan pertumbuhan dari segi fisik maupun psikis. Baik ditinjau dari bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak mereka bukan lagi anak-anak. Mereka juga belum dikatakan manusia dewasa yang memiliki kematangan pikiran.

Sifat-sifat keremajaan ini (seperti emosi yang tidak stabil, belum mempunyai kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi, serta belum memepunyai pemikiran yang matang tentang masa depan yang baik), akan sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak dalam hal ini kemampuan konflik pun, usia itu berpengaruh.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kedewasaan ibu baik secara fisik maupun mental sangat penting, karena hal itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak kelak dikemudian hari. Oleh itulah maka sangat penting untuk memperhatikan umur pada anak yang akan menikah.

(5)

Pernikahan usia muda juga membawa pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak mereka. Biasanya anak-anak-anak-anak kurang kecerdasannya. Anak-anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu remaja mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih renda bila dibandingkan dengan anak yang dilahirkan doleh ibi-ibu yang lebih dewasa. Mengenai pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih di bawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menunjang keberhasilan Program Nasional dalam bidang Keluarga Berencana. Hal ini juga dikehendaki oleh masyarakat dengan adanya tendensi pengunduran usia kawin. Akan tetapi pada kenyataannya perkawinan yang masih di bawah umur itu masih sering terjadi ditengah-tengah masyarakat kita. Khususnya di Desa Gegerung Kecamatan Lingsar NTB.

Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam memberikan ruang bagaimana bisa berlangsungnya perkawinan di bawah umur dengan syarat dan proses telah diberikan dan diatur dari segi hukumnya terhadap perkawinan di bawah umur yang sesuai dengan prosedur dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah perkawinan anak di bawah umur dipandang dari sistem Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Desa Gegerung Kec. Lingsar?; 2) Apa akibat hukum terhadap perkawinan anak di bawah umur di Desa Gegerung Kec. Lingsar?

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui sistem perkawinan anak di bawah umur dipandang dari segi hukum Islam dan

(6)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.; 2) Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan anak di bawah umur di Desa Gegerung Kecamatan Lingsar.

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) Manfaat teoritis: Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum perkawinan.; 2) Manfaat praktis: Dapat memberikan masukan bagi masyarakat, pemerintah, legislatif dan praktisi hukum khususnya yang berkaitan dengan analisis perkawinan anak di bawah umur tinjauan dari hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif-empirik dengan pendekatan yang digunakan yaitu Statute Approach, Conseptual Approach dan Case Approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sedangkan tehnik dan alat pengumpulan data dilakukan dengan data kepustakaan dan data lapangan serta analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif terhadap data-data yang terkumpul dan analisis deduktif dilakukan dengan menarik kesimpulan dari suatu yang bersifat umum ke sesuatu yang bersifat khusus.

(7)

PEMBAHASAN

A. Perkawinan Anak Di Bawah Umur Di Pandang Dari Sistem Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Desa Gegerung Kecamatan Lingsar.

Perkawinan di bawah umur sejak zaman Belanda telah terjadi hal ini ditandai dengan banyaknya orang Belanda melakukan perkawinan dengan anak-anak gadis pribumi yang masih di bawah umur dengan aturan hukum yang dilaksanakan yakni aturan hukum perdata (BW) dan telah menjadi tradisi turun temurun yang dibawa sampai sekarang. Mengenai batasan umur dalam melakukan perkawinan di bawah umur sudah diatur mengenai sistemnya apabila dipandang dari segi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu :

1. Menurut Hukum Islam

Pandangan ahli hukum Islam (Fuqaha) terhadap perkawianan di bawah umur. Dalam keputusan Ijtima ‘Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literatur fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batas usia perkawinan, baik batas usia minimal maupun maksimal. Walupun demikian, hikmah tasyri dalam perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia

(8)

dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi.1

Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa ketentuan hukum yaitu:

a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal perkawinan secara definitif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’wa al wujub) sebagai ketentuannya. b. Perkawianan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya

syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.

c. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.

d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedomannya.

Dalil-dalil yang menjadi dasar penetapan ketentuan hukum tersebut adalah sebagai berikut :2

1. Al-Qur’an Surat (QS) An-Nisa’ (4) : 6 2. QS At-Thalaq (65) : 4

3. QS An-Nur (24) : 32

4. Hadits Muttafaq Alaih dari ‘Aisyiah

5. Hadits Bukhari dan Muslim dar ‘Al Qamah

6. Kaidah Fikih dalam Qawaid Al-Ahkamfi Al-Anam karya izzudin Abd Al-Salam jilid I halaman 51.

7. Pandangan Jumhur fuqaha yang membolehkan pernikahan usia dini. 8. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr-Al-Asham.

1

Khaeron Sirin, Fikih Perkawinan Di Bawah Umur, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 35.

2

(9)

9. Pendapat Ibnu Hazm yang memilah antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh Bapaknya dibolehkan, sedangkan pernikahan anak lelaki yang masih kecil dilarang.

Keputusan Komisi Fatwa MUI tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh HM Asrorun Ni’am Sholeh bahwa:3

Dalam litertaur Fikih Islam tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, dengan demikian perkawinan yang dilakukan orang yang sudah tua dipandang sah sepanjang memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana juga sah bagi anak-anak yang masih kecil.

Secara umum dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur pendapat dari para fuqaha dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:4

1. Pandangan jumhur fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini walaupun demikian kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan mengakibatkan adanya dlarar maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan dewasa.

2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur hukumya terlarang secara mutlak. 3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki

kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh Bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang. Argumen yang dijadikan dasar adalah zhahir hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW.

Jadi dalam diskursus fikih (Islamic Jurisprudence), tidak ditemukan kaidah yang sifatnya menentukan batas usia kawin. Karenanya, menurut fikih semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan dengan dasar bahwa telah mampu secara fisik, biologis dan mental.

3

HM. Asrorun Ni’am Sholeh, Pernikahan Usia Dini Perspektif Munakahah, Dalam Ijma’ Ulama, 2009, Majelis Ulama Indonesia, hal. 213.

4

Heru Susetyo, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum

(10)

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menerangkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan atau mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu ayat (2) menerangkan “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Yang perlu mendapat izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. Itu artinya, pria dan wanita yang usianya dibawah ketentuan tersebut belum boleh melaksanakan perkawinan. Setelah adanya izin dari orang tua maka kedua calon mempelai dapat mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama yang menjadi kewenangan absolutnya.

Jadi pada hakekatnya dispensasi nikah mempunyai perbedaan makna dengan izin nikah, dispensasi nikah adalah perkawinan yang dilaksanakan dimana calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan calon isteri yang belum mencapai 16 (enam belas) tahun mendapat kelonggaran atau menjadi dibolehkan untuk melaksanakan perkawinan dengan telah diberikannya dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama. Sedangkan izin nikah adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan yang secara

(11)

undang-undang telah cukup umur melangsungkan perkawinan tetapi harus memperoleh izin atau diizinkan oleh kedua orang tua masing-masing mempelai.

Perkawinan di bawah umur apabila dilaksanakan harus sesuai dengan asas-asas yang terdapat didalamnya, asas tersebut terdiri dari:

a. Asas kepastian

Perkawinan di bawah umur harus ada kepastian atau keterangan yang jelas mengenai calon suami atau calon isteri dan yang berhak memberikan izin dalam perkawinan apabila anak yang di nikahkan masih di bawah umur.

b. Asas gender

Perkawinan harus memperhatikan gender masing-masing calon suami atau calon isteri hal ini bertujuan agar tidak terjadi penyimpangan dalam perkawinan seperti perkawinan sesama jenis, dan anak yang dilahirkan memiliki gender dari ibu atau bapaknya yang sah.

c. Asas hikmah

Pelaksanaan perkawinan di bawah umur bisa dilaksanakan apabila perkawinan tersebut dilihat dari aspek positifnya, bahwa perkawinan di bawah umur bila tidak dilaksanakan maka akan mendatangkan mudharat atau kerugian bagi calon suami atau calon isteri.

d. Asas Rasio

Orang tua yang tidak menginginkan anak perempuannya menikah karena dipandang bahwa calon suami tidak memiliki pekerjaan, status

(12)

sosial yang tidak jelas, dan dianggap tidak mampu belum siap bertanggungjawab apabila dinikahkan.

B. Akibat Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur Di Desa Gegerung Kecamatan Lingsar

Perkawinan di bawah umur merupakan suatu bentuk perkawinan yang tidak sesuai dengan yang diidealkan oleh ketentuan yang berlaku dimana perundang-undangan yang telah ada dan memberikan batasan usia untuk melangsungkan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan di bawah umur merupakan bentuk penyimpangan dari perkawinan secara umum karena tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan.

Secara sederhana bahwa perkawinan di bawah umur mengakibatkan sulitnya untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang sakinah, mawaddah dan warrohmah, apabila dibandingkan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundang-undangan.

Hal ini berarti bahwa perkawinan di bawah umur dapat dipastikan sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan, karena perkawinan yang memenuhi persyaratan usiapun pada kenyataanya tidak semuanya dapat mewujudkan perkawinan sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun demikian perkawinan di bawah umur jelas beresiko lebih besar dari pada perkawinan yang telah memenuhi persyaratan usia.

Suatu perkawinan yang dilaksanakan dengan calon mempelai yang masih muda, terutama bagi calon mempelai wanitanya, yaitu masih di bawah

(13)

ketentuan batas umur minimal untuk kawin (19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita), berarti akan cenderung menimbulkan fertilitas yang cukup besar. Suatu keluarga dari pasangan mempelai yang masih muda biasanya kurang menyadari akan hal tersebut. Padahal dengan kelahiran anak yang banyak dalam suatu keluarga, apalagi dalam keluarga yang masih terlalu muda akan menimbulkan berbagai masalah yang sangat mengganggu kebahagiaan, ketentraman, dan kesejahteraan dalam keluarga.

Akibat adanya anak yang terlalu banyak dalam suatu keluarga, apalagi dalam kalangan keluarga yang tidak mampu, maka akan menyebabkan sulitnya orang tua dalam membiayai kehidupan dan pendidikan dari anak-anaknya sehingga tak jarang mengakibatkan adanya anak-anak putus sekolah, kurangnya bimbingan dan perhatian dari orang tua, timbulnya pengangguran dan tak jarang dapat mengarah pada perbuatan kriminalitas yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Dari hasil pengamatan di Desa Gegerung tersendiri akibat dari adanya pernikahan di bawah umur akan menimbulkan beberapa hal diantaranya:

a. Mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang timbul dalam keluarganya.

Suatu keluarga dimana si isteri atau suami atau bahkan keduanya belum memiliki usia yang cukup dalam melakukan perkawinan mereka, maka biasanya kurang memiliki kemampuan untuk mengatasi segala permasalahan yang timbul dalam kehidupan keluarga mereka. Misalnya karena anak masih di bawah umur kehidupan rumah tangga kurang matang sehingga rawan

(14)

terjadunya kekerasan dalam rumah tangga dan juga dalam masalah pembiayaan kehidupan keluarga, masalah cara mengasuh, mendidik, dan merawat anak.

b. Timbulnya Perceraian

Tidak jarang suatu keluarga dari pasangan suami isteri masih terlalu muda akan mengalami berbagai problematika dalam rumah tangga mereka yang sulit dipecahkan. Kadang bahkan sering menimbulkan percekcokan dimana masing-masing pihak saling bersikeras pada pendirian mereka masing-masing dan diliputi oleh emosi yang tidak terkendali, tanpa ada salah satu pihak yang mau mengalah dan bersikap dewasa, sehingga akhirnya dapat menimbulkan perceraian dalam usia perkawinan mereka yang relatif masih sangat muda.

Apabila dilihat dari aturan hukumnya maka akibat hukum dari pernikahan di bawah umur melanggar dua aturan hukum yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat (2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Dalam aturan hukum ini, perkawinan di bawah umur sebenarnya dilarang tetapi apabila dalam keadaan memaksa maka hal tersebut bisa dikecualikan.

(15)

2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Pasal 26 ayat (1) orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

(a) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.

(b) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan dan minatnya. (c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Sebenarnya orang tua berkewajiban melindungi anak tetapi seiring pergaulan yang semakin modern sehingga si anak berbuat di luar jangkauan perlindungan orang tua, hal tersebut memicu terjadinya perkawinan di bawah umur.

(16)

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal dari penelitian ini, antara lain : 1) Perkawinan anak di bawah umur dipandang dari sistem Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur dianggap sah apabila sudah akil baligh, adanya persetujuan orang tua dan persetujuan mereka berdua tidak bertentangan dengan agama. Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam Pasal 7 ayat 1 perkawinan di izinkan apabila laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun, apabila menyimpang maka menurut ketentuan ayat 2 harus dimintakan dispensasi perkawinan karena adanya alasan penting seperti halnya telah hamil duluan dan kekhawatiran orang tuanya.; 2) Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah umur yakni melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai usia kawin tetapi dalam aturan hukum ini, perkawinan di bawah umur sebenarnya dilarang tetapi apabila dalam keadaan memaksa maka hal tersebut bisa dikecualikan, dan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak sebenarnya orang tua berkewajiban melindungi anak tetapi seiring pergaulan yang semakin modern sehingga si anak berbuat di luar jangkauan perlindungan orang tua, hal tersebut memicu terjadinya perkawinan di bawah umur.

(17)

B. Saran-saran

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1) Mengingat bahwa belum dilaksanakannya ketentuan batas umur untuk kawin dala Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 oleh masyarakat secara baik, yaitu dengan terbuktinya masih terdapat mempelai yang kawin pada usia yang belum mencukupi ketentuan batas umur, maka sebaiknya perlu ditingkatkan adanya penyuluhan-penyuluhan hukum perkawinan kepada masyarakat, khsusnya kepada para remaja yang telah menginjak dewasa, agar dapat menunda usia perkawinan mereka demi tercapainya salah satu Program Nasional yaitu Keluarga Berencana, serta bagi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri.; 2) Agar orang tua dalam mendidik dan membina anak dengan kembangkan komunikasi terhadap anak yang bersifat suportif dan komunikasi.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal Hukum

Saleh, K. Wantjik, 2004, Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Para Ahli Hukum, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

, Yogyakarta : Liberty.

Saryono, Sarlito, 2004, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Sirin, Khaeron, 2009, Fikih Perkawinan Di Bawah Umur, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Sholeh, HM. Asrorun, Ni’am, 2009, Pernikahan Usia Dini Perspektif Munakahah, Dalam Ijma’ Ulama, 2009, Majelis Ulama Indonesia.

Susetyo, Heru, 2009, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

B. Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum Islam

D. Internet

http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-jenisaturan-udang undang...

http://tiarramon.Wordpress.Com/2010/06/04/bab-ii-perihal-jenis-akta perkawinan. Senin (12 Mei 2011)

http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/10/mengenal/prinsip=prinsip.pena tatan

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Yang Berasal Dari Kecamatan Telanaipura (Jambi) Terhadap Insektisida Malation Dengan Uji Hayati” ini bernama lengkap Ferry Mahardika.

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di

Peralatan yang digunakan untuk mengambil data volume lalu lintas.. Pengambilan data volume

6 Rafflesia Bengkulu Bunga Rafflesia Arnoldi 7 Sibolangit Sumatra Utara Bunga Lebah dan Bunga Bangkai 8 Pulau Dua Jawa Barat Melindungi Hutan. 9 Batang Pelupuh Sumatra Barat

Data hasil penelitian diperoleh dari : pengamatan terhadap keterlaksanaan Rencana pelaksanaan tindakan (RPP), aktivitas siswa dalam kelompoknya baik dalam kelompok

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

menyalurkannya dalam bentuk kredit pada masyarakat setempat, dengan prosedur mudah dan cepat.Dalam rangka mewujudkan hal tersebut diatas, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta