• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Angelina Juni di Kelurahan Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang) - Test Reposit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Angelina Juni di Kelurahan Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang) - Test Reposit"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

(Studi Kasus Angelina Juni di Kelurahan Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

TRIANA NURFATIMAH

NIM : 211 12 039

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi MOTTO

Stop Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Anda memiliki waktu seumur hidup untuk bekerja, namun anak-anak hanya memiliki masa kecil sekali ( (Online) Dokter Indonesia ).

Anak terlahir ke dunia dengan kebutuhan untuk disayangi tanpa Kekerasan, bawaan hidup ini jangan didustakan ( Widodo Judarwanto ).

Hal-hal terbaik yang dapat anda berikan kepada anak-anak selain tingkah laku yang baik adalah kenangan ( (Online) Dokter Indonesia ).

(7)

vii

Persembahan

Sebagai tanda baktiku

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

Yang Pertama,

Kedua Orang Tuaku yang selama ini mendoakan dan mendukungku Ibuku Imronah dan Ayahku Supa’at

Yang Kedua,

Calon Suamiku Asep Hermawan S.ST.Pel.,

Yang Ketiga,

Keluarga besarku kakak-kakakku dan adik-adikku

Yang Keempat,

Kampusku IAIN Salatiga

Yang Kelima,

Untuk Teman-teman seperjuangku Ahwal Al-Syakhshiyyah

Yang Keenam,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala limpahan nikmat, karunia, serta hidayahnya-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan dan tercurahkan kepada Khatamul Anbiya‟ wal Mursalin ( penutup para nabi dan rosul ) baginda nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya serta orang-orang yang mencintainya, hingga yaumil qiyamah, semoga kita semua, orang tua kita, keluarga kita, guru-guru kita diberi tetap Iman, Islam, Ihsan, Istiqamah dalam beribadah dan dibimbing oleh Allah SWT dan pada akhirnya jika kita di panggil menghadap Allah SWT dan pada akhirnya jika kita dipanggil menghadap Allah SWT menetapi „alaar-Ridha wa khusnil khatimah, Amin yaa Robbal „Alamiin.

Penyusunan skripsi adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Kekerasan Seksual Orang Tua Terhadap Anak dalam Rumah Tangga di Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang). Sebagai hamba yang lemah dan banyak kesalahan, penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang ikut serta memberikan bantuan moril maupun materil. Oleh karenanya dengan kerendahan hati perkenankan penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. 3. Bapak Syukron Makmun, S.HI.,M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal

Al-Syakhsiyyah.

4. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H., selaku pembimbing pembuatan skripsi. 5. Bapak Slamet Sodiq, S.H. selaku Lurah Pringapus beserta staffnya.

6. Para Dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat di Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Salatiga.

(9)

ix

Semoga amal dan bantuan dibalas jasanya oleh Allah SWT. Amiin, Penulis Menyadari dalam menyusun skripsi ini banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi memperbaiki skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua pihak yang membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

(10)

x ABSTRAK

Nurfatimah, Triana. 211-12-039. 2016. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Skripsi, Syariah, Ahwal Al-Syakhshiyyah,

IAIN Salatiga. Lutfhiana Zahrani, S.H., M.H.

Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Hukum Islam dan Anak

Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa faktor pendorong kekerasan seksual yang dilakukan Zaenuri terhadap Angelina Juni di Kelurahan Pringapus?, (2) bagaimana bentuk kekerasan seksual yang terjadi terhadap Angelina Juni dalam rumah tangga di Kelurahan Pringapus?, dan (3) bagaimana tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan hukum Islam terhadap kekerasan seksual yang dilakukan Zaenuri terhadap Angelina Juni di Kelurahan Pringapus?.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, pendekatan yuridis sosiologis dengan menggunakan metode pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang.

(11)

xi

2. Konsep Perlindungan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ··· 36

3. Konsep Perlindungan Anak Menurut Hukum Islam. ···· 44

BAB III : Paparan Data dan Temuan Penelitian 1. Gambaran Umum Kelurahan Pringapus ··· 53

2. Gambaran Kasus Kekerasan Seksual Angelina Juni. ···· 60

3. Faktor Pendorong Kekerasan Seksual Angelina Juni. ··· 66

4. Bentuk Kekerasan Seksual Angelina Juni. ··· 67

(12)

xii

2. Analisi Bentuk Kekerasan Seksual Angelina Juni ···· 71

3. Hukuman yang Diterima Pelaku Kekerasan Seksual Angelina Juni ··· 77

BAB V : Penutup 1. Kesimpulan. ··· 92

2. Saran. ··· 94

DAFTAR PUSTAKA. ··· 96

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Realitas keadaan anak di muka dunia ini masih belum menggembirakan. Nasib mereka belum seindah ungkapan verbal yang kerapkali memposisikan anak bernilai, penting, penerus masa depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya. Muhammad Joni menyatakan (1999: 1) ”Tondiki”, “Anakkonhi do

hamaraon diahu’’,kata orang Tapanuli, atau “buah hati sibiran tulang‟‟ tutur

orang Melayu. Pada tataran hukum, hak-hak yang diberikan hukum kepada anak belum sepenuhnya bisa ditegakkan. Hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan hak-hak anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. Bahkan keadaan seperti itu bukan saja melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagad bumi ini.

Keadaan nyata yang kita temukan dalam kehidupan masyarakat ini adalah kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak dapat muncul dari dalam lingkungan keluarga maupun dari lingkungan luar keluarga. Pada kenyataanya fakta telah menunjukkan dan membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi bukan hanya dari lingkungan luar keluarga akan tetapi juga terjadi dalam lingkungan keluarga.

(14)

2

Dimana apabila kekerasan fisik akibat nyata dan dapat terlihat adalah luka yang ada pada tubuh korban. Sedangkan kekerasan seksual dapat menimbulkan akibat nyata berupa kerugian yang dialami pihak korban misalnya saja berupa kehamilan. Itu hanya sekilas akibat yang timbul dari tindak kekerasan seksual.

Dalam kehidupan di masyarakat, kita dapat menjumpai berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain. Seperti pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, pemukulan, fitnah, pemerkosaan, dan lain-lain.

(15)

3 l, diakses 1 Juni 2016).

Selanjutnya, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual itu tidak hanya wanita normal. Akan tetapi sering juga dialami oleh perempuan penyandang cacat. Yang dimaksud dengan penyandang cacat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 adalah setiap orang yang mempunyai kelainan pada fisik dan mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.

Para penyandang cacat ini dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kelompok :

1.Penyandang cacat fisik. 2.Penyandang cacat mental,

3.Penyandang cacat fisik dan mental (Undang-Undang Penyandang Cacat, 1997: 1 ).

Dari Singgih D, Gunarsa berpendapat bahwa pada masa remaja seorang anak mengalami perkembangan psikoseksualitas dan emosional yang mempengaruhi tingkah lakunya, proses perkembangan yang dialami remaja akan menimbulkan permasalahan bagi remaja sendiri dan orang-orang yang berada dekat dengan lingkungannya (Singgih dan Gunarsa, 1991 :7 ).

(16)

4

misalnya hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum cukup umur, pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, bahkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga sendiri dan sebagainya.

Dari paparan diatas lingkungan yang dapat menjadikan seorang anak mengalami tindak kekerasan seksual sangat dekat dengan mereka. Lingkungan yang dekat dengan mereka dan tidak asing itulah yang terkadang membuat tidak menggira akan terjadi tindakan kekerasan seksual tersebut. Lingkungan yang dimaksud ini bisa dari pergaulan teman sebaya, lingkungan tetangga, sekolah dan bahkan dalam lingkungan keluarga itu sendiri. Dalam tulisan ini penyusun juga akan memaparkan tentang tindakan kekerasan seksual yang dialami seorang anak pada lingkungan keluarga.

Dimana peran sebuah keluarga yang mengalami penyimpangan tidak sebagaimana mestinya. Peran keluarga yang seharusnya melindungi dan mengayomi mereka justru membuat seorang anak mengalami tindakan kekerasan seksual. Seperti kekerasan seksual yang dialami PD, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini mendatangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan perbuatan ayahnya, DP (42 Tahun). Kepada Penyidik , PD mengungkapkan sudah diperkosa oleh ayahnya sejak dia berusia 13 tahun (Online), (http://SP.beritasatu.com.Indonesia.history.html, diakses 1 Juni 2016).

(17)

5

Keluarga adalah faktor utama yang membentuk pribadi anak. Keluarga pula yang memberikan perlindungan awal dari seorang anak sejak mereka dilahirkan. Orang tua seharusnya mampu memberikan perlindungan baik itu dalam segi jasmani maupun rohani. Orang tua adalah panutan yang paling dini dikenal oleh seorang anak. Orang tua adalah contoh bagi anak baik dalam segi kebiasaan maupun perkataannya

Bagaimana seorang anak bisa tumbuh penuh dengan kasih sayang dalam keluarga jika mereka berada dalam keadaan dibawah tekanan kekerasan. Anak diselimuti rasa ketakutan yang selalu menghinggapi ketika berada ditempat yang seharusnya memberikan rasa aman pada mereka. Anak terbayang hingga mereka selalu dihantui rasa takut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga yang seharusnya memberikan tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi momok terjadinya kekerasan seksual. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak baik pada lingkungan sekolah, lingkungan umum bahkan pada lingkungan keluarga menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula lingkungan yang jauh dari ramah dan aman bagi anak.

(18)

6

terhadap anaknya adalah masih merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan.

Dalam Islam juga mengajarkan untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak-anak mereka. Seperti apa yang terkandung dalam Q.S Thamrin (6) yang berbunyi :

أَو ْىُكَغُفََْأ اىُق اىَُُيآ ٍَي ِزَّنا اَهُّيَأ َاي

ُتَكِئ َلاَي اَهْيَهَع ُةَساَجِحْناَو ُطاَُّنا اَهُدىُقَو اًسَاَ ْىُكيِهْه

َ ٌَىُ ْ َي َ ُد اَذِ ُ َلاِ

ُ

ٌَوُشَيْ ُي َاي ٌَىُهَ ْفَيَو ْىُهَشَيَأ َاي

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia Perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S Thamrin : 6).

Ayat tersebut menggambarkan bahwa seorang kepala keluarga harus melindungi anak dan istrinya. Ayat diatas walau secara redaksional tertuju pada kaum pria (ayah), tetapi bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat serupa (misalnya ayat yang memerintahkan puasa) yang tertuju kepada laki-laki dan perempuan. Ini berarti kedua orangtua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.

(19)

7

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar‟‟.

Ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.

Pasal 3 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Perlindungan terhadap anak harus terwujud karena anak adalah generasi penerus bagi bangsa dan negara kita. Perlindungan anak harus dapat terwujud untuk memberikan keadilan bagi anak. Seharusnya diusia yang masih dini itu mereka merasa bahagia tanpa beban bukan dengan kekerasan. Anak dapat dilindungi agar mampu melaksanakan kewajiban (Arif Gosita, 2004: 15-16).

(20)

8

pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 2007: 88).

Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa anak harus dilindungi. Untuk dijaga bukan untuk mengalami tindak kekerasan dalam berbagai bentuk. Perlindungan bagi anak harus bisa terwujud di lingkungannya baik itu dari lingkungan sekolah, lingkungan bermainnya, bahkan dari dalam lingkungan keluarga itu sendiri.

Dari berbagai fenomena diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai terjadinya tindak kekerasan seksual dalam keluarga. Penulis akan meneliti hal tersebut dengan judul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Angelina Juni di Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)‟‟.

B. Fokus Penelitian

Peneliti ini berfokus pada keluarga yang mengalami tindak kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

(21)

9

terhadap Angelina Juni dalam rumah tangga di Kelurahan Pringapus? 2. Bagaimana bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Zaenuri

terhadap Angelina Juni di Kelurahan Pringapus?

3. Bagaimana tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh Zaenuri terhadap Angelina Juni di kelurahan Pringapus? C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap Angelina Juni yang dilakukan oleh Zanuri di Kelurahan Pringapus.

2. Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Zaenuri terhadap Angelina Juni di Kelurahan Pringapus.

3. Mengetahui tinjauan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Islam terhadap kasus kekerasan seksual pada Angelina Juni yang dilakukan oleh Zaenuri di Kelurahan Pringapus.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah :

(22)

10

2. Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi terhadap kendala yang dihadapi dalam proses perlindungan anak. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi penyusunan pemecahan masalah pada kekerasan seksual terhadap anak dari orang tua.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah :

1. Perlindungan yaitu perbuatan (hal) melindungi; pertolongan (Poerwadarminta, 1982: 600).

2. Hukum yaitu peraturan yang menentukan, bagaimana kehendaknya kelakuan orang dalam masyarakat; hukum semacam ini dibuat oleh manusia sendiri dengan maksud supaya masyarakat jangan kacau (Eksiklopedi Indonesia, 1983: 1344).

3. Anak yaitu keturunan kedua, orang yang lahir dari rahim seorang ibu baik laki-laki maupun perempuan (Abdul Aziz Dahlan, 2006: 112). 4. Kekerasan yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang

menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (Online), (http//artikata.com/arti 368182-kekerasan,html, diakses 7 Oktober 2015).

(23)

11

Jenis Penelitian yang digunakan adalah tinjauan langsung ke lapangan guna mengadakan pada objek yang dibahas (Sutrisno Hadi, 1981: 4).

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yakni korban kekerasan seksual (Soejono Soekamto, 1986: 12).

b. Data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (Sutrisno Hadi, 1981: 4).

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, penulis sebagai pengumpul data sekaligus sebagai instrument. Instrumen lain yang digunakan penulis adalah alat perekam, alat tulis, dokumentasi. Akan tetapi instrument ini hanya sebagai pendukung untuk penulis. Maka dari itu penulis terjun langsung ke lapangan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Selain itu penulis berperan penuh dalam partisipasi dengan keadaan yang terjadi. Dimana penulis melakukan penelitian ini dengan membaur pada objek yang ingin diteliti. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

(24)

12

Pringapus Kabupaten Semarang. Karena pada masyarakat tersebut ada keluarga yang mengalami tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Fenomena ini baru saja muncul dan bukan merupakan budaya atau adat istiadat pada Kelurahan tersebut. 4. Sumber Data

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, penulis menggunakan objek penelitian berupa informan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat pada Kelurahan Pringapus baik itu keluarga yang bersangkutan atau warga sekitar. 5. Prosedur Pengumpulan Data

a. Observasi

Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Suharsimi Arikunto, 1987: 128). Hal ini digunakan untuk memperoleh data dari para korban kekerasan anak dibawah umur.

b. Wawancara

(25)

13 c. Dokumentasi

Mencari data mengenai beberapa hal, baik berupa catatan dan data dari Kantor Kelurahan Pringapus. Metode ini digunakan sebagai pelengkap dalam memperoleh data.

d. Studi Pustaka

Yaitu peneliti yang mencari data dari bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori) (Tatang M. Amiri, 1990: 135). 6. Analisis Data

Setelah seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode : a. Penelitian Deskriptif

Yaitu salah satu jenis penelitian yang tujuannya menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi (Saifuddin Azwar, 1998: 7).

b. Kualitatif

(26)

14

pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif akan tetapi penekanannya tidak pada penguji hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berfikir formal dan argumentatif (Saifuddin Azwar, 1998: 5).

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan hal yang penting dalam penelitian, karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian, dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui.

8. Tahap-tahap penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian terlebih dahulu ke Kelurahan Pringapus kemudian penulis melakukan pengembangan desain dari awal tadi dan selanjutnya penulis melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan laporan hasil penelitian tersebut.

G. Telaah Pustaka

(27)

15

dimasyarakat sekitar kita. Untuk itu kita harus lebih memeperhatikan anak. Agar hal-hal yang dialami oleh anak-anak dibawah umur itu nantinya tidak menimbulkan efek negatif yang dapat bersifat lama bahkan permanen.

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini cukup membuat prihatin. Berbagai bahasan yang berkaitan dengan kasus kejahatan seksual banyak ditemui baik melalui media cetak maupun media elektronik, bahasanya pun beragam ada yang membahas dari segi tentang dampak psikologi korban, ada yang membahas dari segi bantuan hukum terhadap korban .

Anak sebagai generasi bangsa haruslah mendapat perhatian yang lebih besar terutama berkaitan dengan kedudukan hukum kita. Salah satu buku yang membahas tentang hukum anak adalah buku karangan Darwan Prinst yang berjudul Hukum Anak Indonesia.

Dalam bukunya Darwan mengemukakan tentang sejarah lahirnya Hukum anak Indonesia disamping itu merupakan tentang pengadilan anak, perlindungan anak, kedudukan anak serta lembaga pemasyarakat anak (Darwan Prist, 1997). Dan dalam kaitannya dengan Hukum islam yang membahas tentang hukum pidana atau jinayah yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini adalah diantaranya Asas-asas Hukum Pidana Pidana karya A. Hanafi yang dalam bukunya ia membahas tentang jariyah dan bagian-bagiannya lalu asas legalitas pada aturan-aturan pidana Islam, percobaan melaksanakan jarimah dan lain-lain.

(28)

16

upaya penanggulangan kejahatan dalam Islam) banyak membahas tentang bermacam-macam hukuman hudud, had, kifarat dan ta‟zir . Buku Tindak Pidana dalam Syari‟at Islam karya Abdurahman I Do‟I dan masih banyak

lagi buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.

Pembicaraan mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebenarnya dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah disajikan secara komprehensif. Penjelasan tersebut diuraikan secara rinci dimulai dari pengertian, tujuan perlindungan terhadap anak, peran dan tanggung jawab sampai pada sanksi hukum yang diberikan kepada orang yang melalaikannya.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 disebutkan pula bahwa kekerasan dalam lingkup rumah tangga meliputi (a) Suami, istri dan anak. (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetapkan dalam rumah tangga atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetapkan dalam rumah tangga tersebut (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 2006: 3).

(29)

17

kenyataan demikian, namun yang berjalan dalam masyarakat tidak pasti sesuai dengan harapan.

Salim dalam skripsinya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa motif kekerasan kepada perempuan dalam rumah tangga meliputi empat (4) aspek yaitu kecemburuan, perselingkuhan, tidak terima, dan penelantaran. Bentuk perlindungan dalam kekerasan rumah tangga terhadap perempuan menurut Salim sudah sesuai dengan pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, melakukan tindak penyidikan juga sudah sesuai dengan pasal 21 b, melakukan pengamanan terhadap korban apabila terjadi ancaman pada korban, melakukan mediasi hingga penangkapan terhadap pelaku.

Abdul Faizin dalam skripsinya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah tindak kejahatan kemanusiaan khususnya perampasan hak asasi manusia (HAM) yang menimbulkan rasa sakit baik fisik maupun psikologi. Dalam skripsi yang sudah diteliti Abdul Faizin menemukan fakta bahwa pada korban kekerasan seksual anak pasti akan mengalami penderitaan, seperti pendarahan pada alat vital (kelamin), datang bulan tidak teratur, hamil diluar tanggung jawab, dan trauma seksual yang terjadi terhadap korban.

(30)

18

perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, kurang perhatian dan tidak diselenggarakan perlindungan anak dengan baik, maka akan merugikan diri kita sendiri dikemudian hari (Arif Gosita, 2004: 2).

Berdasarkan uraian diatas untuk membedakan dengan tulisan atau penelitian yang sudah ada maka penulis memfokuskan pada bentuk tindak kekerasan seksual dan faktor terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kelurahan Pringapus.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian kekerasan seksual, macam-macam bentuk kekerasan seksual, perlindungan anak menurut Undang-Undang perlindungan anak dan perlindungan anak dalam tinjauan hukum Islam.

(31)

19 Kelurahan Pringapus.

BAB IV : Dalam bab ini berisi analisis mengenai tinjaun hukum di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan hukum Islam terhadap terjadinya tindak kekerasan seksual di Kelurahan Pringapus.

(32)

20 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.Kekerasan Seksual

1. Pengertian a. Kekerasan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan diartikan dengan perihal

yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan (Eksiklopedi, 1989: 425). Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang tidak disukai.

Menurut Mansour Faqih,”dalam rangka memahami masalah perkosaan,

perlu terlebih dahulu dipahami mengenai masalah kekerasan terhadap perempuan. Kata “kekerasan‟‟ yang digunakan disini sebagai padanan dari

kata “violence’’ dalam bahasa Inggris, meskipun keduannya memiliki konsep yang berbeda. Kata “violence‟‟ diartikan disini sebagai suatu

(33)

21 dan Muhammad Irfan, 2001: 30).

Menurut Galtung, Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realitasasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensial (Yahya Khisbiyah, 2000: 13). Definisi ini mungkin memang abstrak dan sangat luas maknanya. Karena memang kekerasan itu bukan hanya persoalan membunuh, menganiaya , melukai, memukul, tetapi lebih luas lagi maknanya dari itu.

Dalam pandangan ajaran agama Islam bahwa yang dimaksud kekerasan adalah perbuatan yang bersifat memaksa dalam arti kata memaksakan kehendak dengan cara memerintah ataupun permohonan yang harus dilaksanakan atau wajib untuk dilaksanakan dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan maka ada konsekuensi atau tindakan-tindakan yang berupa kekerasan (http://mohamadrofiul. Blogspot.co.id).

Adapun, yang dimaksud pelecehan seksual sendiri adalah sebuah bentuk pemberian perhatian seksual, baik secara lisan, tulisan, maupun fisik terhadap diri perempuan (Andrina, 1995). Sementara itu menurut Michael Rubenstein (1992), yang dimaksud pelecehan seksual adalah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima.

(34)

22

bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainnya sampai bentuk tindak kekerasan berupa perkosaan (Bagong Suyanto, 2010: 262).

b. Kekerasan seksual

Berdasarkan kamus Hukum, “sex dalam bahasa Inggris diartikan

dengan jenis kelamin‟‟(Yan Pramadya Puspa, 1989: 770). Jenis kelamin di

sini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan.

Marzuki Umar Sa‟bah (1997: 5) mengingatkan, “membahas masalah

seksualitas manusia ternyata tidak sederhana yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat‟‟.

Meskipun pendapat itu mengingatkan kita untuk tidak menyempitkan mengenai seks, namun pakar itu mengakui mengenai salah satu bentuk seksualitas yang immoral dan jahat. Artinya ada praktik seks yang dapat merugikan pihak lain dan masyarakat, karena praktik itu bertentangan dengan hukum dan norma-norma keagamaan (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 31-32).

Oleh karena itu, Umar Sa‟abah (1997: 16) itu menunjukkan,” secara

(35)

23

biologi (kenikmatan fisik dan keturunan), 2) sosial (hubungan-hubungan seksual, berbagai aturan sosial serta berbagai bentuk sosial melalui nama seks biologis diwujudkan), dan 3) subjektif (kesadaran individual dan bersama sebagai objek dari hasrat seksual). Pendapat ini mempertegas pengertian seksualitas dengan suatu bentuk hubungan biologis yang terikat pada aturan-aturan yang berlaku ditengah masyarakat.

Marzuki Umar Sa‟abah (1997: 35) menulis lagi, “dengan masih

banyaknya penduduk dewasa yang buta huruf di negara-negara muslim, minimnya pengetahuan hukum Islam berkaitan dengan seks, dan usaha-usaha yang disengaja dari negara-negara tertentu untuk melestarikan budaya nasional mereka meski bertentangan dengan prinsip Islam, menyebabkan masih banyaknya kaum muslimin memahami dan mempraktekkan seks yang menyimpang dari norma Islam atau bercampurnya tahyul dan mistik‟‟.

Salah satu praktik seks yang menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, diluar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya (Muhammad Irfan dan Abdul Wahid, 2001: 33).

(36)

24

ditengah masyarakat. Adanya kekerasan terjadi akan menimbulkan akibat bagi korbannya .

Tindak perkosaan sendiri secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah melanggar (Wignjososoebroto, 1997: 17).

Menurut Heise (1994: 25), yang dimaksud tindak kekerasan seksual terhadap perempuan pada dasarnya adalah : “segala tindakan kekerasan

verbal atau fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang diarahkan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa yang menyebabkan kerugian fisik, psikologis, penghinaan, atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan sub ordinasi perempuan”. Sementara

itu definisi yang lebih lengkap termuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Nairobi 1985 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah: “setiap

(37)

25

“Allah telah menulis atas anak Adam bagiannya dari zina, maka pasti dia menemuinnya: Zina kedua matanya adalah memandang, zina lisannya adalah perkataan, dan zina hatinya adalah berharap dan berangan-angan. Dan itu semua dibenarkan dan didustakan oleh kemaluannya.‟‟ (Al-Bukhari no. 6243, 6612).

“...Kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium.”(Abu Dawud no. 2152).

Diharamkannya perzinaan itu, bukannya dikarenakan salah satunya dari pelaku zina ataupun keduanya telah pernah kawin. Perkawinan bukan satu-satunya alasan diharamkannya perzinaan, akan tetapi Islam memang mengharamkan segala bentuk persenggamaan di luar nikah.

Para ahli fiqh mendefinisikan, perbuatan zina adalah persenggamaan yang dilakukan oleh seorang mukallaf secara sengaja ia tahu bahwa perbuatan itu jelas diharamkannya. Kesadarannya ini timbul sewaktu ia belum melakukan senggama dan ia melakukannya hanya karena menuruti bisikan hawa nafsu.

Dan perlu diketahui, bahwa tidak semua perbuatan senggama yang diharamkan oleh agama Islam dapat dihukumi sebagai perbuatan zina. Dalam hal ini persetubuhan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum mencapai aqil baliqh, jelas sekali, hal itu tidak bisa dikategorikan perbuatan zina.

(38)

26

sah di siang hari di bulan Ramadhan, atau menyetubuhi istri di saat ia sedang dalam keadaan haidh maupun dalam keadaan ihram, walaupun persetubuhan tersebut termasuk sengama yang diharamkan Islam, tetapi kemaksiatannya itu tidak sampai sederajat perzinaan (Yunus Ali Al Muhdor dan Umar Faruq, 1993: 88).

Sanksi zina tidak bisa diberlakukan kecuali benar-benar telah terbukti adanya persetubuhan yang sempurna, yaitu telah masuknya batang penis ke dalam liang vagina wanita. Dalam hal ini pendahuluan yang biasa dilakukan dalam setiap persetubuhan sebagai pemanasan untuk meningkatkan rangsangan dalam gairah seksual tidak bisa dikategorikan perbuatan zina.

Pandangan ini diperkuat dengan hadits Nabi yang menceritakan kasus Ma‟iz al Aslami, ketika ia ditanya oleh Rasulullah: “Apakah kamu hanya menciumnya, menyetuhnya, dan memegang pahanya?” Tentunya bila ia berkata :”Ya”, tentunya tak bakal ia dirajam oleh Rasulullah saw. Jadi mencium, menyentuh dan memegang pada wanita, yang dengan kata lain pemanasan sebelum bersetubuh, tidak dapat dikategorikan dalam hukum perzinaan yang harus dirajam/didera, dan dalam sejarah Islam, belum pernah dijatuhkan sanksi rajam/dera bagi pelaku yang hanya sekedar mengadakan pemanasan sebelum berzina (Yunus Ali Muhdhor dan Umar Faruq, 1993: 89).

(39)

27

rajam/dera. Untuk seorang yang melakukan tindak kekerasan seksual itu

dapat dikategorikan zina dengan adanya persenggamaan diluar pernikahan. Persamaan dari pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah keduannya sebenarnya sama-sama tidak diinginkan oleh perempuan yang menjadi korban, namun acap kali kaum perempuan tak bisa berbuat apa-apa karena terdapat dan sedang berlaku nilai atau konstruksi sosial masyarakat yang seolah-olah membenarkan peristiwa diatas atau minimal menuntut korban untuk selalu bersikap pasrah (Rohan Collier, 1998).

c. Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 menjelaskan pengertian anak itu sendiri adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak pada Pasal 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(40)

28

d. Bersetubuh dengan wanita yang belum dewasa

“Orang yang belum dewasa‟‟ dalam hal ini ditafsirkan sebagai orang

yang belum mampu untuk menikah menurut Undang-Undang. Di Indonesia saat ini ditentukan untuk wanita: 16 tahun, untuk pria: 19 tahun (pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974). Jika ditafsirkan berdasar pasal 45 KUHP maka belum dewasa adalah orang yang belum berumur 16 tahun.

Mengenai “orang yang belum dewasa‟‟ ini Mr. J. M. Van Bemmelen mengutarakan, “yang terutama hendak diberantas oleh pembuat Undang-Undang ialah persetubuhan dan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dibawah 16 tahun. Apabila orang belum dewasa dibawah umur itu telah berkenalan dengan perbuatan seksual dan persetubuhan, orang takut akan ditimbulkan berbagai bahaya. Bagi anak perempuan, bahayanya ialah bahwa ia akan menjadi ibu tanpa kawin dengan usia yang masih terlalu muda atau paksaan kawin tanpa pertimbangan yang sehat.‟‟

Persetubuhan yang dilakukan pada wanita itu sendiri sudah diatur dalam KUHP, dimana dalam KUHP tersebut menjelaskan 2 (dua) macam persetubuhan yaitu sebagai berikut :

1. Di luar perkawinan

Hal ini diatur pasal 287 KUHP yang bunyinya sebagai berikut

a. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

b. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya wanitta belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pada pasal 291 dan pasal 294.

(41)

29

Jika hanya “persetubuhan‟‟ dengan wanita yang berumur belum 15

tahun tetapi telah diatas 12 tahun, yang mengakibatkan luka parah atau mati, maka berdasarkan ayat (2) , merupakan delik aduan. Dengan perkataan lain, pasal 287 KUHP tidak merupakan delik aduan, jika :

- umur wanita tersebut belum 12 tahun - wanita tersebut luka parah

- wanita tersebut mati

Kecermatan diperlukan pada penerapan pasal 287 khususnya unsur kesalahan yang dirumuskan dengan : “diketahui atau patut diduga‟‟

Maksudnya si pria secara layak/wajar dapat menduga bahwa umur wanita tersebut, belum 15 tahun. Jika tubuh si wanita seperti wanita dewasa maka akan sulit mempersalahkannya.

2. Di dalam perkawinan

Hal ini diatur pasal 288 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

a. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhi pidana penjara paling lama delapan tahun.

Perbedaan pasal ini dengan pasal 287 yakni :

- pasal 287 dilakukan di luar perkawinan sedang pasal 288 dilakukan didalam perkawinan.

(42)

30 RUU KUHP

Mengamati rumusan pasal 287 ayat (2) maka wanita di bawah umur 12 tahun, memerlukan perlindungan khusus namun baik dalam KUHP maupun RUU KUHP. Tampaknya hal ini masih dilupakan. RUU KUHP pasal 389 (14. 11) pada ayat (1) ke 5 ada perlindungan khusus pada wanita dibawah 14 tahun, yang rumusan sebagai berikut :

“Seorang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan seseorang

wanita yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya‟‟.

Perkataan dengan persetujuannya akan sulit dipahami jika wanita tersebut belum mengetahui sanggama atau sama sekali belum tahu hubungan seks misalnya wanita umur 6 tahun. Untuk menerapkan “perkosaan‟‟ akan

mengalami kesulitan, terutama karena tidak ada unsur “kekerasan‟‟ atau

ancaman kekerasan. Pada RUU KUHP, sulit dibayangkan anak kecil yang baru berumur 6 tahun memberi persetujuan.

2. Sebab-sebab terjadinya kekerasan Seksual

(43)

31

Menurut Farha Ciciek (2005: 33) dalam bukunya yang berjudul ”Jangan Ada Lagi Kekerasan Dalam Rumah Tangga”

mengemukakan adanya lima sebab dari terjadinya kekerasan, yakni :

a. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang disekelilingnya.

b. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri supaya bergantung kepada suami, khususnya dibidang ekonomi.

c. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan.

d. Masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi.

e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa lelaki boleh menguasai perempuan.

3. Unsur-Unsur Kekerasan seksual

Menurut Arief Gosita, (1987: 13-14) kekerasan (perkosaan) itu dirumuskan melalui beberapa unsur berikut :

a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita.

b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

c. Persetubuhan diluar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan.

(44)

32

and no violence from the assault in involved. If the ceato resist (for example, if the takes of he clothes herself and submits to intercourse), the act remains rape if the woman ceases to resist under the influence or as the result of the

preceeding violence or threats: otherwisw, it is attempted rape” (Eko

Prasetyo dan Suparman Marzuki, 1997: 167).

Hubungan seksual yang dipaksakan merupakan bentuk kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi korbannya. Kekerasan ini mencerminkan bahwa kekuatan fisik laki-laki merupakan faktor alamiah yang lebih hebat dibandingkan perempuan. Laki-laki telah tampil menjadi semacam kekuatan yang bercorak represif yang menempatkan perempuan sebagai korbannya. 4. Macam-macam perkosaan (kekerasan seksual)

Mengenai macam-macam perkosaan, kriminologi Mulyana W. Kusuma (1983: 4) menyebutkan berikut ini :

a. Perkosaan Sadis

Perkosaan sadis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.

b. Perkosaan Penganiayaan

(45)

33 c. Perkosaan Paksaan

Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

d. Perkosaan Seduktif

Suatu perkosaan yang pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.

e. Korban Pencetus Pemerkosaan

Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

f. Eksploitasi Pemerkosaan

(46)

34

kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.

5. Tindak Kekerasan dalam Siklus Kehidupan Perempuan

Fase Kehidupan Bentuk Tindak Kekerasan

Sebelum lahir Pengguguran karena seleksi jenis kelamin Siksaan selama kehamilan

Kehamilan Paksaan

Bayi Pembunuhan anak-anak perempuan (infanticide)

Penganiayaan fisik dan emosional

Pembedaan akses makanan dan perawatan medis pada bayi perempuan

Anal-anak Perkawinan anak-anak

Penganiayaan seksual oleh anggota keluarga dan orang asing

Pembedaan akses makanan dan perawatan medis pada anak perempuan

Usia Reproduksi Penyiksaan perempuan oleh patner laki-laki Perkosaan dalam perkawinan

Penyiksaan dan pembunuhan akibat mahar (dowry)

Pembunuhan oleh patner laki-laki Penyiksaan psikologis

(47)

35 6. Dampak Kekerasan pada Anak

Baik pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan juga kesehatan mental anak. Dampak tindak kekerasan terhadap anak bisa berupa luka fisik, termasuk berupa luka pada organ dalam tubuh.

Dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya, sebagai berikut :

a. Sakit yang serius dan luka parah sampai cacat permanen : patah tulang, radang karena infeksi, mata lebam, dan sebagainya, termasuk juga sakit kepala, perut, otot, dan lain-lain yang bertahun-tahun meski bila ia tak lagi dianiaya.

b. Problema kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksinya, kehamilan yang tak diinginkan, tertular penyakit menular seksual.

c. Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dari pergaulan.

d. Mimpi buruk dan serba ketakutan.

e. Kehilangan nafsu makan, tumbuh dan belajar lebih lamban, sakit perut, asma, sakit kepala, dan lain-lain.

f. Kematian (Bagong Suyanto, 2010:107-108).

Adapun dampak kekerasan pada anak dalam masyarakat, sebagai berikut :

a. Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orang tua mempunyai hak untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan

Usia Tua Pengabaian dan penghinaan janda dan perempuan

Pengucilan dan memaksa menurut janda dan perempuan tua

(48)

36 kekerasan.

b.Dan kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab anak-anak yang dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan (Bagong Suyanto, 2010:108).

Selanjutnya, jika korban perkosaan adalah anak-anak, maka kemungkinan mereka dapat pulih justru akan jauh lebih sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut (Geiser, 1997). Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tak kuat menanggung beban, pilihan satu-satunya ialah bunuh diri. Acap terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak dapat lagi melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginius, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. Bahkan, dalam beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama (Tony Setiabudi, Kompas, 1 Agustus 1995).

B. Konsep Perlindungan Anak terhadap Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(49)

37

Dalam pasal tersebut sudah jelas menyebutkan bahwasanya seorang anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan yang berasal dari pihak manapun, termasuk orang-orang terdekat. Orang terdekat dalam hal ini bisa guru atau tetangga sekitar yang mempunyai posisi lebih kuat dari padanya. Upaya perlindungan ini perlu dilaksanakan sejak awal yaitu sejak anak masih dalam kandungan sampai pada usia (18) delapan belas tahun.

Perlindungan terhadap anak tidak semata-mata hanya demi kepentingan anak saja tetapi untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Berikut akan penulis cantumkan pasal demi pasal tentang perlindungan anak:

1. Tujuan: Pasal 3

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

2. Hak anak Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekpresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7

1.Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(50)

38

tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

1. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat bakatnya.

2. Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13

1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14

(51)

39 pertimbangan terakhir.

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b.Pelibatan dalam sengketan bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d.Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. Pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16

1. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

1. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

2. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17

1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.

b.Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

2. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukuman berhak dirahasiakan.

3. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pasal 20

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 21

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status, hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 22

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam menyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23

(52)

40

kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

2. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24

Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Pasal 25

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 26

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak:

b.Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.Penyelenggaraan Perlindungan a. Agama

Pasal 42

1. Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

2. Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43

1. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

2. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

b. Pendidikan Pasal 48

(53)

41 Pasal 49

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50

Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada:

a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;

b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;

c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilai sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;

d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. Pasal 54

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Pasal 57

Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.

c. Sosial Pasal 55

1. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.

2. Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

3. Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.

4. Dalam hal pemyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56

(54)

42

wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat: a. Berpartisipasi;

b. Bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

d. Bebas berserikat dan berkumpul;

e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berekreasi, dan berkarya seni budaya;dan

f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

2. Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Pasal 57

Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuannya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, dan atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. Pasal 58

1. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.

2. Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

5. Perlindungan Khusus Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 69

5. Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi anak korban tindak kekerasan; dan

(55)

43

6. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6. Ketentuan Pidana Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik mterial maupun moral sehingga menghmbat fungsi sosialnya: atau

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban peyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dendan paling banyak Rp 200.000.000,00 (seratus juta rupiah).

4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuany

Pasal 81

(56)

44

paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (UU RI No. 23 Tahun 2002).

C. Konsep Perlindungan Anak terhadap Kekerasan Seksual Menurut Hukum Islam

Salah satu amanat yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia adalah anak sebagai hasil dari sebuah hubungan antara suami istri dalam sebuah ikatan hubungan yang syah (pernikahan). Islam memelihara keturunan agar segala ajaran-ajarannya dapat terus diajarkan dan dilaksanakan oleh seluruh umat manusia dalam rangka melaksanakan tugas

kholifah fil arld.

(57)

45

dari kekerasan baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena umumnya kekerasan tersebut tidak hanya mencakup pada aspek fisik saja, melainkan juga non fisik. Dan hal tersebut sudah dianggap sebagai hal yang biasa terjadi.

Sebelum penulis menjelaskan konsep dasar perlindungan anak terhadap kekerasan ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan terkait dengan kedudukan anak dalam Islam dan bagaimana Islam memandang hadirnya anak dalam sebuah keluarga. Di dalam al Quran sejumlah dalil Allah SWT mengajarkan bagaimana Islam memandang kedudukan anak, yaitu :

1.

Sebagai perhiasan dunia

tetapi amalan-amalan yang kekal lagi sholeh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan

(58)

46

Artinya: Maka aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhannya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai. (Q.S. Nuh [71]: 10-12) (Al Hikmah, 2012: 570-571).

Berdasarkan beberapa ayat di atas jelas bahwa kehadiran seorang anak seharusnya menjadi sebuah anugerah dari Allah SWT. Sehingga orang tua selaku pemangku berkewajiban untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Seorang orang tua harus mampu memberi rasa aman terhadap anak agar seorang anak bisa merasa nyaman didalam lingkungannya sendiri keluarga.

Al Qur‟an dan Hadist sebagai sumber hukum Islam (Fiqh) memang

tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan, namun banyaknya ayat yang berbicara kedudukan anak sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap anak terutama pada kekerasan yang terjadi pada anak-anak.

(59)

47

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” ( QS. Al-Isra‟ [17] : 32 ) Pernyataan Al Qur‟an mengenai larangan zina adalah bersamaan

dengan larangan pembunuhan, keduanya termasuk dosa besar. Firman Allah :

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (Nya). Yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS Al-Furqan [25] : 68-69).

Perzinaan bukanlah kejahatan umum. Oleh karena itu perzinaan tidak dapat dituntut oleh penuntut umum yang mewakili masyarakat. Orang yang berhak menuntut hanyalah pihak yang dirugikan. Itulah sebabnya dalam KUHP, delik perzinaan termasuk delik aduan dengan ancaman hukuman yang sangat ringan. Akibatnya, kerusakan moral dalam masyarakat semakin merajalela (Hassan Saleh, 2008 : 436).

Gambar

TABEL I
TABEL II
TABEL III

Referensi

Dokumen terkait

Ada 3 permasalahan pokok, yaitu: (1) Pola pelaku kekerasan seksual; (2) Aspek perlindungan hukum; (3) Upaya-upaya yang dilakukan dalam pencegahan agar anak-anak

4) Ketentuan saksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur sangat penting dalam mencegah dan mengurangi kasus-kasus yang sering terjadi.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah perlindungan terhadap anak perempuan korban kekerasan seksual di kabupaten Sumbawa belum berjalan optimal, dikarenakan oleh

Penelitian dengan judul Kekerasan Seksual Pada Anak: Telaah Relasi Pelaku Korban dan Kerentanan Pada Anak menyajikan data dari 16 kasus kekerasan seksual terhadap anak

Dalam tatanan hukum di Indonesia telah diatur menaganai sanksi yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yaitu : Pasal 290 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum PidanaKUHP

Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam: Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindungan bagi anak terhadap kekerasan seksual,

749 Volume 7, Nomor 3, November 2023 Upaya Perlindungan dan Penegakan Hukum Terhadap Kelompok Rentan Anak Korban Kekerasan Seksual Lukman Arif Asmanna1, Mitro Subroto2 Politeknik

Penerapan Kebiri Kimia Sebagai Sanksi Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Jika sebelumnya sudah dibahas tentang regulasi yang mengatur