• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI SUMBER SERAT UNTUK DOMBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI SUMBER SERAT UNTUK DOMBA"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT

LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI

SUMBER SERAT UNTUK DOMBA

SKRIPSI EKA INDAH WATI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

EKA INDAH WATI. D24060176.2010. Uji Kualitas Sifat Fisik dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung sebagai Substitusi Sumber Serat untuk Domba. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Dosen Pembimbing Utama : Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. Dosen Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawati, M.S.

Limbah tanaman jagung merupakan produk limbah yang berasal dari tanaman jagung dengan serat kasar yang cukup tinggi. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Produk limbah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun dan klobot jagung. Selain limbah tanaman jagung, rumput lapang juga digunakan sebagai pakan kombinasi dan pembanding dengan limbah tanaman jagung. Kelemahan limbah tersebut yaitu bersifat voluminous (bulky) dan kemampuan produksi yang berfluktuasi sehingga diperlukan proses teknologi untuk mengubah limbah tanaman jagung tetap tersedia serta mudah disimpan. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan mengolah limbah tanaman jagung menjadi biskuit. Biskuit merupakan hasil pengolahan pakan melalui proses pemanasan dan pemadatan yang memiliki bentuk bulat dan tipis serta memiliki diameter dan tebal sebagai dimensinya.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Industri Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan pengujian palatabilitas dilakukan di Mitra Tani Farm (MT Farm), Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan Oktober 2009.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari R1 (100% rumput lapang), R2 (50% rumput lapang + 50% daun jagung), R3 (100% daun jagung), R4 (50% rumput lapang + 50% klobot jagung), R5 (50% daun jagung + 50% klobot jagung), dan R6 (100% klobot jagung). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut kontras ortogonal (Steel and Torrie, 1993). Peubah-peubah yang diamati terdiri dari aktivitas air, kadar air, daya serap air, dan palatabilitas.

Hasil penelitian berdasarkan sifat fisik biskuit menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan bahan pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada kadar air biskuit R1 (11,23±0,60%), R2 (11,06±0,10%), dan R6 (11,39±0,71%) yang lebih rendah dibandingkan dengan biskuit R3 (12,85±0,37%), R4 (11,73±0,17%), dan R5 (11,80±0,09%). Pengaruh yang nyata (P<0,05) terjadi pada daya serap air yaitu biskuit R4 (514,48±19,95%), R5 (504,27±5,59%) dan R1 (492,34±40,90%) memiliki daya serap air lebih tinggi dibandingkan biskuit R2 (383,49±31,97%), R3 (438,00±15,69%), dan R6 (452,31±42,63%). Aktivitas air, kerapatan, dan palatabilitas memberikan pengaruh yang sama sehingga dalam hal uji palatabilitas limbah tanaman jagung dapat digunakan sebagai substitusi sumber serat bagi domba karena memiliki palatabilitas yang sama dengan biskuit rumput lapang.

(3)

ABSTRACT

The Physical Characteristic and Palatability of Corn Plant Waste Biscuit as Substitution Fiber for Sheep

Wati, E. I., Y. Retnani, L. Herawati

The objective of this experiment was to determine the physical characteristic and palatability of corn plant waste after formed as a biscuit. The experimental design used in this research was Completely Randomized Design with 6 treatments and 3 replications. The treatment were : R1 (100% field grass), R2 (50% field grass + 50% corn leaf), R3 (100% corn leaf), R4 (50% field grass + 50% corn husk), R5 (50% corn leaf + 50% corn husk) and R6 (100% corn husk). The results were subjected to ANOVA and Contrast Orthogonal Test (Steel and Torrie, 1991). Biscuits variables measured were water activity, moisture, water absorption, density, and palatability. The results of this research indicated that the treatment of biscuit made from corn plant waste gave highly significant effect (P<0.01) on moisture of biscuits were R1 (11.23±0.60%), R2 (11.06±0.10%), and R6 (11.39±0.71%) lower than biscuits R3 (12.85±0.37%), R4 (11.73±0.17%), and R5 (11.80±0.09%). Significant effect (P<0.05) on water absorption of biscuits were R1 (492.34±40.90%), R4 (514.48±19.95%), and R5 (504.27±5.59%) higher than biscuits R2 (383.49±31.97%), R3 (438.00±15.69%), and R6 (452.31±42.63%). Water activity, density, and palatability gave no significant effect. Based on this research can be concluded that palatability of corn plant waste biscuit gave same effect with field grass biscuit on sheep. So, corn plant waste can used to substitution of fiber for sheep.

(4)

UJI KUALITAS SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS BISKUIT

LIMBAH TANAMAN JAGUNG SEBAGAI SUBSTITUSI

SUMBER SERAT UNTUK DOMBA

EKA INDAH WATI D24060176

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(5)

Judul : Uji Kualitas Sifat Fisik dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung sebagai Substitusi Sumber Serat untuk Domba

Nama : Eka Indah Wati NIM : D24060176

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc.) (Ir. Lidy Herawati, M.S.) NIP. 19640724 199002 2 001 NIP: 19620914 198703 2 009

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1987 di Muara Bungo, Jambi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Djoko Susanto dan Nani Narliah.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Negeri Cisurat Kabupaten Sumedang dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sumedang, Jawa Barat pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota Paduan Suara Gradziono Symphonia Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor periode 2007-2009, kegiatan kepanitiaan Fakultas Peternakan (Dekan Cup) periode 2007-2008 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Sumedang periode 2008-2009. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Farm Charoen Pokphand Subang selama satu bulan, pada tahun 2008. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Mahasiswa) pada tahun 2007/2008 dan beasiswa BBM (Bantuan Beasiswa Mahasiswa) tahun 2008/2009.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam dijunjungkan kepada nabi besar Nabi Muhammad SAW karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji Kualitas Sifat Fisik dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung sebagai Substitusi Sumber Serat untuk Domba yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juli sampai dengan

Oktober 2009. Penelitian dimulai dari pengumpulan rumput lapang dan limbah tanaman jagung, pembuatan biskuit, pengujian sifat fisik biskuit, dan pengujian palatabilitas biskuit limbah tanaman jagung terhadap ternak domba. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu pengujian sifat fisik yang dilakukan di Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor serta pengujian palatabilitas terhadap ternak domba yang dilakukan di peternakan Mitra Tani Farm, Ciampea, Bogor.

Rumput lapang merupakan hijauan pakan yang umum digunakan peternak ruminansia. Akan tetapi, ketersediaan hijauan tersebut sangat tergantung pada musim dan memiliki kualitas yang rendah sehingga perlu disediakan hijauan pakan lainnya seperti limbah tanaman jagung yang digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan teknologi baru. Teknologi tersebut yaitu biskuit yang mengandung limbah tanaman jagung dengan atau tanpa kombinasi dengan rumput lapang sebagai sumber serat kasar bagi ruminansia, khususnya domba. Atas dasar tersebut penelitian ini dilakukan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Mei 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Limbah Tanaman Jagung ... 3

Klobot Jagung ... 4

Daun Jagung ... 4

Rumput Lapang ... 5

Teknologi Pengolahan Pakan ... 6

Biskuit ... 9

Kualitas Sifat Fisik ... 10

Aktivitas Air (Aw) ... 10

Kadar Air ... 11

Daya Serap Air ... 13

Kerapatan ... 14

Molases ... 15

Domba ... 15

Palatabilitas ... 16

MATERI DAN METODE ... 20

Lokasi dan Waktu ... 20

Materi ... 20

Bahan Pakan ... 20

Ternak dan Kandang ... 20

Peralatan ... 21

Prosedur ... 21

Pembuatan Biskuit Pakan ... 21

(9)

Rancangan Percobaan ... 25

Model Matematika ... 25

Analisis Data ... 25

Perlakuan ... 25

Peubah ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Karakteristik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang ... 28

Sifat Fisik Biskuit Pakan ... 32

Aktivitas Air ... 32

Kadar Air ... 34

Daya Serap Air ... 35

Kerapatan ... 37

Palatabilitas ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

Kesimpulan ... 42

Saran ... 42

UCAPAN TERIMA KASIH ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrien Klobot Jagung Berdasarkan Bahan Kering ... 4 2. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering .. 5 3. Hasil Analisa Bahan Kering dan Protein Kasar Bahan Pakan ... 20 4. Sebaran Bobot Badan Awal Domba (kg) ... 24 5. Karakteristik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput

Lapang ... 29 6. Komposisi Nutrien Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput

Lapang Berdasarkan Bahan Kering ... 31 7. Uji Sifat Fisik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput

Lapang ... 33 8. Rataan Konsumsi Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ternak dan Kandang ... 21 2. Peralatan Penelitian ... 21 3. Mesin Biskuit Pakan ... 22 4. Diagram Alur Proses Pembuatan dan Pengujian Biskuit Limbah

Tanaman Jagung dan Rumput Lapang ... 23 5. Bentuk Fisik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput

Lapang ... 28 6. Grafik Persamaan Garis Serat Kasar dengan Daya Serap Air

Biskuit Pakan ... 36 7. Pengujian Palatabilitas Biskuit Pakan ... 39

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Biskuit Pakan ... 50

2. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Kadar Air Biskuit Pakan ... 50

3. Hasil Sidik Ragam Aktivitas Air Biskuit Pakan ... 50

4. Hasil Sidik Ragam Kerapatan Biskuit Pakan ... 51

5. Hasil Sidik Ragam Daya Serap Air Biskuit Pakan ... 51

6. Hasil Uji Lanjut Kontras Ortogonal Daya Serap Air Biskuit Pakan 51

7. Rataan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang ... 52

8. Perubahan Konsumsi Biskuit Pakan Berdasarkan Bahan Kering .. 52

9. Hasil Sidik Ragam Uji Palatabilitas Biskuit Pakan Berdasarkan Bahan Segar ... 52

10.Hasil Sidik Ragam Uji Palatabilitas Biskuit Pakan Berdasarkan Bahan Kering ... 53

11.Hasil Sidik Ragam Hubungan Daya Serap Air dengan Serat Kasar Biskuit Pakan ... 53

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Hijauan merupakan pakan ternak yang mengandung serat kasar cukup tinggi. Penyediaan hijauan pakan mengalami keterbatasan karena sangat tergantung pada musim. Hijauan dapat diperoleh dengan mudah pada musim hujan, namun mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitas pada musim kemarau, oleh karena itu perlu teknologi baru untuk mengolah dan menghasilkan produk pakan yang mempunyai kualitas lebih baik agar dapat digunakan pada musim kemarau oleh para peternak untuk memenuhi kebutuhan ternak ruminansia akan hijauan pakan.

Hijauan pakan utama bagi ternak ruminansia terutama domba yaitu rumput lapang. Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami, oleh karena itu rumput lapang mudah didapat tetapi memiliki daya produksi dan kualitas nutrien rendah serta pengelolaannya sangat minim (Wiradarya, 1989).

Selain rumput lapang dan hijauan pakan lainnya, hijauan yang digunakan sebagai pakan ruminansia adalah limbah pertanian, misalnya jerami padi, jerami jagung, jerami sorghum, jerami kacang tanah, jerami kedelai, jerami ketela pohon, pucuk tebu, dan pucuk ketela pohon (Wardhani et al., 1985). Limbah pertanian dalam penelitian ini berasal dari tanaman jagung. Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa produksi tanaman jagung di Indonesia dapat diperkirakan mencapai 4,2 ton/ha dengan produksi tanaman jagung di Jawa Barat mencapai 5,8 ton/ha. Proporsi limbah tanaman jagung dalam persen bahan kering terdiri dari 50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot. Limbah tanaman jagung yang cukup melimpah ini perlu dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk menghindari penumpukan sampah. Penelitian mengenai limbah tanaman jagung sudah lama dilakukan untuk ternak ruminansia melalui pembuatan hay, silase dan fermentasi (Umiyasih dan Wina, 2008).

Penggunaan limbah tanaman jagung pada penelitian ini terbatas pada daun dan klobot jagung. Kedua limbah tersebut memiliki proporsi yang lebih sedikit tetapi memiliki palatabilitas yang lebih tinggi dibandingkan batang dan tongkol jagung (Wilson et al., 2004). Kualitas sifat fisik dan palatabilitas kedua bahan tersebut akan dibandingkan dengan rumput lapang atau kombinasinya.

(14)

Biskuit adalah produk kering dengan pembuatan biskuit secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu pencampuran bahan, pembentukan adonan dan pencetakan, pembakaran dan pendinginan (Almond, 1989). Pembuatan biskuit pada penelitian ini sesuai dengan pengertian tersebut. Pembuatan biskuit ini bertujuan untuk mengawetkan limbah tanaman jagung, mempercepat dan mempermudah dalam proses produksi pakan melalui penyetakan serta mempermudah ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan.

Pembuatan biskuit pakan memiliki proses yang sama dengan wafer pakan, namun ukuran keduanya berbeda. Biskuit pakan memiliki diameter 7 cm dengan tebal 1 cm dibandingkan dengan wafer pakan yang berukuran 30 x 30 x 1 cm3. Waktu yang dibutuhkan untuk sekali cetak sekitar 5-10 menit dengan produksi 16 biskuit pakan. Limbah tanaman jagung tersebut dibentuk menjadi biskuit pakan melalui proses pengempaan dan pemanasan dengan suhu kurang dari 100 oC atau sekitar 90 oC.

Penelitian mengenai uji kualitas sifat fisik dan palatabilitas biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang atau kombinasinya perlu dilakukan untuk menilai

dan menentukan mutu pakan serta mengetahui kesukaan ternak domba terhadap biskuit pakan yang diberikan selama penelitian.

Tujuan

Penelitian ini bertujuanuntuk membandingkan sifat fisik (aktivitas air, kadar air, daya serap air, kerapatan) dan tingkat palatabilitas biskuit pakan yang mengandung limbah tanaman jagung dengan atau tanpa rumput lapang sebagai sumber serat kasar bagi ruminansia, khususnya domba.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Limbah Tanaman Jagung

Jagung di Indonesia mempunyai jenis yang berbeda. Jenis jagung mengandung nutrien yang berbeda-beda mulai dari bagian yang mudah dicerna dengan protein tinggi pada daun-daun muda sampai bagian yang mempunyai protein rendah dan sukar dicerna pada batang tanaman tua (Pasaribu, 1993). Jagung banyak digunakan di bidang peternakan sebagai pakan unggas sedangkan limbahnya sebagai pakan ruminansia. Hasil samping industri pertanian khususnya pakan tinggi serat banyak digunakan sebagai pakan utama dalam sistem pemeliharaan ternak ruminansia secara intensif di Indonesia (Toharmat et al., 2007).

Selain limbah tanaman jagung, sumber pakan yang berasal dari limbah pertanian yaitu jerami padi, jerami sorgum, jerami kedelai, jerami kacang tanah, pucuk ubi kayu, dan jerami ubi jalar (Wardhani et al., 1985; Syamsu et al., 2003). Produksi limbah pertanian terbesar adalah jerami padi (85,81%), diikuti jerami jagung (5,84%), jerami kacang tanah (2,84%), jerami kedelai (2,54%), pucuk ubi kayu (2,29%), dan jerami ubi jalar (0,68%). Berdasarkan indeks konsentrasi pakan (IKP) lebih dari satu, 10,92% jerami jagung terdapat di Propinsi Lampung, 7,23% di Nusa Tenggara Timur dan 6,34% di Sumatera Utara (Syamsu et al., 2003).

Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa produksi tanaman jagung di Indonesia mencapai 17.659.067 ton dengan luasan panen 4.194.143 ha, maka dapat diperkirakan produksi tanaman jagung per ha yaitu 4,2 ton/ha dengan produksi tanaman jagung di Jawa Barat mencapai 5,8 ton/ha. Limbah tanaman jagung berpotensi bagi ternak dan sudah banyak diberikan sebagai pakan ternak terutama di Propinsi Jawa Tengah. Limbah jagung mempunyai kualitas pakan yang rendah sehingga tidak akan mencukupi kebutuhan pertumbuhan ternak kecuali jika diberi tambahan suplemen pada pakannya (Parakkasi, 1995). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas pakan terus terjamin (Umiyasih dan Wina, 2008).

Limbah tanaman jagung yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah batang dan daun yang masih muda atau dikenal sebagai jerami jagung, klobot jagung dan tongkol jagung. Jerami jagung sudah banyak dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak tetapi pemanfaatannya belum

(16)

optimal. Selain sebagai hijauan segar, jerami jagung juga dapat diberikan sebagai hijauan pakan ternak yang telah mengalami proses pengolahan teknologi pakan dalam bentuk hay dan silase (Dinas Peternakan, 2009). Klobot jagung selain berfungsi sebagai makanan ternak juga berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol, serta untuk mempertahankan kesegaran sehingga jagung tidak akan terlampau keras untuk dikunyah oleh ternak, bersama dengan tongkol bersifat sebagai hijauan, oleh karena itu buah jagung lengkap lebih disukai dibandingkan biji jagung (Parakkasi, 1995).

Klobot Jagung

Salah satu limbah tanaman jagung yang digunakan sebagai pakan ternak terutama ruminansia yaitu klobot jagung. Menurut Wilson et al. (2004) secara kualitatif, klobot jagung mempunyai nilai palatabilitas yang tinggi. Selain berfungsi sebagai pakan ternak, klobot jagung juga berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol untuk mempertahankan kesegaran biji dan tongkol sehingga tidak akan terlampau keras untuk dikunyah oleh ternak. Klobot dan tongkol bersifat sebagai hijauan. Komposisi nutrien klobot jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien Klobot Jagung Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Kadar (%) Abu 3,23 Protein Kasar 7,84 Lemak Kasar 0,65 Serat Kasar 32,25 BETN 56,03 TDN 54,29 Ca 0,21 P 0,44 Sumber : Furqaanida (2004) Daun Jagung

Daun jagung mempunyai proporsi sebanyak 20% dari total limbah tanaman jagung. Daun jagung berbentuk memanjang dan muncul pada setiap buku batang. Jumlah daun terdiri dari 8-18 helaian, tergantung varietasnya. Panjang daun

(17)

bervariasi yaitu antara 30-50 cm dengan lebar mencapai 15 cm (Sudjana et al., 1991). Daun terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun, lidah daun dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang. Antara helaian dan kelopak terdapat lidah daun (ligula) yang berfungsi mencegah air masuk ke dalam kelopak daun dan batang. Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak. Bagian bawah daun tidak berbulu (glabrous) dan umumnya mengandung stomata yang lebih banyak dibanding di permukaan bagian atas (Muhadjir, 1988). Daun jagung mempunyai palatabilitas yang tinggi. Nilai palatabilitas tersebut diukur secara kualitatif dalam penelitian Wilson et al. (2004).

Rumput Lapang

Rumput lapang merupakan pakan hijauan yang sudah umum digunakan oleh para peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan serat kasar (Pulungan, 1988). Rumput lapang banyak ditemukan di sekitar sawah, ladang, pegunungan, tepi jalan dan semak-semak. Rumput ini mudah diperoleh, murah dan pengelolaannya mudah karena tumbuh liar tanpa dibudidaya, oleh karena itu rumput ini mempunyai kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Wiradarya, 1989). Komposisi nutrien rumput lapang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Kadar (%) Abu 8,52a 11,95b Protein Kasar 7,75a 12,35b Lemak Kasar 1,34a 1,98b Serat Kasar 31,46a 30b BETN 50,93a 43,72b TDN 52,37a 56,20b Sumber: a. Furqaanida (2004) b. Tanuwiria et al. (2009)

Rumput lapang merupakan campuran dari berbagai jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrien yang rendah. Kualitas rumput lapang sangat beragam karena dipengaruhi oleh kesuburan tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan, cara pemberiannya sehingga

(18)

secara umum kualitas rumput lapang dapat dikatakan rendah (Widiarti, 2009). Hijauan dengan kualitas yang baik umumnya lebih mudah dicerna dan laju aliran pakan di saluran pencernaan lebih cepat daripada hijauan dengan kualitas yang lebih rendah, oleh karena itu domba akan mengkonsumsinya lebih banyak (Ensminger, 1991).

Teknologi Pengolahan Pakan

Teknologi pakan memiliki peranan penting dalam industri peternakan. Pakan merupakan komponen utama dalam semua sistem produksi. Keterbatasan pakan baik dalam kualitas maupun kuantitas merupakan permasalahan klasik dalam pengembangan peternakan ruminansia di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pengadaan hijauan dibatasi oleh kepemilikan lahan, musim dan belum berkembangnya teknologi pengawetan hijauan pakan serta penggunaan konsentrat yang dibatasi oleh harga yang relatif mahal (Rachmawan dan Mansyur, 2009).

Pakan ruminansia umumnya terdiri dari hijauan (roughage) sebagai sumber serat dan suplemen berupa konsentrat maupun leguminosa. Sumber hijauan untuk pakan ruminansia biasanya adalah rumput, baik yang sengaja ditanam seperti rumput gajah dan setaria maupun rumput lapangan, serta limbah pertanian seperti jerami dan pucuk tebu (Tangendjaja, 2009). Umumnya pakan domba memiliki kualitas rendah yang tidak dapat dimakan oleh babi, unggas atau manusia. Hijauan banyak terdapat dalam pastura, baik alami maupun buatan, seperti jerami, akar-akaran, semak-semak, pohon, hay, silase, dan sejumlah lainnya yang merupakan bahan-bahan hasil sampingan. Pakan tersebut memiliki protein dan lemak yang relatif rendah, kadar serat yang cenderung tinggi, dan biasanya memiliki kecernaan yang rendah (Devendra dan McLeroy, 1982). Faktor-faktor tersebut merupakan alasan diperlukannya teknologi dalam pengolahan pakan.

Teknologi pengolahan pakan yang sudah ada selama ini, terdiri dari:

1. Pellet

Produksi pellet adalah suatu proses pengolahan pakan dengan mengompakkan bahan menggunakan mesin die sehingga menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang, dan derajat kekerasan yang berbeda. Pellet yang berukuran besar umumnya terbuat dari pakan hijauan. Pakan pellet populer dengan pemilik kuda atau karateker terdiri dari pellet

(19)

konsentrat, pellet hay, dan pakan pellet komplit (kombinasi hay dengan konsentrat) (Ensminger et al., 1990). Pakan dalam bentuk pellet merupakan salah satu bentuk awetan karena melalui pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan kontinuitas penyediaannya dalam hal mempertahankan kualitas pakan (Mathius et al., 2006).

2. Crumble

Crumble adalah pellet yang dihancurkan. Crumble dibuat melalui proses penghancuran pellet ke bentuk yang kasar yaitu granula (butiran). Berbeda dengan pellet, crumble lebih disukai oleh pengusaha unggas dan lebih baik disesuaikan dengan tempat pakan mekanik. Crumble kadang-kadang mengurangi kerugian dari pellet yang sulit dikunyah, ditelan, dan dicerna. Perbedaannya dengan pakan hasil gilingan, crumble memiliki keuntungan yaitu mengurangi debu pakan, bentuk tidak harus beraturan, dan granula (Ensminger et al., 1990).

3. Hay

Hay merupakan hijauan makanan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar bisa diberikan kepada ternak pada kondisi lain, misalnya digunakan pada musim kemarau. Prinsip pembuatan hay adalah menurunkan kadar air menjadi 15 sampai 20% dalam waktu yang singkat. Pembuatan hay dapat dilakukan dengan dua macam pengeringan yaitu pengeringan dengan panas sinar matahari dan pengeringan dengan panas buatan (Syamsu, 2006).

4. Silase

Silase adalah pengawetan bahan pakan yang diproduksi atau dibuat dari tanaman yang dicacah berupa pakan hijauan, limbah dari industri pertanian dan lain-lain dengan kandungan air pada tingkat tertentu yang dimasukkan dalam sebuah silo. Bakteri asam laktat pada silo tersebut akan mengkonsumsi gula pada bahan material dan terjadi proses fermentasi asam laktat dalam kondisi anaerob (Ensminger, 1990). Silase merupakan salah satu sumber hijauan pakan. Produk pertanian, di dalamnya hijauan pakan, merupakan bahan yang banyak mengandung air dan mudah berubah menjadi busuk akibat aktivitas pertumbuhan bakteri dan jamur pembusuk yang menyebabkan nilai palatabilitas

(20)

hijauan menurun dan kandungan nutrien pakan berubah serta dapat meracuni ternak. Kondisi tersebut menyebabkan nilai guna hijauan sebagai pakan menurun atau bahkan tidak berguna lagi (Hendarto, 2001).

Prinsip dasar pembuatan silase memacu terjadinya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat. Tiga hal paling penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan.

5. Wafer Pakan

Wafer pakan merupakan salah satu hasil pengolahan makanan ternak yang memiliki bentuk panjang, lebar dan tebal yang disusun sesuai dengan kebutuhan nutrien ternak. Wafer pakan dalam proses pengolahannya mengalami pemadatan dengan tekanan dan suhu tertentu dalam waktu tertentu (Nurhidayah, 2005). Tekanan, suhu dan waktu yang digunakan pada setiap penelitian wafer pakan berbeda-beda, tetapi Retnani et al. (2000) melaporkan bahwa pembuatan wafer pakan yang berukuran 20 x 20 x 1 cm3 dilakukan pada suhu pengempaan

150 oC, tekanan 200-300 kg/cm2 dan waktu pengempaan 20 menit. Menurut Trisyulianti (1998) pembuatan wafer pakan merupakan salah satu alternatif bentuk penyimpanan yang efektif dan diharapkan dapat menjaga keseimbangan ketersediaan bahan hijauan pakan. Tujuannya untuk mengumpulkan hijauan makanan ternak pada musim hujan dan menyimpannya untuk persediaan pada musim kemarau. Pakan awetan hijauan bentuk wafer ini khususnya wafer pucuk tebu telah dimanfaatkan oleh beberapa pengusaha pakan ternak di Jawa Timur sebagai komoditi ekspor (Wardhani et al., 1985).

Wafer pakan pada umumnya mempunyai warna lebih gelap dibanding warna asalnya, hal tersebut disebabkan oleh adanya proses browning secara nonenzimatis yaitu karamelisasi dan reaksi Maillard. Menurut Winarno (1992), karamelisasi terjadi jika suatu larutan sukrosa diuapkan sampai seluruh air menguap. Jika pemanasan dilanjutkan, maka cairan yang ada bukan terdiri dari air, tetapi merupakan cairan sukrosa yang lebur. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer.

(21)

Proses pengolahan ransum komplit menjadi wafer ransum komplit menunjukkan terjadinya perubahan komposisi nutrien. Proses pembuatan wafer pakan dapat mengurangi kadar air sebesar 2,19% yang diikuti dengan penurunan protein kasar sangat nyata sebesar 11,4%. Penurunan kandungan protein kasar disebabkan terjadinya denaturasi protein selama proses pengempaan karena pengaruh suhu, sedangkan kandungan serat kasar dan abu meningkat seiring dengan menurunnya kadar air masing-masing sebesar 42,9% dan 0,86% (Trisyulianti et al., 2001).

Biskuit

Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan karena volume dan beratnya proses pengeringan (Whiteley, 1971). Biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen, oleh sebab itu bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap terhadap komponen volatile terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis (Manley, 1983). Almond (1989) mengatakan bahwa secara umum pembuatan biskuit dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu pencampuran bahan, pembentukan adonan dan pencetakan, pembakaran dan pendinginan. Ada beberapa variasi proses dapat digunakan sesuai dengan jenis biskuit yang akan dibuat.

Pemanasan biskuit termasuk ke dalam proses dry heating yaitu pemanasan yang dilakukan tanpa penambahan minyak atau lemak, salah satunya yaitu baking. Baking adalah teknik pemasakan atau cooking dengan cara meletakkan bahan pangan ke dalam oven yang biasanya telah dilengkapi dengan elemen panas yang terletak di bagian bawah dari oven. Pemindahan panas yang terjadi dalam baking tersebut terdiri dari tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada awalnya udara bagian bawah oven dipanaskan, kemudian udara yang hangat dan panas bergerak ke atas, terjadilah perpindahan konveksi.

Udara panas yang bergerak keatas dan kemana-mana tersebut akhirnya menyentuh bahan pangan, terjadilah perambatan panas secara konduksi. Radiasi panas yang dipancarkan oleh dasar oven membentur ke seluruh permukaan dinding

(22)

oven, kemudian dipantulkan dan diserap, akhirnya membentur bahan pangan. Bahan pangan menjadi panas (Winarno, 2007).

Kriteria mutu fisik produk pangan biskuit atau produk kering pada kadar air kritis tidak lembek dan renyah (Herawati, 2008). Pembuatan biskuit dalam bidang pangan ini digunakan sebagai prinsip dasar bentuk biskuit pakan karena adanya persamaan dalam proses pemanasan dan pencetakan terutama bentuk bulat. Biskuit pakan ini dibuat dari bahan serat terutama hijauan sebagai pengganti hijauan segar agar ruminansia dapat memanfaatkan serat ketika kualitas dan kuantitas hijauan menurun.

Kualitas Sifat Fisik

Bentuk, ukuran, volume, luas permukaan, densitas, porositas, warna dan penampakan adalah beberapa jenis karakteristik fisik yang penting dalam berbagai masalah yang terkait dalam rancangan suatu alat khusus atau analisis perilaku produk dan cara penanganan bahan (Wirakartakusumah et al., 1992). Sifat-sifat fisik partikel terutama ditentukan oleh bahan asal dan proses pengolahannya. Dimensi adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan kuantitas fisik seperti dimensi waktu, dimensi panjang, dimensi massa, dimensi suhu dan sebagainya (Wirakartakusumah et al., 1989).

Sifat fisik merupakan bagian dari karakteristik mutu yang berhubungan dengan nilai kepuasan konsumen terhadap bahan. Sifat dan perubahan bahan yang terjadi pada pakan selama proses dapat digunakan sebagai ciri untuk menilai dan menentukan mutu pakan. Selain itu, pengetahuan mengenai sifat fisik digunakan juga untuk menentukan keefisienan suatu proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan (Winarno, 1992). Peningkatan nilai mutu awal produk dapat dilakukan dengan memilih dan menggunakan bahan baku yang bermutu baik (Herawati, 2008). Prinsip pembuatan biskuit pakan hampir sama dengan wafer pakan sebelumnya. Sifat fisik biskuit pakan dalam penelitian ini terdiri dari aktivitas air, kadar air, daya serap air, dan kerapatan.

Aktivitas Air

Aktivitas air atau water activity (aw) merupakan salah satu parameter hidratasi

(23)

jasad renik (Wirakartakusumah et al., 1989). Menurut Syarief dan Halid (1993) aktivitas air bahan pakan adalah jumlah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Selain itu, aktivitas air dapat dikatakan sebagai kebutuhan mikroba akan air. Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Aktivitas air digunakan sebagai istilah untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi.

Sebagian besar bakteri membutuhkan nilai aw 0,75-1,00 untuk tumbuh,

beberapa ragi dan kapang tumbuh lambat pada nilai aw 0,62. Bahan pangan yang

mempunyai aw sekitar 0,70 biasanya sudah dianggap cukup baik dan tahan dalam

penyimpanan. Mikroorganisme menghendaki aw minimum agar dapat tumbuh

dengan baik, yaitu bakteri 0,90, kamir 0,80-0,90, dan kapang 0,60-0,70 (Winarno, 1992).

Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan

nutrien, struktur biologis, dan kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Herawati, 2008).

Kadar Air

Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini merupakan salah satu alasan pengolahan pangan air tersebut sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Selain untuk mengawetkan pakan, pengurangan air juga bertujuan untuk mengurangi besar dan berat bahan pangan sehingga memudahkan dan menghemat pengepakan. Kadar air suatu bahan pangan dapat dinyatakan dalam dua cara yaitu berdasarkan bahan kering (dry basis) dan berdasarkan bahan basah (wet basis). Kadar air secara bahan kering adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya. Kadar air secara bahan basah adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah. Berat bahan kering adalah berat

(24)

bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan (Wirakartakusumah et al., 1989).

Kadar air adalah kandungan air yang terdapat dalam partisi sewaktu digunakan atau diletakkan dalam lingkungan udara terbuka. Uap air yang berusaha masuk ke setiap benda yang ada di sekelilingnya dan akan mencapai kesetimbangan dengan kadar air di udara, namun kadar air akan sulit masuk melalui pori-pori partisi bilamana bahan tersebut sangat kedap air (Haroen et al., 2007). Wafer dengan komposisi serat rumput lapang memiliki rongga yang lebih sedikit sehingga penguapan yang terjadi lebih lambat, sedangkan pada wafer dengan sumber serat pucuk tebu memilki rongga yang lebih banyak dan besar sehingga penguapan berjalan cepat (Retnani et al., 2009).

Dasar pengeringan adalah adanya proses pemindahan atau pengeluaran kandungan air bahan hingga mencapai kandungan tertentu agar kecepatan kerusakan bahan dapat diperlambat sehingga bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama (Suharto, 1991). Kadar air selama penyimpanan harus dijaga serendah mungkin (kurang dari 10%) untuk menghindari terjadinya kebusukan, nilai kadar air kritis untuk sereal adalah 14%. Bila kadar air diatas 14% maka kerusakan akan terjadi sangat cepat (Supriyati et al., 1996). Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, oleh karena permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga kurang bisa diimbangi dengan kecepatan gerakan air bahan menuju permukaan sehingga menyebabkan pengerasan pada bahan yang selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap karena terhambat.

Makanan yang dikeringkan mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna, tekstur dan aroma walaupun perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan jalan memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Perubahan warna umumnya berubah menjadi coklat. Perubahan tersebut dikarenakan reaksi browning. Reaksi browning nonenzimatis yang sering terjadi yaitu reaksi antara asam organik dengan gula pereduksi, serta asam-asam amino dengan gula pereduksi disebut dengan reaksi Maillard. Reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi protein yang terkandung di dalamnya (Adawyah, 2007).

(25)

Daya Serap Air

Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan untuk menyerap air di sekelilingnya untuk berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori antara partikel bahan (Jayusmar, 2000). Trisyulianti et al. (2003) menyatakan bahwa daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan besarnya kemampuan wafer pakan menarik air di sekelilingnya (kelembaban udara) untuk berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori antara partikel bahan. Daya serap air adalah kemampuan bahan ransum untuk menyerap air kembali setelah bahan atau ransum kering yang menyebabkan partikel bahan kering tidak terlarut menjadi jenuh, kemudian partikel tersebut mengembang dan akan lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga meningkatkan laju pengosongan rumen (Siregar, 2005).

Daya serap air yang cukup tinggi membantu wafer ransum komplit untuk cepat lunak saat terkena saliva ternak pada saat dikunyah oleh ternak. Walaupun memiliki tekstur yang tampak kokoh dan memiliki kerapatan cukup tinggi, wafer ransum komplit diharapkan tetap dapat dikonsumsi oleh ternak (Furqaanida, 2004). Menurut Purwani et al. (1995) daya serap air adalah kemampuan protein mengikat sejumlah air melalui pengikatan hidrogen oleh gugus polar dan merupakan sifat fungsional penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan adonan. Adapun pendapat lain yang menyatakan bahwa daya serap air berhubungan dengan pakan yang banyak mengandung serat, dimana gugus OH yang terdapat pada selulosa bersifat hidrofilik yaitu mempunyai kemampuan mengikat air (Sopiah, 2002). Pernyataan ini didukung dengan adanya pendapat Siregar (2005) bahwa terdapat korelasi positif antara sifat fisik dan komposisi kimia bahan pakan terutama dengan daya serap air partikel pakan dengan fraksi serat (NDF, ADF, hemiselulosa, dan selulosa).

Perbedaan daya mengikat air pada berbagai bahan pakan dapat mempengaruhi volume dan laju aliran digesta dalam rumen (Siregar, 2005). Pakan kaya serat mempunyai daya ikat air yang bervariasi (Toharmat et al., 2006). Menurut Haroen et al. (2005) daya serap air oleh partisi yang terbuat dari limbah padat berserat memiliki kecenderungan semakin tinggi dengan meningkatnya persentase limbah padat yang ditambahkan. Daya serap air yang rendah pada lumpur kelapa

(26)

sawit disebabkan oleh karena tingginya kandungan lemak atau minyak, sehingga air sulit masuk (meresap) ke dalam bahan tersebut karena permukaan partikel bahan ini diselaputi oleh minyak (Siregar, 2005).

Kerapatan

Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan serta besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran dengan menentukan atau mengukur berat sampel untuk setiap satu satuan volume sampel (Suryani, 1986). Kerapatan bahan baku sangat tergantung pada besarnya kempa yang diberikan selama proses pembuatan (Syananta, 2009). Semakin tinggi tekanan yang diberikan akan memberikan kecenderungan menghasilkan arang briket dengan kerapatan dan keteguhan tekan yang semakin tinggi pula. Tekanan pengempaan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat dengan bantuan alat pengepres (Suryani, 1986).

Menurut Trisyulianti et al. (1998), wafer pakan yang mempunyai kerapatan tinggi akan memberikan tekstur yang padat dan keras sehingga mudah dalam penanganan, penyimpanan dan goncangan pada saat transportasi serta diperkirakan akan lebih lama dalam penyimpanan. Sebaliknya, pada pakan yang mempunyai kerapatan rendah akan memperlihatkan bentuk wafer pakan yang tidak terlalu padat dan tekstur yang lebih lunak serta porous (berongga), sehingga diperkirakan hanya dapat bertahan dalam penyimpanan beberapa waktu saja. Wafer dengan kerapatan yang rendah akan mempunyai ruang kosong atau luasan kontak antar partikel yang lebih besar sehingga mengakibatkan kemampuan penyerapan air yang besar.

Kerapatan wafer ransum komplit dapat mempengaruhi palatabilitas ternak. Pakan atau wafer yang terlalu keras dengan kerapatan yang tinggi akan menyebabkan sulitnya ternak dalam mengkonsumsi wafer secara langsung sehingga perlu ditambahkan air pada saat akan diberikan dan ternak pada umumnya menyukai pakan atau wafer dengan kerapatan yang rendah (Nursita, 2005). Menurut Furqaanida (2004), kerapatan menentukan bentuk fisik dari wafer ransum komplit yang dihasilkan dan menunjukkan kepadatan wafer ransum komplit dalam teknik pembuatannya.

(27)

Rumput dan sebagian hasil ikutan industri pertanian merupakan hijauan pakan yang kaya sumber serat. Hijauan secara umum mempunyai nilai kerapatan yang rendah (Khalil, 1999).

Molases

Molases adalah produk sampingan yang diperoleh dari pabrik gula tebu. Molases biasanya digunakan dalam ransum untuk ternak sapi, domba dan kuda dengan alasan yaitu untuk meningkatkan konsumsi pakan, untuk meningkatkan aktivitas mikroba, untuk mengurangi debu yang terdapat pada pakan, sebagai perekat untuk pakan pellet, dan sebagai sumber energi (Perry et al., 2003). Molases sudah digunakan sebagai sumber karbohidrat siap pakai berupa cairan kental.

Jumlah molases yang digunakan biasanya tidak lebih dari 10%-15% dari ransum karena jika lebih dari 15% molases akan menyebabkan ransum menjadi lengket dan sulit ditangani serta mengganggu aktivitas mikroba yang baik (Perry et al., 2003). Menurut Hartadi et al. (1990), komposisi molases dalam 100% bahan kering mengandung protein kasar 5,4%, serat kasar 10,4%, lemak kasar 0,3%, BETN 74%, dan abu 10,4%.

Domba

Domba adalah ternak penghasil daging dan sering digembalakan di tepi jalan dan pematang sawah serta di tepi saluran irigasi maupun di tanah lapang. Domba mempunyai sifat alami senang bergerombol dan tidak memilih pakan (Setiyono, 2000). Ternak domba merupakan salah satu ternak yang berkembang di Indonesia, terutama di pedesaan karena domba memiliki peranan yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga peternak. Karakterisitik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit dan pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya. Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1992). Ukuran panjang rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992).

Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang digunakan pada penelitian ini. Sekitar 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil

(28)

sehingga disebut domba kacang atau domba jawa. Adapun ciri lainnya yaitu ekor relatif kecil dan tipis; umumnya bulu badan berwarna putih, kadang-kadang belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya; domba betina umumya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar; berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Mulyono, 2004). Domba ekor tipis ditemukan di sekitar Jawa Barat. Bagian timur umumnya banyak terdapat domba ekor gemuk. Rata-rata berat badan domba ekor tipis jantan sekitar 20 kg, tetapi berat badan tersebut sangat bervariasi (Gatenby dan Humbert, 1991).

Domba ekor tipis Jawa adalah keturunan bangsa kecil, dengan berat badan domba betina dewasa sekitar 25-35 kg, sedangkan domba jantan mencapai 40-60 kg. Berat potong rata-rata yaitu 19 kg. Domba ini memiliki ekor yang tipis dan tidak dapat menyentuh tanduk. Lapisan rambut berwarna putih dengan bintik-bintik hitam di sekitar hidung dan mata (Devendra dan McLeroy, 1982).

Palatabilitas

Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengonsumsinya (Yusmadi et al., 2008). Palatabilitas dapat didefinisikan sebagai tingkat penerimaan pakan atau bahan pakan melalui rasa atau tingkat penerimaan untuk dimakan oleh ternak yang dapat ditentukan dengan penampilan, bau, rasa, tekstur, suhu, dan alat-alat panca indera lainnya terhadap pakan. Church dan Pond (1988) mendefinisikan palatabilitas sebagai respon yang diberikan ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan.

Palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak dan mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor sifat fisik dan sifat kimia (nutrien) pakan dari ternak yang berbeda (Pond et al., 1995). Selain harus memenuhi zat-zat nutrien yang dibutuhkan dengan jumlah yang tepat, pemberian ransum atau pakan juga harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, disukai

(29)

ternak, ekonomis, dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002). Ransum ternak ruminansia di daerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti di Indonesia. Bahan ransum di daerah tropis memiliki tingkat kandungan serat yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui sebagai faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi ransum dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan ransum. Konsekuensinya tingkat palatabilitas di daerah tropis menjadi rendah dan kemungkinan lainnya yaitu sebagai penyebab rendahnya konsumsi bahan kering ransum adalah tingginya kadar serat ransum, khususnya kandungan serat deterjen netral (Mathius et al., 2006).

Faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai nutrien pada hijauan ialah variasi genetik, kesuburan, masa potong tanaman, dan faktor tanah (Widiarti, 2008). Semakin tua tanaman, kandungan protein semakin menurun sedangkan kandungan bahan kering semakin meningkat. Penyebab hal tersebut yaitu semakin tebalnya dinding sel sehingga kandungan fraksi serat kasar semakin meningkat. Rendahnya tingkat palatabilitas contohnya alang-alang dalam penelitian Roslinda dan Afdal (2005) disebabkan oleh tekstur daun yang kasar dan nilai nutrien yang rendah serta dipengaruhi oleh kebiasaan sebelumnya, sedangkan pada daun singkong memiliki tingkat palatabilitas yang tinggi karena memiliki tekstur daun yang lembut dan baunya tidak menyengat serta didukung oleh tingginya nutrien dari hijauan tersebut. Menurut Parakkasi (1995) menyatakan bahwa semakin meningkatnya nutrien suatu ransum akan meningkatkan konsumsi dari ransum tersebut. Komposisi nutrien terdiri dari komposisi bahan-bahan kimia yang merupakan salah satu faktor mempengaruhi palatabilitas tetapi hubungan antara palatabilitas dengan komposisi nutrien sangat lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur palatabilitas suatu pakan pada ternak (Kaitho et al., 1997).

Adaptasi dalam jangka waktu panjang untuk uji palatabilitas yaitu 5-8 hari (Kaitho et al., 1997). Masa adaptasi pakan dalam penelitian Roslinda dan Afdal (2005) dilakukan selama 7 hari dengan waktu pengujian selama 5 hari. Perilaku ternak pada masa adaptasi dimulai dengan menciumi satu persatu hijauan yang diberikan. Selang beberapa menit kemudian ternak tersebut mulai memakan hijauan yang sudah biasa diberikan. Pengamatan uji palatabilitas dapat dilakukan dengan

(30)

sistem cafetaria yaitu menyediakan pakan secara prasmanan. Pengamatan ini berlangsung selama 3 jam dengan mengumpulkan dan menimbang sisa pakan ternak yang kemudian dihitung konsumsi dalam bentuk bahan segar dan bahan kering dengan satuan gram/ekor/3 jam. Konsumsi merupakan indikasi tingkat kesukaan ternak terhadap suatu jenis hijauan (Roslinda dan Afdal, 2005).

Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga dapat memilih dan memakan pakan yang lebih disukai. Rasa lapar ditimbulkan dengan kebutuhan secara fisiologis. Selera dirasakan dengan adanya keinginan untuk mencoba secara berulang kali. Umumnya, selera berhubungan dengan faktor-faktor internal baik secara fisiologis maupun psikologis yang merangsang atau menghambat rasa lapar pada ternak. Rasa lapar dapat dipenuhi dengan kalori sedangkan selera dengan kesukaan atau palatabilitas (Pond et al., 1995).

Rasa dapat digambarkan dengan manis, asam, asin, dan pahit, yang sering disebut sebagai keadaan rasa kimia. Tanggapan rasa dipengaruhi oleh bau. Bau atau aroma dihasilkan oleh komponen yang mudah menguap. Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh pancaindera penciuman. Umumnya, bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno, 1992). Empat dasar rasa dalam larutan air, domba menunjukkan pilihan yang positif hanya untuk sedikit gula, sapi mempunyai pilihan yang kuat terhadap rasa manis dan sedang untuk asam, rusa menunjukkan pilihan yang kuat terhadap rasa manis dan sedang pada pilihan lemah untuk rasa asam dan pahit, dan kambing cenderung menunjukkan penerimaan terhadap semua rasa tersebut. Selain itu, domba dan sapi lebih menyukai rumput dengan kandungan asam organik yang tinggi (Pond et al., 1995). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimia yang akhirnya satu kesatuan interaksi antara sifat-sifat seperti aroma, rasa, tekstur merupakan keseluruhan rasa makanan yang dinilai (Gracia et al., 2009).

Banyak spesies ternak walaupun tidak semuanya yang memiliki penglihatan lebih baik dibandingkan dengan manusia. Pentingnya penglihatan sebagai pengaruh

(31)

konsumsi pakan pada ternak tidak sepenuhnya dipahami. Fakta-fakta penelitian pada manusia (Pond et al., 1995) menjelaskan bahwa penglihatan memberikan pengaruh terhadap rasa karena setiap individu cenderung berbeda dalam meninjau warna, bentuk, dan penglihatan lainnya dengan mengetahui rasa dan bau. Penglihatan pada ternak lebih digunakan untuk orientasi dan letak pakan. Penelitian dengan sapi dan domba menunjukkan tidak adanya pengaruh yang diberikan terhadap warna pakan merah, hijau, atau biru dalam pemilihan pakan sehingga dapat dikatakan buta dalam membedakan warna.

Istilah tekstur terkenal dengan ukuran partikel bahan pakan yang mempengaruhi penerimaan pakan. Sebagian besar ternak ruminan dalam dan luar negeri akan menerima dengan cepat untuk pakan berbentuk pellet dan mungkin lebih suka bagi ternak untuk diperkenalkan pakan yang serupa dalam bentuk bukan pellet, tapi mungkin tetap untuk ternak tersebut dengan sepenuhnya pakan yang tidak lazim. Banyak ternak dapat beradaptasi dengan cepat untuk biji gulungan atau pecah daripada biji utuh. Metode-metode yang berhubungan dengan persiapan pakan agar mengurangi debu biasanya menghasilkan konsumsi pakan yang meningkat, ini mungkin salah satu alasan mengapa pakan yang berair banyak lebih dikonsumsi dengan cepat daripada pakan yang kering.

(32)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Industri Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan pengujian palatabilitas pada ternak domba dilakukan di Mitra Tani Farm (MT Farm), Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan Oktober 2009.

Materi Bahan Pakan

Bahan pakan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu limbah tanaman jagung berupa daun jagung, klobot jagung dan hijauan berupa rumput lapang, molases, serta pakan komplit. Daun jagung diperoleh dari daerah Cangrang, Bogor, klobot jagung diperoleh dari pasar di Kabupaten Bogor dan rumput lapang diperoleh dari sekitar Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor. Pakan komplit berasal dari Koperasi Peternakan Sapi (KPS). Kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisa Bahan Kering dan Protein Kasar Bahan Pakan

Kandungan Nutrien Bahan

Daun Jagung Klobot Jagung Rumput Lapang

Bahan Kering (%) 32,33 89,57 54,33

Protein Kasar (100%BK) 19,83 11,30 14,06 Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2009).

Ternak dan Kandang

Penelitian ini menggunakan ternak domba ekor tipis jantan sebanyak 18 ekor dengan rataan berat badan sekitar 21,66±0,87 kg dengan CV 4,02% (Tabel 4) dan umur ternak domba rata-rata kurang dari 1 tahun. Ternak ini berasal dari peternakan domba di daerah Ciampea dan Leuwiliang, Bogor. Kandang yang digunakan adalah kandang individu berbentuk panggung dengan ukuran 2 x 0,5 x 1 m3. Kandang terbuat dari bambu dan kayu yang dilengkapi tempat pakan dan tempat minum.

(33)

Gambar 1. Ternak dan Kandang

Peralatan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari jangka sorong, timbangan kapasitas 1, 2,25 dan 5 kg, timbangan digital, timbangan Electronic Crane Scale untuk menimbang domba, mesin chopper, Hammer mill, Aw meter, gelas piala,

saringan plastik, oven 105 oC, eksikator, cawan, karung plastik, bak plastik, baki plastik, dan mesin biskuit.

(a) (b)

Keterangan: (a) Jangka Sorong (b) Timbangan Digital (c) Timbangan 2,25 kg (d) Aw Meter

(c) (d)

Gambar 2. Peralatan Penelitian

Prosedur Pembuatan Biskuit Pakan

Penelitian pembuatan biskuit pakan dengan bahan limbah tanaman jagung yang terdiri dari daun jagung dan klobot jagung serta rumput lapang mempunyai komposisi yang berbeda antara satu biskuit pakan dengan biskuit pakan lainnya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang ini yaitu sebagai berikut :

(34)

1) Semua bahan baku sumber serat (daun jagung, klobot jagung dan rumput lapang) dipotong dengan mesin chopper hingga ukuran 5 cm, kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 3-5 hari.

2) Setelah kering, bahan tersebut digiling dengan ukuran yang lebih kecil dengan menggunakan Hammer Mill.

3) Pencampuran bahan secara homogen sesuai dengan perlakuan masing-masing dengan molases 5% dari berat bahan.

4) Sekitar 400 gram bahan tersebut dimasukkan ke dalam 16 cetakan berbentuk silinder masing-masing berdiameter 7 cm dengan tebal 5 cm.

5) Kemudian dilakukan pemadatan pada suhu sekitar 90 oC selama 10 menit dengan satu kali pembalikan setelah 5 menit. Pendinginan biskuit dilakukan dengan menempatkannya pada suhu kamar kemudian dimasukkan ke dalam karung.

Cetakan

Biskuit Handle

Pengatur Suhu Elemen

Gambar 3. Mesin Biskuit Pakan

Proses pembuatan dan pengujian biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang dalam bentuk diagram alur telah tersedia dalam Gambar 4.

(35)

Analisis Proksimat Bahan Pakan

Analisa Proksimat Kualitas Fisik Biskuit Pakan

Uji Palatabilitas Hijauan (daun jagung, klobot jagung, rumput lapang)

Manual Mixing Pencetakan Biskuit Biskuit Pakan Grinding Drying Cooling Chopping Formulasi Pakan

Gambar 4. Diagram Alur Proses Pembuatan dan Pengujian Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang

(36)

Pengujian Palatabilitas

Delapan belas ekor domba ekor tipis jantan yang digunakan dalam penelitian diacak dengan menggunakan tabel pengacakan. Masing-masing perlakuan diperoleh tiga ekor domba dengan bobot badan yang terdapat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Sebaran Bobot Badan Awal Domba (kg)

Perlakuan Ulangan Rataan

1 2 3 R1 20,7 20,7 20,2 20,5±0,29 R2 21,8 21,5 22,2 21,8±0,35 R3 22,2 21,2 21,5 21,6±0,51 R4 22,6 20,5 22,9 22,0±1,31 R5 21,7 20,4 22,0 21,4±0,85 R6 22,2 22,8 22,7 22,6±0,32 Keterangan: R1 = 100% rumput lapang, R2 = 50% rumput lapang + 50% daun jagung, R3 = 100%

daun jagung, R4 = 50% rumput lapang + 50% klobot jagung, R5 = 50% daun jagung + 50% klobot jagung, dan R6 = 100% klobot jagung.

Sebelum uji palatabilitas dilakukan adaptasi selama 5 hari dimulai pada tanggal 10 Oktober sampai dengan 14 Oktober 2009 dan uji palatabilitas dilakukan selama 2 hari mulai pada tanggal 15 Oktober sampai dengan 16 Oktober 2009. Uji palatabilitas ini hanya difokuskan pada pengukuran konsumsi biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang. Biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang diberikan pagi hari pada pukul 06.00-12.00 WIB sedangkan pakan komplit KPS mulai pukul 12.00-06.00 WIB. Sisa biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang ditimbang sebelum diberi pakan komplit KPS, sedangkan sisa pakan komplit KPS ditimbang terlebih dahulu sebelum domba diberi biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang. Biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang diberikan sebanyak 100 gram/ekor dalam bentuk biskuit pakan utuh sedangkan pakan komplit KPS diberikan sekitar 500-850 gram/ekor, sehingga total pemberian pakan sekitar 3% bobot badan. Cara pemberian seperti ini bertujuan untuk menghindari penurunan bobot badan domba karena pada bulan tersebut di peternakan MT Farm ini sedang penggemukan domba untuk persiapan Hari Raya Kurban.

(37)

Rancangan Percobaan Model Matematika

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan baik untuk uji sifat fisik maupun uji palatabilitas. Model matematika dari rancangan ini adalah :

Yij = μ + αi + εij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Nilai rataan umum hasil pengamatan αI = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat ke-i dan ulangan ke-j i = Perlakuan yang diberikan (1,2,3,4,5,6)

j = Ulangan dari masing-masing perlakuan (1,2,3)

Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Steel and Torrie, 1993) serta dilakukan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara dua peubah yaitu peubah bebas (x) dengan peubah tidak bebas (y).

Perlakuan

Perlakuan dalam penelitian ini adalah biskuit pakan yang terdiri dari: R1 = Biskuit 100% rumput lapang

R2 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% daun jagung R3 = Biskuit 100% daun jagung

R4 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% klobot jagung R5 = Biskuit 50% daun jagung + 50% klobot jagung R6 = Biskuit 100% klobot jagung

Peubah

(38)

1. Aktivitas Air (Aw)

Sebelum digunakan, Aw meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan Barium Klorida (BaCl2). Setelah 3 jam, jarum Aw meter ditera sampai

menunjukkan angka 0,9 karena BaCl2 mempunyai kelembaban garam jenuh

sebesar 90%. Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan cara memasukkan biskuit pakan ke dalam Aw meter dan dibiarkan selama 1 jam lalu dilakukan

pembacaan.

2. Kadar Air (Syarief dan Halid, 1993)

Kadar air dilakukan dengan menimbang sampel biskuit pakan sekitar 3 gram sebagai berat awal. Sampel tersebut dikeringkan dalam oven pada temperatur 105 oC sampai beratnya konstan. Nilai kadar air diukur dengan rumus :

KA (%) = Berat Awal Biskuit Pakan (g) – Berat Kering Oven (g) x 100% Berat Awal Biskuit Pakan (g)

3. Daya Serap Air (SNI, 1991)

Pengukuran daya serap air dilakukan dengan mengukur berat sampel biskuit pakan sebelum dan sesudah perendaman air selama 5 menit. Nilai daya serap air dapat dihitung dengan rumus :

DSA (%) = B2 - B1 x 100%

B1 Keterangan :

PA = Penyerapan air (%)

B1 = Berat sampel biskuit pakan kering udara (g)

B2 = Berat sampel biskuit pakan setelah perendaman (g)

4. Kerapatan (Widarmana, 1977)

Nilai kerapatan biskuit pakan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :

K (g/ cm3) = W

(39)

Keterangan :

K = Kerapatan (g/cm3)

W = Berat sampel biskuit pakan (g) T = Tebal sampel biskuit pakan (cm) Π = 3,14

r = Jari-jari lingkaran biskuit pakan (cm)

5. Palatabilitas

Uji palatabilitas dilakukan berdasarkan modifikasi dari metode Kaitho et al. (1997) dengan melakukan adaptasi selama 5 hari dan pengukuran uji palatabilitas selama 2 hari. Pemberian biskuit pakan dilakukan mulai pukul 06.00-12.00 sebanyak 100 gram. Hasil tingkat palatabilitas dapat dilihat dari banyaknya ternak mengkonsumsi biskuit pakan yang diberikan dapat diketahui dengan pengurangan antara pemberian biskuit pakan dengan sisa biskuit pakan.

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang

Biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang merupakan salah satu pengolahan hijauan pakan melalui proses pemanasan dan pengempaan dengan suhu dan tekanan dalam waktu tertentu. Suhu pembuatan biskuit pakan yaitu sekitar 90 oC,

diukur menggunakan termometer dengan suhu elemen mesin biskuit pakan sebesar 105 oC selama 10 menit dan satu kali pembalikan dilakukan setelah 5 menit.

Pembalikan bertujuan untuk memberikan perlakuan panas yang sama antara dua permukaan yang berbeda karena panas pada mesin hanya terdapat pada bagian alas mesin pencetak biskuit pakan.

Keterangan:

R1 = Biskuit 100% rumput lapang R2 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% daun jagung

R3 = Biskuit 100% daun jagung R4 = Biskuit 50% rumput lapang +

50% klobot jagung

R5 = Biskuit 50% daun jagung + 50% klobot jagung

R6 = Biskuit 100% klobot jagung R1 R2 R3

R4 R5 R6

Gambar 5. Bentuk Fisik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang Penekanan bahan pakan yang sudah dicampur dan dicetak dalam cetakan biskuit pakan bertujuan untuk merekatkan bahan perekat molases dengan bahan pakan hijauan sesuai perlakuannya masing-masing karena penekanan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat (Suryani, 1986). Pembuatan biskuit pakan ini berbeda dengan wafer pakan dalam proses pembuatan biskuit pakan. Biskuit pakan memerlukan satu kali pembalikan karena hanya ada satu elemen panas yang terdapat pada bagian bawah cetakan dengan tekanan sebesar 300 kg/cm3 serta pemadatan dibantu handle (Gambar 3),

(41)

sedangkan pada wafer pakan elemen panas terdapat pada bagian bawah dan atas cetakan sehingga tidak memerlukan pembalikan.

Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hijauan yang berasal dari limbah tanaman jagung, daun dan klobot jagung rumput lapang. Rumput lapang digunakan sebagai pakan hijauan pembanding dengan perlakuan lainnya yang umumnya banyak dimanfaatkan oleh peternak untuk pakan pokok ruminansia khususnya domba (Wiradarya, 1989).

Pembuatan biskuit pakan merupakan inovasi terbaru dalam hal memodifikasi bentuk pakan. Bentuk dan proses pembuatan pakan yang dihasilkan berbeda dengan wafer pakan karena biskuit pakan hanya memiliki dimensi diameter 7 cm, tebal 1 cm, dan berbentuk bulat pipih serta tidak perlu pemotongan kembali seperti wafer karena sudah memiliki cetakan dalam ukuran yang lebih kecil (Gambar 5), sedangkan wafer pakan memiliki dimensi panjang 30 cm, lebar 30 cm, tebal 1 cm, dan berbentuk seperti balok serta perlu pemotongan kembali menjadi ukuran yang lebih kecil yaitu 5 x 5 x 1 cm3 (Nurhidayah, 2005).

Warna dan aroma merupakan karakteristik yang dimiliki pakan dan dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan pakan oleh ternak. Warna biskuit pakan yang menggunakan daun jagung lebih hijau dibandingkan dengan penggunaan rumput lapang, sedangkan biskuit pakan yang menggunakan klobot jagung memiliki warna yang lebih coklat (Gambar 5). Perbedaan dari setiap perlakuan biskuit pakan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang

Perlakuan Warna Aroma Kepadatan Tekstur

R1 Hijau kecoklatan Harum Kompak Kasar

R2 Hijau kecoklatan Harum Sangat Remah Kasar

R3 Hijau Harum Remah Kasar

R4 Coklat kehijauan Harum Kompak Kasar

R5 Coklat kehijauan Harum Kompak Kasar

R6 Coklat Harum Sangat Kompak Kasar

Keterangan: R1 = Biskuit 100% rumput lapang, R2 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% daun jagung, R3 = Biskuit 100% daun jagung, R4 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% klobot jagung, R5 = Biskuit 50% daun jagung + 50% klobot jagung, dan R6 = Biskuit 100% klobot jagung.

(42)

Warna biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang yang dihasilkan cukup bervariasi antara hijau dan coklat serta kombinasi keduanya (Tabel 5). Perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan penggunaan bahan pakan hijauan untuk biskuit pakan. Perbedaan warna biskuit pakan tersebut berdasarkan penglihatan dan penilaian manusia, domba tidak bisa membedakan warna karena domba bersifat buta warna (Pond et al., 1995). Domba tetap memakan biskuit pakan yang diberikan karena adanya faktor nutrien yang dibutuhkan oleh ternak domba dalam biskuit pakan tersebut. Setelah proses pemadatan dan pemanasan, biskuit pakan yang dihasilkan umumnya memiliki warna coklat. Warna coklat tersebut disebabkan karena adanya reaksi pencoklatan (browning) secara nonenzimatis yaitu reaksi antara asam organik dengan gula pereduksi. Selain pemanasan bahan pakan, adapula molases yang menyumbangkan aroma harum akibat adanya kandungan gula sehingga menimbulkan aroma khas molases.

Berdasarkan kepadatan tanpa dilakukan pengukuran atau secara kualitatif, penggunaan bahan pakan 100% klobot jagung pada biskuit R6 menunjukkan adanya perbedaan kepadatan jika dibandingkan perlakuan biskuit pakan lainnya. Daun jagung dan rumput lapang, klobot jagung memiliki ukuran serat yang lebih besar walaupun melalui proses pencacahan dan penggilingan yang sama sehingga pada biskuit R6 (klobot jagung) memiliki kepadatan yang sangat kompak dibandingkan dengan perlakuan R1 (rumput lapang), R2 (kombinasi rumput lapang dengan daun jagung), R3 (daun jagung), R4 (kombinasi rumput lapang dengan klobot jagung), dan R5 (kombinasi daun jagung dengan klobot jagung) karena semakin besar ukuran serat maka akan menciptakan ikatan yang lebih merekat antara partikel serat tersebut. Berbeda dengan biskuit R2 (kombinasi rumput lapang dengan daun jagung) dan R3 (daun jagung) yang memiliki kepadatan secara berurutan yang sangat remah dan remah (Tabel 5). Biskuit R2 (kombinasi rumput lapang dengan daun jagung) dikatakan sangat remah karena mengandung hasil gilingan halus berupa debu dari rumput lapang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan daun dan klobot jagung. Selain rumput lapang, pada biskuit pakan tersebut dikombinasikan juga dengan daun jagung yang mudah kering ketika proses pemanasan pada mesin biskuit pakan sehingga tidak terjadi ikatan atau rekatan yang kuat diantara kedua bahan tersebut. Biskuit R3 (daun jagung) dikatakan memiliki kepadatan yang mudah remah kerena

(43)

memiliki tekstur bahan hasil pengeringan dan gilingan yang kering sehingga mengalami kesulitan pada saat pencampuran dengan molases dan pada saat pencetakan. Keenam perlakuan biskuit pakan tersebut memiliki tekstur yang seragam yaitu kasar karena terbuat dari hijauan yang digiling secara kasar dengan ukuran saringan hammer mill yang lebih besar yaitu sekitar 10 mm dibandingkan ukuran saringan untuk menggiling bahan pakan berupa butiran atau biji-bijian yang berukuran sekitar 2-4 mm.

Adapun komposisi nutrien yang diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang. Komposisi nutrien tersebut terdiri dari abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen dengan jumlah total 100% dalam kondisi bahan kering yang diperoleh melalui analisa proksimat. Komposisi bahan-bahan kimia tersebut merupakan salah satu faktor mempengaruhi palatabilitas (Kaitho et al., 1997). Komposisi nutrien biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Nutrien Biskuit Limbah Tanaman Jagung dan Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Perlakuan Kandungan Nutrien Abu PK LK SK BETN ---%--- R1 10,42 12,89 0,21 41,34 35,14 R2 9,79 14,51 0,20 31,90 43,60 R3 8,84 16,12 1,04 29,45 44,56 R4 8,45 13,51 1,31 42,49 34,24 R5 7,94 14,41 1,66 27,26 48,73 R6 9,59 13,69 1,86 38,12 36,74

Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2009). PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar, Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen. R1 = Biskuit 100% rumput lapang, R2 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% daun jagung, R3 = Biskuit 100% daun jagung, R4 = Biskuit 50% rumput lapang + 50% klobot jagung, R5 = Biskuit 50% daun jagung + 50% klobot jagung, dan R6 = Biskuit 100% klobot jagung.

Limbah pertanian pada umumnya memiliki protein yang cukup rendah tetapi hasil analisa proksimat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa biskuit pakan yang

Gambar

Tabel 2. Komposisi Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering
Gambar 2.  Peralatan Penelitian
Gambar 3.  Mesin Biskuit Pakan
Gambar 4.  Diagram Alur Proses Pembuatan dan Pengujian Biskuit Limbah  Tanaman Jagung dan Rumput Lapang
+5

Referensi

Dokumen terkait

Bedasarkan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti mengenai faktor penghambat kebijakan dan dikaitkan dengan teori tersebut, maka kebijakan ini dapat dikatakan

23 Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 17-8-1945 Makassar, Makassar 24 Sekolah Tinggi Teknik Dharma Yadi Makassar, Makassar. 25 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nobel

Hasil analisis filogenetik daerah ITS-1, ITS-2 dan 5,8S rDNA dari genom fungi LBKURCC43 menunjukkan bahwa spesies dari fungi LBKURCC43 adalah Hanseniaspora uvarum

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam berpengaruh nyata terhadap parameter panjang tanaman umur 3 - 7 MST, jumlah anakan per rumpun umur 3

Schmitt (1999) mengatakan experiential marketing adalah cara untuk menciptakan pengalaman yang akan dirasakan oleh pelanggan ketika menggunakan produk atau jasa

Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa reward memiliki pengaruh yang sig- nifikan terhadap motivasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika di SMP Negeri

(2010: 64) yang berpendapat bahwa ³'LNDWDNDQ simple (sederhana) dikarenakan pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata