3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan
Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah serta peningkatan pertumbuhan ekonomi (Astana dan Erwidodo, 2001). Menurut Badan Pusat Statistik (2004), devisa negara Indonesia dari produk hasil hutan selama periode 1991 – 2001 berkisar US$ 3.46 – 5.43 miliar dimana setiap tahun meningkat 5% - 10%. Peningkatan tersebut berdasarkan nilai ekspor, tetapi volume ekspor hasil hutan tersebut cenderung turun. Lebih lanjut menurut Haeruman (2005), nilai devisa produk hasil hutan sejak tahun 1990 – 1997 sebesar 30% dari nilai ekspor industri nasional. Sedangkan pada saat krisis tahun 1998 – 2002, nilai devisa hasil hutan berkisar 12 % dari total produk industri.
Berdasarkan pengalaman empiris, sektor kehutanan mampu menggerakkan sektor lain. Hasil hutan memberi dukungan modal dan teknologi yang berasal dari impor dan dukungan modal bagi pembangunan infrastruktur industri di dalam negeri. Di samping itu sektor kehutanan juga mendukung penyediaan lahan seluas 30 juta ha kawasan hutan yang dapat dikonversi untuk pertanian, perkebunan, transmigrasi dan lai-lain Pada kegiatan konversi hutan untuk keperluan non kehutanan, kawasan hutan mampu menyediakan kayu melalui ijin pemanfaatan kayu (IPK), dimana sejak tahun 1994 sampai tahun 1999 produksi hasil kayu IPK sebesar 5 –10 juta m3 yang nilainya sekitar Rp 1.75 triliun (Haeruman, 2005).
Sektor kehutanan secara nyata mempu memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pendapatan wilayah. Kontribusi sektor hutan lindung terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) mempunyai share sebesar Rp 54 502 juta, atau 0.48% di wilayah ekonomi Kabupaten-Kotamadya Bandung. Nilai share tersebut lebih besar dibanding kontribusi sektor hutan produksi yang besarnya Rp 8 744 juta atau 0.08%. Efisiensi sektor hutan lindung menempati peringkat paling tinggi dibandingkan terhadap efis iensi sektor lainnya. dimana
nilai surplus usaha sebesar 97.5%. Surplus usaha untuk sektor hutan produksi 64.4%. Sedang sektor industri, penyumbang PDRB terbesar, mempunyai efisiensi paling rendah, dengan nilai surplus usaha sebesar 12 % (Supriadi, 1997).
Peran ekonomi kehutanan yang berupa manfaat air di wilayah Das Citarun Hulu, diukur oleh besarnya nilai tambah yang diperoleh ekonomi untuk setiap pemakaian 1 m3 air, adalah sebesar Rp 2 155 /m3. Nilai hidrologi hutan lindung, diukur berdasarkan peran ekonomi air di wilayah Das Citarum Hulu, adalah sebesar Rp 46.86 juta/ha/tahun, untuk kawasan diatas ketinggian 1000m. Untuk kawasan dibawah ketinggian 1000m, sebesar Rp 20.43 juta/ha/tahun. Total nilai hidrologi hutan di wilayah Das Citarum Hulu terhadap perekonomian, adalah sebesar Rp 1.9 triliun/tahun (angka 1994/1995) atau sekitar 16.8% dari nilai total PDRB daerah Kabupaten-Kotamadya Bandung (Supriadi, 1997).
Menurut Haeruman (2005), peranan lain yang dihasilkan dari kegiatan kehutanan adalah sumbangan terhadap penerimaan daerah. Sumbangan sektor kehutanan kepada penerimaan daerah tersebut terdapat dalam bentuk hasil bukan pajak, yang jumlahnya amat kecil yaitu kurang dari 3%. Sebagai ilustrasi penerimaan daerah sebelum dan sesudah adanya peraturan perundangan tentang desentralisasi sebagaimana Tabel 4.
Tabel 4. Sumber Penerimaan Daerah Propinsi dan Kabupaten di Indonesia ( % )
Jenis sumber penerimaan daerah Tahun 1989/1990 1997/1998
A. Provinsi
1. Penerimaan asli daerah 28.84 42.17
2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 3.07 3.92
3. Pinjaman daerah 0.35 0.41
4. Sumbangan pemerintah pusat 62.54 48.77
B. Kabupaten
1. Penerimaan asli daerah 27.86 26.10
2. Bagi hasil pajak dan bukan pajak 2.16 4.47
3. Pinjaman daerah 0.88 1.15
4. Sumbangan pemerintah pusat dan provinsi
66.74 65.35
Sumber : Haeruman (2005)
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bersama sama dengan Departemen Kehutanan (2001) telah melakukan perhitungan nilai ekonomi total
hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Hasil perhitungan menunjukkan nilai total ekonomi hutan lahan kering sebesar Rp 124.3 juta/ha/tahun – Rp 199.4 juta/ha/tahun yang terdiri nilai guna yang berkisar 16% - 27% dan bukan nilai guna sekitar 84% - 73%. Selanjutnya nilai total ekonomi hutan lahan basah sebesar Rp 115.1 juta/ha/tahun – Rp 150.3 juta/ha/tahun yang terdiri nilai guna yang berkisar 52% - 68% dan bukan nilai guna sebesar Rp 48% - 32%. Rincian perhitungan nilai ekonomi total hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bersama sama dengan Departemen Kehutanan (2001) tersebut sebagaimana Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan di Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah
Hutan Lahan Kering Hutan Lahan Basah Lokasi/
Jenis Manfaat (Rp/ha/tahun) (%) (Rp/ha/tahun) (%)
A. Jambi
1. Nilai Guna
a. Langsung 485 014 0.2 524 645 0.3
b. Tak Langsung 31 578 779 15.8 101 875 565 67.8 2. Bukan Nilai Guna
a. Nilai opsi 1 723 0.0 1 041 0.0
b. Keb eradaan 167 385 132 83.9 47 933 039 31.9 Nilai Total Ekonomi 199 450 648 100.0 150 334 290 100.0
B. Kalteng
1. Nilai Guna
a. Langsung 2 214 014 4.5 1 180 423 1.5
b. Tak Langsung 11 211 083 22.8 40 708 556 51.0 2. Bukan Nilai Guna
a. Nilai opsi 1 631 0.0 1 681 0.0
b. Keberadaan 35 703 679 72.7 37 880 007 47.5 Nilai Total Ekonomi 124 380 528 100.0 115 052 479 100.0 Sumber : Fakultas Kehutanan IPB dan Departemen Kehutanan (2001)
Lebih lanjut menurut Astana (2002), penurunan potensi produksi kayu dari hutan alam akan berdampak negatif terhadap perekonomian baik di tingkat makro maupun mikro. Pada Tingkat mikro, dampak negatif tersebut dapat ditujukkan oleh penurunan pendapatan dari individu-individu yang bekerja pada kegiatan
eksploitasi hutan maupun industri kehutanan. Sedangkan pada tingkat makro, dampak negatif ditunjukkan oleh penurunan penerimaan devisi, pajak dan bukan pajak, penyerapan tenaga kerja dan product domestic bruto (PDB) sektor kehutanan.
Manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan rakyat sebagai berikut : (1) hutan rakyat murni memiliki nilai NPV sebesar Rp 11.05 juta/ha/daur pada tingkat suku bunga 15%, dan (2) hutan rakyat agroforestry menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 4.97 juta/ha/tahun. Berdasrkan manfaat ekonomi tersebut maka hutan rakyat agroforestry lebih menguntungkan untuk dikembangkan (Nurfatriani, 2002)
3.2. Kerangka Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka perlu dirumuskan kerangka penelitian untuk menjelaskan tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan. Tahap awal penelitian dimulai dari melakukan penelaahan teori yang berkaitan dengan sektor kehutanan yaitu sumberdaya hutan, manfaat ekonomi hutan baik yang telah dihitung dan atau dipasarkan maupun yang belum dihitung. Dari hasil telaahan teori tersebut dapat diketahui seberapa besar kontribusi sektor kehutanan dalam pendapatan atau perekonomian regional/wilayah. Dalam penghitungan manfaat ekonomi hutan terdapat hasil-hasil yang dihitung atau dimasukkan ke perhitungan pendapatan sektor non kehutanan.
Disamping itu dalam teori sumberdaya hutan dapat diketahui manfaat non ekonomi yang menjadi potensi sebagai sumber pendapatan wilayah dimasa yang akan datang, juga terdapat potensi sumber pendapatan yang hilang akibat faktor alam maupun faktor manusia misalnya erosi, ilegal logging, ilegal trading dan sebagainya. Potensi manfaat hutan yang belum terhitung maupun yang hilang tersebut akan menjadi sumber kebocoran pendapatan wilayah. Sumber kebocoran tersebut dapat berasal dari faktor produksi yang tidak dimanfaatkan dan faktor produksi yang hilang karena sulit perhitungannya. Mengingat bahwa pada suatu sektor memiliki beberapa faktor produksi maka kebocoran sektor maka akan langsung berpengaruh pada bocornya pendapatan wilayah. Kebocoran sektor tertentu dalam kegiatan perekonomian tidak akan berdiri sendiri, melainkan
terkait dengan sektor-sektor lain sehingga pengaruh kebocoran pada suatu sektor mungkin akan berdampak yang besar pada perubahan nilai sektor lain.
Dampak Distribusi K esejahteraan pada
Masyarakat
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian Telaah Teori MODEL I-O DAN SNSE Analisis Kebijakan Simulasi Model Peranan Ekonomi Kehutanan di Wilayah dan Implikasi Kebijakan MANFAAT EKONOMI KEBOCORAN EKONOMI WILAYAH SUMBERDAYA HUTAN DAN KEHUTANAN MANFAAT NON EKONOMI TERHITUNG UNDERVALUE HASIL VALUASI MANFAAT HUTAN Data /Informasi sekunder dan Penelitian Lapangan KONTRIBUSI PEREKONOMIAN WILAYAH Sektor Kehutanan
Sektor Non Kehutanan
REKOMENDASI PENELITIAN BELUM TERHITUNG KEBOCORAN SEKTOR Aplikasi Hasil valuasi
Oleh karena itu dalam menghitung kebocoran pendapatan yang berasal dari sektor tertentu harus menggunakan metode yang bersifat sistemik, yaitu ketergantungan dan keterkaitan antara sektor sangat besar. Dengan menggunakan hasil-hasil valuasi manfaat hutan secara lengkap dan dengan masukan data sekunder maupun primer yang diolah dengan Model Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi akan diketahui jumlah dan dampak manfaat ekonomi sektor kehutanan secara keseluruhan.
Melalui simulasi model dan analisis kebijakan maka akan dapat diajukan rekomendasi penaggulangan kebocoran pendapatan wilayah yang bersumber dari sektor kehutanan. Uraian tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 7.
3.3. Kebocoran Ekonomi dari Sektor Kehutana n
Kebocoran ekonomi (leakage) adalah aliran pendapatan suatu wilayah atau suatu sektor yang keluar ataupun hilang dari siklus pendapatan yang bersangkutan. Berdasarkan pola pendapatan dan pernelanjaan oleh Blair (1991) bahwa kebocoran ekonomi sebagaimana Gambar 8.
Sumber : Balir – dimodifikasi (1991)
Gambar 8. Pola kebocoran ekonomi
Kebocoran ekonomi hutan adalah suatu nilai ekonomi yang keluar dari siklus pendapatan sektor kehutanan di suatu wilayah tertentu. Pendapatan
Usaha Sektor Kehutanan Pendapatan Wilayah Bocor keluar Bocor keluar
tersebut berasal dari manfaat ekonomi hutan yang berupa penerimaan hasil hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Sedangkan kebocoran ekonomi hutan dapat bersumber dari manfaat ekonomi maupun manfaat non ekonomi Disamping itu kebocoran ekonomi juga dapat berupa nilai ekonomi kegiatan deforestasi misalnya perambahan lahan hutan dan konversi lahan hutan untuk keperluan non kehutanan, pengurangan kapasitas hutan yang beupa erosi, nilai tambah yang hilang, kelembagan yang belum efektif, serta aktivitas ilegal misalnya illegal logging dan illegal trading pada penyelenggaraan usaha sektor kehutanan.
Keluarnya nilai ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh tindakan manusia ataupun aktivitas alam. Tindakan manusia berupa aktivitas legal pada saat melakukan manajemen hutan mulai dari perencanaan/perijinan, pelaksanaan eksploitasi hutan, dan pengawasan kegiatan. Aktivitas alam berupa hujan, erosi, angin, dan bencana alam yang dapat merusak kondisi fisik hutan dan lingkunganya.
3.4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka pemikiran penelitian, dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
1. Kebocoran ekonomi dari sektor kehutanan bersumber dari manfaat ekonomi hutan yang hilang misalnya nilai tambah, nilai deforestasi, nilai erosi, nilai
illegal logging, nilai illegal trading, dan kelembagaan yang belum efektif, akan berpengaruh negatif terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah.
2. Manfaat ekonomi hutan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung serta dampak lingkungan dalam perhitungan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) akan berimplikasi terhadap pemerataan pendapatan dari sektor kehutanan.