• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Tindak Tutur

Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan perwujudan konkret fungsi-fungsi bahasa, yang merupakan pijakan analisis pragmatik (Rahardi, 2005).

Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Kalimat “Disini panas sekali!” dapat memiliki bermacam arti di berbagai situasi berbeda. Bisa jadi, si penutur hanya menyatakan fakta keadaan udara saat itu, meminta orang lain membukakan jendela atau menyalakan AC, atau bahkan keluhan. Oleh karena itu, kemampuan sosiolinguistik, termasuk pemahaman mengenai tindak tutur sangat diperlukan dalam berkomunikasi karena manusia akan sering dihadapkan dengan kebutuhan

(2)

untuk memahami dan menggunakan berbagai jenis tindak tutur, dimana masing-masing jenis tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam strategi.

2.2 Hakikat Tindak Tutur

Austin (dalam Rusminto, 2012: 76) mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu.

Tindak tutur adalah teori yang mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana utama komunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, atau permintaan (Searle, dalam Rusminto 2012: 76).

Di dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Rustono (1999: 31) mengemukakan bahwa tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik.Oleh karena sifatnya yang sentral itulah, tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Dalam berkomunikasi setiap penutur akan melakukan kegiatan mengujarkan tuturan.

(3)

2.3 Jenis-Jenis Tindak Tutur

Austin (dalam Rusminto, 2012: 77) mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga klasifikasi yaitu (1) tindak lokusi (locutionary act), (2) tindak ilokusi (illocutionary act), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary act).

Berikut ini uraian dari masing-masing tindak tutur tersebut. 2.3.1 Tindak Tutur Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act of saying something)(Austin dalam Rusminto, 2012:77). Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur.

Leech (dalam Rusminto, 2012: 77) menyatakan bahwa tindak bahasa ini lebih kurang dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan.

Contoh: “It is hot here”, makna lokusinya berhubungan dengan suhu udara di tempat itu. Contoh lain „Saya lapar‟, seseorang mengartikan „Saya‟ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan „lapar‟ mengacu pada „perut kosong dan perlu diisi‟, tanpa bermaksud untuk meminta makanan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

2.3.2 Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing somethings in saying somethings) (Austin dalam Rusminto, 2012: 77). Contohnya, ” Saya lapar‟. Jika tindak tutur lokusi berkaitan dengan makna, maka

(4)

tindak ilokusi berkaitan dengan maksud yang dibawakan oleh preposisinya. Jadi, dalam kalimat “saya lapar” memiliki maksud meminta makanan.

2.3.3 Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan (Austin dalam Rusminto, 2012: 77-78). Tindakan tersebut seperti janji, tawaran, atau pertanyaan yang terungkap dalam tuturan.

Misalnya kata „Saya lapar‟, yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada mitra tutur, yaitu dengan reaksi memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.

2.4 Peristiwa Tutur

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam peristiwa tutur. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan

(5)

peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2009:47). Oleh karena itu, interaksi yang terjadi antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tuturan. Peristiwa serupa juga dapat ditemukan dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, dan sebagainya.

Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau kereta api yang terjadi antara para penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan yang tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat disebut sebagai peristiwa tutur?secara sosiolinguistik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur sebab pokok percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti (Chaer dan Agustina, 2009:48).

Bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu.. Di dalam peristiwa tutur, bermacam-macam tuturan dapat diekspresikan untuk menyatakan satu tujuan tuturan, dan bermacam-macam tuturan dapat dinyatakan untuk tujuan yang sama.

(6)

Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki suatu tujuan (Tarigan, 2009:33). Oleh karena itu, penutur perlu menguasai cara bertutur dengan baik agar segala tuturan yang ingin disampaikan kepada lawan tuturnya dapat diterima dengan baik pula.

2.5 Kesantunan Bertutur 2.5.1 Teori Kesantunan

Leech (1983) adalah salah seorang pakar yang memberi teori kesantunan berbahasa. Leech (dalam Chaer, 2010: 56) mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politenes principles) yang di

jabarkan menjadi maksim (ketentuan). Keenam maksim itu adalah maksim (1) kearifan (tact). (2) kedermawanan (Generosity), (3) pujian (agreement), (6) simpati (simphaty) (Leech, dalam Rusminto, 2012: 111-118).

Berikut ini uraian dari keenam maksim tersebut. 1. Maksim Kearifan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Contoh:

A : “Mari saya bawakan tas Anda.” B : “Tidak usah.”

Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si A sungguh memaksimalkan keuntungan bagi si B.

(7)

2. Maksim Kedermawanan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Contoh :

Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok,

yang kotor.”

Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”

Informasi indeksial:

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.

Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya.

3. Maksim Pujian

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin; b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.

(8)

Contoh :

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas

Bussines English.”

Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari

sini.”

Informasi indeksial:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B.

Pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun.

4. Maksim Kerendahan Hati

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin; b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh :

Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!” Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.

(9)

dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.

1. Maksim Kesepakatan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sesedikit mungkin.

b. Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin.

Contoh :

Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas.

Tuturan di atas terasa santun karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.

2. Maksim Simpati

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.

b. Tingkatkanlah rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.

(10)

Contoh :

Ani : “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.

Sedangkan Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut.

1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.

2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

2.5.2 Skala Kesantunan

Leech (dalam Chaer, 2010:66-69) membagi skala kesantunan sebagai berikut. a. Skala kerugian dan keuntungan (cost benefit scale), merujuk kepada besar

kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri

(11)

penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.

b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.

c. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d. Skala keotoritasan (authority scale) merujuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Skala jarak sosial (social distance scale) merujuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah

(12)

pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.

2.5.3 Kesantunan Linguistik dan Kesantunan Pragmatik

Wujud kesantunan yang menyangkut ciri linguistik akan melahirkan kesantunan linguistik, sedangkan wujud kesantunan yang menyangkut ciri nonlinguistik akan melahirkan kesantunan pragmatik (Rahardi, 2005:158). Dapat disimpulkan bahwa kesantunan secara langsung menggunakan bahasa disebut kesantunan linguistik atau langsung, sedangkan kesantunan secara pragmatik merupakan kesantunan yang menyangkut ciri nonlinguistik, diungkapkan secara tersirat dan tidak langsung. Dalam pertuturan, kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik banyak dijumpai dalam tuturan kalimat imperatif. Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif biasanya diungkapkan dengan kisaran dari tuturan yang sangat keras atau kasar hingga ke tuturan yang paling halus atau santun (Rahardi, 2005: 79). Dengan demikian, jika kita ingin

memerintah atau meminta harus diperhatikan kesantunannya dengan

menggunakan penanda kesantunan dalam kesantunan linguistik atau dengan diungkapkan secara tidak langsung atau disebut kesantunan pragmatik.

(13)

2.5.3.1 Kesantunan Linguistik

Rahardi (2005:118) mengemukakan bahwa kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasa indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan syarat-syarat kinesik, (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan.

2.5.3.1.1 Panjang-Pendek Tuturan

Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang atau pendek suatu tuturan menjadi penentu tuturan tersebut mempunyai makna santun dan penutur dapat diidentifikasi dengan sangat jelas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin panjang suatu tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Selain itu, pada masyarakat bahasa Indonesia basa basi sangat penting kemunculannya pada saat kegiatan bertutur.

Berikut ini disajikan contoh-contoh dari tuturan yang pendek ke tuturan yang panjang.

(1) “Bacakan materi diskusi kita!”

(2) “Bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!”

(3) “Tolong, bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!” Informasi indeksial:

Dituturkan oleh seorang moderator kepada penyaji materi dalam kegiatan diskusi di kelas.

(14)

Tuturan di atas jika dilihat dari panjang pendeknya tuturan, tuturan pertama terlihat sangat pendek sehingga unsur memerintahnya secara langsung, sedangkan tuturan ketiga menggunakan penanda kesantunan tolong sehingga dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang paling panjang memiliki kesantunan yang lebih tinggi.

2.5.3.1.2 Urutan Tuturan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik

Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya seseorang sering mengutarakan maksud-maksud tertentu dengan cara mengatur tata urutan tuturan tersebut. Tuturan yang ditata urutannya dapat terkesan lebih santun.

Berikut ini disajikan contoh.

(1) Ruangan ini akan digunakan rapat, bersihkan meja ini! Cepat! (2) Cepat! Bersihkan meja ini! Ruangan ini akan digunakan rapat.

Tuturan pertama yang memerhatikan tata letak dan urutan terlihat lebih santun.

2.5.3.1.3 Intonasi dan Syarat-Syarat Kinesik sebagai Penentu Tuturan Kesantunan Linguistik

Sunaryanti (dalam Rahardi, 2005:123) menyatakan bahwa intonasi adalah tinggi-rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan.dapat dikatakan bahwa panjang pendek suatu tuturan menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia. Disamping intonasi, kesantunan juga dipengaruhi oleh syarat-syarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur seperti : (1) ekspresi wajah, (2)

(15)

sikap tubuh, (3) gerakan jari-jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan tangan, (6) gerakan pundak, (7) goyangan pinggul, (8) gelengan kepala.

2.5.3.1.4 Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik

Ungkapan penanda kesantunan itu merupakan realisasi dari tuturan yang disampaikan secara santun. Penanda tersebut meliputi hal sebagai berikut.

1. Penanda kesantunan tolong sebagai penentu kesantunan linguistik 2. Penanda kesantunan mohon sebagai penanda kesantunan linguistik 3. Penanda kesantunan silakan sebagai penanda kesantunan linguistik 4. Penanda kesantunan mari sebagai penanda kesantunan linguistik 5. Penanda kesantunan biar sebagai penanda kesantunan linguistik 6. Penanda kesantunan ayo sebagai penanda kesantunan linguistik 7. Penanda kesantunan coba sebagai penanda kesantunan linguistik 8. Penanda kesantunan harap sebagai penanda kesantunan linguistik

9. Penanda kesantunan sudi/kiranya/sudikah/sudi apalah kiranya sebagai penanda kesantunan lingustik.

2.5.3.2 Kesantunan Pragmatik

Makna pragmatik bahasa Indonesia dapat dituturkan dengan cara yang berbeda-beda. Pragmatik imperatif kebanyakan wujudkan dengan tuturan nonimperatif pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna imperatif itu, biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan (Rahardi, 2005: 134). Dengan

(16)

demikian, dalam tuturan pragmatik imperatif, semakin tidak langsung maka semakin santun tuturan tersebut.

2.5.3.2.1 Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Deklaratif

Selain menggunakan kesantunan linguistik, seperti yang telah diungkapkan di atas, kesantunan dapat dilakukan dengan cara kesantunan pragmatik. Kesantunan pragmatik imperatif dapat dituturkan menggunakan tuturan deklaratif. Rahardi (2005: 135) membedakan kesantunan pragmatik yang dituturkan dengan tuturan deklaratif menjadi beberapa macam sebagai berikut.

1. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Suruhan

Tuturan imperatif suruhan dapat diungkapkan menggunakan tuturan deklaratif. Dalam kegiatan bertuturnya, penutur menggunakan tuturan nonimperatif, sehingga seolah-olah terdengar halus karena dituturkan secara deklaratif, tidak langsung menyuruh. Berikut ini contoh tuturannya.

Contoh :

Dosen : “Tugas menerjemahkan surat-surat bisnis sekarang ini tidak dapat dikerjakan tanpa menggunakan kamus.”

Informasi indeksial :

Tuturan itu disampaikan oleh seorang dosen bahasa Inggris kepada para mahasiswanya di dalam kelas saat mengajar penerjemahan.

(17)

2. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan

Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, makna pragmatik ajakan ternyata banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. Pemakaian tuturan yang demikian lazimnya memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi. Karena tuturan itu memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi, dapat dikatakan bahwa di dalam tuturan itu terkandung maksud-maksud kesantunan. Berikut ini contoh tuturan dengan wujud kesantunan pragmatik ajakan dalam tuturan deklaratif.

Ibu : “Ayah, nanti sore ibu tidak ada pengajian. Kata Pak Kades akan ada rapat dalam rangka memperingati satu Muharam di masjid kita.”

Ayah : “Iya, nanti dengan Ayah saja berangkatnya.” Informasi indeksial :

Dituturkan seorang istri pada suaminya agar sang suami bersedia menemani untuk menghadiri pertemuan di balai desa.

3. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan

Di dalam komunikasi yang sesungguhnya, seringkali didapatkan bahwa makna imperatif memohon tidak diungkapkan dengan tuturan-tuturan memohon. Bentuk deklaratif ternyata banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik memohon. Dengan menggunakan tuturan deklaratif itu, tuturan yang semula terlalu kentara memohon, akan menjadi tidak kentara dan dapat dipandang lebih santun (Rahardi, 2005: 138). Berikut ini contohnya :

(18)

Guru :”Pak, sepertinya siang ini banyak guru yang akan ke Kantor Dinas Pendidikan untuk mengumpulkan berkas sertifikasi.”

Kepala Sekolah :”Kalau begitu, rapat kita tunda besok saja.”

4. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan

Dalam komunikasi sehari-hari, seringkali ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif persilaan diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkonotasi deklaratif. Dengan cara yang demikian, makna pragmatik imperatif persilaan itu dapat diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005: 140).

Contoh tuturan berikut untuk memperjelas uraian di atas.

Mahasiswa : ”Maaf Pak, apakah kami dapat datang ke rumah untuk

meyerahkan bab I dan bab II sekaligus?”

Dosen : ” Baik. Pukul lima sore saya ada di rumah.”

5. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan

Makna imperatif larangan seringkali diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. Dengan demikian, ciri ketidaklangsungan tuturan tersebut sangat tinggi. Karena mengandung ketidaklangsungan yang tinggi, tuturan tersebut juga terkandung maksud-maksud kesantunan (Rahardi, 2005: 141).

(19)

Berikut contoh tuturan deklaratif yang menyatakan makna imperatif larangan. (1) “Memecahkan berarti membeli.”

Informasi indeksial : bunyi peringatan di sebuah toko swalayan. (2) “Tidak menerima tamu, sedang ada rapat.”

Informasi indeksial : bunyi peringatan di depan ruang kepala personalia sebuah perusahaan.

2.5.3.2.2 Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Interogatif

Sama halnya dengan tuturan deklaratif, tuturan interogatif digunakan untuk menyatakan makna kesantunan imperatif. Berbagai macam tuturan interogatif yang menyatakan makna imperatif sebagai berikut.

1. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Perintah

Biasanya tuturan interogatif digunakan untuk menanyakan sesuatu kepada mitra tutur. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari sering dijumpai tuturan interogatif yang digunakan yang bermakna pragmatik perintah.

Contoh :

(1) Komandan : “Apakah lokasi sudah diamankan?”

(2) Prajurit : “Kami akan segera kembali ke lokasi, Komandan.”

Informasi: :

Tuturan ini merupakan cuplikan sebuah instruksi militer seorang pemimpin kepada anak buahnya pada saat diadakan apel siaga.

(20)

2. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan

Maksud imperatif ajakan akan terasa lebih santun jika diungkapkan dengan tuturan interogatif daripada diungkapkan dengan tuturan imperatif. Berikut ini contoh tuturan interogatif yang menyatakan makna imperatif ajakan.

(1) Anak : “ Aduh Pak, perutku sakit. Masih lama tidak ya?” Bapak : “ Sebentar Nak, Bapak nyalakan motor dulu.” Informasi indeksial :

Tuturan ini disampaikan seorang anak yang perutnya sakit karena lapar kepada bapaknya dan mengajak sang bapak membeli makanan ke pasar.

3. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan

Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, sering dijumpai tuturan interogatif yang memiliki maksud imperatif permohonan. Dengan digunakannya tuturan interogatif itu, maksud imperatif permohonan akan dapat diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005: 145-146).

Berikut ini contoh tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan.

Pasien : “Dokter, apakah saya akan diberi obat antibiotik lagi?Tahun lalu saya alergi karena obat itu lho Dok.”

Informasi indeksial :

Dituturkan oleh seorang pasien kepada dokter di ruang praktik. Tuturan diungkapkan dengan tuturan interogatif dengan maksud permohonan agar tidak diberi obat yang menyebabkan alergi.

(21)

4. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan

Bentuk persilaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya digunakan dalam situasi formal dengan penuh basa basi. Situasi yang dapat ditemukan misalnya dalam kegiatan resmi dan perayaan tertentu (Rahardi, 2005: 147).

Misalnya :

Siswa : “Sudah ditunggu pak, apakah Bapak bersedia pidato

sekarang?”

Kepala Sekolah : “Apakah para pesertanya sudah di dalam?” Informasi indeksial :

Dituturkan seorang siswa kepada kepala sekolah untuk mempersilakan memberi pidato pada peringatan HUT sekolah.

5. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan

Di dalam menyatakan makna imperatif larangan dapat digunakan tuturan interogatif agar terdengar santun.

Misalnya :

Guru : “Siapa yang mau mendapat hukuman karena ribut di kelas? Informasi indeksial :

(22)

2.5.4 Konteks

Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga sebaliknya konteks baru memiliki fungsi dalam situasi interaksi yang diciptakan, tetapi fungsi bahasa juga membentuk dan menciptakan situasi tertentu dalam interaksi yang sedang terjadi (Duranti dalam Rusminto, 2012:54).

2.5.4.1 Jenis-Jenis Konteks

Dengan cara yang lebih konkret, Syafi‟ie (dalam Rusminto, 2012: 55) membedakan konteks ke dalam empat klasifikasi yaitu sebagai berikut.

1. Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi.

2. Konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur.

3. Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului atau mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi, konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks. 4. Konteks sosial yakni relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan

(23)

2.5.4.2 Unsur-Unsur Konteks

Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49) mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING, yakni sebagai berikut.

a. Setting and Scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang bahasa yang berbeda. Berada di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola seseorang biasa berbicara keras-keras tetapi di ruang perpustakaan sedapat mungkin pelan.

b. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam atau gaya bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan ketika berbicara dengan teman sebayanya.

(24)

d. Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran itu berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

e. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan

disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

f. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek, fragam, dan register.

g. Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan yang dipakai pada suatu peristiwa tutur, juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

h. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.6 Diskusi

2.6.1 Pengertian Diskusi

Diskusi berasal dari bahasa latin, yakni discutere yang berarti membeberkan masalah. Sesuai dengan hakikatnya, diskusi merupakan suatu proses berpikir bersama untuk memahami suatu masalah dan menemukan sebabnya (Yustinah, 2008 : 108). Sejalan dengan pendapat di atas, Parera (1988: 183) mengemukakan bahwa diskusi merupakan satu bentuk pembicaraan secara teratur dan terarah.

(25)

Diskusi adalah salah satu metode pembelajaran agar siswa dapat berbagi pengetahuan, pandangan, dan keterampilannya. Tujuan diskusi adalah untuk

mengeksplorasi pendapat atau pandangan yang berbeda dan untuk

mengidentifikasi berbagai kemungkinan (Arsjad dan Mukti, 1988: 40).

2.6.2 Keunggulan Diskusi

Arsjad dan Mukti (1988 40) mengemukakan keunggulan diskusi antara lain sebagai berikut.

1. Diskusi lebih banyak melatih siswa/mahasiswa berpikir secara logis, karena dalam diskusi ada proses adu argumentasi.

2. Argumentasi yang dikemukakan mendapat penilaian dari anggota yang

lain, sehingga hal ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir dalam memecahkan suatu masalah.

3. Umpan balik dapat diterima secara langsung, sehingga hal ini dapat memperbaiki cara berbicara si pembicara, baik yang menyangkut faktor kebahasaan maupun nonkebahasaan.

4 Peserta yang pasif dapat dirangsang supaya aktif berbicara oleh moderator

atau peserta lain.

5. Para peserta diskusi turut memberikan saran, turut mempertimbangkan gagasan yang berbeda-beda, dan turut merumuskan persetujuan bersama tanpa emosi untuk menang sendiri.

(26)

2.6.3 Manfaat Diskusi

Diskusi memiliki manfaat sebagai berikut. 1. Pelaksanaan sikap demokrasi.

2. Pengujian sikap toleransi.

3. Pengembangan kebebasan pribadi. 4. Pengembangan latihan berfikir.

5. Penambahan pengetahuan dan pengalaman.

6. Kesempatan pengejawantahan sikap intelijen dan kreatif.

Parera ( 1988: 184) mengemukakan bentuk-bentuk diskusi sebagai berikut. a. Yang terbatas : konferensi, komisi, wawancara, brainstorming.

b. Yang terbuka/umum : debat, forum, seminar, panel, simposium, diskusi kelompok, mimbar (wawancara TV dan radio).

2.6.4 Tujuan Diskusi

Tujuan diskusi dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal sebagai berikut. 1. Tujuan dan kebutuhan logis

Diskusi menjadi tempat konsultasi untuk menambah pengetahuan, mendapat informasi, meluaskan pengalaman, dan meminta pandangan. Disamping itu, diskusi menjadi tempat koordinasi karena adanya kontak dan komunikasi

2. Tujuan dan kebutuhan manusia

Diskusi menjadi tempat untuk mendapatkan pengakuan/penghargaan,

menampilkan kelompok atau individu, menyatakan partisipasi,

(27)

3. Tujuan dan kebutuhan diskusi itu sendiri

Diskusi menjadi tempat tukar menukar informasi, tempat mempertajam pengertian dan pendapat, tempat konsultasi dan pengunggahan pendapat, tempat menyiasati, menganalisis, menyelesaikan masalah, memberikan motivasi dan keyakinan, mengembangkan kerja sama dan meramalkan partisipasi.

Unsur-Unsur dalam Diskusi

Parera (1988: 184) menyatakan diskusi memiliki beberapa unsur sebagai berikut.

1. Unsur manusia yaitu moderator, pembicara/pemrasaran, dan

pendengar/peserta diskusi.

2. Unsur materi yaitu tema atau topik pembicaraan.

3. Unsur fasilitas yaitu ruangan, tempat duduk, alat-alat tulis.

Proses Berpikir dalam Diskusi

Diskusi adalah kegiatan berbicara dan mengeluarkan pendapat, maka jelaslah ada tuntutan kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki yaitu sebagai berikut.

a. Kemampuan mengutarakan pendapat dengan bahasa.

b. Kemampuan mengutarakan pendapat secara analitis, logis, dan kreatif.

2.6.5 Kesantunan Berdiskusi

Di dalam diskusi terdapat ketentuan yang harus dipatuhi. Peraturan itu menyangkut tata krama berdiskusi, dan lazimnya disebut santun diskusi. Ada beberapa hal yang merupakan santun diskusi, yakni sebagai berikut.

(28)

1) Seorang moderator tidak boleh memihak, dan harus bertindak adil pada setiap peserta.

2) Seorang moderator tidak boleh menguasai seluruh jalannya diskusi, dan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta.

3) Setiap peserta diskusi harus dapat menghargai peserta lain

berbicara/berpendapat, sehingga tidak memotong pembicaraan, sekalipun kurang sependapat dengan pendapat yang dikemukakan peserta lain.

4) Setiap peserta harus mematuhi tata tertib diskusi dan

mengendalikanpembicaraannya sehingga pembicarannya relevan dengan topik yang didiskusikan dan tidak melenceng dari tema atau tujuan diskusi. 5) Setiap peserta diskusi harus patuh pada moderator sehingga ia berbicara

setelah diperbolehkan oleh moderator.

6) Jika peserta diskusi kurang sependapat dengan pendapat peserta lain, ia tidak boleh menolak secara kasar. Jika keberatan pada pendapat peserta lain, disampaikan dengan kata-kata yang halus, sopan, dan tidak menyakiti hati, serta memberikan argumentasi yang logis dan meyakinkan.

7) Setiap peserta harus berlapang dada dalam menerima hasil diskusi.

Kegiatan diskusi akan berjalan baik dan lancar jika peserta diskusi mengetahui tata cara diskusi dan tugas-tugasnya sebagai peserta. Tarigan (2009: 46) menguraikan tugas-tugas peserta diskusi sebagai berikut.

1. Turut mengambil bagian dalam diskusi.

2. Berbicaralah hanya kalau ketua mempersilakan kita. 3. Berbicaralah dengan tepat dan tegas.

(29)

4. Kita harus dapat menunjang pernyataan-pernyataan kita dengan fakta fakta, contoh-contoh, atau pendapat-pendapat para ahli.

5. Ikutilah dengan seksama dan penuh perhatian terhadap diskusi yang sedang berlangsung.

6. Dengarkanlah dengan penuh perhatian.

7. Bertindaklah dengan sopan santun dan bijaksana.

Di samping ada sikap untuk menyukseskan diskusi, tentu saja ada sikap-sikap yang dapat menghambat jalannya sebuah diskusi.

Sikap-sikap yang dapat menghambat diskusi dan dapat mengurangi kesantunan dalam diskusi yaitu sebagai berikut.

1. Sikap agresif dan reaksioner.

2. Sikap menutup diri, takut mengeluarkan pendapat.

3. Terlalu banyak bicara, bicara berbelit-belit atau bicara berbisik-bisik dengan teman di samping.

Referensi

Dokumen terkait

pengawasan jarak jauh, dapat melalui laporan tertulisa maupun lisan dari karyawan pelaksana kegiatan. Peningkatan efektivitas, efesiensi, dan produktivitas kerja perlu

Ada enam contoh sikap yang yang mencerminkan sikap saling menghargai dalam menghargai perbedaan antara dirinya dan orang lain ditemukan dalam novel Surga yang Tak Dirindukan

Pelatihan PIC Indikator ditujukan kepada petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan rekapitulasi, menganalisis, dan melaporkan data capaian indikator yang sudah diukur

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Informasi tersebut menunjukkan bahwa isi pesan yang disampaikan dalam strategi komunikasi program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Sentra Usahtama Jaya

Al-Qur‟an sebagai kitab suci (kitâbun muthahharah) maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur‟an

Dapat disimpulkan bahwa fraksi etanol dari ekstrak etanol 70% buah pare (Momordica charantia L.) memiliki sifat sitotoksik terhadap sel HeLa yang masuk dalam rentang amat

didukung oleh ekspor yang cenderung meningkat sejalan dengan membaiknya harga komoditas internasional. Sementara itu, impor nonmigas diprakirakan cenderung melemah di tengah