• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD - NARTI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD - NARTI BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan santun, baik lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil kesusastraan manusia Indonesia. Penyusunan silabus dan rencana pembelajaran Bahasa Indonesia harus memperhatikan hakikat bahasa sebagai sarana berkomunikasi dan pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang digunakan hendaknya kontekstual.

Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) Bahasa Indonesia SD/MI yaitu : a. Mendengarkan

Memahami wacana lisan berbentuk perintah, penjelasan, petunjuk, pesan, pengumuman, berita, deskripsi berbagai peristiwa dan benda di sekitar, serta karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.

b. Berbicara

(2)

c. Membaca

Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana berupa petunjuk, teks panjang, dan berbagai karya sastra untuk anak berupa puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita dan drama

d. Menulis

Melakukan berbagai jenis kegiatan menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk karangan sederhana, petunjuk, surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, parafrase, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun.

Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, secara umum telah diamanatkan oleh Standar Isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (Tim BSNP). Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut :

a. berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan.

b. menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.

c. memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

d. menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

e. menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

f. menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia

(BSNP, 2006 : 78) 2. Pengertian Membaca

(3)

dari komunikasi tulisan (Tampubolon, 1990: 5). Pendapat lain menunjukkan bahwa membaca adalah aktivitas audiovisual untuk memperoleh makna dari symbol berupa huruf atau kata (Yusuf dkk., 2003: 69). Aktivitas ini meliputi dua proses, yaitu proses decoding yang di kenal dengan istilah membaca teknis dan proses pemahaman. Membaca teknis adalah proses pemahaman atas hubungan antara huruf (grafem) dan bunyi (fonem) atau menerjemahkan kata-kata tercetak menjadi bahasa lisan atau sejenisnya. Sedangkan membaca pemahaman adalah proses menangkap makna.

Menurut Hidayat (1990: 43-45) membaca adalah menggali informasi dari berbagai jenis teks, sesuai dengan tujuan membaca. Menurutnya membaca juga merupakan ketrampilan yang cukup rumit, sehingga untuk membuktikannya perlu alat ukur yang memang untuk menguji ketrampilan itu. Pendapat lain mengatakan bahwa membaca merupakan ketrampilan berbahasa yang berhubungan dengan ketrampilan berbahasa yang lain. Membaca juga merupakan suatu proses aktif yang bertujuan dan memerlukan strategi. Hal ini didukung oleh beberapa definisi berikut. Hudgson (dalam Tarigan, 2008:7) mengemukakan bahwa membaca ialah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis.

(4)

menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu. Definisi ini sesuai dengan membaca pada tingkat lanjut, yakni membaca kritis dan membaca kreatif.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa membaca adalah proses pengucapan tulisan untuk mendapatkan isinya. Pengucapan tidak selalu dapat didengar, misalnya membaca dalam hati. Selanjutnya, membaca merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari menyimak, berbicara, dan menulis. Sewaktu membaca, pembaca yang baik akan memahami bahan yang dibacanya. Selain itu, dia bisa mengomunikasikan hasil membacanya secara lisan atau tertulis. Dengan demikian, membaca merupakan keterampilan berbahasa yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa lainnya. Jadi, membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa, proses aktif, bertujuan, serta memerlukan strategi tertentu sesuai dengan tujuan dan jenis membaca.

(5)

merupakan kegiatan menangkap maksud dari kelompok-kelompok kata yang membawa makna.

Dari beberapa butir hakikat membaca tersebut, dapat dikemukakan bahwa membaca pada hakikatnya adalah suatu proses yang bersifat fisik dan psikologis. Proses yang berupa fisik berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual dan merupakan proses mekanis dalam membaca. Proses mekanis tersebut berlanjut dengan proses psikologis yang berupa kegiatan berpikir dalam mengolah informasi. Proses psikologis itu dimulai ketika indera visual mengirimkan hasil pengamatan terhadap tulisan ke pusat kesadaran melalui sistem syaraf. Melalui proses decoding gambar-gambar bunyi dan kombinasinya itu kemudian diidentifikasi, diuraikan, dan diberi makna. Proses decoding berlangsung dengan melibatkan knowledge of the world dalam skemata yang berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam gudang ingatan.

3. Tujuan Membaca

Rivers dan Temperly (1978) dalam Hairudin (2010: 5) mengajukan tujuh tujuan utama dalam membaca, yaitu:

a. untuk memperoleh informasi untuk suatu tujuan atau merasa penasaran tentang suatu topik.

b. untuk memperoleh berbagai petunjuk tentang cara melakukan suatu tugas bagi pekerjaan atau kehidupan sehari-hari (misalnya, mengetahui cara kerja alat-alat rumah tangga).

c. untuk berakting dalam sebuah drama, bermain game, menyelesaikan teka-teki.

(6)

e. untuk mengetahui kapan dan di mana sesuatu akan terjadi atau apa yang tersedia.

f. untuk mengetahui apa yang sedang terjadi atau telah terjadi (sebagaimana dilaporkan dalam koran, majalah, laporan).

g. untuk memperoleh kesenangan atau hiburan.

Ada beberapa tujuan membaca menurut Anderson dalam(Hairudin 2010: 6). Tujuan membaca itu adalah: (1) menemukan detail atau fakta. (2) menemukan gagasan utama. (3) menemukan urutan atau organisasi bacaan. (4) menyimpulkan. (5) mengklasifikasikan: (6) menilai.dan (7) membandingkan atau mempertentangkan. Selanjutnya, Nurhadi (1989:11) menyebutkan bahwa tujuan membaca secara khusus adalah: (1) mendapatkan informasi faktual. (2) memperoleh keterangan tentang sesuatu yang khusus dan problematis. (3) memberi penilaian terhadap karya tulis seseorang. (4) memperoleh kenikmatan emosi. dan (5) mengisi waktu luang. Sebaliknya secara umum, tujuan membaca adalah: (1) mendapatkan informasi. (2) memperoleh pemahaman. dan (3) memperoleh kesenangan.

Hubungan antara tujuan membaca dengan kemampuan membaca sangat signifikan. Pembaca yang mempunyai tujuan yang sama, dapat mencapai tujuan dengan cara pencapaian berbeda-beda. Tujuan membaca mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam membaca karena akan berpengaruh pada proses membaca dan pemahaman membaca. Jadi tujuan membaca secara ringkas adalah untuk memperoleh informasi secara menyeluruh, memperoleh pemahaman dan kesenangan.

4. Jenis-jenis Membaca

(7)

pemahaman, kritis, dan membaca ide-ide. Membaca telaah bahasa terdiri dari membaca bahasa dan membaca sastra.

Jenis membaca menurut Giehrl dalam Franz (1994: 9) ada empat jenis membaca yaitu : (a) membaca informatoris, (b) membaca evasoris, (c) menbaca kognitif, (d) membaca literaris.Menurut hidayat (1990: 45) jenis membaca ada dua yaitu : (1) membaca global, (2) membaca rinci. Sedangkan jenis membaca menurut Nurhadi (1987: 143) ada tiga macam, yakni membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Pada materi ini jenis membaca yang akan dibahas adalah membaca nyaring, membaca ekstensif, dan membaca intensif. Berikut ini, jenis-jenis membaca tersebut, akan dibahas satu persatu.

a. Membaca Nyaring

(8)

Menurut Kamidjan (1996: 9-10) ada lima aspek dalam membaca nyaring yaitu: (1) membaca dengan pikiran dan perasaan pengarang. (2)memerlukan keterampilan menafsirkan lambang-lambang grafis. (3)memerlukan kecepatan pandangan mata. (4) memerlukan keterampilan membaca, terutama mengelompokkan kata secara tepat. dan (5) memerlukan pemahaman makna secara tepat. Dalam membaca nyaring, pembaca memerlukan beberapa keterampilan, antara lain: (1)penggunaan ucapan yang tepat. (2) pemenggalan frasa yang tepat. (3)penggunaan intonasi, nada, dan tekanan yang tepat. (4) penguasaan tanda bacaa dengan baik. (5) penggunaan suara yang jelas. (6)penggunaan ekspresi yang tepat. (7) pengaturan kecepatan membaca. (8) pengaturan ketepatan pernafasan. (9) pemahaman bacaan. dan (10)pemilikan rasa percaya diri.

b. Membaca Ekstensif

Membaca ekstensif merupakan proses membaca yang dilakukan secara luas,bahan yang digunakan bermacam-macam dan waktu yang digunakan cepat serta singkat. Tujuan membaca ekstensif adalah sekadar memahami isi yang penting dari bahan bacaan dengan waktu yang singkat dan cepat. Broughton, et.al. (dalam Tarigan, 2008: 31) menyebutkan bahwa yang termasuk membaca ekstensif adalah (1) membaca survey, (2) membaca sekilas, dan (3) membaca dangkal.

(9)

umum suatu bacaan atau bagian-bagiannya. Membaca sekilas merupakan salah satu teknik dalam membaca cepat.

Soedarso (2001: 88-89) menyatakan bahwa skimming adalah suatu keterampilan membaca yang diatur secara sistematis untuk mendapatkan hasil yang efisien dengan tujuan untuk mengetahui: 1) topik bacaan,

2) pendapat orang,

3) bagian penting tanpa membaca seluruhnya, 4) organisasi tulisan, dan

5) menyegarkan apa yang pernah dibaca.

Selanjutnya, membaca dangkal merupakan kegiatan membaca untuk memperoleh pemahaman yang dangkal dari bahan bacaan ringan yang kita baca. Tujuan membaca dangkal adalah untuk mencari kesenangan.

c. Membaca Intensif

(10)

d. Membaca Pemahaman

Menurut Tarigan (2008: 37), dilihat dari kemampuan membacanya, ada tiga jenis keterampilan membaca pemahaman, yaitu: (1) membaca literal, (2) membaca kritis, dan (3) membaca kreatif. Masing-masing jenis keterampilan membaca tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan pengajaran membaca, tiga keterampilan membaca pemahaman ini perlu diajarkan secara terus-menerus. Setiap pertanyaan bacaan dalam buku teks harus selalu mencerminkan keterampilan membaca tersebut.

1) Kemampuan membaca literal adalah kemampuan pembaca untuk mengenal dan menangkap isi bacaan yang tertera secara tersurat (eksplisit). Artinya, pembaca hanya menangkap informasi yang tercetak secara literal (tampak jelas) dalam bacaan. Informasi tersebut ada dalam baris-baris bacaan (reading the lines). Pembaca tidak menangkap makna yang lebih dalam lagi, yaitu makna di balik baris-baris. Yang termasuk dalam keterampilan membaca literal antara lain keterampilan: (1) mengenal kata, kalimat, dan paragraf. (2) mengenal unsur detail, unsur perbandingan, dan unsur utama. (3) mengenal unsur hubungan sebab akibat. (4) menjawab pertanyaan (apa, siapa, kapan, dan di mana). dan (5) menyatakan kembali unsur perbandingan, unsur urutan, dan unsur sebab akibat.

(11)

dan kesesuaian antargagasan. (14) menilai kesesuaian antara judul dan isi bacaan. (15) membuat kerangka bahan bacaan. dan (16) menemukan tema karya sastra.

3) Kemampuan membaca kreatif merupakan tingkatan tertinggi dari kemampuan membaca seseorang. Artinya, pembaca tidak hanya menangkap makna tersurat (reading the lines), makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines), tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingan sehari-hari. Beberapa keterampilan membaca kreatif yang perlu dilatihkan antara lain keterampilan: (1) mengikuti petunjuk dalam bacaan kemudian menerapkannya. (2) membuat resensi buku. (3) memecahkan masalah sehari-hari melalui teori yang disajikan dalam buku. (4) mengubah buku cerita (cerpen atau novel) menjadi bentuk naskah drama dan sandiwara radio. (5) mengubah puisi menjadi prosa. (6) mementaskan naskah drama yang telah dibaca. dan (7) membuat kritik balikan dalam bentuk esai atau artikel populer.

Selain ketiga kemampuan membaca pemahaman tersebut di atas, yang termasuk membaca pemahaman antara lain juga membaca cepat. Jenis membaca ini bertujuan agar pembaca dalam waktu yang singkat dapat memahami isi bacaan secara tepat dan cermat. Jenis membaca ini dilaksanakan tanpa suara (membaca dalam hati). Bahan bacaan yang diberikan untuk kegiatan ini harus baru (belum pernah diberikan kepada siswa) dan tidak boleh terdapat banyak kata-kata sukar, ungkapan-ungkapan yang baru, atau kalimat yang kompleks. Kalau ternyata ada, guru harus memberikan penjelasan terlebih dahulu, agar siswa terbebas dari kesulitan memahami isi bacaan karena terganggu oleh masalah kebahasaan.

5. Tahap-tahap Membaca

Menurut Tarigan (2008: 18-20) tahap – tahap membaca meliputi : Tahap I

(12)

cerita sederhana mengenai hal-hal yang telah dialami.Dalam tahap ini, perlu ada bimbingan untuk mengembangkan atau meningkatkan responsi-responsi visual yang otomatis terhadap gambarangambaran huruf yang akan dilihat pada gambaran cetakan. Selain itu harus benar-benar memahami bahwa kata-kata tertulis itu mewakili atau menggambarkan bunyi-bunyi.

Tahap II

Menyusun kata-kata serta struktur-struktur dari bahasa asing yang telah diketahui menjadi bahan dialog atau paragraf yang beraneka ragam. Pada tahap ini pembaca perlu dibimbing dalam membaca bahan yang baru disusun.

Tahap III

Membaca bahan yang berisi sejumlah kata dan struktur yang masih asing atau belum biasa. Beberapa percobaan informal telah menunjukkan bahwa pembaca mengalami sedikit kesulitan bahkan tidak mengalami kesulitan sama sekali menghadapi sebuah kata baru yang diselipkan di antara tiga puluh kata biasa.Pada tahap ini, acapkali teks-teks tata bahasa berisi paragraf-paragraf atau pilihan-pilihan yang sesuai buat bacaan. Tahap IV

Pada tahap ini, beberapa spesialis dalam bidang membaca menganjurkan penggunaan teks-teks sastra yang telah disederhanakan atau majalah-majalah sebagai bahan bacaan.

Tahap V

Pada tahap ini seluruh dunia buku terbuka, dalam pengertian bahan bacaan tidak dibatasi.

6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Membaca

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses pemahaman. Faktor- faktor tersebut adalah: (a) faktor kognitif,(b) faktor afektif, (c) faktor teks bacaan,dan (d) faktor penguasaan bahasa. Faktor yang pertama berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, dan tingkat

(13)

kemampuan berbahasa yang berkaitan dengan penguasaan perbendaharaan kata, struktur, dan unsur-unsur kewacanaan.

7. Hubungan Membaca Pemahaman dengan Perkembangan Kognitif Siswa Menurut Taksonomi Bloom

Secara garis besar Bloom dalam Arikunto (2009: 117) bersama kawan-kawan merumuskan tujuan – tujuan pendidikan pada 3 tingkatan yaitu :

a. kategori tingkah laku yang masih verbal;

b. perluasan kategori menjadi sederetan tujuan;

c. tingkah laku konkret yang terdiri dari tugas-tugas (taks) dalam pertanyaan – pertanyaan sebagai ujian dan butir-butir soal.

Dari ketiga tujuan pendidikan itu muncullah 3 ranah atau domain besar yang selanjutnya disebut taksonomi yaitu : (1) ranah kognitif (cognitive domain), (2) ranah afektif (affective domain), (3) ranah psikomotor (psychomotor domain), ranah kognitif itu sendiri terbagi dalam 6 tingkatan yaitu :

(1) pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (comprehension), (3) aplikasi (application), (4) analisis (analysis), (5) sintesis (synthesis), (6) evaluasi (evaluation).

Cognitive domain (ranah kognitif), yang berisi perilaku-perilaku

(14)

(bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.

Pengetahuan (knowledge), berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan lain sebagainya. Dalam membaca pemahaman juga terdapat istilah definisi, adanya fakta-fakta, gagasan pokok, pola urutan tertentu.

Pemahaman (comprehension), dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dan sebagainya. Sebagai contoh, orang pada level ini bisa memahami apa yg diuraikan dalam bacaan.

Aplikasi (application) di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dan sebagainya di dalam kondisi kerja atau praktek.

(15)

Sintesis (synthesis), satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah masalah yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan.

Evaluasi (evaluation), dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dan sebagainya dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

Hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan kognitif dari taksonomi Bloom adalah bahwa dalam proses membaca pemahaman juga ada proses mengenal (recognition), mengungkap atau mengingat kembali (recall), pemahaman (compprehenson), penerapan (application), analisis (analysis), sistesis (synthesis) dan evaluasi

(evaluation).

8. Membaca Pemahaman dan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

(16)

2006: 45) menyatakan bahwa proses mambaca sulit didefinisikan secara tepat karena proses itu dipengaruhi banyak faktor.

Terdapat sejumlah teori tentang proses pemahaman dengan memperhatikan perbedaan berbagai faktor. Sebagai contoh , penelitian Geyer (1972) (dalam Resmini, 2006: 45) menemukan sejumlah 77 model membaca yang digolongkan menjadi 2 kategori yaitu :

a. Komponen-komponen yang digabung bersama-sama dan tidak memiliki

identitas individual di dalam keseluruhan proses membaca yang disebut dengan proses total.

b. Komponen-komponen yang merupakan bagian-bagian yang berfungsi dalam hubungannya dengan bagian lainnya tetapi dapat dengan tinggi dilacak dari asalnya disebut dengan proses membaca disusun atas kombinasi sub ketrampilan yang dapat dipisah-pisahkan.

Menurut Syamsudin (2007: 141) soal cerita adalah soal matematika yang disusun dalam bentuk cerita yang melibatkan operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian. Sedangkan pengertian soal cerita menurut Abidin (1989: 10) mengemukakan bahwa soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan sehari– hari atau masalah lainnya. Bobot masalah yang diungkapkan akan mempengaruhi panjang pendeknya cerita tersebut. Makin besar bobot masalah yang diungkapkan, memungkinkan panjang cerita yang disajikan.

(17)

berkaitan dengan kenyataan yang ada di lingkungan siswa. Penyajian soal dalam bentuk cerita merupakan usaha menciptakan suatu cerita untuk menerapkan konsep yang sedang dipelajari sesuai dengan pengalaman sehari-hari. Biasanya siswa akan lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah atau soal-soal yang ada hubungannya dengan kehidupannya. Siswa diharapkan dapat menafsirkan kata-kata dalam soal, melakukan kalkulasi dan menggunakan prosedur-prosedur relevan yang telah dipelajarinya.

Soal cerita melatih siswa berpikir secara analisis, melatih kemampuan menggunakan tanda operasi hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian), serta prinsip-prinsip atau rumus-rumus dalam geometri yang telah dipelajari. Di samping itu juga memberikan latihan dalam menterjemahkan cerita-cerita tentang situasi kehidupan nyata ke dalam bahasa Indonesia. Sejalan dengan yang dikemukakan Sugondo (dalam Syamsuddin, 2003: 226) bahwa latihan memecahkan soal cerita penting bagi perkembangan proses secara matematis, menghargai matematika sebagai alat yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan akhirnya anak akan dapat menyelesaikan masalah yang lebih rumit.

(18)

pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah pemecahan masalah karena lebih mementingkan proses daripada hasil.

Seperti halnya pengajaran matematika pada umumnya, dalam pembelajaran soal cerita peserta didik sering berhadapan dengan masalah. Masalah tersebut bisa muncul dalam kegiatan belajar mengajar tanpa disadari dan sebaliknya bisa juga sengaja dimunculkan oleh guru karena tuntutan strategi belajar mengajar yang dipergunakan.“Toward the Theory of Instruction” bahwa ada tiga tahapan supaya anak dapat belajar

dengan baik. Ketiga tahapan itu adalah: (1) enactive/konkrit, (2) econic/semi konkrit, dan (3) symbolic/abstrak.

Jenis soal cerita ada beberapa macam, tiga di antaranya soal cerita berjenis deskriptif, naratif dan ekspositif perbandingan. Menurut Suparno (2008: 4.25) soal cerita deskriptif adalah soal certa yang mendeskripsikan atau memerikan, menggambarkan atau melukiskan suatu objek sehingga pembaca memiliki penghayatan seolah-olah menyaksikan atau mengalami sendiri. Soal cerita naratif adalah soal cerita yang menyajikan serangkaian peristiwa, kejadian menurut urutan tertentu sehingga pembaca dapat mengambil intisari dari cerita tersebut. Sedangkan soal cerita ekspositif perbandingan adalah soal cerita bertujuan utama untuk memberitahu, mengupas, menguraikan atau menerangkan sesuatu dengan cara membandingkan.

(19)

matematika apa pun bentuknya. Siswa yang terlatih menyelesaikan soal cerita maka akan cepat memahami bacaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman siswa. Dengan demikian ada hubungan antara kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika deskrptif, naratif dan ekspositif perbandingan dengan kemampuan membaca pemahaman.

B. Penelitian yang relevan

Jaskun Winarti, dengan penelitiannya yang berjudul “Pembelajaran Membaca Pemahaman Dengan Pendekatan Pragmatik Terhadap Siswa

Dalam Penalaran Soal Matematika Berbasis Cerita Pada Kelas IX Di SMP

Negeri 6 Cilacap” (2009, Program Studi Pendidikan Bahasa Universitas Widya Dharma Klaten) menunjukkan bahwa tipe soal matematika berbasis cerita dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan analisis terhadap isi soal cerita dapat terungkap bahwa siswa dituntut mampu menggunakan penalarannya terkait dengan penggunaan matematika dalam kehidupan nyata/ sehari – hari. Dengan demikian peneliti ini mengkaji pembelajaran pendekatan pragmatik terhadap penalaran siswa pada soal matematika berbasis cerita.

(20)

Penelitiannya dilakukan dengan metode eksperimen melalui pendekatan Control Group Pre – test Post – test. Teknik pengambilan sampel

penelitiannya dilakukan menggunakan Simple Random Sampling.

Hasil penelitiannya menunjukkan : (1) pembelajaran membaca pemahaman melalui pendekatan ceramah tidak dapat meningkatkan penalaran siswa terhadap soal matematika berbasis cerita. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Asymp. Sign 0.836 yang berada di atas 0.05; (2) pembelajaran membaca pemahaman melalui pendekatan pragmatik dapat meningkatkan penalaran siswa terhadap soal matematika berbasis cerita. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Asymp. Sign 0.000 berada jauh di bawah 0.05; (3) perbedaan antara pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan pragmatik dengan ceramah; (4) pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan pragmatik. .pada soal matematika berbasis cerita: (a) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap konteks dan makna serta mampu mengungkapkan secara lisan dari soal matematika berbasis cerita; (b) Menjadikan siswa memiliki kemampuan menuliskan operasi hitungan pada soal matematika berbasis cerita; (c) menjadikan siswa melakukan perhitungan matematika dengan tepat dan benar dari soal matematika berbasis cerita, sehingga prestasi matematika siswa meningkat.

Oleh karena itu prestasi siswa meningkat. Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran melalui pendekatan pragmatik dapat meningkatkan penalaran siswa terhadap soal matematika berbasis cerita.

Penelitian kedua dilakukan Komarudin dalam tesisnya berjudul “Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Melalui Pembelajaran Pemecahan Masalah Bersetting Kooperatif Pada Siswa Kelas V SDN

Tanjungrejo 1 Kota Malang (2008)”. Menurutnya kesulitan siswa dalam

(21)

mendominasi kegiatan belajar mengajar. Siswa hanya mendengar, memperhatikan contoh yang diberikan guru, kemudian mengerjakan latihan soal. Bentuk pembelajaran seperti ini kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya, akibatnya siswa hanya bekerja secara prosedural. Siswa tidak diberi kesempatan untuk membuat sendiri penyelesaian soal cerita operasi hitung pecahan, sehingga apabila siswa dihadapkan pada soal cerita dalam bentuk lain maka siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut, perlu diciptakan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa berpartisipasi aktif sekaligus metinggikan siswa dalam memahami masalah dalam soal cerita, yaitu dengan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif. Pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa agar aktif dan saling membantu dalam diskusi kelompok.

(22)

kemampuan menyelesaikan soal cerita melalui pembelajaran pemecahan masalah pada siswa kelas V SDN Tanjungrejo 1 Kota Malang ber-setting kooperatif. Penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Data penelitiannya diperoleh dari hasil tes, hasil wawancara, observasi, dan catatan lapangan.

Pelaksanaan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif dilakukan dengan 3 tahap, yaitu (1) kegiatan awal : menyampaikan tujuan pembelajaran soal cerita, memotivasi siswa, menjelaskan aturan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif, menggali pengetahuan awal siswa tentang pecahan, (2) kegiatan inti: membentuk kelompok asal, membagikan LKS, membentuk kelompok ahli, mencari langkah-langkah penyelesaian dua soal cerita dengan berdiskusi, kembali ke kelompok asal, penjelasan kepada kelompok asal dan presentasi kelompok, (3) kegiatan akhir : menyimpulkan materi pembelajaran, melakukan evaluasi dengan memberikan tes akhir yang dikerjakan secara individu.

(23)

persentase keterampilan kooperatif siswa dari 77,75% menjadi 93% dan menjadi 100%, (2) pada pembelajaran pemecahan masalah bersetting kooperatif ternyata terjadi kerjasama yang baik dalam kelompok yang siswanya heterogen dari sisi kemampuan, etnis, dan jenis kelamin dalam hal (a) mencari langkah-langkah dalam menyelesaikan dua soal cerita, dan (b) memberikan penjelasan penyelesaian soal cerita kepada anggota kelompoknya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, disarankan kepada guru matematika di sekolah dasar (1) untuk menjadikan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif sebagai alternatif strategi pembelajaran soal cerita; (2)

apabila ingin menerapkan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif terutama pada saat diskusi di kelompok ahli dan penjelasan materi di kelompok asal, agar menggunakan waktu yang lebih lama sehingga pelaksanaan diskusi dan penjelasan materi dapat berlangsung dengan baik; (3) apabila guru ingin menerapkan pembelajaran pemecahan masalah ber-setting kooperatif, disarankan agar guru bukan hanya sebagai mediator dan fasilitator saja, akan tetapi guru juga berperan sebagai intervensiator, seperti menegur, memberi pertanyaan, membimbing, mengarahkan, memberi pancingan, memberi petunjuk, memberi peringatan dan memberi contoh; (4) guru dalam kegiatan pembelajaran, agar sering menggunakan kegiatan belajar kelompok yang heterogen sehingga diharapkan dapat terjadi interaksi sosial antar siswa dan munculnya tutor sebaya.

(24)

Motivasi Belajar dengan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas V

Madrasah Ibtidaiyah Negeri se-Kota Bandar Lampung” (2009 . Tesis,

Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta).

Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kompetensi kebahasaan, kemampuan berpikir, dan motivasi belajar dengan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Negeri se-Kota Bandar Lampung baik secara sendiri-sendiri maupun secara secara bersama-sama. Populasi penelitiannya adalah seluruh siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Negeri se-Kota Bandar Lampung sebanyak 441 siswa. Sampel penelitian sebanyak 119 siswa yang ditentukan menggunakan teknik stratified proporsional random sampling. Instrumen terdiri dari tes dan

angket. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan membaca pemahaman, kompetensi kebahasaan, dan kemampuan berpikir. Angket digunakan untuk mengukur motivasi belajar.

(25)

(p < 0,05) antara kompetensi kebahasaan, kemampuan berpikir, dan motivasi belajar secara bersama-sama dengan kemampuan membaca pemahaman sebesar 20,6% dan sumbangan efektifnya secara keseluruhan sebesar 20,53%.

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penyebaran kuesioner (angket) pada pengguna website Universitas Surabaya.. Penyebaran angket

Dapat menangani kesalahan transaksi pengisian pulsa ganda pada hari yang sama terhadap nomor tujuan dan nominal pulsa yang sama sehingga jika pelanggan melakukan

ini metanol dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida; kemudian,

Metode: Pada 40 Mahasiswa FK-UKM Baridung yang berumur 19 - 27 tahun dilakukan pengukuran kebugaran dengan eara tes ergometer sepeda Astrand dan tes bangku Harvard.. Pada tes

The Reflection of Christmas Consumerism in the late 1990s US from the Setting in Skipping Christmas .... Setting

Sistem periodik unsur-unsur merupakan suatu sistem yang sangat baik untuk mempelajari kecenderungan sifat unsur dan beberapa sifat lainya..

Untuk dapat mengembangkan produk cookies berbasis beras merah dan bekatul yang digemari oleh konsumen, perlu diketahui karakteristik yang disukai oleh konsumen itu

Pengertian budaya organisasi menurut Krech dalam Moeljono ( 2005 : 9), adalah sebagai suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah