• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Sosial dan Ekonomi Kelapa - Alwi Subarkah Bab II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Sosial dan Ekonomi Kelapa - Alwi Subarkah Bab II"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Sosial dan Ekonomi Kelapa

Tanaman kelapa dibudidayakan oleh masyarakat diberbagai wilayah di

Indonesia. Total luas lahan kelapa di dunia pada tahun 2003mencapai hampir 12

jutaha dan Indonesia merupakan negara dengan perkebunan kelapa terluas di

dunia (32 %; Kustaman, 2005). Negara dengan perkebuan kelapa terluas sesudah

Indonesia adalah Philipina (27 %), India (15%), Srilanka (4 %) dan Thailand (3

%; Kustaman., 2005).

Kelapa merupakan tanaman yang mempunyai banyak manfaat bagi

kehidupan, baik secara sosial maupun ekonomi. Masyarakat dapat mengambil

manfaat tanaman kelapa mulai dari batang hingga buahnya. Batang tanaman

kelapa umumnya digunakan sebagai salah satu bahan baku industri mebel, yaitu

digunakan untuk membuat meja ataupun kursi (Mahmud dan Ferry, 2005). Selain

itu, masyarakat memanfaatkan batang kelapa untuk bahan bangunan rumah,

jembatan dan hiasan. Pemilihan batang kelapa sebagai bahan bangunan

dikarenakan batang kelapa mempunyai kualitas yang hampir sama dengan

kualitas kayu lain, tetapi memiliki bentuk yang lurus sehingga memudahkan untuk

diolah (Barly, 1994).

Buah kelapa merupakan bagian yang terpenting karena dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku untuk membuat minyak goreng, VCO (virgin coconut oil),

(2)

(Novarianto,2008). Selain itu, daging buah juga dapat dimanfaatkan sebagai obat

tradisional seperti sebagai obat batuk, batu ginjal, muntah darah dan pencahar

(Kristina. Dan Syahid., 2007). Penggunaan daging buah kelapa sebagai obat

tradisional umumnya adalah dengan mengkonsumsinya secara langsung

bersamaan dengan air kelapa. Kandungan kimia dari daging buah berupa omega 3,

omega 6, asam linolenat, fospfolipid dan asam dekosahexanoat menyebabkan

kelapa juga digunakan sebagai makanan alternatif bagi ibu hamil serta bagi

masyarakat yang memiliki resiko kolesterol tinggi (Barlina, 2004).

Air kelapa dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan dextran,

vineger, kecap, minuman ringan, pembuatan alkohol dan ethil asetat, cuka, dan

nata de coco (Mahmud dan Ferry, 2005). Air kelapa juga dipercaya oleh masyarakat sebagai obat penawar racun, nyeri pinggang, peradangan usus

(Kristina. Dan Syahid., 2007), mengurangi gatal – gatal (cacar air) dan penyakit

ginjal (Barlina, 2004). Pemanfaatan air kelapa sebagai obat batu ginjal karena

mengandung mineral, gula, vitamin C, kalsium maupun kalium (Barlina, 2004).

Tempurung kelapa merupakan bagian lain dari kelapa yang dapat digunakan

sebagai bahan bakar, arang aktif dan kerajinan. Sampai saat ini, Indonesia telah

berhasil mengekspor arang aktif hampir 12 ribu ton (Mahmud dan Ferry, 2005).

Disampingitu,beberapa masyarakat menggunakan tempurung kelapa sebagai obat

sakit perut dan diare (Kristina. Dan Syahid., 2007).

Sabut kelapa dapat dimanfaatkan untuk pembutan kerajinan seperti

pembuatan kesed, karpet, tali, dan sapu. Selain itu, sabut kelapa juga dapat

(3)

Ferry, 2005). Industri cocopeat saat ini berkembang sangat pesat karena banyak digunakan sebagai pengganti gambut alam untuk campuran media tanam

(Mahmud dan Ferry, 2005). Cocopeat juga banyak digunakan sebagai pelapis lapangan golf karena sifatnya yang lentur (Mahmud dan Ferry, 2005).

Di Indonesia, luas area perkebunan kelapa dilaporkan mencapai3,6 juta ha

yang dapat menghasilkan kelapa lebih dari 15 milyard butir(Barlina,2004).

Perkebunan tersebut disuahakan oleh lebih dari 3 juta keluarga dengan setiap

keluarga memiliki lahan kurang dari 1 ha (Barlina, 2004). Lahan yang sempit

tersebut menyebabkan budidaya kelapa hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari

– hari, bukan sebagai sumber penghasilan yang utama dan tetap. Hasil panen

kelapa umunya di jual di pasar – pasar tradisional dengan harga yang murah

yaitusekitar Rp 1500 perbutir (Mahmud dan Ferry, 2005). Harga jual kelapa yang

rendah tersebut menyebabkan petani kecil hanya mempunyai pendapatan Rp

312.500 – Rp 625.000 per bulannya (Mahmud dan Ferry, 2005). Salah satu

alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani adalah

dengan budidaya kelapa kopyor.

2.2. Kelapa kopyor

Kelapa kopyor mempunyai ciri – ciri yang hampir sama dengan kelapa

normal, baik dari bentuk kelapa maupun warna kelapa, namun memiliki

endosperm yang lebih lunak dan terlepas dari tempurungnya (Gambar 2.1).

Kelapa jenis ini terjadi sebagai hasil mutasi alam dengan peluang sebesar satu

pohon di antara 100 ribu sampai 1 juta pohon kelapa (Maskromo dan Novarianto,

(4)

Gambar 2.1. Kelapa kopyor

Kelapa kopyor hanya ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia. Di

Sumatra, kelapa kopyor banyak ditemukan di Kalianda dan Lampung selatan

(Maskromo dan Novarianto, 2007). Di Jawa Timur, kelapa kopyor ditemukan di

Sumenep, Jombang dan Tulungagung, sedangkan di Jawa Barat, distribusi kelapa

kopyor ditemukan di Ciomas, Bogor dan Cikompay (Tulalo dan Maskromo,

2007). Wilayah yang paling banyak ditemukan kelapa kopyor adalah di Jawa

Tengah (Hutapea et al., 2007). Di propinsi ini kelapa kopyor tersebar di wilayah Jepara, Rembang, Banjarnegara dan Pati (Mashud dan Manaroinsong, 2007).

Karakteristik kelapa kopyor yang lunak dengan cita rasa enak dan gurih

menyebabkan kelapa kopyor digemari oleh masyarakat untuk di konsumsi secara

langsung untuk minuman dingin (Maskromo, 2009). Selain itu kelapa kopyor

dapat di manfaatkan untuk membuat es krim, es shanghai, kembang gula ataupun

roti (Winarnoet al., 1981).

Kebutuhan kelapa kopyor di Indonesia sangat tinggi khususnya pada hari

– hari besar tertentu. Selain itu, permintaan kelapa kopyor dari pabrik es krim

(5)

memadai. Akibatnya kelapa kopyor bernilai ekonomi tinggidengan harga dapat

mencapai 10 kali lipat dari harga kelapa normal atau berkisar antara Rp 20.000

sampai dengan Rp 30.000 per butir (Maskromo dan Novarianto, 2007).

Namun demikian, budidaya kelapa kopyor belum dilakukan secara optimal.

Kendala utama yang dihadapi oleh petani adalah belum tersedianya bibit yang

berkualitas. Kelapa kopyor tidak dapat dikecambahkan secara alami karena

rusaknya endosperm kelapa kopyor dan lepasnya embryo kelapa dari tempatnya

(Prasetyo dan Rachmat, 2003). Akibatnya, perbanyakan kelapa kopyor hanya

dilakukan dengan cara kovensional. Pembibitan secara konvensional dilakukan

dengan cara menanam kelapa normal yang diambil dari tandan yang

menghasilkan kelapa kopyor (Maskromo, 2009). Bibit yang dihasilkan dari teknik

perbanyakan ini akan menghasilkan pohon kelapa dengan persentase kopyor yang

rendah, yaitu sekitar 1 – 10 % (Maskromo dan Novarianto, 2007).

Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk memperoleh bibit kelapa

kopyor adalah dengan menggunakan teknik kultur embryo. Dengan menggunakan

teknik ini, persentase buah kopyor yang dihasilkan diperkirakan dapat

ditingkatkan sampai 75 – 100 % (Sukendah et al., 2008).

2.3. Kultur Embryo

Kultur embryo adalah teknik menumbuhkan embryo di dalam medium

buatan pada lingkungan yang aseptik guna menghasilkan tanaman utuh

(Raghavan, 2003). Kultur embryo telah banyak diaplikasikan untuk beberapa

tujuan, seperti perbanyakan tanaman, penyelamatan embryo hasil persilangan

(6)

yang belum masak (Puspitaningtyas, 1996), pematahan dormansi biji

(Naiola,2007) dan untuk mengecambahkan embryo yang mempunyai kebutuhan

khusus (Raghavan, 2003).

Kultur embryo telah digunakan untuk menyelamatkan embryo hasil

persilangan antar species padi liar (Oryza minuta, O. Punctata, O. Australiensis, O. Officinalis dan O. Rufipogon) dan padi budidaya ( Padi pelita 1, IR64 dan Way Rarem) untuk menghasilkan bibit yang tahan terhadap cekaman biotik dan

antibiotik. Tanaman hasil persilangan mempunyai sifat mudah rontok dan tidak

dapat menghasilkan biji atau endosperm karena tanaman memiliki polen yang

steril (Suhartini et al., 2002). Untuk mendapatkan tanaman hibrida hasil persilangan maka digunakan teknik kultur embryo (Suhartini et al., 2002).

Kultur embryo telah berhasil digunakan untuk menyelamatkan embryo

Solanum yang belum masak hasil persilangan. Persilangan antar species

Solanum(Solanum khasianum, S. laciniatum, S. torvum, S. nigrum, S. capsicoides dan S. melagena) dilakukan untuk memperoleh tanaman Solanum yang tahan terhadap penyakit dan tahan panas. Masalah umum yang dihadapi dalam

persilangan adalah embryo gugur sebelum masak. Dengan menggunakan teknik

kultur embryo, embryo muda Solanum dapat ditumbuhkan karena adanya nutrien dari medium yang komplek (Handayani, 1991).

Kultur embryo telah di aplikasikan untuk mematahkan dormansi biji

tanaman gewang (Corypha utan Lamarck). Tanaman gewang sering dimanfaatkan untuk bahan baku papan, makanan dll, namun pemanfaatan tersebut tidak

(7)

gewang menurun. Secara alami perkembangbiakan tanaman gewang adalah

dengan biji, namun biji tersebut membutuhkan waktu hingga satu tahun untuk

berkecambah. Selain itu persentase perkecambahan biji gewang masih sangat

rendah yaitu hanya mencapai 0,02 %. Dengan teknik kultur embryo masa

dormansi biji gewang dapat persingkat (Naiola, 2007).

Teknik kultur embryo untuk mengecambahkan embryo anggrek yang

mempunyai kebutuhan khusus (Raghavan, 2003). Embryo anggrek sulit

berkecambah karena biji tidak memiliki cadangan makanan sehingga embryo

harus bersimbiosis dengan mikoriza. Salah satu alternatif untuk mengecambahkan

dan memperbanyak tanaman anggrek adalah dengan menggunakan teknik kultur

embryo (Silalahi et al., 2008).

Pada kelapa, kultur embryo biasa digunakan untuk mengembangkan dan

perbaikan tanaman kelapa unggul serta menyediakan bibit kelapa (Kumaunang

dan Maskromo, 2007). Selain itu kultur embryo juga bertujuan untuk koleksi dan

pertukaran plasma nutfah antar negara (Mashud, 2007).

Kultur embryo telah berhasil digunakan untuk perbaikan tanaman kelapa

unggul. Penelitian yang telah dilaporkan pada kelapa Makapuno (seperti kopyor)

untuk meningkatkan jumlah butir kelapa yang bersifat abnormal tersebut. Kelapa

Makapuno secara alami akan menghasilkan buah Makapuno dengan persentase

sekitar 2 – 17 %. Dengan menanam bibit yang dihasilkan dari kultur embryo,

buah Makapuno yang dihasilkan dapat ditingkatkan sampai 95 – 100 % (Rillo,

(8)

Kultur embryo juga berhasil digunakan untuk tujuan konservasi dan

pertukaran plasma nutfah kelapa. Pertukaran plasma nutfah dengan teknik kultur

embryo dapat mengurangi pembiayaan, tidak membutuhkan tempat yang besar

untuk pengangkutan dan mengurangi kontaminasi bakteri, virus, dan hama yang

dapat menyebabkan kematian pada tanaman (Ashburner, 1995).

2.3.1. Kultur embryo kelapa

Tahapan – tahapan yang umum digunakan untuk melakukan kultur embryo

kelapa meliputi koleksi embryo kelapa di lapang, preparasi media, dan teknik

aseptik (Mashud, 2003). Tahap koleksi embryo di lapangan yaitu memanen kelapa

yang umumnya sudah berumur 9 – 11 bulan sebagai sumber eksplan (Mashud,

2003). Kelapa yang telah dipanen kemudian dikupas dan dibelah untuk diambil

silinder endosperm yang mengandung embryo, yaitu terletak pada salah satu mata

di tempurung kelapa. Embryo kelapa yang telah diambil kemudian dicuci pada air

mengalir, dilanjutkan dengan direndam dalam alkohol 95 % secara singkat untuk

menghilangkan lemak (Mashud et al., 2003).

Embryo kelapa kemudian diisolasi dari silinder endosperm untuk

selanjutnya disterilkan dengan menggunakan kalsium hypochlorit 3 % selama 4

menit kemudian dibilas dengan akuades steril. Embryo steril tersebut kemudian

ditanam ke dalam medium kultur jaringan untuk dipelihara sampai dihasilkan

bibit baru.

Sampai saat ini, terdapat lebih dari empat macam komposisi medium yang

biasa digunakan untuk kultur embryo kelapa. Media tersebut antaran lain

(9)

India (CPCRI), komposisi medium University of the Philippines at Los Banos,

Filipina (UPLB), Komposisi medium Philippine Coconut Authority, Filipina

(PCA), dan komposisi medium Institute de Recherche pour le Developpement,

Perancis (IRD). Medium – medium tersebut telah dilaporkan berhasil digunakan

untuk menghasilkan bibit kelapa dengan menggunakan kultur embryo(Karun et al., 2002 dan Rillo et al., 2002).

2.3.2 Kultur Embryo Kelapa Kopyor

Penelitian tentang penggunakan teknik kultur embryo untuk menyediakan

bibit kelapa kopyor telah mulai dilaporkan sejak tahun 1980 an, tetapi tingkat

keberhasilannya masih cukup rendah (Mashud dan Manaroinsong, 2007;Prasetyo

dan Rachmat, 2003; Sukendah et al., 2008). Pada tahap perkecambahan, tingkat keberhasilan kultur embryo cukup tinggi, yaitu mencapai 63 %, namun pada tahap

induksi akar, tingkat keberhasilannya masih sangat rendah, yaitu hanya 20 %

(Mashud dan Manaroinsong, 2007). Penelitian yang lain melaporkan bahwa

tingkat perkecambahan embryo kelapa kopyor daat mencapai 70 %, namun

tingkat keberhasilan induksi akar hanya berkisar 30 % (Sukendah et al., 2008). Bahkan Prasetyo dan Rachmat (2003) melaporkan bahwa tingkat keberhasilan

perkecambahan embryo kelapa kopyor hanya 37 % setelah 52 hari kultur

(Prasetyo dan Rachmat, 2003). Hasil penelitian yang lebih baik telah dilaporkan

oleh Sriyanti (2010) yang menunjukkan bahwa kelapa kopyor yang mampu

berkecambahan dengan persentase perkecambahan mencapai 100 % setelah 29

(10)

Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan kultur

embryo untuk menyediakan bibit kelapa kopyor, seperti penambahan bahan aditif

ke dalam medium tanam, penambahan air kelapa, periode subkultur (Prasetyo &

Rachmat, 2003; Sukendah et al., 2008) dan penambahan ZPT ke dalam media (Sriyanti, 2010). Penambahan bahan aditif seperti thio-urea sebanyak 100 mg/L

ke dalam media tanam tidak berhasil meningkatkan persentase embryo kelapa

kopyor yang berkecambah, yaitu 59 % pada media dengan penambahan thio-urea

dibandingkan dengan 74 % pada media kontrol tanpa thio-urea (Sukendah et al., 2008). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa penambahan sari taoge kacang

hijau sebagai bahan aditif justru menurunkan tingkat perkecambahan embryo

kelapa kopyor dari 37 % menjadi 20 % (Prasetyo dan Rachmat, 2003).

Hasil perkecambahan yang lebih baik ditunjukkan pada medium dengan

penambahan air kelapa ke dalam media tanam. Penambahan air kelapa dengan

konsentrasi 150 ml/L mampu meningkatkan persentase perkecambahan dari 74 %

menjadi 95 % (Sukendah et al.,2008). Hasil penelitian lain dilaporkan bahwa penambahan air kelapa ke dalam media tanam mampu meningkatkan

perkecambahan embryo kelapa kopyor dari 37 % menjadi 53 % (Prasetyo dan

Rachmat, 2003).

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perkecambahan

embryo kelapa kopyor adalah dengan menambahkan zat pengatur tumbuh

khususnya asam gibberellat (GA3) ke dalam media tanam. Laporan penelitian

(11)

kelapa normal menghasilkan persentase yang sama yaitu rata – rata

perkecambahan antara 88 – 100 % (Sriyanti, 2010).

2.4 Asam Gibberellat(GA3)

2.4.1 Pengertian dan Peranan GA3 dalam Pertumbuhan

Asam gibberellat merupakan zat pengatur tumbuh golongan terpenoid yang

diperlukan oleh biji untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan (Harttke,

2003). Asam gibberellat tersusun atas glyseraldehyde 3-phosphate dan pyruvate

dengan sedikit asam mevalonic (Hedden et al., 1999; Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Asam Gibberellat (GA3)

GA3 diproduksi di dalam biji tumbuhan dan berfungsi untuk merangsang

perkecambahan biji (Maryani dan Irfandri, 2008), mempercepat pembentukan

daun dan memacu pemanjangan batang pada tanaman (Mayerni, 2008). GA3 telah

banyak dilaporkan untuk meningkatkan perkecambahan embryo tanaman.

Penambahan GA3 sebanyak 5 µM pada medium dasar dapat meningkatkan

persentase perkecambahan embryo kopi Arabika sebesar 90 % setelah 4 minggu

(Oktavia et al., 2003).Penambahan GA3 juga dilaporkan mampu mempercepat

waktu yang dibutuhkan oleh embryo untuk berkecambah. Penambahan GA3

dengan konsentrasi 2 ppm mampu mempercepat perkecambahan embryo anggrek

(12)

Keberhasilan GA3 yang dapat meningkatkan persentase perkecambahan

embryo dan mempercepat waktu yang diperlukan oleh embryo untuk

berkecambah diduga karena GA3 dapat mengaktifkan enzim hidrolisis (Maryani

dan Irfandri, 2008), memecah pati dan mengaktifkan auksin pada ujung batang

(Oktavia et al., 2003).

GA3 juga telah dilaporkan dapat memacu pertambahan tinggi batang dan

jumlah daun. Pada kina succi (Cinchona succirubra Pavon), penambahan GA3

sebanyak 60 µM pada media persemaian dapat memacu tinggi bibit kina rata –

rata 6 cm dan rata – rata jumlah helai daun sebanyak 12 helai daun (Mayerni,

2008).

2.4.2 Peranan asam Gibberelat (GA3) dalam Kultur Embryo Kelapa

Pada kultur embryo kelapa, penambahan GA3 ke dalam media tanam

banyak digunakan untuk mempercepat perkecambahan. Penambahan GA3

sebanyak 0,35 µM ke dalam media kultur embryo kelapa Dikiri dapat

meningkatkan perkecambahan embryo sebesar 50 % dibandingkan dengan media

tanpa GA3 yang hanya berkecambah 27 % dari total embryo yang ditanam

(Weerakoon et al., 2002). Hasil yang hasil sama juga telah dilaporkan pada embryo kelapa Genjah Hijau Malaya (GHM). Penambahan GA3 sebanyak 0,46

µM ke dalam media tanam mampu meningkatkan persentase embryo yang

berkecambah dari 71 % pada media tanpa GA3 menjadi 85 % pada media dengan

GA3 setelah 30 hari di pelihara (Pech-y-Ake et al., 2007).

Selain dapat meningkatkan perkecambahan dari embryo kelapa, GA3 juga

(13)

dalam medium dapat meningkatkan panjang akar embryo kelapa West Coconut

Tall (WCT) yang berumur 9 bulan hingga mencapai 0,6 cm dibandingkan dengan

embryo yang berumur 11 bulan hanya mencapai 0,2 cm setelah dipelihara selama

70 hari (Karun et. al., 2002).

Hasil yang berbeda ditunjukan pada penelitian Karun et al. (2002) yaitu pada penambahan GA3 dengan konsentrasi tertentu tidak berpengaruh terhadap

persentase perkecambahan kelapa. Penambahan GA3dengan konsentrasi antara

0,1 – 1µM menghasilkan perkecambahan dengan persentase yang sama, yaitu

sekitar 75 % setelah 45 hari. Pada kultur embryo kelapa kopyor, penambahan GA3

sebanyak 0,5 µM ke dalam medium kultur juga tidak berpengaruh terhadap

persentase dan kecepatan perkecambahan embryo. Persentase perkecambahan

embryo kelapa kopyor mencapai 80 % dengan lama waktu yang dibutuhkan oleh

embryo untuk berkecambah mencapai 26 hari baik pada medium dengan atau

tanpa penambahan GA3 (Sriyanti, 2010).

Pada penambahan GA3 ke dalam medium Central Plantation Crops

Research Institute (CPCRI) tidak dapat meningkatkan berat basah embryo kelapa

setelah dipelihara selama 90 hari di pelihara. Hasil penelitian sebelumnya yang

menunjukkan bahwa kultur embryo kelapa West Coast Tall (WCT) yang berumur

9 bulan maupun yang berumur 11 bulan menghasilkan rata – rata berat basah dan

tinggi tunas tidak jauh berbeda. Rata – rata berat basah tunas baik embryo yang

berumur 9 bulan maupun 11 bulan sekitar 0,4 g dan rata – rata tinggi tunas

(14)

Selain itu penambahan GA3 kedalam medium sebanyak 2 µM tidak dapat

meningkatkan panjang akar dari embryo kelapa kopyor jenis hijau. Panjang akar

dari embryo yang ditanam pada medium yang mengandung GA3 lebih pendek

yaitu hanya mencapai 0,6 cm sedangkan pada medium tanpa GA3 (kontrol)

menunjukkan pertumbuhan yang lebih panjang yaitu mencapai 1,3 cm

(Sukartiningrum dan Sukendah, 2008).

Pada umumnya pemberian perlakuan GA3 dilakukan dengan cara

menambahkannya ke dalam media tanam. Teknik lain yang dapat digunakan

adalah dengan cara perendaman eksplan ke dalam media GA3konsentrasi tinggi

selama jangka waktu tertentu. Perendaman biji aren (Arenga pinnata Merr.) ke

dalam medium dengan penambahan GA3 selama 41 – 57 hari mampu

meningkatkan perkecambahan dari 48 % menjadi 53 % (Maryani dan Irfandri,

2008). Perendaman bibit Sagu (Metroxylon sagu Rotth.) di dalam media dengan penambahan GA3 sebanyak 0,1 mg L-1 selama 3 menit juga dilaporkan mempu

meningkatkan pertumbuhan bibit tersebut (Riyadi dan Sumaryono, 2009).

Namun demikian, penelitian yang lain melaporkan bahwa perendaman

eksplan pada medium GA3 tidak mampu meningkatkan perkecambahan biji.

Perendaman biji jagung selama 5 menit ke dalam medium dengan penambahan

GA3 sebanyak 250 µM dan 500 µM menunjukkan persentase perkecambahan

yang relatif sama (90 %) dibandingkan dengan biji tanpa perendaman (Murniati et al., 1984).

Pada kultur embryo kelapa kopyor, perendaman embryo kedalam media

(15)

dilaporkan, sehingga pada penelitian ini dilaporkan uji pengaruh perendaman

embryo kelapa kopyor pada media dengan penambahan GA3.

2.5 Umur Embryo

Salah satu penentu keberhasilan kultur embryo kelapa adalah umur embryo

yang digunakan sebagai eksplan (Mashud etal.,2005). Umur embryo akan menentukan kematangan dan kesiapan embryo untuk berkecambah. Embryo

matang dapat mensistesis enzim – enzim yang dibutuhkan dalam pertumbuhan

dan menyerap endosperm sebagai bahan makanan(Mashud et al.,2005). Embryo muda (5 – 6 bulan) dapat menyerap endosperm hingga 60% sedangkan embryo

tua (12 bulan) telah menyerap hampir seluruh endosperm (Mashud et al.,2005). Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa embryo kelapa yang telah

matang mampu menghasilkan perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan

embryo yang belum matang. Namun, hasil penelitian yang berlawanan juga telah

dilaporkan terjadi pada penelitian yang lain. Pada kelapa west coast tall (WTC),

tingkat perkecambahan pada embryo yang telah matang dapat mencapai 60 %,

sedangkan pada embyo yang belum matang hanya mencapai 48 % (Karun et al., 2002). Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan pada kelapa makapuno.

Persentase perkecambahan dari embryo yang sudah matang dapat mencapai 83 %

sedangkan pada embryo yang masih muda hanya mencapai 58 % (Damasco,

2002).

Hasil yang berlawanan dilaporkan pada perkecambahan embryo kelapa

Dikiri. Persentase perkecambahan pada embryo yang matang hanya mencapai 13

(16)

(Weerakoon et al. 2002).Pada jenis kelapa Makapuno, tingkat perkecambahan embryo berumur 9 bulan dapat mencapai 46 % sedangkan pada embryo yang

berumur 11 bulan hanya 34 % (Islamet al., 2009).

Beberapa penelitian yang lain melaporkan bahwa umur embryo sama sekali

tidak berpengaruh terhadap kemampuan embryo untuk berkecambah. Karun et al.(2002) menunjukkan bahwa persentase embryo yang berkecambah pada embryo matang maupun embryo yang belum matang relatif sama, yaitu berkisar

antara 52 – 73 %. Hal yang sama juga dilaporkan pada kelapa Mapanget yang

menunjukkan bahwa persentase perkecambahan embryo yang baik yang belum

matang maupun yang telah matang dapat mencapai 82 – 88 % (Mashud et al., 2002).

Pada kelapa kopyor, penelitian tentang pengaruh kematangan embryo

terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit belum pernah dilaporkan,

sehingga pada penelitian ini dilaporkan uji pengaruh umur embryo kelapa kopyor

Gambar

Gambar 2.1. Kelapa kopyor
Gambar 2.2. Asam Gibberellat (GA3)

Referensi

Dokumen terkait

To help children meet their learning needs, this study is to design a language program for pre-primary students in learning English and hopefully, the designed program can help

Dalam inkorporasi variabel mutu tomat, dilakukan analisa fisik ( panjang, diameter, berat, tekstur, warna daging, dan warna kulit) dan analisa kimia ( kadar air,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan jahe yang diaplikasikan ke dalam adonan tepung terigu terhadap tingkat kekerasan (hardness)

Makeeva’s latest publication (2015) entitled Learn to Read by Teaching gives an insight into professionally oriented English class procedures and techniques which

Pasien mengatakan nyeri, nyeri akibat jatuh dari tangga dengan kualitas nyeri seperti tertusuk – tusuk, nyeri di daerah paha atas dan menjalar sampai ke

Permohonan Rekomendasi Teknis yang sedang diproses dan memenuhi persyaratan sebelum keputusan ini diterbitkan , diproses penyelesaiannya sesuai dengan Keputusan

Untuk mendapatkan proses pemotongan plat ini yang terpenting adalah pajang langkah yang diberikan, yang dalam hal ini langkah punch-nya serta ukuran diameter

Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian bahwa penempatan pegawai walaupun telah dilaksanakan berdasarkan faktor-faktor penempatan pegawai yang telah ditetapkan