• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Ratna Setianingsih BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Ratna Setianingsih BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi. Rumah sakit harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia (Undang-Undang Nomor 44/2009).

Selain dituntut mampu memberikan pelayanan dan pengobatan yang bermutu, Rumah Sakit juga dituntut harus melaksanakan dan mengembangkan program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Rumah Sakit. Hal ini disebabkan pekerjaan dalam rumah sakit di Indonesia, dikategorikan memiliki resiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan para dokter, perawat, dan teknisi, yang selanjutnya dapat berdampak terhadap pasien serta masyarakat sekitar termasuk pengunjung (KMK Nomor 1087/MENKES/SK/VIII/2010).

(2)

instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anestesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit (KMK Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pekerjaan bidang medis berisiko terhadap kecelakaan dan kesehatan kerja. Menurut Imam Khasani, (2002 dalam Mulyanti 2008) kelompok perawat rumah sakit menempati urutan ketiga terbesar untuk berisiko terinfeksi Hepatitis B setelah kelompok pekerja lembaga transfusi darah PMI DKI dan kelompok petugas pembersih rumah sakit.

(3)

infeksi nosokomial di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan angka 9,1% dengan variasi 6,1-16% (Depkes RI, 2003).

Setiap tahunnya Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto tidak mendokumentasikan kecelakaan kerja pada tenaga kesehatan. Akan tetapi, kasus infeksi nosokomial di Rumah Sakit Wijayakusuma pada tahun 2012 berupa Infeksi Saluran Kemih (ISK) sebanyak 244 kasus, Infeksi Luka Operasi (ILO) 501 kasus, Phlebitis 2.864 kasus (RS Wijayakusuma, 2012).

Perawat termasuk kelompok tenaga keperawatan yang masuk dalam kelompok rentan tertular (vulnerable people) serta menjadi kelompok berisiko atau rawan tertular karena setiap hari perawat kontak langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama kurang lebih 6-8 jam per hari, sehingga selalu terpajan mikroorganisme penyebab penyakit (Berkanis 2008).

Setiap tahunnya, sedikitnya 45 perawat di rumah sakit Husada Jakarta mengalami kecelakaan kerja saat merawat pasien, mulai dari tertusuk jarum secara tidak sengaja hingga tertular penyakit. Akan tetapi, angka tersebut jauh lebih rendah dibanding angka yang sesungguhnya. Sedangkan angka kejadian kontak darah di rumah sakit Abdoel Muluk Bandar Lampung dalam periode 6 bulan sebanyak 124 kasus (64,9%), dan penyebab utamanya adalah tertusuk jarum suntik. Prosedur penutupan jarum suntik setelah digunakan merupakan penyebab tersering tertusuk jarum (Yusran 2008).

(4)

transformasi dari universal precaution, suatu bentuk precaution pertama yang bertujuan untuk mencegah infeksi nosokomial. WHO telah menetapkan tentang pentingnya penerapan standard precaution pada tenaga kesehatan dalam setiap tindakan untuk mencegah peningkatan infeksi nosokomial (Putra 2012).

Penerapan standard precaution meliputi beberapa macam prosedur salah satunya dengan menerapkan prosedur penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). APD perlu digunakan oleh perawat di setiap tindakan. Penggunaan APD pada perawat merupakan salah satu bagian dari usaha perawat menyediakan lingkungan yang bebas dari infeksi sekaligus sebagai upaya perlindungan diri dan pasien terhadap penularan penyakit (Potter 2005, h.959).

APD digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas kesehatan dari risiko pejanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan berisiko mencakup tindakan rutin, tindakan bedah tulang, otopsi, ataupun perawatan gigi dimana menggunakan bor dengan kecepatan putar yang tinggi. Jenis APD meliputi: sarung tangan, pelindung wajah (masker, kaca mata), penutup kepala, gaun pelindung (baju kerja/celemek) dan sepatu pelindung (sturdy foot wear) (Depkes RI 2010, h.17).

(5)

kurang sempurna dan 9% perawat tidak memakai alat pelindung. Pancaningrum (2011) dalam penelitiannya di rumah sakit Haji Jakarta mengidentifikasi 39,1% perawat tidak menggunakan alat pelindung diri saat melakukan tindakan. Penerapan APD dalam standard precaution yang belum sepenuhnya dijalankan dengan baik oleh perawat dapat disebabkan oleh kurangnya komitmen kepatuhan perawat dalam penggunaan APD.

Kepatuhan dapat diartikan sebagai suatu bentuk respon terhadap suatu perintah, anjuran, atau ketetapan melalui suatu aktifitas konkrit. Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi: bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara yang masuk akal, manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada dan bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka. Untuk mencegah terjadinya penularan infeksi, maka perawat harus patuh terhadap apa yang menjadi tugasnya, untuk itu perawat di tuntut dapat menjalankan dan melaksanakan kewaspadaan universal melalui penggunaan APD dengan baik dan benar secara konsisten (Amung 2012).

(6)

Menurut survei yang dilakukan di rumah sakit DR. Sardjito Yogyakarta menunjukan bahwa angka ketidakpatuhan pemakaian sarung tangan (sarung tangan) dari 137 responden sebesar 61. Kendala dalam penerapan penggunaan APD terkadang timbul dari alat-alat atau fasilitas yang terbatas (Lelyana 2006).

Bangsal kelas III di rumah sakit diperuntukkan bagi pasien yang relatif kurang mampu secara finansial. Fasilitas yang relatif minimaal dan tuntutan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang baik akan berpengaruh terhadap kondisi dan beban kerja di tiap ruang rawat inap bangsal kelas III dibandingkan dengan bangsal kelas I dan VIP yang diperuntukkan untuk pasien yang relatif mampu secara finansial, dan mempunyai fasilitas yang relatif lengkap untuk peralatan kewaspadaan universal. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi kinerja dan kewaspadaan universal dari penularan penyakit termasuk kepatuhannya dalam penggunaan APD (Supardi 2007).

(7)

Data dari Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto tahun 2013 diketahui jumlah perawat adalah sebanyak 76 perawat dimana jumlah perawat di bangsal kelas non utama adalah sebanyak 56 perawat, kelas utama sebanyak 20 perawat.

(8)

Oleh sebab itu, berdasarkan fenomena dan uraian di atas peneliti ingin menganalisis perbedaan tingkat kepatuhan penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

B. Rumusan Masalah

(9)

Berdasakan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: “Adakah perbedaan tingkat kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum ingin mengetahui perbedaan tingkat kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik perawat di bangsal kelas non utama dan utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto yang terdiri dari umur, dan lama kerja.

b. Mengetahui kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas non utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

c. Mengetahui kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada perawat bangsal kelas utama di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto.

d. Menganalisis perbedaan kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri

(10)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan sumbangan ilmu tentang perbedaan kepatuhan penggunaan APD pada perawat bangsal kelas non utama dan utama juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi penelitian bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi rumah sakit dalam upaya peningkatan keamanan dan keselamatan kerja perawat melalui kepatuhan penggunaan APD dalam memberikan tindakan keperawatan.

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan tindakan keperawatan dengan menggunakan APD dan menambah ilmu pengetahuan perawat mengenai standard precaution khususnya penggunaan APD.

c. Bagi Peneliti

(11)

Gambar

Tabel 1.1. Penelitian Terkait

Referensi

Dokumen terkait

Perlu dilakukan kajian yang sama mengenai jenis logam berat lain yang ada di perairan Waai Ambon yang terdapat pada tumbuhan lamun ( Halophila ovalis )

The public-private partnership work under SFMP will focus instead on identifying shared value partnerships, which bring the private sector, the Government of Ghana (GoG), and

Ï ÐÑÒÓÔÕÏ ÓÐÔÖ ×ØÙÕÑÚÏ ÚÑ ÕÑÓÕÏ ØÑØÒØÚÛØÒÚÒØ ÒÜÝÕÚ ÚÓÔØÞÕÓ ×ÚÔØ. Ï

KUSHANDAYANI |SUKOHARJO |P |SEKOLAH MENENGAH |1990

Hasil analisis data dengan menggunakan rancangan pretest dan posttest desain, diperoleh bahwa parameter rerata hasil belajar pretest sebesar 63,81 lebih kecil daripada

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan berkat-Nya, saya dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan judul “PENGARUH

Analisis Faktor Budaya, Sosial, Pribadi, dan Psikologis, Terhadap Keputusan Pembelian Produk Air Minum Dalam Kemasan Merek Viro di Kota Bogor. (Jurnal

Penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut: melakukan sosialiasi terhadap pihak-pihak yang terkait dalam penggunaan lapangan penumpukan container yaitu