• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis - DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP NEGERI 9 PURWOKERTO DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis - DESKRIPSI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP NEGERI 9 PURWOKERTO DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT - repository perpustakaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

(2)

Ennis (1993) mengungkapkan berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Terdapat tiga tingkatan tinggi dalam berpikir kritis yaitu analisis, sintesis dan evaluasi. Berpikir kritis yang Ennis kemukakan lebih menyoroti dalam pembuatan keputusan oleh siswa, sehingga siswa akan memiliki kemampuan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.

(3)

untuk menghubungkan anggapan yang tidak dibenarkan. (11) Kemampuan untuk menggunakan pemikiran dugaan. (12) Kemampuan untuk menyusun, menyatukan, membuat dan mempertahankan argumen yang baru.

Bailin dan Siegel (2003) memiliki pendapat sendiri, mereka mengungkapkan bahwa berpikir kritis merupakan sikap berani memberikan pendapat yang berbeda dari yang lain, mengakui dan menegaskan sebuah argumen berdasarkan aturan yang berlaku. Ketika mendapati masalah matematika, siswa berusaha untuk mencari kebenaran atas informasi yang didapatnya. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana respon mereka saat menyelesaikan masalah matematika, mereka berani menyampaikan pendapat yang berbeda apabila pernyataan atau informasi yang mereka dapat tidak sesuai. Siswa dapat mengakui sebuah argumen apabila mereka sudah menegaskan argumen tersebut sesuai aturan yang berlaku.

(4)

maka peneliti menyimpulkan bahwa definisi berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir matematis yang beralasan dan reflektif dalam mengenali, menganalisis dan mengevaluasi argumen. Berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai. Indikator yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu:

a. Siswa mampu untuk memberikan argumen dengan tepat. Kemampuan siswa untuk memberikan argumen atau pendapatnya dengan berdasarkan darimana argumen didapat, sehingga siswa dapat meyakini kebenaran suatu argumen . b. Siswa mampu untuk menganalisis suatu argumen berdasarkan

ketentuan.

Kemampuan siswa untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian – bagian dari sebuah argumen sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik berdasarkan ketentuan yang berlaku.

c. Siswa mampu menilai dan mengevaluasi argumen berdasarkan pedoman.

(5)

2. Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk, pertama adalah Adversity Quotient merupakan suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Selanjutnya Adversity Quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons

seseorang terhadap kesulitan. Definisi terakhir dari Stoltz, Adversity Quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah

untuk memperbaiki respons anda terhadap kesulitan.

Ketiga bentuk definisi Adversity Quotient dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang dapat digunakan untuk mengukur respon sesorang terhadap kesulitan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Adversity Quotient merupakan terobosan penting dalam pemahaman

tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan, kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Stoltz mengelompokkan orang dalam 3 kategori Adversity Quotient yaitu: climber (Adversity Quotient tinggi), camper (Adversity Quotient sedang), dan quitter (Adversity Quotient rendah).

(6)

yang memiliki kemampuan Adversity Quotient pada tingkatan Climbers tidak cepat puas dengan apa yang mereka peroleh, mereka

akan tetap berjuang sampai tujuan yang mereka inginkan tercapai. Contohnya ketika siswa mendapat tugas dari guru, siswa dengan tingkatan climbers akan menganggap tugas sebagai tantangan yang harus mereka selesaikan tidak peduli akan hambatan apa saja yang ada didepannya mereka tidak putus asa, mereka berusaha tidak hanya menggugurkan kewajiban atau karena takut dengan guru tapi karena rasa ingin tahu yang besar dari seorang climbers.

Campers merupakan kelompok orang yang sudah memiliki

kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada namun mereka berhenti karena merasa sudah tidak mampu lagi. Siswa yang merupakan campers ketika memilki tugas dari guru akan berusaha menyelesaikan tugas namun hal itu hanya untuk mencari rasa aman sehingga tidak dihukum oleh guru serta mereka akan mudah merasa nyaman dengan usaha yang mereka lakukan. Siswa lebih memilih untuk mempertahankan hasil jawabannya dengan tidak berusaha mengecek karena campers mudah merasa puas dengan hasil kerjanya.

Quitters merupakan kelompok orang yang kurang memiliki

(7)

berpikir bahwa mereka tidak akan lulus saat ujian atau akan mendapat nilai jelek pada ulangan. Siswa akan menghindari tugas yang diberikan oleh guru saat di kelas maupun tugas untuk di rumah.

Gaya hidup Adversity Quotient tinggi, sedang dan rendah sudah dapat dibedakan, para kelompok Adversity Quotient tinggi atau climbers akan menjalani hidupnya dengan lengkap, mereka benar

benar memahami tujuan untuk apa mereka hidup, dan apa pun yang mereka kerjakan sudah tergambar jelas dalam benaknya mereka akan melengkapi kebutuhan fisiologis, melengkapi kebutuhan rasa aman, kebutuhan ikut memiliki dan berkasih sayamg, memilki penghargaan untuk hidupnya, mengaktualisasikan diri. Mereka akan berpikir apa yang saat ini dilakukan akan membawa kemajuan – kemajuan di masa yang akan datang. Climbers akan menyambut dengan hangat segala bentuk tantangan yang hadir dalam dirinya, mereka yakin akan kemampuan yang mereka miliki walaupun akan banyak komentar negatif yang datang bahwa jalannya tidak mungkin untuk ditempuh.

Kelompok Adversity Quotient sedang atau campers akan menjalani hidupnya dengan tidak lengkap karena mereka akan lelah mendaki sehingga mereka berkata “ini sudah cukup baik untuk dijalani” tanpa berpikir harga yang akan mereka bayar. Campers akan

(8)

Mereka bertahan dengan apa yang sudah mereka miliki, mereka akan puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri.

Kelompok Adversity Quotient rendah atau Quitters sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya, mereka akan jadi mudah marah, dan frustasi, dengan mudah menyalahkan orang lain dan juga membenci orang – orang yang terus mendaki dalam level kehidupan, quitters hanya memenuhi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.Adversity QuotientStoltz (2000) dibagi menjadi empat dimensi yaitu :

a. Kendali/control ( C )

Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

b. Daya tahan/endurance ( E )

(9)

Seseorang yan mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki

c. Jangkauan /reach ( R)

(10)

merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.

d. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 )

Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya.

B. Penelitian Relevan

(11)

masalah dengan benar, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa yang memilki Adversity Quotient yang tinggi memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik.

Siswa yang memilki Adversity Quotient sedang cenderung tidak mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan, mampu menyusun rencana pemecahan masalah dengan runtut dan sesuai prosedur yang jelas, sebagian siswa belum mampu melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan baik karena masih terdapat perhitungan yang tepat, siswa juga kurang cermat dalam menafsirkan solusi pemecahan. Maka dapat disimpulkan bahwa siswa ber Adversity Quotient sedang memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis dengan cukup baik, karena hanya mampu melaksanakan sebagian tahapan pemecahan masalah dengan baik. Siswa dengan Adversity Quotient rendah memilki kemampuan pemecahan masalah matematis yang kurang baik karena belum melaksanakan seluruh tahapan pemecahan masalah dengan baik, siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami, merencanakan, melaksanakan, memeriksa kembali saat memecahkan masalah matematis.

(12)

mendeskripsikan kemampuan berpikir kritis siswa SMP Negeri 9 Purwokerto ditinjau dari Adversity Quotient.

C. Kerangka Pikir

Variabel yang akan peneliti gunakan yaitu berpikir kritis matematis dan Adversity Quotient. Peneliti hendak menunjukan alur dari penelitian. Dalam penelitian ini langkah pertama yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mengukur tingkatAdversity Quotientpada siswa dengan menggunakan instrumen berupa angket yang telah dibuat berdasarkan indikator dari Adversity Quotient. Terdapat tiga tingkatan dalam Adversity Quotient yaitu tingkat climbers (tinggi), campers (sedang), dan quitters (rendah).

Adversity Quotientclimbers siswa akan mampu untuk terus bertahan

dan berjuang menghadapi berbagai kondisi yang harus dihadapi, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-hal lain yang terus akan dihadapi setiap harinya. Tingkatan Adversity Quotient camper, siswa akan berusaha untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Mereka mengerjakan tugas untuk kenyamanan diri, mereka takut kepada guru, bukan karena keingintahuan dari dirinya sendiri.

Tingkatan Adversity Quotientquittersmerupakan tingkatan dimana siswa tidak berusaha untuk menyelesaikan tugas dari guru, mereka mempunyai tingkat pesimis yang tinggi sebelum mengerjakan ujian atau ulangan harian. Setelah didapat data Adversity Quotient siswa selanjutnya

(13)

siswa. Langkah selanjutnya peneliti menyusun instrumen tes yang akan di ujikan kepada siswa, dimana tes sesuai dengan indikator berpikir kritis (1) Siswa mampu untuk memberikan argumen dengan tepat, (2) Siswa mampu untuk menganalisis suatu argumen berdasarkan ketentuan, (3) Siswa mampu menilai dan mengevaluasi argumen berdasarkan pedoman. Tes yang akan diujikan berisi 4 soal, siswa akan menyelesaikan tes tersebut dengan kemampuan masing – masing. Peneliti akan melihat kemampuan berpikir kritis matematis siswa sesuai dengan tingkatan Adversity Quotient yang dimilki oleh masing – masing subjek yang diteliti.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berfokus pada analisis hasil penilaian diagnostik kemampuan komunikasi matematis siswa berdasarkan Adversity Quotient siswa kelas XI di SMA Negeri Banyumas

lindungan-Nya.. Analisis Kemampuan Metakognisi dalam Pemecahan Masalah Persamaan Kuadrat Ditinjau dari Adversity Quotient pada Siswa Kelas X SMA Negeri 2

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa AQ tinggi (Climbers)dapat memberikan argumen pada setiap pernyataan pada soal dengan tepat, siswa juga mampu

Menurut penelitian yang dilakukan Hapsari, dkk (2016) bahwa kemampuan pemahaman konsep dan pemecahan masalah dapat dipengaruhi oleh tingkat kecemasan belajar yaitu dimana

Proses berpikir siswa dalam pemecahan masalah matematis pada penelitian ini ditinjau lebih lanjut berdasarkan Adversity Quotient pada masing- masing tipe,

Dalam proses pembelajaran individu yang memiliki kemandirian dan ketahanmalangan (adversity quotient) baik akan cenderung memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik

berpikir mahasiswa dalam memecahkan masalah numerical analysis ditinjau dari tipe kepribadian yang mengacu pada kriteria kemampuan. pemecahan masalah matematis

Proses Pemecahan Masalah Matematis Siswa Berdasarkan Adversity Quotiet Kategori Camper Berdasarkan data penelitian yang telah diketahui, siswa dengan Adversity Quotient kategori camper