• Tidak ada hasil yang ditemukan

BORO 1965-1970 Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro Kalibawang Kulonprogo SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BORO 1965-1970 Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro Kalibawang Kulonprogo SKRIPSI"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

BORO 1965-1970

Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro

Kalibawang Kulonprogo

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh :

Yohanes Vianei NIM: 024314002

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

v Jangan pernah menyerah sebelum bertanding dan anggaplah kegagalan sebagai pelajaran yang berharga untuk mencapai kesuksesan.

v Jika saya percaya bahwa saya tidak dapat melakukan sesuatu, maka saya tidak akan melakukannya. Tetapi jika saya yakin dapat melakukannya maka saat itu juga saya memperoleh semangat untuk melakukannya walaupun pada awalnya saya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

( Mahatma Gandhi )

(5)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

v Allah dan Yesus yang selalu menyertaiku.

v Buat istriku yang selalu bawel, tapi sangat mencintaiku. Ini kado pernikahan kita.

v Orang tuaku: Bpk. Paulus Gata dan Mama Yustina Nari yang dengan segenap tenaga dan cintanya selalu mendukungku

v Mertuaku: Bpk. Rahmad Al-suratun dan Maria Magdalena Ponirah yang memberikan kepercayaan kepada saya.

v Adik iparku Susiwi Dwi Rahayu

v Teman-teman kostku

v Keluarga besarku yang berada di Kalimantan. Trimakasih telah mendukungku.

v Kak Ito Lobo,Kak Dus Baka, Herni Penga, Simus Pajo, Istin Rawi dan Risna Milo

v Sahabatku Immanuel dari Pendidikan Sejarah yang meninggal Februari 2007.

v Bapak dan Ibu kostku

(6)

Nama : Yohanes Vianei Nomor Mahasiswa : 024314002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : BORO 1965-1970 (Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro Kalibawang Kulonprogo ) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 28 Februari 2008

Yang menyatakan

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan foot note, serta dalam daftar pustaka, seperti layaknya karya ilmiah.

(8)

vii

ABSTRAK

Judul : BORO 1965-1970

Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro Kalibawang Kulonprogo

Nama : Yohanes Vianei

Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui situasi masyarakat di Paroki Boro terutama mengenai situasi masyarakat pada pasca 1965. Dengan mengetahui keadaan tersebut, maka dapat diketahui mengenai faktor pendorong yang membuat masyarakat memilih Katolik sebagai agama barunya. Selain itu perlu juga diketahui mengenai cara pendekatan yang dilakukan, sehingga masyarakat lebih memilih Katolik daripada agama lain yang ada.

Penulisan dan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Metode tersebut dianggap tepat karena tidak tersedianya sumber yang cukup, sementara para saksi hidup jumlahnya masih banyak. Selain karena alasan di atas, metode wawancara digunakan untuk mengetahui secara langsung apa sebenarnya yang terjadi pada pasca 1965 dengan adanya pembaptisan massal di Paroki Boro. Penggunaan metode tersebut juga untuk melengkapi penelitian melalui studi pustaka di mana sumber sumbernya merupakan kejadian atau peristiwa di tempat lain.

Hasil dari penelitian adalah dengan diketahuinya faktor pendorong utama terjadinya gelombang pembaptisan dan unsur-unsur yang mempengaruhi sehingga masyarakat menjadi Katolik. Bergabungnya masyarakat untuk memeluk Katolik disebabkan oleh adanya larangan terhadap oragnisasi PKI dan peraturan pemerintah yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.

(9)

viii

ABSTRACT

BORO 1965-1970

The History Analysis of Boro Parish Development Kalibawang Kulon Progo

By Yohanes Viane i

This small thesis was wrote to be aimed to find out the people situation in Boro Parish mainly people situation in the time after 1965. By knowing the situation, it could be known about the supporting factor that made people to choose Catholic as their new religion. Beside that it was also known about the way the approach be performed so people chose it more than the other.

This writing and research was performed using the interview method. It was appropriate though because there was not any available enough of human resource, while the witnesses of life were still most. Beside the reason above, the method was used to find out directly what was really happened in the time after 1963 with the existence of public baptism at Boro Parish. The use of method was also to complete the research through literature study where its sources were the event or it happened in other place.

The result of this research was known by the main supporting factor on the happen of baptism phase and the substances that influenced it so people wanted to be Catholic. The collected people together to choose Catholic were caused by the existence of government rule that made people had to believe in formal religion stated by government.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan penyertaan-Nya skripsi yang berjudul: BORO 1966-1970 Analisis Sejarah Mengenai Perkembangan Paroki Boro Kalibawang Kulonprogo dapat diselesaikan dalam rangka untuk mencapai gelar Sarjana Sejarah pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penulisan ini, saya banyak mendapatkan bimbingan, motivasi serta bantuan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak. Untuk itu saya ingin berterimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. 2. Ka. Prodi Ilmu Sejarah Bpk. Hery Santoso

3. Dosen Pembimbing Pastor G. Budi Subanar, S. J. 4. Segenap dosen dari Prodi Ilmu Sejarah.

5. Segenap Masyarakat Boro yang turut membantu dalam penelitian. 6. Umat Lingkungan Kalisoka yang dijadikan pusat penelitian. 7. Kedua orang tuaku Bapak Paulus Gata dan Mama Yustina Nari.

8. Istriku tercinta Lusia Ari Rahmawati, Susiwi Dwi Rahayu adik iparku, Mertuaku yang mempercayaiku.

(11)

x

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.

Yogyakarta, Februari 2008

(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATAPENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Perumusan Masalah... 6

D. Tujuan Penelitian... 7

E. Manfaat Penelitian... 7

F. Kajian Pustaka ... 8

G. Kerangka Konseptual... 11

H. Metode Penelitian... 17

I. Sistematika Penulisan... 19

BAB II. SITUASI SOSIAL BUDAYA DAN PERKEMBANGAN PAROKI BORO SEBELUM TAHUN 1965... 21

A. Kondisi Geografis ... 21

1. Letak geografis ... 21

2. Keadaan alam... 22

B. Kehidupan Sosial Ekonomi ... 23

1. Perilaku sosial masyarakat ... 23

2. Kehidupan ekonomi ... 28

C. Agama dan Kepercayaan... 32

1. Kejawen... 32

2. Islam... 35

3. Katolik ... 36

D. Perkembangan Paroki Boro Sebelum Tahun 1965 ... 37

1. Perkembangan awal di Menoreh... 37

2. Peristiwa pembaptisan Sendangsono ... 38

(13)

xii

4. Lahirnya Stasi Kalibawang ... 41

5. Boro setelah Prennthaler ... .42

BAB III. FAKTOR PENDORONG GELOMBANG PEMBAPTISAN DI PAROKI BORO PASCA 1965 ... 46

A. Rasa Takut Masyarakat Terhadap PKI dan Tindakan Militer... 46

B. Permasalahan Agama yang Dianut Masyarakat ... 52

C. Mengenai Sikap Gereja Katolik ... 56

1. Sikap Keuskupan Agung Semarang... 59

2. Sikap Gereja Boro ... 61

D. Kedekatan masyarakat dengan Gereja ... 64

1. Perhatian Gereja ... 64

2. Hubungan keluarga ... 67

BAB IV. CARA PENDEKATAN DAN DAMPAK BAGI GEREJA KATOLIK BORO... 71

A. Mengedepankan Pendidikan dan Kesehatan... 71

3. Membangun sarana pendidikan... 72

4. Membangun fasilitas kesehatan ... 75

B. Membantu Kehidupan Sosial Ekonomi... 76

C. Pengajaran Agama ... 80

1. Melalui peran katekis ... 81

2. Melalui salawatan... 87

D. Melakukan Pendekatan Personal... 92

E. Dampak Bagi Gereja Katolik Boro ... 96

BAB V. PENUTUP... 98

DAFTAR PUSTAKA... 102

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. PetaWilayah Paroki Boro... 104

Lampiran 2. Lembar Baptis ... 105

Lampiran 3. Statistik Baptisan... 108

Lampiran 4. Tabel Baptisan 1966 dan 1967 ... 109

Lampiran 5. Daftar Wawancara ... 113

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Paroki Boro yang berdiri tahun 1929, terletak di kaki selatan Perbukitan Menoreh, memiliki dinamika yang khas dan sejarah yang panjang dalam perkembangan Gereja Katolik di Kalibawang atau wilayah Perbukitan Menoreh itu sendiri. Boro sekarang adalah pusat paroki yang wilayahnya mencakup sebagian wilayah Kalibawang dan Samigaluh1.

Ada alasan tersendiri yang membuat sejarah tentang Paroki Boro ini ingin diangkat. Pertama, Boro merupakan salah satu bagian dari perkembangan awal Gereja Katolik di Pegunungan Menoreh. Kedua, Boro menjadi pusat karya misi P. Prennthaler dan menjadi pusat paroki pertama di Menoreh. Ketiga, seluruh kegiatan misi Gereja Katolik di Perbukitan Menoreh dipusatkan di Boro. Selain itu, di Boro telah terjadi pembaptisan massal yang mengakibatkan kuantitas umat Katolik meningkat pesat. Hal itu terjadi pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1970 dengan pembaptisan paling besar terjadi pada tahun 1966 dan 1967. Hal itulah yang perlu

1

(16)

digali, sehingga dapat mengetahui penyebab dari peristiwa pembaptisan yang terjadi dalam jumlah yang besar itu.

Pasca G 30 S memberikan warna tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat karena saat itu telah terjadi berbagai situasi yang membuat masyarakat khawatir. Kurun waktu itu merupakan masa- masa yang sulit bagi masyarakat, karena harus menentukan pilihan. Itu disebabkan adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk agama. Selain itu, banyak terjadi pembunuhan terhadap orang-orang PKI, penahanan dan intimidasi yang membuat masyarakat resah. Jika keduanya digabungkan ke dalam satu permasalahan maka akan memiliki daya tarik dalam penulisan.

Dalam sejarah perkembangannya, Paroki Boro telah mengalami berbagai dinamika. Paroki Boro memiliki cakupan wilayah yang meliputi sebagian besar wilayah Pegunungan Menoreh yang terdiri dari sebagian wilayah Kalibawang dan Samigaluh. Dengan wilayah yang luas belum menjamin kuantitas umat sejak awal perkembangannya baik Tentunya ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, tetapi usaha menghimpun jemaat terus dilakukan antara lain adalah Barnabas Sarikrama yang merupakan pengikut P. Van Lith. Ia merupakan orang Katolik pertama di Kalibawang2. Usaha-usaha untuk menyebarkan pengaruh Katolik terus dilakukan oleh katekis-katekis yang menjadi penerus dari peran awam dalam menyebarkan

2 Sindhunata (editor ),

(17)

3

agama. Tokoh awam yang sangat gencar mengajarkan agama adalah Martinus Sowimorsidi.

Kedatangan Pastor Prennthaler pada tahun 1927 ke Boro membawa pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat Menoreh dengan mengawali pembentukan umat Katolik di Menoreh untuk menjadi sebuah paroki. Lewat prakarsa P. Prennthaler pula terbentuklah tim katekis yang bertugas untuk membantu pastor dalam rangka memperluas misi Gereja Katolik di wilayah tersebut3. Namun demikian, sejak tahun 1940-an sampai dengan tahun 1960-an perkembangan tidak menunjukkan kenaikan yang cukup berarti atau relatif tetap. Pada tahun 1940 jumlah Umat Katolik di Paroki Boro lebih kurang 2843 orang sementara jumlah baptisan sekitar 181 orang. Memang sepuluh tahun kemudian jumlah umat bertambah menjadi 3400 orang dengan jumlah baptisan kurang lebih 130 orang tiap tahunnya. Perkembangan dengan jumlah yang demikian membutuhkan waktu yang cukup lama4.

Tahun 1967 jumlah umat bertambah dua kali lipat, tepatnya 6400 orang5. Kenaikan dengan jumlah yang sangat banyak itu, tentu saja dipengaruhi oleh adanya peristiwa G 30 S yang memicu dikeluarkanya Tap MPRS No. XXVI/MPRS/19666

3

Hardawiriyana, Romo Prennthaler, S. J. Perintis Msi di Perbukitan Menoreh, Boro: 2002. Hal.29-34.

4

Lihat APENDIX VI dalam G. Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940 - 1981). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2005.

5 Ibid.

6 G. Budi Subanar,

(18)

yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk agama yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil yang demikian, tidak membuat semangat para katekis menjadi surut. Justru dengan adanya tantangan tersebut mereka terus menyebarkan pengaruhnya dengan berbagai cara.

Telah banyak tulisan mengenai sejarah gereja baik itu skripsi maupun tulisan tulisan ilmiah. Beberapa karya ilmiah yang dituliskan hanya mengenai perkembangan gereja semata, namun hanya sedikit yang mau menganalisis tentang situasi sosial masyarakat Katolik ketika menghadapi situasi seperti G 30 S yang melibatkan seluruh warga negara7.

Skripsi ini membatasi periode 1965-1970, karena pada tahun-tahun tersebut banyak sekali terjadi pembantaian massal di Pulau Jawa, serta dikeluarkannya Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 yang mengharuskan Warga Negara untuk memeluk agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara itu, pada tahun1966 dan 1967 telah terjadi pembaptisan massal di Paroki Boro serta di berbagai paroki di wilayah Keuskupan Agung Semarang.

Berdasarkan informasi lisan yang berasal dari masyarakat Boro serta tulisan yang sudah termuat tentang kebijakan Gereja menyikapi kekerasan Pasca G 30 S

7

(19)

5

karya G. Budi Subanar, serta beberapa buku lain yang termuat pada bagian kajian pustaka. Dengan referensi tesebut, maka dicoba untuk menelusuri dan merekonstruksi peristiwa yang terjadi untuk dituangkan dalam skripsi ini.

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan tugas akhir sebagai mahasiswa sejarah dengan latihan kerja ilmiah. Paroki Boro akan menjadi fokus penelitian dengan tujuan untuk melihat dan mencermati situasi yang terjadi, terkait dengan peristiwa tersebut yang memiliki kaitan langsung dengan pembaptisan massal selama pasca G 30 S.

Menurut Sartono Kartodirdjo, sejarah bukan sekedar catatan peristiwa, akan tetapi lebih dari itu. Sejarah dapat menjadi guru kehidupan8, sebagaimana ditulis dalam Ungkapan ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah ( 1986 : 5 ). Dengan adanya sejarah, orang dapat mengetahui peristiwa penting di masa lalu yang dapat berguna bagi masyarakat baik sekarang maupun untuk yang akan datang.

Ungkapan Sartono memiliki kebenaran sebab dari sejarah dapat diketahui peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Dari peristiwa itu orang tidak hanya sekedar ingin tahu tentang peristiwa yang terjadi sekaligus dapat menimba ilmu dan hikmah serta memahami makna dari suatu peristiwa.

8 Baca: Sartono Kartodirdjo,

(20)

B.

Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah sangat diperlukan untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas dengan alasan kemampuan serta keterbatasan untuk mengkaji suatu permasalahan dari topik penulisan. Setidaknya ada lima permasalahan yang dapat dikaji.

Pertama, mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Boro dan sekitarnya. Ini dimaksudkan sebagai gambaran atau latar belakang yang akan menjelaskan kehidupan masyarakatnya. Kedua, membahas mengenai faktor pendorong yang membuat masyarakat ingin dibaptis. Ketiga, membahas mengenai cara pendekatan yang dilakukan oleh Gereja sebagai realisasi dari Gereja menanggapi peristiwa G 30 S. Keempat, membahas mengenai perubahan sosial yang terjadi ketika masyarakat Boro minta untuk dibaptis dan banyak memeluk agama Katolik. Kelima adalah bagaimana Gereja menanggapi situasi pasca terjadinya G 30 S.

C.

Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimaana kondisi sosial budaya sebelum tahun 1965 yang melatarbelakangi masyarakat di sekitar wilayah Paroki Boro, sehingga minta untuk dibaptis selama pasca G 30 S tepatnya pada tahun 1967? 2. Apa yang mendorong masyarakat untuk memeluk Katolik setelah

(21)

7

3. Apa saja cara yang dilakukan oleh Gereja dalam rangka mendekatkan diri dan merangkul masyarakat sebagai bentuk realisasi Gereja dalam menyikapi G 30 S di tengah lingkungan Umat Paroki Boro?

D.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitiannya adalah:

1. Mengetahui kehidupan dan dinamika sosial budaya masyarakat di Paroki Boro, sebagai gambaran umum kehidupan masyarakat Boro untuk menambah khasanah dalam penulisan ini.

2. Mendeskripsikan faktor pendorong masyarakat Boro dan sekitarnya minta untuk dibaptis menjadi Katolik diperoleh dari hasil penelitian.

3. Mengetahui cara yang dilakukan oleh pihak Gereja dalam hal merangkul masyarakat untuk menjadi Katolik dan sebagai proses berlatih untuk menyelesaikan tugas akhir dalam penulisan skripsi.

E. Manfaat Penelitian

1. Penulisan tentang sejarah lisan dapat menambah khasanah dalam penulisan sejarah

(22)

F. Kajian Pustaka

Buku-buku yang memuat mengenai sejarah gereja sudah cukup banyak. Akan tetapi, bila diperhatikan secara cermat sejarah gereja yang khusus membahas situasi pasca G 30 S yang melibatkan masyarakat Katolik masih sangat sedikit. Untuk itu diperlukan sumber-sumber yang sekiranya dapat mendukung dalam penulisan ini.

Secara umum, dapat disampaikan beberapa buku yang dapat dijadikan sumber referensi dalam melakukan penelitian dan penulisan, sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pertama, Romo J. B. Prennthaler, Perintis Misi di Perbukitan Menoreh karya Hardawiryana tanpa penerbit dikeluarkan di Boro pada tahun 2002. Buku ini membahas mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh P. Prennthaler dalam usahanya mengembangkan misi Gereja Katolik di Perbukitan Menoreh. Dalam buku ini membahas tentang pola hidup masyarakat dan kondisi sosial budaya masyarakat yang ada di Perbukitan Menoreh pada umumnya dan Boro pada khususnya, serta perkembangan Gereja selama masa P. Prennthaler.

Kedua, DI-PKI-KAN, Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur

(23)

9

Ketiga, Menuju Gereja Mandiri, Sejarah Keuskupan Semarang di Bawah Dua Uskup (1940-1981). Karya G. Budi Subanar yang diterbitkan oleh Universitas Sanata Dharma, tahun 2005. Selain buku yang berjudul Di-PKI-kan buku ini juga menjadi referensi utama dalam penulisan ini. Pada bagian buku ini membahas mengenai Gereja menyikapi G 30 S dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat Katolik maupun terhadap Keuskupan Agung Semarang yang akan mendukung ketika membahas mengenai faktor pendorong terjadinya pembaptisan masal di Boro pasca G 30 S, serta sikapnya terhadap peristiwa tersebut.

Keempat, Sejarah Gereja Indonesia 4, Pengitegrasian ke Alam Indonesia. Oleh Muskens, Percetakan Arnoldus, Ende Flores tahun 1973. Dalam buku ini membahas mengenai sikap Gereja terhadap Partai Komunis serta sikap Partai Katolik terhadap PKI.

Kelima, A. T. Willis, Indonesian Revival: Why Two Million Came to Chris

Pasedana, 1977. Menceritakan tentang faktor pendorong yang membuat masyarakat Jawa Timur masuk menjadi Kristiani. Ini merupakan hasil sebuah penelitian di Jawa Timur.

(24)

Ketujuh, Indonesia Abad ke-20 Jilid 2, Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai Pelita III, ditulis oleh G. Moedjanto dengan penerbit Yayasan Kanisius pada tahun 1988.

Kedelapan, Menabur Benih Menggiring Angin, Sebuah Kisah Seorang Katekis di Boro, Martinus Sowimorsidi. Merupakan sebuah makalah yang ditulis oleh Mahasiswa Fakultas Teologi, Dodot Kusworo, dkk., pada tahun 2003. Merupakan hasil wawancara dengan Martinus Sowimorsidi. Dalam makalah tersebut termuat sedikit cerita mengenai orang-orang Boro yang dibaptis pada masa G 30 S.

Kesembilan, Sejarah Gereja Katolik Indonesia III B. Diterbitkan oleh Percetakan Arnoldus Ende Flores tahun 1974. Di sini sedikit memuat mengenai perkembangan Keuskupan Agung Semarang dari tahun ke tahun khususnya menjelang tahun 1965. Atau pada masa awal Kardinal Julius Darmojuwono menjabat sebagai uskup bersamaan dengan perkembangan Partai Komunis di Indonesia yang semakin menguat.

Kesepuluh, Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia. Oleh Pipitseputra Percetakan Arnoldus Ende Flores 1973. Dalam bagian tertentu ada yang membahas mengenai sikap masyarakat Katolik dan Gereja terhadap PKI.

Kesebelas, John Roosa, dkk. Tahun yang Tak Pernah Berakhir Memahami

(25)

11

kisah-kisah para korban pasca 65. Buku itn merupakan bentuk dari penulisan yang dihasilkan dengan metode wawancara.

G. Kerangka Konseptual

G 30 S adalah peristiwa nasional yang sangat besar, karena pada saat itu telah terjadi usaha perebutan kekuasaan. Peristiwa itu, diindikasikan didalangi oleh PKI. Usaha perebutan kekuasaan mengakibatkan tewasnya enam orang Jendral, sementara pasca G 30 S adalah situasi yang terjadi setelah G 30 S itu sendiri9.

Penggunaan istilah pasca G 30 S atau pasca 65 dianggap tepat karena peristiwa itu terjadi pada tahun 1965. Situasi yang terjadi itu kemudian diistilahkan dengan pasca G 30 S atau pasca 65, karena setelah masa itu masih banyak terjadi situasi yang gawat berhubungan dengan G 30 S10.

Pasca G 30 S telah terjadi berbagai peristiwa yaitu pembersihan PKI oleh militer, pembunuhan, penahanan, pemaksaan kehendak, serta yang paling berpengaruh dalam membawa perubahan bagi Indonesia adalah masalah ketetapan pemerintah yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk lima agama resmi. Untuk memahami periode tersebut, perlu mengetahui situasi masyarakat yang mengalaminya.

9

Robert Cribb, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Penerbit Syarikat, 2000.

(26)

Peristiwa itu diawali dengan pembunuhan kepada enam orang Jendral di Jakarta, disusul dengan usaha pemberantasan PKI oleh Militer dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No, IX/ MPRS/ 1966 sebagai tindak lanjut dari dari Supersemar yang berarti melarang keberadaan PKI di Indonesia11. Dengan dilarangnya PKI di Indonesia, maka posisi PKI dalam keadaan terjepit. Usaha-usaha untuk membersihkan PKI terus dilancarkan. Pemberantasan PKI di Jakarta telah berhasil dilaksanakan, namun untuk di daerah belum dilakukan. Untuk itu, Militer mengadakan penyisiran di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya penyisiran itu maka dendam lama antar organisasi di daerah berlanjut menjadi pertikaian, sehingga banyak terjadi pembunuhan. Setiap masyarakat sangat takut dengan situasi tersebuat karena satu dengan yang lain saling curiga. Pembunuhan itu tidak hanya tertuju kepada orang PKI saja, setiap orang bisa menjadi korban pembunuhan. Sebut saja di Klaten, bahwa setiap orang bisa saja dibunuh atau membunuh12. Aksi itu disebabkan oleh tindakan tindakan PKI yang sepihak pada masa sebelumnya.

Berdasarkan laporan setidaknya terdapat 800.000 orang terbunuh di Jawa Tengah dan Timur dan masing- masing 100.000 orang di Bali dan Sumatra13. Bukti ini memberikan fakta bahwa pada pasca G 30 S telah banyak terjadi korban yang disebabkan oleh aksi militer yang ingin menumpas PKI dan tindakan militer yang

11

Ibid Hal. 91-92. Lihat pula pada catatan kaki.

12

Ibid. Hal. 208.

(27)

13

melegalkan massa untuk ikut dalam proses penjaringan PKI14 yang menyebabkan banyak terjadi pemakasaan, intimidasi dan kekerasan ya ng menyebabkan banyak terjatuhnya korban baik di pihak PKI maupun yang tidak.

Pada masa itu, banyak pula terjadi penangkapan dan penahanan baik terhadap orang-orang PKI maupun yang teridentifikasi. Banyak orang yang kehilangan sanak saudara dan keluarganya sediri. Orang-orang yang ditahan kebanyakan tidak pulang lagi, karena ada indikasi dibunuh dan adapula yang dipindahkan ke penjara lain di luar daerahnya. Banyak pengalaman yang menyedihkan karena tragedi 30 September. Orang-orang yang teridentifikasi dihina dan dikucilkan dari masyarakat15. Pengalaman orang-orang yang harus kehilangan suaminya karena ditahan atau pengalaman seorang istri atau anak yang suami atau ayahnya di cap sebagai PKI tidak merasa nyaman dengan kehidupannya. Partono misalnya mengalami diskriminasi di sekolah maupun lingkungannya. Ia memiliki hobi bermain bola, tetapi kemudian berhenti karena dirinya disebut anak PKI oleh teman permainannya16.

Keputusan pemerintah yang membuat perubahan dalam masyarakat adalah mengenai keharusan beragama. Beragama merupakan hak asai, tetapi dalam situasi ini, pemerintah mencoba memperkecil ruang gerak PKI dengan mengharuskan masyarakat untuk beragama. Peraturan yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk agama diwujudkan dalam Tap MPRS No. XXVI/MPRS/1966 yang

14

Ibid. Hal.264.

15

John Roosa, dkk. Tahun yang Tak Pernah Berakhir Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 2004.

(28)

mengharuskan Warga Negara untuk memeluk agama resmi yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha17.

Masa-masa tersebut merupakan situasi yang paling suram bagi sejarah Indonesia, tidak saja dalam bidang politik namun kesemuanya saling berkaitan, sehingga menghasilkan permasalahan yang kompleks. Permasalahan itu tidak saja dialami oleh negara, tetapi juga bagi organisasi masa termasuk agama yang berarti berkaitan pula dengan kehidupan Gereja.

Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa di setiap daerah memiliki perbedaan karakter budaya, sehingga tidak dapat dipersepsikan dalam satu sudut pandang saja terutama dalam proses masuk agama seseorang. Dalam penelitian A. T Willis di Jawa Timur disebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat di Jawa Timur menjadi Kristen18. Selain karena dipengaruhi oleh ketetapan pemerintah masih ada faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor tersebut antara lain, ketakutan mereka terhadap aksi brutal militer dan massa. Itu dapat menjadi indikasi yang perlu diperhitungkan sebagai faktor itu sendiri.

Dalam buku Menuju Gereja Mandiri, Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (2005:152), G. Budi Subanar mengungkapkan bahwa orang ya ng masuk ke pengakuan Katolik dibagi ke dalam beberapa kelompok katekumen. Mereka itu terdiri dari kelompok korban revolusi politik tahun 1965, Kelompok

17

Op.Cit.

18 Baca: A. T. Willis dalam

(29)

15

Muslim Jawa yang dikenal dengan abangan atau biasa disebut masyarakat pada umumnya yaitu Kejawen, dan warga perkotaan yang terpisah dari kampung halaman dan relasi-relasi tradisional mereka19.

Adanya baptisan massal juga disebabkan peran katekis yang rajin mengajarkan agama dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Prennthaler pernah memerikan lonceng- lonceng Angelus

kepada umat Katolik di di Menoreh. Lonceng- lonceng itu ibarat katekis yang setia mewartakan Kerejaan Allah20.

Menurut Max Heirich setidaknya ada empat faktor yang bisa dijadikan faktor pendorong seseorang pindah atau masuk agama tertentu21. Pertama adalah mengenai pengaruh Ilahi. Seseorang tertarik untuk masuk atau pindah agama karena dipengaruhi oleh pengalaman religius. Kedua, mengenai masalah psikologi. Seseorang akan pindah atau masuk agama tertent u karena adanya tekanan psikologis dan batin. Ketiga, mengenai aneka permasalahan sosial. Permasalahan sosial bisa terjadi karena masyarakat yang hidup di daerah pedesaan hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan, Kemiskinan bisa disebabkan ole h kondisi alam yang menyertai ataupun desakan akan kebutuhan yang tinggi, tetapi di Boro kemiskinan lebih disebabkan kondisi alam dan sumber daya manusianya yang kurang.

19

G. Budi Subanar., Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940-1981). Yogyakarta: Univ Sanata Dharma 2005. Hal. 152.

20

Hardawiriyana, Ibid. Hal. 140-141.

(30)

Dengan demikian, peristiwa itu diharapkan bisa menjawab pertanyaan tentang peran Gereja, terkait dengan G 30 S yang masih dipermasalahkan. Hal yang masih dipermasalahkan itu antara lain, berhubungan dengan relevansi kejadian yang menjadi pokok masalah lain. Peran Gereja masih dipertanyakan berkaitan dengan G 30 S, serta masih diberlakukannya stigmatisasi pada eks tahanan politik.

Adapun aspek lain yang memotivasi masyarakat untuk memeluk Katolik dikarenakan adanya praktik liturgi Gereja Katolik mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di antaranya adalah kelahiran, perkawinan dan kematian di mana upacara liturgi tersebut sangat mirip dengan kebudayaan Jawa22. Proses perpindahan atau masuk agama dan pembaptisan massal dapat pula menyebabkan perubahan sosial. Apalagi peristiwa pembaptisan itu terjadi dalam jumlah yang sangat besar.

Manusia sebagai individu merupakan makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari kelompoknya. Menurut Anderson dan Parker dalam bukunya yang berjudul

Society its Organization and Operation ( 1964: 29 ) seperti yang dikutip oleh oleh Phil Astrid Susanto, diterangkan bahwa ciri-ciri masyarakat ialah adanya sejumlah orang yang tinggal di daerah tertentu, mengadakan atau mempunyai hubungan satu sama lain dan menbentuk suatu sistem hubungan antar manusia, serta terikat dan memiliki kepentingan bersama23. Selain itu, mereka juga memiliki tujuan dan kerja sama yang berdasarkan ikatan solidaritas dan pada akhirnya membentuk kebudayaan bersama.

22 Ibid.

(31)

17

H.

Metode Penelitian

Sejarah sebagai ilmu memiliki metode- metode sendiri, sama halnya dengan ilmu- ilmu lain. Metode yang digunakan dalam penelitian dan penulisan sejarah digunakan untuk mengungkapkan kebenaran dan menganalisis fakta- fakta atau peristiwa, sehingga dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lampau. Permasalahan yang sudah dirumuskan didekati dengan berbagai langkah sehingga menghasilkan tulisan yang sistematis.

Metode penelitian atau penulisan digunakan untuk menentukan langkah langkah atau cara yang baik dalam melakukan penelitian maupun penulisan termasuk dengan pendekatan terhadap ilmu- ilmu sosial Berikut adalah langkah-langkah penelitian.

Topik yang dipilih dalam penulisan skripsi ini sudah disebutkan dengan berbagai faktor pendorong yang menyertai terjadinya pembaptisan pada masyarakat di sekitar wilayah Paroki Boro. Langkah kedua adalah mengumpulkan sumber. Sumber sangat penting karena dalam penulisan sejarah sumber adalah hal utama dalam proses mendapatkan tulisan yang ilmiah. Sumber dalam skripsi didapat dari studi pustaka yaitu melalui buku-buku yang berkaitan dengan topik yang dipilih.

(32)

yang ada dalam buku baptis. Di samping itu, dilengkapi pula dengan sumber sekunder yang berasal dari tulisan-tulisan yang diperoleh melalui studi pustaka.

Penulisan dalam skripsi ini tidak sepenuhnya berupa hasil wawancara. Banyak pula sumber tertulis yang digunakan dalam penulisan. Namun, untuk memperjelas permasalahan, maka diperlukan wawancara dengan teknik sejarah lisan. Maksud dari penulisan sejarah lisan adalah untuk mempertegas sebuah asumsi agar dapat mendekati kebenaran yang ingin dicapai. Untuk menilai kebenaran dalam wawancara lisan penulis menggunakan prosedur seperti pada sumber-sumber tertulis dengan memerikasa ulang informasi dan data yang diperoleh. Idealnya sejarah lisan digunakan untuk mendukung sumber-sumber tertulis.

Sejarah lisan bukan hanya teknik untuk melengkapi kekurangan dari rekaman tertulis. Sejarah lisan telah mengubah seluruh watak penulisan sejarah, dengan menampilkan bukti-bukti dari bawah. Hal itu dapat dilakukan dengan memindahkan fokus dan membuka wilayah penyelidikan baru dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini dipegang oleh sejarawan dengan memperhatikan orang-orang yang selama ini diabaikan. Ini berdasarkan tulisan Paul Tmpson24

.

Wawancara yang dilakukan berhubungan langsung dengan saksi sejarah, serta tokoh-tokoh yang berkepentingan pada pasca 1965 atau yang terkait dengan permasalahan tersebut. Para saksi sejarah itu dijadikan narasumber dengan catatan mereka terlibat langsung. Ada tiga kriteria yang dilakukan untuk dapat melakukan wawancara. Pertama, narasumber adalah tokoh yang terlibat langsung mengadakan perubahan atau terlibat langsung di dalamnya. Kedua, mereka adalah para saksi yang terdiri dari orang-orang Katolik. Mereka sudah lebih dahulu menganut Katolik dan

(33)

19

kebetulan tahu benar dengan situasi yang terjadi. Ketiga, para pelaku pelaku sejarah yang pada waktu itu menjadi para calon baptis.

Narasumber yang dijadikan kunci adalah Martinus Sowimursidi. Di samping itu, didapat pula narasumber lain berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh saksi kunci pertama, serta berdasarkan kriteria sendiri. Denga n demikian, terjadilah suatu proses wawancara dan proses penelusuran berkelanjutan.

Terkait dengan proses penelusuran berkelanjautan, sebenarnya di dalamnya sudah berlangsung atau terjadi kritik sumber. Untuk sumber sekunder, sudah dilakukan kritik, sehingga dapat dimuat sebagai sumber. Pada akhirnya kedua sumber kemudian di padukan dan disusun secara sistematis ke dalam bentuk tulisan.

I. Sistematika Penulisan

BAB I, pada bab ini merupakan bagian pendahuluan yang jabarkan ke dalam delapan sub bab, seperti latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian dan yang terakhir adalah sistematika penulisan.

(34)

Adapun pada bab ini akan membahas secara detail mengenai letak dan kondisi geografis, kehidupan sosial dan budaya seperti mata pencaharian hidup, keadaan masyarakat, serta religi dan agama yang pernah hidup di sana. Selain itu, juga akan membahas sedik it perkembangan Gereja Katolik. Ini merupakan gambaran kehidupan sosial masyarakat sebelum masuk kepada tema pokok penulisan ini.

BAB III, pada bagian ini akan membahas mengenai faktor pendorong masyarakat mau dibaptis yang berupa ulasan mengenai G 30 S dan dampak dampaknya pasca G 30 S, seperti pembantaian terhadap orang-orang komunis dan Tap MPRS tahun 1965 yang mengharuskan masyarakat untuk memeluk agama, serta sikap dan perhatian gereja terhadap masyarakat baik dari Keuskupan Agung Semarang. Kesemuanya itu merupakan faktor pendorong terjadinya pembaptisan massal pada tahun 1967.

BAB IV, khusus membahas mengenai cara-cara yang dilakukan oleh Gereja baik dari Keuskupan Agung Semarang maupun Paroki Boro dalam rangka mendekatkan diri kepada masyarakat di Paroki Boro dan sekitarnya terutama mengenai pendidikan dan kesehatan, membantu kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta kegiatan katekis terutama melalui pengajaran agama kesenian. Pada bagian ini juga membahas mengenai dampak yang diperoleh bagi Paroki Boro.

(35)

21

BAB II

SITUASI SOSIAL BUDAYA DAN PERKEMBANGAN

PAROKI BORO SEBELUM TAHUN 1965

A.

Kondisi Geografis

Untuk mengetahui letak dan kondisi sosial masyarakat yang berada di wilayah Boro, pada bagian ini dijelaskan mengenai keadaan geografis yang terdiri dari letak dan kondisi alam. Bab ini juga menjelaskan mengenai kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial masya rakat, serta budayanya. Selain itu, penjelasan mengenai letak berfungsi untuk mengetahui geografis dari Paroki Boro itu sendiri.

1. Letak geografis

Wilayah Paroki Boro berada di bagian selatan Pegunungan Menoreh membentang dari timur ke barat. Di sebelah timur berbatasan dengan Kali Progo sebelah barat berbatasan dengan wilayah Purworejo. Sementara itu, di sebelah utara batasnya masih dalam wilayah Kecamatan Kalibawang. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Nanggulan.

(36)

yang berada di Kecamatan Kalibawang dan tujuh desa yang berada di Kecamatan Samigaluh.

Dalam wilayah kerja gereja, wilayah tersebut dibagi menjadi 30 lingkungan dan 4 stasi tercatat pada tahun 200225. Boro merupakan pusat paroki karena sejak tahun 1927 tempat ini adalah pusat misi Gereja Katolik di Kalibawang. Letak Boro cukup strategis untuk dijadikan pusat paroki, karena letaknya yang berada di tengah tengah. Dengan letaknya yang strategis para pastor dapat menjangkau seluruh wilayah dengan jarak tempuh yang rata-rata sama. Saat ini, Boro masuk dalam wilayah Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo.

2. Keadaan alam

Kondisi tanah relatif kurang subur. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber air baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan hidup lainnya. Pada musim hujan akan tampak hijau, namun ketika musim kemarau akan tampak lapisan tanah merah dan kapur dalam keadaan pecah-pecah.

Namun sampai saat ini, apabila terjadi kemarau masyarakat sangat menderita karena kekurangan air. Hal itu disebabkan oleh kurangnya sumber mata air, sehingga masyarakat harus bersusah payah untuk mendapatkan air. Ini dialami oleh masyarakat terutama yang bertempat tinggal di perbukitan. Bukit yang ada memiliki lembah yang sempit sehingga daerahnya memiliki kemiringan yang tajam

25 Sumber berasal dari

Buku Kenangan 75 Tahun Gereja Santa Teresia Lisieux Boro (1927-2002).

(37)

23

B.

Kehidupan Sosial Ekonomi

Sedikit banyak kehidupan masyarakat di sekitar Paroki Boro atau masyarakat pada umumnya di Perbukitan Menoreh sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial dan ekonomi. Pada masa kedatangan P. Prennthaler kehidupan dan perilaku sosial masyarakat di sana masih sangat mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam kehidupan ekonomi mereka masih sangat bergantung pada alam. Pada masa itu pula, mereka masih hidup dalam kemiskinan karena keadaan alam yang sangat tidak menguntungkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

1. Perilaku sosial masyarakat

Dengan melihat pernyataan seperti yang sudah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa seluruh wilayah Paroki Boro berada di wilayah pedesaan. Sebagaimana pada umumnya, sebagian besar orang Jawa tinggal di pedesaan. Khususnya masyarakat di Perbukitan Menoreh, sampai sekarang masih dapat terpantau dengan jelas bahwa wilayahnya adalah daerah pedesaan.

Sebagian besar orang Jawa tinggal di dalam komunitas-komunitas yang dinamakan desa. Desa merupakan sebuah unit di dalam area administratif pemerintahan. Keluarga-keluarga Jawa tinggal di rumah yang halamannya ditanami pohon dan dibatasi dengan suatu batas tertentu26.

26 G. Budi Subanar.,

(38)

Keadaan wilayah yang ada di Paroki Boro memang seperti apa yang sudah dijelaskan di atas. Wilayahnya yang berbukit-bukit membuat mereka memiliki ciri khas tersendiri. Daerah ini dahulunya sangat sulit untuk dijangkau dari luar daerah karena tidak banyak sarana jalan yang memadai. Keadaan yang demikian membuat perkembangan kehidupan sosialnya berjalan lebih lamban dibandingkan dengan daerah lain. Kondisi yang demikian, memang sangat berpengaruh terhadap pola perilaku ataupun pola hidup sehari- hari. Mereka terkesan dengan kesederhanaannya dan keprihatinan karena kondisi alam yang menyertainya. Seperti masyarakat desa pada umumnya mereka hidup dalam kesederhanaan.

Kekerabatan sangat kuat karena rata-rata dalam satu pedukuhan masih memiliki hubungan keluarga. Lagipula, populasi dalam satu pedukuhan jumlahnya cukup sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di dataran rendah. Karena masih memiliki hubungan keluarga, maka kerja sama antar masyarakat berkembang dengan baik, misalnya dalam hal gotong-royong.

Sifat kegotongroyongan masyarakat di sini bisa ditunjukkan melalui peran serta mereka dalam berbagai kegiatan atau hajatan terutama yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, maupun yang berkaitan dengan unsur keluarga. Kegotongroyongan ini terjadi apabila terutama perkawinan, upacara bersih desa, kematian, panenan dan lain- lain.

(39)

25

turun bersama bekerja membantu pekerjaan yang punya hajatan, bahkan kebersamaan itu masih sering terlihat dan masih dilaksanakan sampai sekarang ini.

Tata susila masyarakat juga bisa dikatakan sangat baik. Rasa hormat mereka terhadap sesama cenderung sangat tinggi. Masyarakat saling menjaga keserasian dan keharmonisan baik antar keluarga besar, maupun masyarakat yang berada di wilayahnya.

Pada masa Pastor Prennthaler banyak sekali terjadi perceraian. Ini diakibatkan oleh perkawinan muda yang menyebabkan perceraian itu terjadi. Dalam usia yang relatif muda mereka sudah harus menanggung beban rumah tangga, sehingga tidak mengherankan kalau orang-orang tua pada masa itu bisa menikah dua atau tiga kali semasa hidupnya27.

Sejak masuknya pengaruh Katolik keadaan semakin baik dengan semakin berkurangnya perceraian. Berkurangnya angka perceraian itu disebabkan semakin banyaknya masyarakat yang menganut Katolik. Dalam hukum Katolik hanya diakui satu kali perkawinan selama suami istri masih hidup dan membina rumah tangga.

Perkawinan bagi orang Jawa adalah sesuatu yang sangat penting. Perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tatanan kehidupan. Dalam hal ini orang tualah yang mempunyai kewajiban untuk menikahkan anaknya, karena merekalah yang membesarkan anak-anak, sehingga mereka berhak untuk menyaksikan anak mereka menikah. Selain orang tua yang memiliki hak dan kewajiban anak juga memiliki hak dan kewajiban terhadap orang tuanya. Seorang

27

(40)

anak wajib mematuhi orang tuanya karena orang tualah yang akan mengarahkan mereka agar menjadi baik. Anak wajib menerima bimbingan dari orang tuanya, karena anak menjadi tanggung jawab orang tua sampai ia menikah28.

Sebagai orang Jawa pada umumnya lebih senang menghindarkan diri dari perselisihan. Segala sesuatu yang sekiranya tidak cocok dalam pikiran atau pandangan selalu didiamkan. Jarang sekali hal- hal buruk ya ng menyangkut nama baik orang lain diungkapkan di depan umum. Sehingga, bagi orang yang tidak memahami kebiasaan mereka memandang mereka sebagai orang yang suka menghindarkan diri dari sebuah permasalahan.

Agaknya rakyat Jawa tidak mentang-mentang menyerbu bahaya atau menentang resiko yang berat, tetapi mencoba untuk sedapat mungkin mengelak atau menghindarinya. Sikap sikap itu dilatih dan dikembangkan menghadapi situasi serta kondisi-kondisi sosial. Rasa takut untuk menyinggung perasaan sesama menguasai bahasa mereka, Khususnya dalam kontak langsung dengan pihak-pihak yang agak asing, rakyat sedapat mungkin mengesampingkan pendapat pribadi masing-masing dan meniti jalan-jalan politik supaya jangan sampai melanggar peraturan tata susila dan etiket sopan santun dan kejatmikan29.

Berdasarkan penjelasan Hardawiriyana di atas, maka dapat diketahui sejauh mana tata susila yang dipegang erat oleh masyarakat Jawa. Di situ dijelaskan bahwa segala sesuatu harus diselesaikan dengan jalan politik. Apa dimaksudkan di sini tentunya adalah bagaimana mereka menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.

Mereka tidak akan bertindak sembrono dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat lebih memilih mendiamkan masalah atau dengan cara lain yaitu dengan

28 Baca: Koentjaraningrat., Kebudayaan Jawa Mengenai Sistem Upacara Agama Jawi. Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Hal. 36-47.

(41)

27

mencari penengah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka. Jadi, penyelesaian konflik yang mereka lakukan adalah dengan jalan melakukan musyawarah terlebih dahulu.

Latar belakang pendidikan masyarakat pada umumnya masih sangat rendah. Sampai dengan 1965 jumlah masyarakat yang sudah mengenyam pedidikan masih sangat sedikit. Tentunya ini sangat berpengaruh terhadap cara berpikir masyarakat. Jikapun ada, masyarakat hanya mengenyam pendidikan sekolah rakyat atau setingkat SD. Tahun 1930-an sudah terdapat sekolah katolik di berbagai wilayah di Menoreh di antaranya Balong, Gorolangu, Boro, Ploso30 dan lain- lain, tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengenyam pendidikan. Alasan tersebut lebih didasarkan kepada alasan gegrafis di Menoreh yang berbukit, sehingga sekolah-sekolah yang ada sulit dijangkau oleh masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah, sehingga anak usia sekolah lebih banyak mengikuti orang tuanya ke ladang dibandingkan sekolah. Kemampuan ekonomi masyarakat juga cukup rendah, sehingga mereka kesulitan untuk membayar biaya sekolah anak-anak mereka. Anak-anak yang telah menempuh pendidikan tinggi dan masih produktif, pada umumnya memilih untuk bekerja di kota, sehingga di desa jarang sekali didapat orang-orang berpendidikan kecuali yang sudah pensiun dan kurang produktif sehingga pembangunan berjalan lambat.

(42)

2. Kehidupan ekonomi

Keadaan alam yang gersang sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian masyarakat. Pendapatan masyarakat dari hasil pertanian sangat kecil, bahkan mungkin tidak mencukupi kebutuhan lain di luar kebutuhan sehari- hari. Hamparan sawah yang cukup luas hanya bisa terlihat di Kelurahan Banjarasri, Banjararum dan Banjarharjo yang kesemuanya terletak di Kalibawang. Sementara itu, seluruh desa di Kecamatan Samigaluh tidak dimungkinkan untuk mengembangkan pertanian tanah basah. Pertanian yang mereka andalkan adalah tegalan dengan tanaman berumur panjang. Tanaman umur panjang tersebut adalah jati31 dan cengkeh. Tanaman lain yang dapat hidup adalah singkong, ketela rambat yang merupakan tanaman yang dapat hidup ditanah kering. Namun, tanaman seperti singkong dan ketela rambat pada waktu itu bukanlah tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Hasil pertanian seperti singkong mereka jual ke Muntilan, Samigaluh atau Dekso yang memang merupakan daerah yang strategis. Namun perjalanan mereka yang jauh dan hanya mengandalkan jalan kaki memerlukan waktu yang lama. Waktu banyak tersita di perjalanan, sementara barang dagangan yang bisa dibawa jumlahnya sedikit. Sementara itu, pasar tidak dibuka setiap hari seperti sekarang ini. Berdasarkan kebiasaan orang Jawa, setiap pasar memiliki hari pasaran masing- masing.

31

(43)

29

Dalam pengelolaan sawah, para pemilik biasanya memberikan tanah untuk digarap dengan hasil dibagi dua. Sistem pengupahan kepada penanam dan pemanen dibagi enam dengan para penggarap. Sawah yang terdapat di wilayah Menoreh tidak terlalu luas, sehingga banyak lahan tegalan yang kemudian ditanam dengan tanaman berumur panjang.

Boro dialiri sungai dengan debit air yang cukup besar. Di Samigaluh juga dialiri anak Sungai Progo. Sementara itu, di Boro terdapat sumber air yang mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Boro. Di wilayah lain, terdapat sumber air yang sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun jarak yang harus ditempuh sangat jauh. Dengan alasan itu, masyarakat yang tinggal di bagian bukit mengalami kesulitan akan air untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan MCK saja sangat kesulitan, apalagi harus memenuhi kebutuhan pertanian. Sebagian masyarakat memiliki tanah luas, tetapi hanya sebagian kecil saja. Pada umumnya masyarakat memiliki tanah yang kecil, sehingga hasil dari lahan pertanian yang mereka miliki hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya.

(44)

Di Kalibawang terdapat saluran irigasi yang sudah sangat baik. Namun irigasi tersebut tidak cukup membantu masyarakat, karena sebagian lahan pertanian basah adalah milik kas desa atau bengkok yang hanya digarap oleh para pamong desa. Sementara, masyarakat hanya mengharapkan belas kasihan dari para pamong desa yang akan memberikan lahan tersebut kepada masyarakat untuk digarap.

Saluran irigasi yang ada hanya mampu mengaliri sebagian kecil dari wilayah Kalibawang. Ini disebabkan oleh wilayah yang berbukit-bukit, sehingga tidak semua masyarakat yang ada di Menoreh dapat menikmatinya. Mungkin hanya tiga desa yang mampu dialiri air irigasi. Selebihnya air dinikmati oleh masyarakat di luar wilayah Kalibawang yang berada di selatannya, bahkan Samigaluh sama sekali belum memiliki irigasi.

Pemeliharaan hewan dilaksanakan dengan sitem gaduh atau bagi hasil dengan dengan cara pemilik memberikan indukan untuk dipelihara orang lain. Induk tetap menjadi milik tangan pertama. Pembagian hasil terlaksana bila indukan menghasilkan anak, karena yang dibagi adalah anak hewan. Indukan dihitung sewa pelihara, karena oleh pemilik akan diberikan jasa pemeliharaan.

(45)

31

dihuni. Hal itu baru dapat dilihat sejak awal tahun 1990-an, Peningkatan tersebut dihasilkan oleh masyarakat yang bekerja di luar daerah, Sementara masyarakat yang memilih bertahan kehidupan ekonominya tetap tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Kehidupan ekonomi di Boro mengalami stagnasi karena banyak terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota akibat meningkatnya kalitas sumber daya manusia. Manusia- manusia berkualitas lebih memilih bekerja dikota. Penduduk Menoreh rata-rata adalah orang tua dan orang-orang yang tidak mampu menempuh pendidikan tinggi.

Masyarakat tidak memiliki sarana MCK (mandi, cuci dan kakus) yang baik karena pada masa itu masyarakat tidak memiliki kamar mandi, Untuk membuang hajat, masyarakat melakukannya di kebun-kebun maupun di kali. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan akan air mereka harus berjalan kurang lebih satu kilo meter bahkan lebih. Memang pada kenyataanya di Menoreh langka akan air

(46)

C.

Agama dan Kepercayaan

Sejak dahulu masyarakat Menoreh sangat terikat dengan tradisi lama terutama masalah religi. Namun demikian, masyarakat Menoreh tidak dapat menolak pengaruh-pengaruh baru seperti masuknya Islam dan Katolik. Masyarakat menoreh pada tahun 1960-an setidaknya memeluk satu kepercayaan yaitu Kejawen dan dua agama, yaitu Islam dan Katolik. Untuk Islam dan Katolik jumlahnya tidak terlalu banyak. Masyarakat masih hidup dengan kebudayaannya sendiri.

1. Kejawen

Aliran ini bisa dikatakan sebagai agamanya masyarakat Jawa, karena memang aliran ini hanya terdapat di Pulau Jawa. Masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta sangat memegang teguh kepercayaan ini. Belakangan masyarakat perkotaan sudah kurang mengamalkan lagi. Kepercayaan ini bisa dilihat di daerah pedesaan, karena di daerah perkotaan di Jawa sudah dikuasai oleh Islam Modern.

Kejawen32 merupakan unsur kepercayaan asli masyarakat yang bercampur dengan berbagai macam kebudayaan. Dalam Kejawen terdapat unsur Hindu Buddha dan Islam. Namun mereka tidak dapat menghilangkan kebiasaan lama mereka

32

(47)

33

terhadap pemujaan roh, pengadaan sajian-sajian, menghormati tempat tempat keramat dan lain sebagainya.

Menurut Greetz dalam buku Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia (Pipitseputra:1973) berpendapat bahwa Kejawen merupakan agama masyarakat

abangan. Konteks tentang agama masyarakat abangan dijelaskannya sebagai sebuah sinkritisme berimbang yang terdiri dari dongeng dan upacara yang di dalamnya terdapat dewa-dewi Hindu, nabi- nabi dan para suci Islam serta roh-roh dan hantu setempat mendapatkan tempat yang pantas33.

Keagamaan masyarakat desa itu sendiri merupakan bentuk integrasi yang seimbang antara unsur-unsur animisme, Hinduisme dan Islam, yang melebur ke dalam suatu sinkritisme dasar Jawa dan menjadi tradisi rakyat pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kejawen sudah lama ada pada masyarakat Menoreh. Bahkan, sudah sejak dahulu kepercayaan ini telah dianut masyarakat. Kejawen juga bisa dikatakan tradisi karena kepercayaan tersebut sudah sangat mengakar pada masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari pengamalan mereka akan Kejawen sangat tinggi. Ini dibuktikan dengan rutinnya masyarakat mengadakan ritual-ritual yang menurut agama lain dikatakan penyembahan berhala.

Konsep keyakinan Kejawen pada masyarakat pedesaan sangat sederhana. Tuhan adalah pencipta dan karena itu adalah penyebab dari segala kehidupan dunia dan seluruh alam dan hanya ada satu Tuhan. Dengan adanya keyakinan seperti itu

(48)

membuat masyarakat desa lebih mendekatkan diri dengan alam sehingga perlu untuk dihormati demi untuk keselamatan dan kedamaian diri.

Terutama bagaimanapun juga mereka tidak akan merupakan roh-roh dan dewa dewi para leluhur. Tetapi lebih khusus lagi menyampaikan sajian-sajian kepada roh-roh leluhur desa mereka, juga di hutan-hutan dan di pegunungan, di sungai sungai dan banyak sumber air di pertigaan, di perempatan, dekat batu-batu besar pohon-pohon yang tua serta tempat-ternpat yang lain yang dianggap memiliki kekuatan mistis. Selain itu juga ada sesaji untuk matahari, rembulan bintang-bintang langit dan bumi, api dan air, mata angin, berbagai musim tahun-tahun, bulan-bulan, wuku-wuku, hari pasaran, bahkan kepada roh emas perak berlian dan besi34.Mayoritas masyarakat Menoreh adalah penganut Kejawen35.

Meskipun pada tahun tahun 1960-an Masyarakat Menoreh diklaim sebagai pemeluk Islam namun pada kenyataanya masya rakat kurang menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam. Kepercayaan mereka terhadap takhayul dan klenik, serta segala sesuatu yang berbau gaib cukup tinggi, sehingga tidaklah mengherankan kalau masyarakatnya masih menjalankan ritual-ritual seperti yang telah disebutkan di atas. Mereka melakukan ritual di tempat-tempat keramat dan menghormati roh-roh nenek moyang. Namun, satu hal yang penting mereka melakukan semedi di tempat-tempat keramat yang dianggap memiliki kekuatan mistis. Tujuan melakukan semedi adalah untuk mendapatkan wangsit sebagai petunjuk dalam menjalankan hidup.

Dalam Kejawen juga terdapat upacara- upacara yang merupakan tindakan untuk memberikan keselamatan diri atau untuk membantu mereka yang sudah meninggal agar diberi kedamaian di alam lain, serta tindakan mereka untuk melakukan pembersihan diri dari marabahaya. Upacara-upacara yang sering

34

Hardawiryana, Op. Cit. 35

(49)

35

dilakukan adalah mengadakan slametan pada waktu usia kehamilan tujuh bulan serta kelahiran bayi, kematian, nyekar serta upacara upacara lain yang ditujukan untuk acara pembersihan diri seperti yang disebutkan di atas.

Diadakannya selametan itu roh-roh diperdamaikan, hingga mereka tidak mempergunakan kekuasaan mereka untuk mengganggu ketenangan. Sehingga ada slamat tidak ada sesuatu apapun atau tidak ada sesuatu yang menimpa siapapun. Maka dari itu, bukan doa-doa melainkan makananlah yang merupakan unsur terpenting bagi selamatan36".

Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa masyarakat Jawa pedesaan lebih mendalami sesuatu yang lebih berhubungan dengan kekuatan alam bukan pada pengalaman imannya. Itu penanda bahwa mereka senantiasa menjaga keseimbangan dengan alam agar selalu memberikan jalan terbaik bagi kehidupan mereka.

2. Islam

Agama Islam, sama halnya seperti Kejawen sudah lama masuk. Keberadaan Islam hanya sebagai label saja karena masyarakat cenderung masih menganut kepercayaan lokal. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya Islam bisa masuk ke daerah Menoreh. Islam baru masuk ke Menoreh sekitar awal Abad ke-20 hampir bersamaan dengan masuknya pengaruh Katolik yaitu Muhammadiyah. Kedatangan pengaruhnya di Menoreh harus bersaing dengan Katolik yang juga mulai eksis di sana. Agama Islam juga dapat berkembang baik di Menoreh karena mereka dapat hidup berdampingan dan beradaptasi dengan kebudayaan yang ada37.

36

Baca Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa Mengenai Sistem Upacara Agama Jawi. Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Hal. 343-379.

(50)

Adapun basis-basis kekuatan Islam di Menoreh berdekatan dengan basis kekuatan Katolik. Dekso adalah basis Agama Islam, sementara Boro merupakan basis pengaruh katolik yang letaknya tidak jauh dan Dekso38. Begitu pula di daerah lainnya di Menoreh basis pengaruhnya selalu berdekatan dengan basis pengaruh Katolik, sehingga tampak sekali persaingan di antara keduanya terutama dalam hal memerebut pengaruh dalam masyarakat.

3. Katolik

Agama Katolik secara resmi masuk ke Boro sekitar awal abad ke-20 atau tepatnya pada tahun 1927 setelah kedatangan P. Prennthaler. Sebelumnya pengaruh Katolik sudah masuk melalui Sendangsono. Basis misi Agama Katolik kemudian berpindah ke Boro. Boro merupakan sentral masyarakat Katolik di Paroki Boro.

Usaha tersebut, juga ditunjang oleh para katekis pada masanya yang turut andil dalam menyebarluaskan pengaruh Katolik di seluruh Pegunungan Menoreh. Pastor Prennthaler juga memberikan tindakan-tindakan nyata dalam memberikan pewartaannya yaitu dengan memberikan lonceng- lonceng39 kepada umat Katolik di seluruh Menoreh. Lonceng- lonceng tersebut ibarat katekis-katekis yang setia mewartakan iman Katolik kepada seluruh umat, karena dngan lonceng tersebut umat Katolik semakin rajin dalam berdoa terutama pada masa itu.

38Ibid.

(51)

37

D.

Perkembangan Paroki Boro

Perkembangan Paroki Boro tidak pernah dilepaskan dari peristiwa pembaptisan di Sendangsono pada tahun 1904. Setelah peristiwa itu pengaruh Katolik mulai tersebar ke seluruh Pegunungan Menoreh yang sekarang sudah terbagi menjadi tiga paroki yakni Paroki Nanggulan, Paroki Boro dan Paroki Promasan. Untuk lebih jelas pada bagian berikut menjelaskan mengenai sejarahnya

1. Perkembangan awal di Menoreh

Berada di bawah naungan Vikariat Apostolik Belanda, Semarang berkembang menjadi pusat misi baru di Indonesia yang membawahi seluruh daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dari Semarang inilah kaum misioner mulai menyebar ke seluruh penjuru Jawa Tengah dan Yogyakarta. Salah satu di antaranya adalah Muntilan yang menjadi titik pusat penyebaran agama Katolik di Kalibawang dan daerah lain di bagian selatan Muntilan.

(52)

Di Muntilan ada seorang pastor Belanda yang bemama van Lith. Ia terkenal sangat dekat dengan masyarakat sekitarnya karena pemahaman budaya yang baik40. Dengan pemahaman yang baik memudahkannya untuk mendekatkan diri dan bergaul dengan masyarakat yang ada di Muntilan. Dari kedekatannya ini sangat dimungkinkan untuk mempermudah penyebaran pengaruh, bukan saja terhadap masyarakat Muntilan, tetapi juga kepada masyarakat yang agak jauh tetapi bisa menjangkau Munt ilan dalam waktu yang cepat, sehingga intensitas pertemuan mereka lebih banyak.

2. Peristiwa pembaptisan Sendangsono

Pada tanggal 14 Desember 1904 di Sendangsono telah terjadi pembaptisan massal dengan jumlah 171 orang41. Itu merupakan peristiwa sejarah terbesar pertama yang terjadi di Menoreh dan merupakan prestasi yang luar biasa bagi perkembangan misi Katolik. Untuk Pulau Jawa, ini merupakan prestasi tersendiri bagi karya misi Gereja Katolik. Dengan pembaptisan tersebut, terbukalah kesempatan untuk mengembangkan misi Gereja di Pulau Jawa yang dianggap sangat suram42. Di baptisnya masyarakat Semagung itu telah membuka kembali harapan kaum misioner sehingga karya mereka dapat diteruskan.

40

Baca: A, Heuken, Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Kursus Kader Katolik, 1971. Hal. 65.

41 Ibid

(53)

39

Peristiwa itu bermula dari perkenalan antara Barnabas Sarikrama dengan P. van Lith di Muntilan. Sarikrama yang pada saat itu mengalami sakit borok dikakinya diobati oleh P. van Lith dan penyakitnya berhasil disembuhkan. Oleh karena kesembuhannya, ia membulatkan niatnya untuk menjadi Katolik. Ia minta diajarkan agama dan dipermandikan.

Ketika telah dibaptis, Sarikrama berjanji untuk ikut menyebarkan pengaruh Katolik di kampung halamannya yaitu Semagung. Janji Sarikrama memang ditepati. Sebelum ia dibaptis, telah ada tiga sahabatnya yang mengikuti jejak Sarikrama untuk dibaptis. Pada saat itu ada empat orang yang dibaptis menjadi Katolik. Mereka dibaptis pada tanggal 20 Mei 190443. Sejak saat itu Sarikrama telah membulatkan tekadnya untuk mengajarkan agama kepada masyarakat yang berada di kampung halamannya. Puncaknya pada tanggal 14 Desember 1904, ia telah berhasil merekrut jemaat baru yang oleh P. van Lith kemudian dibaptis di Sendangsono.

Setelah pembaptisan itu, Sarikrama masih terus melanjutkan karyanya. Kali ini tidak hanya dan kalangan kerabat, serta masyarakat yang ada di desanya. Tetapi kemudian masuk lebih dalam ke seluruh wilayah Pegunungan Menoreh untuk mengajarkan agama dengan berkeliling dari kampung ke kampung hanya untuk mengajarkan agama sampai pada hari tuanya. Meskipun tanpa adanya pendampingan dari gembala Gereja, atas kebulatan tekad dari Sarikrama masyarakat Menoreh sedikit

43

(54)

demi sedikit beralih untuk menjadi Katolik. Hal itu tidak terkecuali Boro yang juga mendapatkan sentuhan tangannya. Sedikit demi sedikit jumlah umat Katolik di Menoreh meningkat, sehingga sudah saatnya untuk menjadi paroki sendiri.

3. Misi berpindah dari Muntilan ke Boro

Pusat perkembangan di Menoreh pertama kali terjadi di Sendangsono. Perkembangan misi Katolik di Sendangsono lebih ditonjolkan atau yang lebih berperan adalah kaum awam, sehingga misi Katolik di sana boleh dikatakan mandiri.

Ketika Pastor Prennthaler masuk ke Kalibawang, ia lebih memilih Boro tanpa melupakan Sendangsono sebagai cikal bakal perkembangan Katolik di Menoreh. Permasalahan itu akan dibahas pada bagian selanjutnya mengenai lahirnya Stasi Kalibawang, akibatnya pusat misi berpindah ke Boro. Semua kegiatan yang berkenaan dengannya mulai dialihkan ke Boro sejak kedatangan P. Prennthaler. Boro menjadi perhatian baru untuk menatap masa depan Gereja Katolik di Kalibawang44.

P. Prennthaler tidak menganaktirikan Sendangsono. Ia tetap memperhatikan dengan membangun Goa Maria Lordes45 sebagai tempat sembahyang alam, sehingga

44

Baca: G. Subanar (art.), Sendangsono Oase Bagi Para Peziarah Menuju Allah, Syukur alas Karunia Iman Bersama Bunda Maria 100 Tahun Mengenang Peristiwa Pembaptisan di Sendangsono 14 Desember 1904. Panitia 100 Tahun Sendangsono,2004. Hal-74. "...Kisah pembaptisan, dinamikanya tidak berhenti. Rama Prennthaler yang berkarya di wilayah Paroki Boro yang membawahi wilayah Sendangsono. Setelah peristiwa pembaptisan itu, Rama Prennthalerlah yang mendampingi kehidupan dan gerak jiwa umat. Dengan demikian sebenamya poros telah berubah. Hubungan Sendangsono-Muntilan yang berawal dari kisah kesembuhan, beralih dengan Sendangsono-Boro..”

(55)

41

aroma pengaruh Gereja Katolik di Sendangsono tetap terasa, bahkan bertambah kuat dengan adanya tempat tersebut.

4. Lahirnya Stasi Kalihawang

Pada tahun 1923 daerah Menoreh menjadi stasi sendiri yakni Stasi Kalibawang dengan masih berada di bawah naungan Paroki Mendut. Pada tahun 1927 P. Prennthaler datang ke Menoreh. Ia memilih Boro sebagai pusat kegiatan pastoralnya. Ada perhitungan tersendiri mengapa ia memilih Boro sebagai pusat karya pastoralnya. Boro dipilih karena tempat ini lebih strategis untuk menjangkau daerah lain di seluruh Pegunungan Menoreh. Boro merupakan sentral, di mana tempat ini berada di tengah-tengah. Umat Katolik yang berada di Semagung dianggap telah dewasa dalam iman karena selama beberapa tahun tidak mendapatkan pendampingan yang reguler dari pastor, benih iman yang berada di Semagung tetap tumbuh dengan baik.

Ada alasan lain yang membuat P. Prennthaler memilih untuk menjadikan Boro sebagai tempat imtuk dijadikan pusat karya pastoralnya. Pada waktu itu, di daerah dekat Boro ataupun Menoreh bagian barat juga telah mendapatkan pengaruh Muhhamadiyah46. Tujuannya datang ke Boro secara tidak langsung adalah untuk memfilterisasi umat yang berada di Boro dan sekitamya agar tidak masuk menjadi Muhammadiyah. Untuk itulah ia membutuhkan tempat berkarya yang letaknya mudah menjangkau daerah-daerah lain di seluruh Menoreh. Berhubung daerah

(56)

Menoreh wilayahnya sangat luas dan susah dijangkau, karena harus ditempuh dengan berjalan kaki.

5. Boro setelah P. Prennthaler

Paroki Boro setelah kepergian Pastor Prennthaler memang tidak mengalami kemerosotan. Namun dilihat dari prestasi pada masa P. Prennthaler tidaklah menunjukkan hasil yang memuaskan. Jumlah umat tidaklah bertambah, tetapi juga tidak berkurang. Tidak ada catatan yang membuatnya sangat istimewa.

Bangunan dasar yang dipatok oleh P. Prennthaler cukup kuat, sehingga kedewasaan iman para penganut Katolik tetap bertahan. Tidak bertambahnya jumlah umat lebih disebabkan oleh karena adanya persaingan memperebutkan pengaruh antara Muhammadiyah dan Katolik itu sendiri, sehingga masing masing saling memperkuat posisinya di basis-basis wilayahnya47. Selain itu, proses penyebaran agama masih terfokus pada pendidikan, sehingga masyarakat yang menjadi Katolik kebanyakan berasal atau yang sudah menge nyam pendidikan di Paroki Boro. Sementara itu, masyarakat biasa belum tersentuh secara khusus, karena untuk mendekatinya memerlukan metode khusus agar dapat menghasilkan buah yang baik.

Lukas Wongso Dimejo dibaptis pada tahun 1940. la adalah orang Katolik pertama di Jurugan. Setelah menerima sakramen Baptis, ia dan sahabatnya Martinus Sowi Mursidi belajar agama selama kurang lebih empat tahun kemudian menjadi katekis. Ini tidak pemah terlepas dari peran Lukas Wongso Dimejo (alm) yang mengajar agama dilingkungan Jurugan. Ia tidak hanya bertindak sebagai guru agama

(57)

43

tetapi juga merangkap sebagai Ketua Lingkungan Jurungan dan sekaligus bekerja di Pastoran Boro sebagai koster membantu Pastor.

Di beberapa pedukuhan perkembangannya cukup memberikan harapan. Jurugan merupakan salah satu pedukuhan yang cukup banyak orang-orang Katoliknya. Masyarakat Jurugan sudah lama mengenal ajaran Katolik. Sebelum terjadinya G 30 S masyarakat Jurugan sudah banyak yang memeluk Katolik. Selain itu beberapa perkampungan yang dekat dengan berdiamnya para pastor di Boro dalam kurun waktu yang cepat menjadi Katolik semisalnya Boro itu sendiri48.

Berdasarkan data yang dicatat oleh Gereja Boro, Perkembangan umat Katolik di Jurugan sudah mulai terlihat sejak tahun 1954. Pada waktu itu Masyarakat Jurugan yang memeluk Katolik berjumlah lima orang. Sejak tahun itu jumlah umat semakin bertambah, sehingga pada tahun 1963 jumlah umat katolik di Jurugan menjadi 78 orang.

Untuk Boro sendiri, di sini terdapat kekhususan, karena memang sudah sejak lama masyarakat sudah menganut Katolik. Hal tersebut, disebabkan dekatnya bangunan gereja dan pastoran sehingga, perhatian para pastor maupun masyarakat terfokus pada satu tujuan yang sama. Selain itu juga, dipengaruhi pula oleh fasilitas fasiltitas yang telah ada seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan.

Pada tahun 1958 sempat terjadi pembaptisan yang cukup besar di Boro.Hal itu, dipengaruhi dengan meningkatnya peran katekis serta berdirinya Yayasan Pengurus Gereja dan Papa Miskin Room Katolik pada tahun 1956. Pada tahun l957 direncanakan dan terbentuk sebuah komisi yang bergerak di bidang sosial dan

(58)

ekonomi yang dapat meningkatkan ekonomi. Pada tahun 1958 meningkatnya jumlah baptisan lebih disebabkan gerakan-gerakan yang ingin membantu masyarakat di bidang sosial ekonomi, terutama kepada para petani di pedesaan49.

Hal itu menjadi penting karena orang-orang yang menjadi Katolik pada tahun 1958 kebanyakan menjadi pioner pada tahun 1966 dan seterusnya, dengan terjadinya gelombang pembaptisan. Gelombang pembaptisan itu mampu mengubah wajah Paroki Boro menjadi lebih baik.

Setelah tahun 1965 arus masuk agama sudah mulai terlihat lagi sejak terjadinya peristiwa 30 September dengan puncaknya terjadi pada tahun l966 dan tahun 1967. Tahun-tahun berikutnya masih ada pembaptisan dalam jumlah yang besar, tetapi pembaptisan itu lebih kepada pembaptisan anak-anak yang mengikuti orang tuanya yang telah terlebih dahulu menjadi Katolik. Meskipun dalam kurun waktu tersebut tidak banyak orang yang minta untuk dibaptis, namun mereka tetap menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Mereka hidup saling membutuhkan dan saling menolong satu sama lain tanpa memandang agama apapun. Masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan pusat paroki hormat pihak Gereja karena sumbangsih Gereja yang sangat besar, terutama adanya sarana pendidikan dan kesehatan dan panti asuhan, sehingga mereka merasa tertolong.

49 Baca: Marcel Beding, dkk.,

(59)

45

(60)

46

DI PAROKI BORO PASCA 1965

A.

Rasa Takut Masyarakat Terhadap PKI dan Tindakan Militer

Pada tanggal 11 Maret 1966, Supersemar dikeluarkan dengan tujuan untuk mengembalikan stabilitas negara. Keputusan lainnya masih pada tahun 1966 menegaskan legalitas Supersemar. Dengan adanya keputusan keputusan yang ada maka secara resmi menyatakan PKI dilarang. Dengan adanya keputusan-keputusan tersebut terjadilah operasi pembersihan PKI ke seluruh daerah di Indonesia50.

Setelah tahun 1965, aksi pembalasan terhadap tindakan PKI terjadi di mana mana. Di setiap daerah terjadi pembantaian terhadap orang-orang PKI, sehingga pada pasca Gerakan 30 September orang-orang PKI banyak yang menjadi korban pembantaian, baik oleh militer maupun oleh orang-orang yang tidak senang dengan aksi-aksi PKI pada masa sebelumnya.

Masalah paling besar disebabkan oleh tindakan militer, di mana mereka melegalkan aksi yang dilakukan oleh sipil, sehingga masalah itu terus berlarut larut terjadi. Hal itu, membuat pembantaian semakin merajalela karena tindakan yang

(61)

47

melegalkan pembantaian itu51. Oleh karena pembantaian terhadap orang-orang PKI juga banyak dilakukan di desa-desa, maka daerah lain yang bukan merupakan endemik organisasi PKI ikut- ikutan menjadi takut. Masyarakat menjadi takut, karena pembantaian itu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang PKI saja, tetapi juga ditujukan kepada orang orang non-PKI52. Di Jawa Tengah53 banyak orang abangan

Gambar

TABEL BAPTISAN 1966 DAN 1967

Referensi

Dokumen terkait