PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Janabadra dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Oleh:
Aji Pramono NIM: 021334042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
SKRIPSI
PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL
DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Janabadra dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Yogyakarta.
Oleh:
Aji Pramono NIM: 021334042
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing I
Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. Tanggal: 29 Mei 2007
Dosen Pembimbing II
iii
SKRIPSI
PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL
DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Janabadra dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Yogyakarta.
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Aji Pramono NIM: 021334042
Telah dipertahankan didepan Panitia Penguji pada tanggal 8 Agustus 2007
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Ketua : Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. ………...
Sekretaris : Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. ………...
Anggota : Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. ………...
Anggota : Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. ………...
Anggota : E. Catur Rismiati, S.Pd., M.A. ………...
Yogyakarta, 8 Agustus 2007
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
PERSEMBAHAN
Syukur ku sembahkan untuk-Mu Allah Yang Maha Perkasa. Dengan segala kerendahan hati, skripsi ini ku
persembahkan kepada:
Ibuku terkasih dan tercinta Siti Sunarsih Bapakku tercinta Mugiyono
Kakak-kakakku Wiwid Kristiana dan Ivana Dewi Teman hidupku Theresia Sila Rahmawati
v MOTTO
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh.
-Confusius
Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang menonton.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini merupakan
karya asli saya yang tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya
ilmiah.
Yogyakarta, 8 Agustus 2007
Penulis
vii ABSTRAK
PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DANLOCUS OF CONTROLPADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN Studi kasus pada Karyawan administrasi Universitas Janabadra
dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Aji Pramono
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2007
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah (1) ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan; (2) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
Penelitian dilaksanakan di Universitas Janabadra Yogyakarta dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, pada bulan Desember 2006. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan administrasi di Universitas Janabadra Yogyakarta dan Universitas Penbangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dengan jumlah 209 karyawan. Sampel penelitian ini berjumlah 105 karyawan. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Teknik analisa data menggunakan regresi yang dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan ( 0,014 0,050); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa ( 0,044 0,050).
viii ABSTRACT
THE INFLUENCE OF CULTURE OF WORKING ATMOSPHERE AND LOCUS OF CONTROL ON THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND SERVICE QUALITY OF
EMPLOYEES
A Case Study on Administrative Staff of Janabadra University and Pembangunan Nasional “Veteran” University Yogyakarta
Aji Pramono
Sanata Dharma University Yogyakarta
2007
The aims of this research are to know whether (1) culture of working atmosphere has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees; (2) locus of control has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees.
This research was carried out at Janabadra University and Pembangunan Nasional “Veteran” University Yogyakarta in December 2006. The populations of research were all administrative employees of those two universities. Samples of this research were 105 employees of 209 employees. The technique of samples drawing was purposive sampling technique. The technique of analyzing the data was regressiondeveloped byChow.
The result of this research show that (1) culture of working atmosphere has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees (=0,014 < = 0,050); (2) locus of control has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees (= 0,044 <= 0,050).
ix DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
KATA PENGANTAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Masalah ... 4
C. Rumusan Masalah... 4
D. Tujuan Penelitian ... 4
E. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI A. Kultur Lingkungan Kerja ... 6
x
2. Kultur Lingkungan Kerja ... 11
3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ... 12
B.Locus of Control ... 13
1. PengertianLocus of Control... 13
2. DimensiLocus of Control... 14
3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Perkembangan Locus of Control... 15
4. Perbedaan OrientasiLocus of Control Internal dan Eksternal ... 16
5. Aspek-Aspek Kehidupan yang Dipengaruhi OlehLocus of Control... 18
C. Kecerdasan Emosional ... 20
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 20
2. Dimensi Kecerdasan Emosional... 23
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosional... 24
4. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi... 25
D. Kualitas Pelayanan Karyawan ... 26
1. Definisi dan Karakteristik Jasa ... 26
2. Kualitas Pelayanan Jasa... 28
3. Dimensi Kualitas Jasa... 31
xi
F. Kerangaka Berfikir ... 37
G. Hipotesis ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39
C. Subyek dan Obyek Penelitian ... 39
D. Variabel Penelitian ... 40
1. Kultur Lingkungan Kerja ... 40
2. Locus of Control... 42
3. Kecerdasan Emosional... 44
4. Kualitas Pelayanan Karyawan ... 46
E. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ... 48
F. Teknik Pengumpulan Data ... 49
G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 49
H. Teknik Analisis Data ... 56
1. Analisis Deskriptif ... 56
2. Pengujian Normalitas dan Linieritas ... 56
3. Uji Hipotesis ... 57
BAB IV GAMBARAN UMUM UNIVERSITAS A. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta ... 61
1. Sejarah Universitas... 61
2. Falsafah, Visi dan Misi Universitas ... 62
xii
4. Fakultas dan Program Studi ... 63
B. Universitas Janabadra Yogyakarta ... 64
1. Sejarah Universitas ... 64
2. Visi dan Misi Universitas... 65
3. Tujuan Universitas ... 65
4. Fakultas dan Program Studi ... 66
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 67
1. Deskripsi Responden Penelitian ... 67
2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 69
B. Analisis Data ... 75
1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 75
2. Pengujian Hipotesis ... 77
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 88
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 97
B. Keterbatasan Penelitian ... 97
C. Saran ... 98
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ... 40
Tabel 3.2 Tabel Operasionalisasi VariabelLocus of Control ... 42
Tabel 3.3 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional ... 44
Tabel 3.4 Tabel Operasionalisasi Variabel Kualitas Pelayanan Karyawan ... 46
Tabel 3.5 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kultur Lingkungan Kerja .. 50
Tabel 3.6 Rangkuman Hasil Uji Validitas VariabelLocus of Control... 51
Tabel 3.7 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kecerdasan Emosional ... 52
Tabel 3.8 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kualitas Pelayanan Karyawan ... 53
Tabel 3.9 Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas ... 55
Tabel 5.1 Sebaran Responden Penelitian ... 67
Tabel 5.2 Jenis Kelamin Responden ... 68
Tabel 5.3 Pendidikan Terakhir Responden ... 68
Tabel 5.4 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada DimensiPower Distance . 69 Tabel 5.5 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada DimensiCollectivism vs Individualism... 70
Tabel 5.6 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada DimensiFemininity vs Masculinity ... 71
Tabel 5.7 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada DimensiUncertainty Avoidance ... 72
xiv
Tabel 5.9 Locus of ControlKaryawan ... 73
Tabel 5.10 Kecerdasan Emosional Karyawan ... 74
Tabel 5.11 Kualitas Pelayanan Karyawan ... 75
Tabel 5.12 Hasil Pengujian Normalitas ... 76
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Kuesioner Penelitian ... 102
Lampiran II Data Validitas dan Reliabilitas ... 115
Lampiran III Uji Validitas dan Reliabilitas ... 124
Lampiran IV Data Induk Penelitian ... 129
Lampiran V Distribusi Frekuensi Deskripsi Variabel Penelitian ... 146
Lampiran VI Uji Normalitas dan Linieritas ... 156
Lampiran VII Hasil Hipotesis ... 165
Lampiran VIII Tabel r dan t ... 176
xvi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga skripsi ini telah selesai tepat pada waktunya. Skripsi ini ditulis dan diajukan
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Akuntansi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan
berbagai masukan, kritik saran, bantuan, semangat dan doa dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma, dan selaku Dosen
Pembimbing I yang telah banyak membimbing dengan penuh kesabaran,
pengertian dan saran-saran kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik.
4. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II
yang telah banyak membimbing dengan penuh kesabaran, pengertian dan
saran-saran kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
xvii
5. Ibu E. Catur Rismiati, S.Pd., M.A. selaku tim penguji yang telah memberikan
banyak masukan dan bimbingan demi lebih baiknya skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi
Universitas Sanata Dharma.Yogyakarta yang telah memberikan dukungan
dan bimbingan.
7. Drs. Basri, M.M selaku Wakil Rektor II Universitas Janabadra yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Universitas
Janabadra Yogyakarta.
8. Dr. Ir. Sutanto, DEA selaku Wakil Rektor II yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk melakukan penelitian di Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta.
9. Karyawan dan karyawati Universitas Janabadra Yogyakarta dan Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta yang telah yang telah bersedia
dan menuangkan waktunya untuk menjadi responden dalam penyusunan
skripsi ini.
10. Bapakku tercinta Mugiyono dan Ibuku tercinta Siti Sunarsih yang telah
mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis dengan banyak
berkorban, doa dan materil untuk penyelesaian skripsi ini.
11. Kakak-kakaku tercinta Wiwid Kristiana, SE. dan Ivana Dewi, SH., yang telah
banyak memberikan doa, dukungan dan semangat yang tiada hentinya untuk
penyelesaian skripsi ini.
xviii
13. Mas Ali Muslim, SE. dan si kecil Dito yang telah banyak memberikan
semangat untuk penyelesaian skripsi ini.
14. Teman hidupku tersayang Theresia Sila Rahmawati yang selalu berdoa,
menyayangi, menemani dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.
15. Bapak Bernadus Sardianto dan Ibu Yulita Rosalia Suparni yang telah banyak
memberikan dukungan, doa dan semangat untuk penyelesaian skripsi ini.
16. Keluarga Bapak Yohanes Ponidi beserta ibu, Petty dan simbah, terima kasih
atas semangat dan doanya untuk penyelesaian skripsi ini.
17. Keluarga Bapak Drs. Sri Rahardjo.
18. Keluarga besar Brotherhood Community: Titet, Dinots, Sila, Thomas beserta
Ibunya (Feli) dan bapaknya (Moko, S.Pd), Etha (the Ungu’s), Palasara, Ayu,
Bibik, Yuli, Wulan (ayo semangat), Burket dan mbak Tia, makasih atas doa,
kebersamaan dan semangatnya. Lets keep our brotherhood 4 eva.
19. Teman satu team research Theresia Sila Rahmawati, Veronica Giuliani Eta S,
Christina Yuliastuti P, atas semua bantuan, masukan, doa dan kebersamaan
selama ini. Dulu kita kompak ya . . .
20. Saudaraku Kang Krisdianto Nugroho dan Sandra Veronika I P terima kasih
doa dan dukungannya. Makasih juga laptopnya ya
21. Karyawan dan karyawati PAK, Mbak Theresia Aris Sudarsilah dan Bapak
Drs. Wawiek Wakidjo. Dan Seluruh karyawan dan karyawati Universitas
Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi
ini.
xix
23. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang turut membantu
berbagi suka dan duka hingga penyusunan skripsi ini bisa berjalan dengan
baik dan lancar.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perguruan tinggi sebagai institusi tertinggi dalam dunia pendidikan
mempunyai peran penting dalam membentuk manusia Indonesia menjadi
manusia yang mampu bersaing di dunia kerja. Untuk dapat memainkan peran
tersebut, perguruan tinggi dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dari
waktu ke waktu. Salah satu faktor pendukung utama peningkatan kualitas
perguruan tinggi adalah mutu pelayanan karyawan administrasi.
Kualitas pelayanan karyawan administrasi kepada civitas akademik
(dosen dan karyawan) secara reguler perlu dilakukan evaluasi. Kualitas
pelayanan dapat dievaluasi dari tingkat kesesuaian antara harapan dengan
fakta-fakta yang dirasakan, pihak civitas akademik kampus. Faktor –faktor
yang dapat diacu sebagai ukuran adalah kecepatan, ketepatan, keramahan dan
kenyamanan karyawan dalam memberikan pelayanan (Fandy Tjiptono,
1996:58).
Seorang karyawan dalam melakukan pelayanan terhadap orang lain
akan terjadi interaksi dua arah (karyawan dengan mahasisiwa dan karyawan
dengan rekan kerja yang lain), dengan adanya interaksi/hubungan dengan
orang lain ini akan terdapat pengaruh dari dalam diri karyawan tersebut yang
kemudian akan berdampak pada pola interaksi yang akan karyawan lakukan.
oleh karyawan tersebut. Seseorang mempunyai tingkat kecerdasan emosional
yang tinggi karenanya dapat menjalani kehidupan dan berhubungan dengan
orang lain secara baik. Hal ini disebabkan adanya kontrol emosi yang baik
dan kemampuan mengenali situasi sekitarnya. Dengan demikian pada
karyawan yang memiliki kecerdasan emosional semakin tinggi, diduga kuat
akan semakin mampu memberikan pelayanan yang berkualitas.
Dengan mengetahui tingkat kecerdasan emosional seseorang, pihak
yang berkepentingan yaitu atasan terhadap bawahannya akan dapat
mengambil kesimpulan mengenai tindakan tindakan apa yang perlu dilakukan
pihak atasan untuk meningkatkan kualitas kerja bawahannya. Pada tahun
1996 dilakukan penelitian BarOn EQ~i pada 1.171 anggota rekruitmen
Angkatan Udara Amerika Serikat yang tersebar diseluruh dunia mengenai
hubungan kecerdasan emosional terhadap keberhasilan mereka melaksanakan
pekerjaan (Steven dan Howard, 2000:269). Masalahnya mereka selalu
bertugas berpindah-pindah yang selalu menimbulkan masalah dan
memprihatinkan. Hasilnya terdapat lima faktor penting yaitu asertif, empati,
kebahagiaan, kesadaran diri dan pemecahan masalah mempunyai 2,7 kali
lebih besar untuk sukses dan 95 persen dari 262 anggota rekruitmen mencatat
skor paling tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa ada sesuatu hal yang bisa
diubah dari kinerja seseorang terutama kecerdasan emosionalnya. Selayaknya
ada suatu tindakan-tindakan berarti yang harus dilakukan bila kecerdasan
emosional seseorang terpatok pada level rendah, agar kinerjanya semakin
Kecerdasan emosional dapat pula dipengaruhi oleh kultur lingkungan
kerja. Seorang karyawan yang mempunyai pekerjaan dan status yang jelas
akan cenderung mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi, hal ini karena
tidak ada ketakutan mereka akan status kepegawaiannya dan terhindar dari
pemutusan hubungan kerja. Ketidakpastian status ini terjadi pada Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Para kayawan
mempertanyakan tentang banyaknya karyawan yang dipindahkan ke instansi
lain di bawah naungan Departemen Pertahanan (Dephan), seperti di Koramil
maupun tempat lainnya (Bernas, http://www.indomedia.com/bernas/022001
/06/UTAMA/06pel3.htm). Kerisauan karyawan juga terjadi di Universitas
Janabadra Yogyakarta, pada perguruan tinggi ini terjadi rotasi karyawan dan
restrukturisasi. Hal ini akan berakibat pada perubahan-perubahan dalam
struktur organisisasi Universitas Janabadra Yogyakarta, yang pada saat ini
dituntut dapat ramping, tangguh, efisien, produktif dan dapat mengikuti
perkembangan sistem perguruan tinggi yang baru. (Truly Jogja,
http://trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=8&newsid =593).
Dengan adanya ketidakpastian status dan rotasi karyawan diduga akan
berakibat pada kualitas pelayanan yang akan memburuk.
Untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana pengaruh kultur lingkungan
kerja dan locus of control terhadap hubungan antara tingkat kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Kultur
Penelitian ini merupakan studi kasus pada karyawan administrasi Universitas
Janabadra dan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
B. Batasan Masalah
Ada banyak faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan,
antara lain kecerdasan emosional, kultur lingkungan kerja, dan locus of
control. Penelitian ini memfokuskan pada faktor kecerdasan emosional.
Secara lebih spesifik penelitian ini ingin menyelidiki apakah pada kultur
lingkungan kerja dan locus of control berbeda, derajat hubungan antara
kecerdasan emosional dan kualitas pelayanan berbeda.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan
antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?
2. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah sebagai
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja
pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan
karyawan.
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan
karyawan.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Universitas yang diteliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak universitas
untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional dalam memberikan
pelayanan sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pelayanan.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi
tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan dan
6 BAB II
LANDASAN TEORITIK
A. Kultur Lingkungan Kerja
1. Ruang Lingkup Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang cukup
berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Kondisi
lingkungan kerja yang nyaman, aman dan mendukung akan membuat
karyawan menjadi bersemangat dan bergairah dalam bekerja, sehingga
berdampak positif pada kinerjanya. Dengan semangat dalam bekerja
karyawan cenderung akan merasa puas dalam bekerja. Sebaliknya,
lingkungan kerja yang banyak menimbulkan resiko atau tidak aman, dan tidak
mendukung dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan akan menyebabkan
merosotnya semangat kerja, kemungkinan terjadi kesalahan dalam tugas, dan
menurunnya produktivitas kerja (Nitisemito, 1982:183).
Nitisemito (1982:184) menyatakan bahwa lingkungan kerja sebagai
segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan. Adapun faktor
lingkungan fisik yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam upaya
meningkatkan semangat dan gairah kerja, antara lain: pewarnaan, kebersihan,
Cascio (1992:20) mengungkapkan bahwa kualitas lingkungan kerja
menyangkut lingkungan kerja secara fisik dan psikis. Lingkungan kerja fisik
adalah lingkungan kerja yang dapat dilihat oleh indera para karyawan seperti
kondisi kerja, penerangan, dan ventilasi. Lingkungan kerja psikis ialah
lingkungan kerja yang tidak dapat dilihat oleh indera para karyawan, misal
hubungan dengan rekan kerja dan atasan serta otonomi kerja. Menurut Ahyari
(1989:206) adalah lingkungan di mana para karyawan melakukan tugas dan
pekerjaannya. Lingkungan kerja karyawan dibagi menjadi 3 kelompok.
1. Fasilitas untuk pelayanan karyawan, yang meliputi pelayanan makan,
kesehatan, dan pengadaan kamar mandi/kamar kecil.
2. Kondisi kerja, yang meliputi pengaturan penerangan ruang kerja,
pengaturan suhu udara, pengaturan suara bising, pemilihan warna,
penerangan ruang gerak yang diperlukan serta keamanan karyawan.
3. Hubungan karyawan dengan karyawan lain yang sering disebut dengan
human relation.
Berdasarkan pendapat di atas, cakupan faktor lingkungan menurut
Nitisemito (1982:216) adalah sebagai berikut.
1. Pewarnaan
Pewarnaan perlu diperhatikan sebab faktor ini cukup berpengaruh
terhadap semangat dan kegairahan kerja karyawan. Misalnya,
yang sempit menjadi tampak luas dan bersih serta mendukung pekerjaan
yang memerlukan ketelitian.
2. Kebersihan
Kebersihan juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan juga.
Lingkungan kerja yang bersih secara tidak langsung menimbulkan rasa
senang dan mempengaruhi semangat dan gairah kerja seseorang dalam
bekerja. Suatu ruangan yang penuh debu dan berbau tidak enak akan
mengganggu konsentrasi kerja.
3. Penerangan
Penerangan yang cukup sangat dibutuhkan jika pekerjaan yang dilakukan
menuntut ketelitian. Penerangan yang terlalu besar akan membuat rasa
panas sehingga dapat menimbulkan rasa gelisah. Sebaliknya, penerangan
yang kurang akan menyebabkan rasa mengantuk dan ada kemungkinan
terjadi kekeliruan dalam melakukan tugasnya (Nitisemito, 1982:192).
Ahyari (1989:216) menambahkan bahwa penerangan tempat kerja yang
baik secara tidak langsung mendukung kelancaran kegiatan operasi
perusahaan, karena pekerja dapat bekerja dengan baik dan teliti sehingga
hasil kerjanya juga bisa memuaskan. Penerangan yang baik untuk ruang
kerja yaitu sinar yang cukup terang, tidak menyilaukan, dan distribusi
cahaya yang merata, sehingga tidak ada kontras yang tajam. Manfaat
meningkatkan produksi;
memperbaiki kualitas pekerjaan para karyawan;
mengurangi tingkat kecelakaan;
memudahkan pengarahan dan pengawasan;
meningkatkan gairah kerja;
mengurangiturn over(pindah kerja);
mengurangi kerusakan atau kesalahan dari barang/tugas yang
dikerjakan;
menurunkan biaya produksi.
4. Pertukaran udara (ventilasi)
Pertukaran udara yang cukup dalam ruang kerja sangat diperlukan
apalagi bila dalam ruangan tersebut penuh karyawan. Pertukaran udara
yang cukup akan menimbulkan kesegaran fisik dari bawahan.
Sebaliknya, pertukaran udara yang kurang dapat menyebabkan kelelahan
dan menurunnya semangat kerja, serta berpengaruh pada tingkat
kesalahan dalam melaksanakan tugas.
5. Musik
Musik juga berpengaruh pada semangat dan gairah kerja seseorang. Bila
musik yang diperdengarkan menyenangkan maka dapat menimbulkan
suasana gembira dan sekaligus mengurangi kelelahan dalam bekerja.
dengan adanya musik yang merdu dan menyenangkan maka secara tidak
langsung semangat kerja bisa meningkat.
6. Keamanan
Adanya jaminan terhadap keamanan dapat menimbulkan ketenangan dan
sekaligus dapat mempengaruhi semangat dan gairah kerja. Contoh:
tempat parkir kendaraan yang tidak aman dan sering kecurian akan
menimbulkan kegelisahan dan terganggunya konsentrasi kerja karyawan
sewaktu menjalankan tugas.
7. Kebisingan
Kebisingan yang terus menerus dapat mengganggu konsentrasi dalam
bekerja sehingga akan menimbulkan kesalahan. Pengaturan dan
pengendalian suara harus diperhatikan untuk menjaga agar kepekaan
pendengaran karyawan tetap dalam kondisi baik. Kekurangpekaan
pendengaran karyawan dan suara bising dapat menyebabkan komunikasi
terhambat, sebab informasi yang diberi dan diterima karyawan menjadi
tidak jelas sehingga akan menyebabkan kesalahan.
8. Hubungan dengan atasan
Hubungan kerjasama yang baik antara karyawan dengan atasan akan
mempengaruhi semangat kerja dan kepuasan kerja karyawan. Karyawan
cenderung senang dengan atasan yang perhatian, mau mendengarkan
pendapat bawahannya, bisa menghormati dan menghargai hasil kerja
9. Hubungan dengan rekan kerja
Rekan kerja yang bisa diajak kerjasama dan mendukung dalam
pelaksanaan kerja cenderung berpengaruh pada meningkatnya semangat
kerja dan kepuasan kerja pada karyawan tersebut. Sebaliknya, rekan kerja
yang tidak bisa diajak kerjasama akan menimbulkan konflik dalam kerja
dan hal ini berdampak negatif pada kinerja maupun semangat kerja
karyawan.
10. Otonomi dalam merencanakan dan menjalankan pekerjaan
Bagi karyawan yang suka dengan tantangan dalam pekerjaannya
cenderung akan lebih puas dalam bekerja bila dia diberi otonomi atau
kebebasan dalam berpendapat dan berkreasi dalam menjalankan
tugasnya. Dengan adanya kebebasan tersebut karyawan akan memiliki
rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan merasa dihargai.
2. Kultur Lingkungan Kerja
Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.
Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam
pola pikir, perasaan dan tindakan anggota satu kelompok. Dengan demikian
kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan
kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang
persoalan dan pemecahannya.
Menurut Hofstede (1994:5), kultur diartikan sebagai:“…a collective
within the same social environment, which is there it was learned. It is a
collective programming of the mid which distinguishes the members of the
one group or category of people from another”.
Kultur lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam membentuk
karyawan menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku
kooperatif, kecakapan personal dan akademik (Hofstede, 1994:35).
3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja
Dimensi kultur lingkungan kerja ada empat diantaranya power distance,
individualism dan collectivism, femininity dan masculinity, dan uncertainty
avoidance(Hofstede, 1994:35-125). Pada dimensi power distance, indikator
kultur lingkungan kerja mencakup: (a) perbedaan diantara karyawan
diminimalkan; (b) harus ada ketergantungan antara karyawan yang lemah dan
yang kuat; (c) tingkatan di perusahaan berarti perbedaan aturan; (d) sistem
manajemen di lingkungan kerja; (e) perbedaan gaji antara atasan dan
bawahan; (f) bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan; (g) persepsi
terhadap hak istimewa dan simbol status. Pada dimensi individualism vs
collectivism, indikator kultur lingkungan kerja mencakup: (a) basis identitas
diri; (b) keharmonisan di tempat kerja; (c) hubungan komunikasi; (d)
penyalahgunaan kepemimpinan; (e) hubungan antar karyawan; (f) dasar
penggajian dan promosi; (g) sistem manajemen; (h) hubungan kerja. Pada
dimensi femininity vs masculinity, indikator kultur lingkungan kerja
jenis kelamin dalam lingkungan kerja; (d) prinsip pekerjaan yang manusia;
(e) tipe manajer; (f) sikap bersosial dalam lingkungan kerja. Pada dimensi
uncertainty avoidance, indikator lingkungan kerja mencakup (a) kebutuhan
akan peraturan dalam lingkungan kerja; (b) orientasi dalam bekerja; (c)
semangat bekerja; (d) sikap terhadap pencapaian ketelitian; (e) sikap terhadap
perilaku karyawan; (f) bentuk penilaian terhadap hasil pekerjaan.
B. Locus of Control
1. Pengertian Locus of Control
Locus of control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran
tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu pribadinya (Rotter
dalam Pujiwati, 2004:30). Locus of control dibedakan menjadi dua yaitu
locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu dikatakan
memiliki locus of control internal jika memiliki keyakinan bahwa apa yang
terjadi pada dirinya adalah karena pengaruh dari dirinya sendiri dan
keberhasilan atau kegagalan dipandang sebagai akibat perilakunya. Individu
yang mempunyai locus of control eksternal cenderung memiliki keyakinan
bahwa faktor-faktor di luar dirinya mempengaruhi perilakunya. Keberhasilan
dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor
keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa locus of control
merupakan keyakinan individu tentang faktor-faktor yang mengatur
kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol (locus of control internal) dan
yang di luar kontrol dirinya (locus of control eksternal), serta sejauh mana
orang tersebut merasakan adanya hubungan antara usaha-usaha yang telah
dilakukannya dengan akibat-akibatnya.
2. DimensiLocus of ControlRotter
Locus of control mempuyai enam dimensi yaitu status-recognition
(pengakuan status), dominance (dominasi), independence
(ketidaktergantungan), protection-dependency
(perlindungan-ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical
comfort (kenyamanan fisik). Pada dimensi status-recognition (pengakuan
status), indikator locus of control mencakup kebutuhan untuk dihargai, ingin
dianggap kompeten, dan kesuksesan dalam berkarya. Pada dimensi
dominance(dominasi), indikator locus of controlmencakup kebutuhan untuk
mengontrol aktivitas orang lain dan kebutuhan untuk berkuasa. Pada dimensi
independence (ketidaktergantungan), indikator locus of control mencakup
keyakinan diri dan menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri. Pada
dimensi protection-dependency (perlindungan-ketergantungan), indikator
locus of control mencakup menghindari frustasi dengan mencari perlindungan
dan keamanan serta menggantungkan diri pada orang lain. Pada dimensi love
kebutuhan untuk dicintai serta kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang.
Pada dimensi physical comfort(kenyamanan fisik), indikatorlocus of control
ialah kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit, mencari kesenangan
jasmani).
3. Faktor-Faktor yang Berperan dalam PerkembanganLocus of Control
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi individu dalam
mengembangkan kecenderungan terhadaplocus of controltertentu.
a. Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama perkembangan individu
mempunyai pengaruh pertama dalam pengembangan kecenderungan
locus of control. Terutama orang tua, orang tua yang menunjukkan
dukungan yang hangat, protektif, positif dan membimbing, akan
menghasilkan anak-anak yang mengembangkan locus of controlinternal.
Hal-hal yang dibeikan oleh orang tua tersebut akan membangun
kepercayaan diri, penghargaan diri, serta kemandirian yang terkait erat
dengan locus of control internal pada anak. Hal lain yang juga
berhubungan dengan pengembangan locus of control internal adalah
konsistensi memberlakukan disiplin dan standar-standar oleh orang tua.
Seorang anak belajar mengembangkan locus of control internal, dengan
mengasosiasikan perilaku mereka dengan akibat-akibat yang dapat
b. Faktor-faktor sosial
Lingkungan sosial sebagai lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga
yang mempunyai pengaruh dalam pengembangan kecenderungan locus
of control. Semakin rendah status sosial ekonomi individu, semakin
eksternal pula locus of control individu tersebut. Telah umum diketahui
bahwa individu dengan status sosial ekonomi tinggi mempunyai kendali
yang relatif tinggi dalam dinamika sosial ekonomi masyarakat.
Sebaliknya, individu dengan status sosial ekonomi rendah relatif kurang
memiliki kekuasaan untuk melakukan hal serupa. Mereka sering tidak
punya banyak pilihan selain menerima apa yang telah disediakan oleh
sistem. Kekurangberdayaan senada juga dialami oleh kelompok etnis dan
minoritas dengan sedikit akses pada pengerakan sosial ekonomi.
Pengalaman demikian jika berlangsung secara terus-menerus akan
mendorong berkembangnya kepercayaan individu bahwa faktor-faktor
eksternal lebih berkuasa untuk mengendalikan hidupnya daripada dirinya
sendiri. Yang kemudian mereka akan cenderung berkembang pada sisi
locus of controleksternal.
4. Perbedaan OrientasiLocus of Control Internal dan Eksternal
Adanya perbedaan locus of control pada individu-individu ternyata
menimbulkan perbedaan sikap, sifat, dan lainnya. Lefcourt (Rosita, 2005:31)
mengatakan bahwa orang yang mempunyai kecenderungan locus of control
dimilikinya dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri,
mengandalkan kemampuan dan keterampilan diri serta usaha-usaha yang
dilakukan. Individu dengan kecenderungan locus of control internal
cenderung lebih giat, rajin, ulet, mandiri, dan mempunyai daya tahan yang
baik terhadap pengaruh sosial, dan bertanggung jawab atas kegagalannya.
Individu dengan kecenderungan locus of control eksternal cenderung
conform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa
kegagalan disebabkan oleh faktor luar dirinya. Individu juga cenderung
menunjukkan sikap menyerah, merasa tidak berdaya, dan memiliki
kecemasan yang tinggi daripada individu yang mempunyai kecenderungan
locus of control internal. Individu yang memiliki kecenderungan locus of
control internal mempunyai keyakinan yang besar untuk memperoleh
keberhasilan, assertif, mempunyai usaha untuk maju dan mampu
menggunakan keterampilan sosial untuk mempengaruhi lingkungan,
sedangkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal
memiliki sifat pasif, tidak suka bersaing, lingkungan mempengaruhi
kehidupannya dan memiliki motivasi yang rendah untuk berhasil (Findley
dan Cooper dalam Rosita, 2005:31).
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang
mempunyai kecenderungan locus of control internal cenderung bertanggung
jawab, mampu menghadapi kegagalan, mempunyai rasa percaya diri akan
Seseorang yang memiliki kecenderunganlocus of controleksternal cenderung
mempunyai rasa percaya diri yang rendah, mempunyai kecemasan yang
tinggi, mudah menyerah, mempunyai penyesuaian yang kurang baik., dan
merasa tidak berdaya
5. Aspek-Aspek Kehidupan yang Dipengaruhi olehLocus of Control
Perbedaan kecenderungan arah locus of control ternyata membawa
akibat dalam berbagai aspek hidup, yaitu (Lefcourt dalam Pujiwati, 2004:36).
Perbedaan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut.
a. Sikap terhadap lingkungan
Individu yang mempunyai kecenderungan locus of control internal akan
lebih positif dari pada individu yang mempunyai kecenderungan locus of
controleksternal. Individu dengan locus of control internal menganalisa
situasi dengan sikap yang lebih terarah dan waspada daripada individu
dengan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control
internal juga lebih aktif dalam mencari, memperoleh, menggunakan, dan
mengolah informasi yang relevan dalam rangka memanipulasi dan
mengendalikan lingkungan. Di samping itu, individu yang mempunyai
locus of controlinternal lebih berorientasi pada posisi dengan kekuasaan
besar, sedangkan individu yang memilikilocus of controleksternal lebih
b. Pengaruh konformitas dan perubahan sikap
Penelitian yang dilakukan Crowne (Pujiwati, 2004:37) menunjukkan
bahwa individu dengan kecenderungan internal lebih mampu bertahan
terhadap pengaruh dan tekanan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan
kecenderungan eksternal lebih siap sedia untuk menerima pengaruh,
mengikuti lingkungan sosial dan menerima informasi dari orang lain.
c. Perilaku menolong dan atribusi tanggung jawab
Individu dengan kecenderungan locus of control internal lebih sering
menunjukkan perilaku menolong daripada individu dengan
kecenderunganlocus of controleksternal.
d. Pencapaian prestasi
Menurut Shaver (Pujiwati, 2004:38) tingginya prestasi yang dicapai oleh
individu dengan locus of control internal merupakan hasil dari
kemampuannya untuk menunda menikmati penghargaan atas hasil
usahanya, serta mengurangi reaksi-reaksi negatif yang cenderung muncul
pada saat individu mengalami kegagalan.
e. Penyesuaian diri, kecemasan dan psikopatologi
Individu dengan locus of control internal lebih mampu untuk
menyesuaikan diri, mengandalkan diri sendiri, aktif, dan memiliki
kecenderungan tinggi untuk berjuang. Kesederhanaan kepercayaan
kendali yang ada dalam diri sendiri juga mendorong individu dengan
lain pihak, individu dengan kecenderungan eksternal cenderung
mengalami lebih kecemasan daripada individu dengan kecemasan
internal. Individu dengan locus of control eksternal sering menerima
secara pasrah ancaman-ancaman dan informasi negatif tentang diri
mereka.
C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence yang lebih dikenal
dengan istilah EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati,
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan berdoa (Goleman, 1999:45). John Mayer (Harmoko,
http://www.binuscareer.com/article) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai suatu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara
mengendalikan emosi diri sendiri.
Cooper dan Sawaf (1998:xli) menawarkan kecerdasan emosional
sebagai sebuah titik awal “Model Empat Batu Penjuru”. Tawaran model ini
lebih ditujukan pada EQ eksekutif, yaitu penggunaan kecerdasan emosional
di tempat kerja. Model Empat Batu Penjuru terdiri dari (Cooper dan Sawaf ,
a. Kesadaran emosi (emotional literacy), yang bertujuan membangun rasa
percaya diri pribadi melalui pengenalan terhadap emosi yang dialami dan
kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik
terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk
mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat
menyalurkan energi emosinya ke reaksi yang tepat dan konstruktif.
b. Kebugaran emosi (emotional fitness), bertujuan untuk mempertegas
antusiasme dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan dan perubahan.
Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai orang lain dan
menampilkan diri apa adanya, menghargai ketidakpuasan diri sendiri dan
orang lain, serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan
cara yang paling konstruktif.
c. Kedalaman emosi (emotional depth), mencakup komitmen untuk
menyelaraskan hidup dari kerja dengan potensi serta bakat unik yang
dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini pada gilirannya
mempunyai potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu
menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.
d. Alkimia emosi (emotional alchemy), ialah kemampun kreatif untuk
mengalir bersama masalah-masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di
dalamnya. Hal ini mencakup keterampilan bersaing dengan lebih peka
masih terbuka, untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa kini, dan
menciptakan masa depan.
Kecerdasan emosional sebagai suatu keseluruhan mempunyai banyak
komponen yang terasa kompleks karena terkait dengan kemampuan subyektif
seseorang untuk dapat menggunakan kemampuan dan potensi emosionalnya
dalam kehidupan sehari-hari. Komponen-komponen tersebut yaitu
keterampilan yang berhubungan dengan perilaku moral, cara berpikir,
pemecahan masalah, interaksi sosial, keberhasilan akademik dan pekerjaan,
serta emosi (Cooper dan Sawaf dalam Harmoko, http://www.binuscareer.com
/article).
Goleman (1999:57-59) memperluas kemampuan kecerdasan
emosional menjadi 5 (lima) wilayah utama yang memungkinkan seseorang
akan menguasai kebiasaan berpikir menuju produktivitas yang juga sangat
penting untuk diperlukan di dunia kerja.
a. Mengenali emosi diri
Kemampuan ini merupakan kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi dan mengetahui apa yang dirasakan saat emosi
bergolak di dalam diri.
b. Mengelola emosi
Ialah menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitannya untuk memotivasi diri. Kendali diri emosional
dan kemampuan menyesuaikan diri adalah landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan tersebut
cenderung lebih produktif dan efektif dalam bekerja.
d. Mengenali emosi orang lain
Orang yang empatik akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi dan dapat menangkap hal-hal yang dikehendaki orang
lain.
e. Membina hubungan
Membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola
emosi. Orang-orang yang sukses dalam berbagai bidang mengandalkan
pergaulan yang baik dengan orang lain.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Ada lima dimensi kecerdasan emosional yaitu: mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina
hubungan dengan orang lain. Pada dimensi mengenali emosi diri, indikator
kecerdasan emosional mencakup: (a) mengetahui keterbatasan diri; (b)
keyakinan akan kemampuan sendiri ; (c) mengetahui kekuatan; (d) mengenali
emosi diri. Pada dimensi mengelola emosi, indikator kecerdasan emosional
mencakup: (a) menahan emosi dan dorongan negatif; (b) menjunjung norma
terhadap perubahan; (e) terbuka dengan ide-ide serta informasi baru. Pada
dimensi memotivasi diri, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a)
dorongan untuk menjadi lebih baik; (b) menyesuaikan dengan sasaran
kelompok dan organisasi; (c) kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan; (d)
kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Pada dimensi
mengenali emosi orang lain, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a)
memahami perasaan orang lain; (b) tanggap terhadap kebutuhan orang lain;
(c) mengerti perasaan orang lain; (d) siap sedia melayani. Pada dimensi
membina hubungan dengan orang lain, indikator kecerdasan emosional
mencakup: (a) kemampuan persuasi; (b) terbuka mendengarkan orang lain
dan memberi kesan yang jelas; (c) kemampuan menyesuaikan tanggung
jawab; (d) memiliki semangat leadership; (e) kolaborasi dan kooperasi; (f)
ada kemampuan untuk membangun tim.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosi
Ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosi
dalam diri seseorang.
a. Faktor internal
Faktor internal ialah faktor yang berasal dari dalam diri individu untuk
menanggapi lingkungan sekitar. Menurut Goleman (1999:23), faktor ini
berasal dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar
individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah hidup.
Pengaruh luas yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara
kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga
dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara, misal media massa.
Faktor lain dapat melalui lingkungan fisik tempat manusia berada ketika
berkomunikasi dengan pihak lain, melalui lingkungan sosial di mana
keberadaan manusia lain sebagai penerima komunikasi maupun hanya
hadir di sana, serta melalui keikutsertaan individu dalam berbagai
kegiatan seperti keaktifan di dalam mengikuti berbagai organisasi
(Goleman, 1997:275-279).
4. Ciri-Ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi
Menurut Goleman (1997:403-405) orang dengan kecerdasan emosi
yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidupnya.
b. Terampil dalam membina emosinya, mengenali kesadaran emosi diri dan
ekspresi emosi, dan kesadaran emosi terhadap orang lain.
c. Memiliki kecakapan kecerdasan emosi, meliputi intensionalitas,
kreatifitas, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif.
d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius
e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship
quotient, dan kinerja optimal.
Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah
Goleman (1997:214-215) adalah:
a. Dikuasai dorongan hati, kurang memiliki kendali diri, menderita
kekurangmampuan pengendalian moral.
b. Menerima kritik dari orang lain sebagai serangan pribadi dan bukan
sebagai keluhan yang harus diatasi.
c. Bersifat prasangka pada orang lain.
d. Menutup diri atau sikap bertahan yang pasif.
e. Mudah patah semangat.
f. Amarah gampang meledak.
D. Kualitas Pelayanan Karyawan
1. Definisi dan Karakteristik Jasa
Kotler (1984:428) menyatakan bahwa “a service is any act
performance that one party can offer to another that is essentially intangible
and does not result in the ownership of anything its production may or not be
tied to a physical product.” Berdasarkan pengertian tersebut, jasa mempunyai
a. Intangibility
Jasa bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat, diraba,
dirasa, dicium atau didengar sebelum dibeli. Konsepintangibleini sendiri
memiliki 2 pengertian, yaitu:
1) Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa.
2) Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau
dipahami secara rohaniah.
b. Inseparability
Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi pada waktu bersamaan.
Interaksi antara perusahaan dan konsumen merupakan ciri khusus dalam
pemasaran jasa, kedua belah pihak mempengaruhi hasil dari jasa tersebut.
Dalam hubungan penyedia jasa dengan konsumen mempengaruhi hasil
dari jasa tersebut dan efektivitas individu yang menyampaikan jasa
merupakan unsur pokok.
c. Variability
Jasa sifatnya sangat variabel, artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan
jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan.
Pengguna jasa sangat peduli terhadap variabilitas ini dan sering kali
mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan untuk
d. Perishability
Jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat
disimpan. Permintaan pelanggan akan jasa pada umumnya sangat
bervariasi dan dipengaruhi faktor musiman. Oleh karena itu, perusahaan
jasa harus mengevaluasi kapasitasnya guna menyeimbangkan penawaran
dan permintaan.
2. Kualitas Pelayanan Jasa
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan
dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk
mengimbangi harapan pelanggan. Aspek yang sangat penting dan
menentukan kualitas jasa yang dihasilkan adalah pelayanan yang diberikan
pihak produsen pada konsumennya, dan sikap serta pelayanan contact
personel. Apabila aspek tersebut dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan,
dalam waktu yang tidak lama perusahaan yang bersangkutan bisa kehilangan
banyak pelanggan lama dan dijauhi calon pelanggan.
Sehubungan dengan peranan contact personel yang sangat penting
dalam mencetak kualitas jasa, setiap perusahaan memerlukan service
excellent (pelayanan yang unggul), yaitu sikap atau cara karyawan dalam
melayani pelanggan secara memuaskan (Fandy Tjiptono, 1996:58). Secara
garis besar ada empat unsur pokok dalam konsep ini, yaitu:
a. kecepatan;
c. keramahan;
d. kenyamanan.
Komponen-komponen di atas merupakan satu kesatuan yang
terintegrasi, jika ada komponen yang kurang dapat mengakibatkan pelayanan
atau jasa yang diberikan pada pelanggan tidak excellent. Untuk mencapai
tingkat excellent, setiap karyawan harus mempunyai keterampilan tertentu
diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan
gairah kerja dan sikap yang selalu siap untuk melayani, tenang dalam
bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan
baik tugas yang berkaitan pada bagiannya maupun bagian lain, mampu
berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat pelanggan dan
memiliki kemampuan memahami keluhan pelanggan secara profesional.
Dalam bisnis jasa, kualitas pelayanan merupakan sesuatu hal yang
penting dan harus dikerjakan dengan baik sebab aplikasi kualitas sebagai
sifat dari penampilan produk atau kinerja merupakan bagian utama strategi
perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yang berkesinambungan, baik
sebagai pemimpin ataupun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan
suatu produk jasa adalah dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh
jasa tersebut apakah sudah sesuai harapan dan keinginan pelanggan atau
a. Barang berwujud murni
Terdiri atas barang berwujud, seperti sabun, pasta gigi. Tidak ada jasa
yang menyertai produk tersebut.
b. Barang berwujud yang disertai jasa
Terdiri atas barang berwujud yang disertai satu atau lebih jasa untuk
mempertinggi daya tarik pelanggan. Contoh: produsen mobil tidak hanya
menjual mobil saja tetapi juga kualitas dan pelayanan kepada
pelanggannya (reparasi, pelayanan purna jual).
c. Campuran
Terdiri atas barang dan jasa dengan proporsi yang sama. Misal: restoran
yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.
d. Jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan
Terdiri atas jasa utama dan jasa tambahan serta barang pelengkap.
Contoh: penumpang pesawat terbang membeli jasa transportasi. Mereka
sampai di tempat tujuan tanpa sesuatu hal berwujud yang memperlihatkan
pengeluaran mereka. Namun perjalanan tersebut meliputi barang-barang
berwujud seperti makanan dan minuman. Jasa tersebut membutuhkan
barang padat modal agar terealisasi, tetapi komponen utamanya adalah
jasa.
e. Jasa murni
Hasil dari pelayanan jasa dipengaruhi oleh tingkat kecerasan
emmosional yang dimiliki karyawan. Dalam penelitian Daniel Goleman
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional ini adalah kemampuan yang
sangat dibutuhkan dalam dunia kerja saat ini yaitu sekitar 75-96%,
sedangkan peran IQ atau keterampilan kognitif dalam keberhasilan di dunia
kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi dalam
menentukan peraih prestasi puncak dalam pekerjaan, yaitu 4-25%
(Goleman, 1999).
3. Dimensi Kualitas Jasa
Zeithaml dalam Hendroyono (http://www.lrckesehatan.net/)
merangkum dimensi kualitas jasa menjadi 5 dimensi pokok.
a. Bukti fisik (tangible) adalah kemampuan perusahaan untuk menampilkan
fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi.
b. Keandalan (reliability) adalah kemampuan untuk melakukan jasa yang
dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.
c. Daya tanggap (responsive) adalah kemampuan untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan tepat.
d. Jaminan (assurance) adalah kemampuan untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakinan serta pengetahuan dan kesopanan dari
karyawan.
e. Empati (empaty) adalah syarat untuk peduli atau memberi perhatian
Ada lima dimensi kualitas pelayanan karyawan yaitu: keandalan
(reliability), daya tanggap (responsive), jaminan (assurance), empati
(empaty), dan bukti fisik (tangible). Pada dimensi keandalan (reliability),
indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) menyediakan jasa sesuai yang
dijanjikan; (b) dapat diandalkan dalam menangani masalah jasa pelanggan;
(c) menyampaikan jasa secara benar semenjak pertama kali; (d)
menyampaikan jasa sesuai dengan waktu yang dijanjikan; dan (e)
menyimpan catatan atau dokumen tanpa kesalahan. Pada dimensi daya
tanggap (responsive), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)
menginformasikan pelanggan tentang kepastian waktu penyampaian jasa;
(b) pelayanan yang segera/cepat bagi pelanggan; (c) kesediaan untuk
membantu pelanggan; dan (d) kesiapan untuk merespon permintaan
pelanggan. Pada dimensi jaminan (assurance), indikator kualitas pelayanan
mencakup: (a) karyawan yang menumbuhkan rasa percaya para pelanggan;
(b) membuat pelanggan merasa aman sewaktu melakukan transaksi; (c)
karyawan yang secara konsisten bersikap sopan; dan (d) karyawan yang
mampu menjawab pertanyaan pelanggan. Pada dimensi empati (empaty),
indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) memberikan perhatian
individual kepada para pelanggan; (b) karyawan yang memperlakukan
pelanggan secara penuh perhatian; (c) sungguh-sungguh mengutamakan
kepentingan pelanggan; (d) karyawan yang memahami kebutuhan
dimensi bukti fisik (tangible), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)
peralatan modern; (b) fasilitas yang berdaya tarik visual; (c) karyawan yang
berpenampilan rapi dan profesional; dan (d) materi-materi berkaitan dengan
jasa yang berdaya tarik visual.
E. Hubungan Antar Variabel Penelitian
1. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas
pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada kultur lingkungan kerja yang
berbeda. Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup,
ritual dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara
memandang persoalan dan pemecahannya. Dengan demikian kultur
lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam membentuk karyawan
menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif,
kecakapan personal dan akademik. Pada kultur lingkungan kerja yang
bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional
karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan akan lebih tinggi
dibandingkan pada power distance besar. Hal ini disebabkan pada power
distance kecil terdapat sistem desentralisasi, adanya ketergantungan antara
karyawan yang lemah dan yang kuat, karyawan tingkat bawah ikut serta
demokratis dan banyak ide. Kondisi demikian akan berdampak adanya rasa
saling menghargai dan saling membutuhkan antar karyawan, bawahan akan
merasa dihargai karena diikutkan dalam pengambilan keputusan, dan
karyawan dipimpin oleh pemimpin yang ideal dan demokratis, sehingga
para karyawan akan merasa segan kepada pemimpinnya dan melakukan
pekerjaannya sesuai dengan pembagian kerja. Pada power distance besar
akan berdampak adanya manajer supervisi yang banyak, struktur organisasi
yang merepotkan banyak orang, sistem penggajian yang sangat berbeda
pada karyawan atasan dan bawahan, karyawan relative tidak berpendidikan
dan bekerja secara manual, dan terjadi persaingan antar karyawan.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism derajat
hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan
karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan padaindividualism. Hal ini
dikarenakan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism
terdapat komunikasi yang lancar, adanya hubungan kekeluargaan antar
karyawan yang erat seperti hubungan dengan saudara, keharmonisan selalu
dipertahankan, dan konfrontasi langsung dihindarkan. Pada kultur demikian
suasana dalam bekerja menjadi lebih nyaman dan kondusif, jauh dari
perselisihan antar karyawan karena karyawan akan menyadari bahwa
karyawan lain adalah rekan kerjanya bukan pesaing kerjanya, serta
terjadinya rasa saling menghargai dan saling membantu antar karyawan.
berdampak adanya komunikasi rendah, hubungan antara karyawan hanya
berdasarkan keuntungan pribadi, dan manajemen yang berlaku adalah
invidualistis.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan femininity derajat
hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan
karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada masculinity. Hal ini
disebabkan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikanfemininity terdapat
hubungan yang hangat, cara menyelesaikan masalah dengan berunding, dan
manajer menggunakan perasaan serta kesepakatan bersama. Pada kultur
demikian terdapat kesempatan untuk saling menolong dan bekerja sama
sebab keputusan diambil bukan didasarkan pada manajer saja tetapi
berdasarkan keputusan bersama. Pada kultur lingkungan kerja yang
bercirikan masculinity akan berdampak adanya pengambilan keputusan
hanya terletak pada manajer, cara mengatasi konflik dengan mengeluarkan
karyawan, dan terjadinya persaingan antar karyawan.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan uncertainty avoidance
yang lemah derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan
kualitas pelayanan karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada
uncertainty avoidance yang kuat. Pada kultur lingkungan kerja yang
bercirikan uncertainty avoidance yang lemah terdapat orientasi dalam
bekerja, adanya motivasi terhadap hasil dan penghargaan dan ketelitian
karyawan meningkat dan ketika bekerja karyawan merasa tidak ada waktu
untuk menganggur sebab semua waktunya didedikasikan untuk bekerja, dan
adanya semangat belajar untuk mencapai hasil yang sempurna. Pada kultur
lingkungan kerja bercirikan uncertainty avoidance yang kuat akan
berdampak adanya penyerangan yang sering terjadi diantara karyawan tidak
membuang-buang waktu dan terburu-buru dalam bekerja, dan tidak ada
kemauan untuk belajar karena merasa sudah ahli dibidangnya.
2. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan kualitas pelayanan karyawan.
Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas
pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada locus of control yang
berbeda. Pada locus of control internal derajat hubungan kecerdasan
emosional karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan lebih tinggi
dibandingkan karyawan yang mempunyai keyakinan locus of control
eksternal. Locus of control ialah keyakinan seseorang tentang faktor-faktor
yang mengatur kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol
(locus of control internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control
eksternal), serta sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan
antara usaha-usaha yang telah dilakukan dengan akibat-akibatnya. Seorang
karyawan yang mempunyai kecenderungan locus of control internal tidak
mudah terpengaruh, aktif, mempunyai rasa percaya diri, dan mempunyai
juga baik. Pada locus of control demikian semangat karyawan dan rasa
percaya diri untuk bekerja sehingga berdampak pada kemudahan dan
kecepatan karyawan dalam bekerja. Pada locus of control eksternal,
karyawan berkeyakinan bahwa kegagalan dan keberhasilan dipengaruhi oleh
faktor di luar dirinya, sehingga berdampak pada sikap mudah menyerah,
kecemasan tinggi, merasa tidak berdaya, rasa percaya diri yang rendah, dan
penyesuaian diri yang kurang baik.
F. Kerangka Berpikir
1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi
harapan pelanggan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kultur
lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan
yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan
pemecahannya yang diduga berpengaruh pada hubungan kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
2. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi
harapan pelangganyang berhubungan dengan kecerdasan emosional.Locus of
control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan
seseorang mengenai sumber penentu pribadinya yang diduga berpengaruh
pada hubungan kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
Model:
G. Hipotesis
1. Ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
2. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. kecerdasan
emosional
kualitas pelayanan
karyawan
locus of control
kultur lingkungan
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus pada karyawan administrasi.
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” dan Universitas Janabadra,
Yogyakarta. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Kesimpulan
penelitian hanya berlaku pada karyawan administrasi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” dan Universitas Janabadra, Yogyakarta sebagai subyek
penelitian ini.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” dan
Universitas Janabadra, Yogyakarta.
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2006
C. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan adalah karyawan administrasi Universitas
b. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosional, kualitas pelayanan
para karyawan, kultur lingkungan kerja dan locus of control.
D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya
1. Kultur Lingkungan Kerja
Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual
dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang
persoalan dan pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan faktor
esensial dalam membentuk karyawan menjadi manusia yang optimis, berani
tampil, berperilaku kooperatif, kecakapan personal dan akademik. Ada empat
dimensi kultur lingkungan kerja diantaranya power distance, individualism
dan collectivism, femininity dan masculinity, dan uncertainty avoidance
(Hofstede, 1994:35-125). Masing-masing dimensi tersebut selanjutnya
dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Berikut ini disajikan tabel
operasionalisasi variabel kultur lingkungan kerja:
Tabel 3.1
Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja
Dimensi Indikator No.Item
Power distance
a. Perbedaan diantara karyawan diminimalkan
b. Ada ketergantungan antara karyawan yang lemah dan yang kuat
c. Tingkatan di lingkungan kerja berarti adanya perbedaan aturan
1
2
3
d. Sistem manajemen di lingkungan kerja e. Perbedaan gaji antara atasan dan
bawahan.
f. Bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan
g. Persepsi terhadap hak istimewa dan simbol status. 5 6 7 Individualism vs collectivism
a. Basis identitas diri
b. Keharmonisan di tempat kerja. c. Hubungan komunikasi
d. Penyalahgunaan kepemimpinan e. Hubungan antar karyawan f. Dasar penggajian dan promosi g. Sistem manajemen
h. Hubungan kerja
8 9 10 11 12 13 14 15 Femininity vs masculinity
a. Cara penyelesaian masalah b. Prinsip kerja
c. Perbedaan jenis kelamin dalam lingkungan kerja.
d. Prinsip pekerjaan yang manusiawi. e. Tipe manajer.
f. Sikap bersosial dalam lingkungan kerja.
16 17 18 19 20 21 Uncertainty avoidance
a. Kebutuhan akan peraturan dalam lingkungan kerja.
b. Orientasi dalam bekerja c. Semangat bekerja
d. Sikap terhadap pencapaian ketelitian e. Sikap terhadap perilaku karyawan.
f. Bentuk penilaian terhadap hasil pekerjaan.
22 23 24 25 26 27
Pengukuran variabel kultur lingkungan kerja didasarkan pada
yang dinyatakan dalam empat skala sikap, yaitu sangat setuju (SS)=4; setuju
(S)=3;