• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1.Pengertian Organizational Citizenship Behavior

(OCB)

Dewasa ini banyak dilakukan kajian baru dan menarik di bidang sumber daya manusia. Manusia dijadikan subyek dan sekaligus juga obyek di dalam penelitian-penelitian sumber daya manusia (SDM) untuk mencari hal-hal baru yang dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan kemampuan manusia itu sendiri. Salah satu aspek baru yang diungkap tentang manusia adalah OCB (Organizational Citizenship Behavior/Perilaku Keanggotaan individu di dalam Organisasi). Menurut Aldag dan Rosckhe (1997), OCB merupakan kontribusi individu dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja. OCB ini melibatkan beberapa perilaku seperti : perilaku suka menolong orang lain tanpa diminta, menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku ini menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satu bentuk perilaku pro-sosial, yaitu perilaku sosial yang positif, konstruktif, dan bermakna membantu.

(2)

21 Organ (dalam Podsakoff dkk, 1997), mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oieh persyaratan peran atau deskripsi jabatan, yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi: melainkan sebagai pilihan personal (Podsakoff dkk, 2000).

Menurut Podsakoff dkk (2000). OCB dapat mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan.

a. OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja.

b. OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.

c. OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan produktif.

d. OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan.

e. OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antara anggota-anggota tim dan antar

(3)

kelompok-22 kelompok kerja.

f. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan bahwa organisasi merupakan tempat bekerja yang lebih menarik.

g. OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.

h. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan bisnisnya.

Pengembangan penelitian-penelitian OCB selanjutnya telah menuntun Organ untuk mendefenisi ulang OCB dalam pengertian contextual performance. Borman dan Motowidlo (1993) mendefenisikan contextual performance sebagai aktifitas-aktifitas kerja yang tidak secara langsung mendukung inti dari teknis itu sendiri, namun lebih mendukung lingkungan sosial dan psikologis organisasi. Menurut Sloat (1999) OCB adalah tindakan-tindakan yang mengarah pada terciptanya keefektifan fungsi-fungsi dalam organisasi dan tindakan-tindakan tersebut secara eksplisit tidak diminta (secara sukarela) serta tidak secara formal diberi penghargaan (dengan insentif). OCB, dengan kata lain merupakan perilaku yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain, hal itu

(4)

23 diekspresikan dalam tindakan-tindakan yang mengarah pada hal-hal yang bukan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri tetapi demi terwujudnya kesejahteraan bagi orang lain.

Pembahasan dalam berbagai tulisan, istilah OCB, perilaku prososial, atau perilaku ekstra peran (extra-role), sebenarnya merupakan istilah-istilah yang dapat saling menggantikan. Kebanyakan orang menyebut OCB dengan extra-role yaitu sikap atau perilaku karyawan yang memiliki apa yang ditugaskan di luar job description dan memperoleh penghargaan/reward secara tidak langsung dari organisasi. Penilaian kinerja terhadap karyawan biasanya didasarkan pada job description yang telah disusun oleh organisasi tersebut, sehingga baik-buruknya kinerja seorang karyawan dilihat dari kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana tercantum di dalam job description.

Melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas yang ada di dalam job description ini disebut sebagai in-role behavior (Dyne dkk, 1994). Saat ini sudah seharusnya bila perusahaan mengukur kinerja karyawan tidak hanya sebatas tugas-tugas yang terdapat dalam deskripsi kerjanya saja. Bagaimanapun diperlukan peran ekstra demi

(5)

24 terselesaikannya tugas-tugas itu. Kontribusi pekerja “di atas dan lebih dari” deskripsi kerja formal inilah yang disebut dengan OCB.

Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada penghargaan (reward). Pada in-role biasanya dihubungkan dengan imbalan atau penghargaan (reward) dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward, dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam sistem penghargaan (reward) yang akan mereka terima (Morrison, 1994). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role. Dibandingkan dengan perilaku in-role yang dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik atau penghargaan moneter, maka perilaku extra-role lebih dihubungkan dengan penghargaan intrinsik (Dyne dkk, 1994; Morrison, 1994).

Perilaku ini muncul karena perasaan sebagai “anggota” organisasi dan merasa puas apabila dapat melakukan “suatu yang lebih” kepada organisasi. Williams dan Anderson (dalam Diefendorff dkk, 2002). membagi OCB menjadi dua kategori, yaitu OCB-O dan OCB-I. OCB-O adalah perilaku-perilaku yang memberikan manfaat bagi organisasi pada umumnya, misalnya kehadiran di tempat kerja

(6)

25 melebihi norma yang berlaku dan mentaati peraturan-peraturan informal yang ada untuk memelihara ketertiban. OCB-I merupakan perilaku-perilaku yang secara langsung memberikan manfaat bagi individu lain dan secara tidak langsung juga memberikan kontribusi pada organisasi, misalnya membantu rekannya yang tidak masuk kerja dan mempunyai perhatian personal pada karyawan lain. OCB menekankan pada kontrak sosial antara individu dengan rekan kerjanya dan antara individu dengan organisasi yang biasanya dibandingkan dengan perilaku in-role yang mendasarkan pada “kinerja terbatas” yang diisyaratkan oleh organisasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa organizational citizenship behavior (OCB) adalah : Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi, sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, yang tidak diperintah secara formal, dan tidak berkaitan langsung dengan sistem penghargaan (reward system) yang berlaku . Artinya perilaku ekstra peran yang dilakukan karyawan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk uang.

(7)

26

2.Dimensi-dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Banyak peneliti yang menguraikan dimensi-dimensi OCB. Organ (dalam Diefendorff dkk, 2002) menguraikan lima dimensi OCB, yaitu:

a.Conscientiousness, berarti karyawan mempunyai perilaku tepat pada waktunya, tinggi dalam hal kehadirannya, dan melakukan sesuatu melebihi kebutuhan dan harapan normal.

b.Altruism, yaitu kemauan untuk memberikan bantuan kepada pihak lain.

c. Civic virtue, yaitu karyawan memberikan kontribusi pada isu-isu politik yang ada dalam organisasi dengan cara yang bertanggung jawab. d.Sportmanship, yaitu sikap yang lebih menekankan

pada aspek-aspek positif organisasi daripada aspek-aspek negatifnya, mengindikasikan perilaku tidak senang protes, tidak mengeluh, dan tidak membesar-besarkan masalah kecil/sepele.

e. Courtesy, yaitu berbuat baik dan hormat kepada orang lain, termasuk perilaku seperti membantu seseorang untuk mencegah terjadinya suatu permasalahan, atau membuat langkah-langkah untuk meredakan/ mengurangi berkembangnya suatu masalah.

Organ (dalam Podsakoff dan Mackenzie,1994), juga menambahkan dengan:

(8)

27 f. Peacekeeping, yaitu tindakan-tindakan yang menghindari dan menyelesaikan terjadinya konflik interpersonal (sebagai stabilisator dalam organisasi) dan

g. Cheerleading, diartikan sebagai bantuan kepada rekan kerjanya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.

Selain itu O‟Bannon dan Pearce (1999) menambahkan dengan :

h.Teamwork, yaitu “ikatan” satu orang dengan orang lain dalam satu tim atau pengidentifikasian seseorang terhadap yang lain sebagai satu tim.

Adapun Graham (dalam Bolino dkk, 2001) mengemukakan tiga dimensi organizational citizenship behavior, yaitu :

a. Obedience. Karyawan menunjukkan ketaatannya melalui kemauan mereka untuk respek terhadap peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi. Perilaku yang mencerminkan kepatuhan dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan ketepatan waktu masuk kerja, ketepatan penyelesaian tugas, dan tindakan pengurusan terhadap sumber atau aset organisasi.

b.Loyalty. Karyawan menunjukkan kesetiaannya pada organisasi ketika mau menangguhkan kepentingan pribadi mereka bagi keuntungan

(9)

28 organisasi dan untuk memajukan serta membela organisasi.

c. Participation. Karyawan menunjukkan tanggung jawabnya secara penuh dengan keterlibatannya dalam keseluruhan aspek-aspek kehidupan organisasiselalu mengikuti informasi perkembangan organisasi, memberikan saran kreatif dan inovatif kepada rekan kerja, menyiapkan penyelesaian masalah sebelum diminta, dan berusaha mendapatkan pelatihan tambahan untuk meningkatkan kinerjanya.

Beberapa pengukuran tentang OCB seseorang telah dikembangkan. Skala Morrison (1995) merupakan salah satu pengukuran yang sudah disempurnakan dan memiliki kemampuan psikometrik yang baik (Aldag & Resckhe, 1997 : 4-5). Skala ini mengukur kelima dimensi sebagai berikut: Dimensi 1 : Altruism - perilaku membantu orang

tertentu

 Menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat.

 Membantu orang lain yang pekerjaannya overload.

 Membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta.

 Membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk.

(10)

29

 Meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pekerjaan.

 Menjadi volunteer untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan dan Membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki permasalahan.

 Membantu pelanggan ketika mereka membutuhkan bantuan.

Dimensi 2 : Conscientiousness - perilaku yang melebihi prasyarat minimum seperti:

kehadiran, kepatuhan terhadap aturan, dan sebagainya

Tiba lebih awal, sehingga siap bekerja pada saat jadual kerja dimulai.

Tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim ataupun lalu lintas dan sebagainya.

Berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon.

Tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan.

Datang segera jika dibutuhkan.

Tidak mengambil kelebihan waktu meskipun ekstra 6 hari.

(11)

30 Dimensi 3 : Sportmanship - kemauan untuk

bertoleransi tanpa mengeluh.

 Menahan diri dari aktivitas-aktivitas mengeluh dan mengumpat

 Tidak menemukan kesalahan dalam organisasi.

 Tidak mengeluh tentang segala sesuatu.

 Tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya. Dimensi 4 : Civic virtue - Keterlibatan dalam

fungsi-fungsi organisasi

 Memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu image organisasi.

 Memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap penting.

 Membantu mengatur kebersamaan secara departemental.

Dimensi 5 : Courtesy – Perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain.

 Menyimpan informasi tentang kejadian-kejadian maupun perubahan-perubahan dalam organisasi

(12)

31

 Mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan dalam organisasi

 Membaca dan mengikuti pengumuman pengumuman organisasi.

 Membuat pertimbangan dalam menilai apa yang terbaik untuk organisasi. Dalam penelitian ini dipakai tiga dimensi OCB dari Graham karena sejalan dengan konsep Marshall (1950) dalam Vigoda dan Golembiewski (2001: 279) yang mengemukakan bahwa secara umum citizenship behavior merujuk pada tiga elemen utama yaitu : kepatuhan (obedience), loyalitas (loyalty), dan partisipasi (participation)

3.Motif-motif yang mendasari OCB

Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB tidak ditentukan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh banyak faktor penyebab yang mendasari terbentuknya OCB. Salah satu alasan yang mendasari terbentuknya OCB pada seorang individu adalah unsur motif. Menurut McCleland (1985), individu memiliki tiga tingkatan motif, yaitu : a.Motif berprestasi

Motif ini mendorong individu untuk menunjukkan suatu standar keunggulan (excellency), mencarai

(13)

32 prestasi dari suatu tugas, kesempatan atau kompetisi.

b.Motif afiliasi

Motif ini mendorong individu untuk mewujudkan, memelihara dan memperbaiki hubungan dengan orang lain.

c. Motif kekuasaan

Motif ini mendorong individu untuk mencari status dan situasi dimana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.

Kerangka pendekatan motif ini diterapkan untuk memahami OCB guna mengetahui mengapa individu menunjukkan OCB. Gambar berikut ini menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif.

(14)

33

Gambar 2.1

Model OCB berdasarkan motif

1. Motif Berprestasi 2.Motif Afiliasi 3.Motif Kekuasaan

Menunjukkan OCB berarti :  Kesempurnaan tugas  Kesuksesan organisasi Teori-teori : Model kepuasan/keadilan Traits : Conscientiousness Protestant work ethic. Rural background Field dependence – a “doer” Menunjukkan OCB berarti :  Pembentukan dan pemeli-haraan hubungan  Penerimaan persetujuan Teori-teori : Model Komitmen Traits : Berorientasi pada pemberian pelayanan, kepercayaan, perse-tujuan, perasaan positif, spirit menjadi orang yang menye-nangkan Menunjukkan OCB berarti :  Mendapatkan kekua-saan dan status  Menghadirkan kesan positif  Kesuksesan organisasi Teori-teori : Model Impression Management Traits : Machiavellian, self monitor, political sawy – seorang „ahli politik yang cerdik‟

Penelitian ini akan mengukur organizational citizenship behavior berdasar pada tiga dimensi yang dikemukakan oleh Graham, yaitu: obedience, loyalty dan participation. Peneliti memilih rumusan yang dikemukakan oleh Graham karena tiga dimensi OCB yang dikemukakannya telah mencakup semua dari

(15)

34 delapan dimensi yang dikemukakan oleh Organ (Diefendorff dkk, 2002; Podsakoff dan Mackenzie, 1994) maupun O‟Bannon dan Pearce (1999), sehingga lebih mudah untuk dipahami.

4.Implikasi Organizational Citizenship Behavior

Beberapa penelitian dilakukan para ahli yang mencoba menghubungkan antara OCB dengan beberapa aspek dalam organisasi.

a.Keterkaitan OCB dengan Kualitas Pelayanan

Podsakoff, dkk (1997) secara khusus meneliti tentang keterkaitan OCB dengan kualitas pelayanan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa perusahaan yang tinggi tingkat OCB di kalangan karyawannya, tergolong rendah dalam menerima komplain dari pelanggan. Lebih jauh, penelitian tersebut membuktikan keterkaitan yang erat antara OCB dengan kepuasan pelanggan: semakin tinggi tingkat OCB di kalangan karyawan sebuah perusahaan, semakin tinggi tingkat kepuasan pelanggan pada perusahaan tersebut. b.Keterkaitan OCB dengan kinerja kelompok.

Dalam penelitiannya, Geogre dan Bettenhausen (1990), menemukan adanya keterkaitan yang erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Adanya perilaku altruistik memungkinkan sebuah kelompok bekerja secara

(16)

35 kompak dan efektif untuk saling menutupi kelemahan masing-masing. Senada dengan temuan George dan Bettenhausen adalah temuan dari Podsakoff, dkk (1997), yang juga menemukan keterkaitan erat antara OCB dengan kinerja kelompok. Keterkaitan erat terutama terjadi antara OCB dengan tingginya hasil kerja kelompok secara kuantitas, sementara kualitas hasil kerja tidak ditemukan keterkaitan yang erat.

c. Keterkaitan OCB dengan turnover

Penelitian yang mencoba menghubungkan OCB dengan turnover karyawan dilakukan oleh Chen, dkk (1998). Mereka menemukan adanya hubungan terbalik antara OCB dengan turnover. Dari penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki OCB rendah memiliki kecenderungan untuk meninggalkan organisasi (keluar) dibandingkan dengan karyawan yang memiliki tingkat OCB tinggi. Dari Paparan di atas bisa disimpulkan bahwa OCB menimbulkan dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatnya kualitas pelayanan, meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkan tingkat turnover. Karenanya, menjadi penting bagi sebuah organisasi untuk meningkatkan OCB di kalangan karyawannya.

(17)

36

5.Manfaat OCB dalam perusahaan

Dari hasil peneltian-penelitian mengenai pengaruh OCB terhadap kinerja organisasi (diadaptasi oleh Podsakoff dan MacKenzie oleh Podsakoff, dkk, 2000, dalam Elfina P, 2003 : 5-6)), dapat disimpulkan sebagai berikut :

a.OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja 1) Karyawan yang menolong rekan kerja lain

akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut.

2) Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan “best practice” ke seluruh unit kerja atau kelompok.

b.OCB meningkatkan produktivitas manajer

1) Karyawan yang menampilkan perilaku civic

virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan/atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.

2) Karyawan yang sopan, dan menghindari

terjadinya konflik dengan rekan kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.

c. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan

(18)

37

1) Jika karyawan saling tolong menolong dalam

menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain seperti membuat perencanaan, danlain-lain.

2) Karyawan yang menampilkan conscentiousness

tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka. Hal ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting.

3) Karyawan lama yang membantu karyawan

baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut.

4) Karyawan yang menampilkan perilaku

sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.

d.OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok

1) Keuntungan dari perilaku menolong adalah

(19)

38 kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.

2) Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy

terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang digunakan untuk menyelesaikan konflik manajemen akan berkurang.

e. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja

1) Menampilkan perilaku civic virtue (seperti

menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok.

2) Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling

memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.

f. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik

1) Perilaku menolong dapat meningkatkan moril

dan kerekatan serta perasaan memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan

(20)

39 meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik.

2) Memberi contoh pada karyawan lain dengan

menampilkan perilaku sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.

g. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

1) Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di

tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.

2) Karyawan yang conscentiousness cenderung

mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas kinerja unit kerja.

h.OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan

1) Karyawan yang mempunyai hubungan dekat

dengan pasar, akan dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.

(21)

40

2) Karyawan yang secara aktif hadir dan

berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi.

3) Karyawan yang menampilkan perilaku

conscentiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.

6.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

Munculnya OCB dikalangan karyawan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:

a.Persepsi atas dukungan organisasi

Penelitian yang dilakukan oleh Moorman, dkk (1998), Wayne, dkk (1997) dan Liden, dkk (1996) menemukan adanya pengaruh kuat dari persepsi atas dukungan organisasi terhadap OCB. Semakin positif persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi kepadanya, akan semakin tinggi intensitas OCB. Karyawan akan rela memberikan kinerja terbaiknya di luar tugas-tugas resminya karena merasa bahwa organisasi memberikan apa yang mereka harapkan. Studi

(22)

41 Shore dan Wayne (1993) juga menemukan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasional dapat menjadi prediktor organizational citizenship behavior (OCB). Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan memberikan timbal baliknya (feed back) dan menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship.

b.Kualitas hubungan atasan-bawahan

OCB juga dipengaruhi oleh hubungan antara atasan bawahan yang selama ini terjalin. Semakin bawahan merasa dekat dengan atasan, merasa diberi kepercayaan oleh atasan, merasa diperhatikan atasan, dan sebagainya, akan semakin tinggi OCB-nya. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Liden, dkk (1996) dan Wayne, dkk (1997). Kedua penelitian mereka menemukan adanya pengaruh kuat kualitas hubungan atasan bawahan pada OCB. Riggio (1990) juga menyatakan bahwa apabila interaksi pemimpin-bawahan berkualitas tinggi maka seorang pemimpin akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa pemimpinnya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan

(23)

42 pada pemimpinnya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang diharapkan oleh pemimpin mereka.

c. Masa kerja

Sommers dkk (1996) menyebutkan bahwa masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB karena variabel-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap “investasi” karyawan di organisasi. Karyawan yang telah lama bekerja di suatu organisasi akan memiliki keterdekatan dan keterikatan yang kuat terhadap organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang memperkerjakannya. Perilaku positif karyawan inilah yang dinamakan organizational citizenship behavior (OCB).

d.Kepuasan kerja

Penelitian yang dilakukan MacKenzie, dkk (1998) mengidentifikasi variabel kepuasan kerja yang ternyata berpengaruh pada OCB. Karyawan yang merasa puas dengan tugas-tugas yang harus ia lakukan dari perusahaan selama ini akan menunjukkan tingkat OCB yang lebih tinggi dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas dengan hal tersebut.

(24)

43 e. Kepribadian dan keadaan jiwa / suasana hati

(mood)

Kepribadian dan keadaan jiwa/suasana hati (mood) mempunyai pengaruh terhadap timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. George dan Brief (1992) berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga dipengaruhi oleh mood. Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang secara relatif dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah-ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain.

f. Iklim organisasi

Iklim organisasi dapat menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi. Di dalam iklim organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian pekerjaan, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasinya.

(25)

44 g. Keadilan prosedural

Penilaian karyawan terhadap keadilan berbagai kebijakan atau peraturan perusahaan juga mempengaruhi OCB. Penelitian yang dilakukan oleh Schappe (1998) dan Moorman, dkk (1998) membuktikan hal tersebut. Seseorang yang merasa diperlakukan secara adil oleh perusahaan melalui berbagai aturannya akan meningkat OCB-nya. Sebaliknya, karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil akan semakin rendah OCB-nya.

h.Pertukaran sosial

Organ menggunakan teori pertukaran sosial (social exchange theory) untuk berpendapat bahwa ketika karyawan telah puas terhadap pekerjaannya, mereka akan membalasnya. Pembalasan dari karyawan tersebut termasuk perasaan memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi dan perilaku seperti Organizational Citizenship (Dyne dkk, 1994).

Mengacu pada keefisienan dan keefektifan proses penelitian, maka tidak semua faktor-faktor yang mempengaruhi OCB tersebut di atas akan disertakan sebagai variabel-variabel dalam penelitian ini. Berdasar pada relevansi dengan permasalahan yang ada dan ketertarikan penulis sendiri untuk mendalami teori tertentu, maka kepuasan kerja dan

(26)

45 komitmen organisasi akan diuji dalam penelitian ini, apakah variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap OCB dan seberapa besar pengaruh tersebut.

B. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja, adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi kerja serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi kerja.

Sementara komitmen organisasi yang terkait dengan pekerjaan akan bersinggungan dengan banyak hal dalam lingkup organisasi. Untuk komitmen organisasi dapat dipandang pada beberapa konteks meliputi komitmen organisasi karyawan pada atasan, rekan kerja, pekerjaan atau organisasi.

Komitmen organisasi adalah derajat dimana karyawan mengidentifikasi dengan organisasi dan terus ingin berpartisipasi secara aktif dalam organanisasi tersebut. Kreitner dan Kinicki (2000) menyatakan bahwa komitmen organisasi (Organizatonal Commitment) mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi

(27)

46 dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Porter et.al dalam Miner (1992) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relative dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatannya ke dalam bagian organisasi. Sikap ini ditandai dengan tiga hal, yaitu kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, dan keinginan yang kuat untuk mempertahannkan keanggotaan di dalam organisasi.

1.Komponen Komitmen Organisasi

Menurut Meyer, Allen dan smith dalam Sopiah (2008:157) mengemukakan bahwa ada tiga komponen komitmen organisasi, yaitu :

a.Affective Commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional.

b.Continue Commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lainnya, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.

c. Normative Commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan.

(28)

47 Setiap karyawan memiliki dasar dan perilaku yang berbeda tergantung pada komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku yang berbeda dengan karyawan memiliki komitmen organisasi dengan dasar continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya karyawan yang terpaksan menjadi anggota akan menghindari kerugian financial dan kerugian lain, sehingga karyawan tersebut hanya melakukan usaha yang tidak maksimal.

Sementara itu, komitmen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi bergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komitmen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah diterima dari organisasi.

2.Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasi

Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor

(29)

48 misalnya, Steers dalam sopiah (2008:63) mengidentifikasikan ada tiga faktor yang mempengaruhi Komitmen organisas, yaitu:

a.Ciri pribadi kinerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.

b.Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan kerja.

c. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi dimasa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.

3.Proses Terjadinya Komitmen Organisasi

Bashaw dan Grant dalam Sophian(2008:159) menjelaskan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi.

Komitmen organisasi timbul secara bertahap dalam diri pribadi karyawan. Berawal dari kebutuhan pribadi terhadap organisasi, kemudian beranjak menjadi kebutuhan bersama dan rasa memiliki dari para anggota (karyawan) terhadap organisasi. Wursanto (2005:15) mengemukakan bahwa rasa memiliki dari para anggota (karyawan) terhadap kelompoknya dapat dilihat dalam hal-hal berikut:

(30)

49 a. Adanya loyalitas dari para anggota terhadap

anggota lainnya.

b.Adanya loyalitas para anggota terhadap kelompoknya.

c. Kesediaan berkorban secara ikhlas dari para anggota baik moril maupun material demi kelangsungan hidup kelompoknya.

d.Adanya rasa bangga dari para anggota kelompok apabila kelompok tersebut mendapat nama baik dari masyarakat.

e. Adanya letupan emosional/amarah dari para anggota apabila kelompoknya mendapat celaan, baik itu dilakukan oleh individu maupun kelompok lainnya.

f. Adanya niat baik (goodwill) dari para anggota kelompok untuk tetap menjaga nama baik kelompoknya dalam keadaan apapun.

Setelah rasa memiliki dari setiap anggota (karyawan) kelompok mulai tumbuh dan berkembang maka tumbuhlah suatu kesepakatan bersama yang merupakan komitmen dari pars snggota organisasi/ kelompok yang harus ditaati oleh setiap anggota (karyawan).

C. Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Blum & Naylor (dalam Rao, 2003), kepuasan kerja merupakan hasil dari sikap seseorang

(31)

50 terhadap hal hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Taylor (dalam Houtte, 2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja sering dihubungkan dengan penghargaan ekstrinsik dan intrinsik dalam bekerja. Selain itu Perie (1997) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan reaksi afektif terhadap situasi pekerjaan seseorang. Ini dapat dijelaskan sebagai aspek yang spesifik pada suatu pekerjaan. Dari beberapa pengertian diatas, kepuasan kerja dapat diartikan sebagai perilaku dan perasaan seseorang terhadap aspek yang spesifik dari suatu pekerjaan.

Pada dasarnya kepuasan kerja dipengaruhi karena adanya beberapa faktor individu, dimana kepuasan kerja dipengaruhi usia, jemis kelamin, pengalaman, dan sebagainya. Kedua, faktor pekerjaan, dimana kepuasan kerja dipengaruhi oleh otonomi pekerjaan, kreatifitas yang beragam, identitas tugas, keberartian tugas (task significancy), pekerjaan tertentu yang bermakna dalam organisasi dan lain-lain, Dan ketiga, faktor organisasional, yakni kepuasan kerja dipengaruhi oleh skala usaha, kompleksitas organisasi, formalitas, sentralisasi, jumlah anggota kelompok, lamanya beroperasi, usia kelompok kerja dan kepemimpinan (Robbin, 2006).

(32)

51 Sebaliknya menurut S. Sararaks dan R. Jamaluddin (1997) dalam penelitiannya di Malaysia bahwa faktor utama ketidakpuasan kerja adalah status ekonomi, kemungkinan berkembangnya karir dan tantangan, dan beban kerja yang diterima.

1.Dimensi Kepuasan Kerja

Luthan (1998) mengemukakan terdapat tiga dimensi penting dalam kepuasan kerja, yaitu kepuasan kerja merupakan respon emosional terdapat situasi; kepuasan kerja sering kali ditentukan oleh bagaimana hasil yang diperoleh sesuai atau melebihi harapannya; kepuasan kerja mencerminkan beberapa perilaku yang berkaitan. Sedangkan Hulin et al., (1959) mengungkapkan lima dimensi yang mencerminkan karakteristik penting tentang kerja yang ditanggapi karyawan secara efektif, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi (pengawasan) dan rekan kerja. a.Pekerjaan itu sendiri

Kepuasan pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, dimana pekerjaan tersebut memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk menerima tanggung jawab dan kemajuan untuk karyawan. Penelitian terbaru menemukan bahwa karakteristik pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan menghubungkan antara kepribadian

(33)

52 dan kepuasan kerja. Jika persyaratan kreatif pekerjaan terpenuhi, maka mereka cenderung menjadi puas. Selain itu, perkembangan karir (tidak perlu promosi) merupakan hal penting untuk karyawan muda dan tua

b.Gaji

Gaji sebagai faktor multidimensi dalam kepuasan kerja merupakan sejumlah upah/uang yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibanding dengan orang lain dalam organisasi. Uang tidak hanya membantu orang memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi. Karyawan melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika karyawan fleksibel dalam memilih jenis benefit yang mereka sukai dalam sebuah paket total (rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan signifikan dalam kepuasan kerja secara keseluruhan.

c. Kesempatan promosi

Kesempatan promosi adalah kesempatan untuk maju dalam organisasi, sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal lain dikarenakan promosi memiliki sejumlah

(34)

53 bentuk yang berbeda dan memiliki penghargaan, seperti promosi atas dasar senioritas atau kinerja dan promosi kenaikan gaji. Lingkungan kerja yang positif dan kesempatan untuk berkembang secara intelektual dan memperluas keahlian dasar menjadi lebih penting daripada kesempatan promosi.

d.Pengawasan (supervisi)

Pengawasan merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. Ada dua dimensi gaya pengawsan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Yang pertama adalah berpusat pada karyawan, diukur menurut tingkat dimana penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada karyawan, seperti memberikan nasehat dan bantuan kepada karyawan. Yang kedua iklim partisipasi atau pengaruh dalam pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi pekerjaan karyawan. Secara umum, kedua dimensi tersebut sangat berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan.

e. Rekan kerja

Pada umumnya, rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok kerja, terutama tim yang “kuat”

(35)

54 bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasehat, dan bantuan pada anggota individu. Karena kelompok kerja memerlukan kesalingtergantungan antara anggota dalam menyelesaikan pekerjaan. Kondisi seperti itulah efektif membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, sehingga membawa efek positif yang tinggi pada kepuasan kerja.

Dari kelima dimensi diatas, digunakan oleh para peneliti untuk mengukur kepuasan kerja, dan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.

Disamping itu, terdapat juga lima model kepuasan kerja yang menonjol yang akan menggolongkan penyebabnya dan dapat digunakan sebagai ukuran kepuasan kerja, antara lain (Kreitner & Kinicki, 2003) :

a. Pemenuhan kebutuhan, menjelaskan bahwa kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari sebuah pekerjaan memungkinkan seorang individu memenuhi kebutuhannya.

b. Ketidak cocokan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, saat harapan lebih besar daripada yang diterima, seorang akan tidak puas.

(36)

55 c. Pencapaian nilai, menjelaskan bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang individu.

d. Persamaan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana seorang individu diperlakukan”secara adil” di tempat kerja.

e. Komponen watak/genetic, menjelaskan bahwa secara khusus model ini didasarkan bahwa kepuasan kerja sebagai fungsi dari sifat pribadi maupun faktor genetic.

Dari sudut pandang masyarakat dan karyawan individu, kepuasan kerja merupakan hasil yang diinginkan. Karyawan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelaakaan kerja, mengajukan sedikit keluhan dan menurunkan tingkat stress (Luthan, 2006).

Selain itu karyawan akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan tidak berusaha mengevaluasi alternative pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang tidak puas dalam pekerjaannya cenderung mempunyai fikiran untuk keluar, mengevaluasi alternative pekerjaan lain dan keinginan untuk keluar karena berharap

(37)

56 menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan (Mobley, 1979).

2.Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja (Job Satisfaction)

Menurut Rivai (2006, 478) “Faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : faktor intrinsic dan faktor ekstrintik. Faktor intrinsic ialah faktor yang berasal dari diri karyawan dan dibawa oleh karyawan sejak mulai bekerja ditempat pekerjaannya. Faktor ekstrinsik ialah menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik, lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain, sistem penggajian, dan lain sebagainya”.

Hasibuan (2003) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a) Balas jasa yang adil dan layak

b) Penempatan yang tepat dan sesuai dengan keahlian

c) Suasana dan lingkungan pekerjaan d) Berat ringannya pekerjaan

e) Peralatan yang menunjang

(38)

57

D. Pengertian Kinerja Karyawan

Kinerja karyawan (job performance) dapat diartikan sebagai sejauh mana seorang melaksanakan tanggung jawab dan tugas kerjanya (Singh et al., 1996). Faustino Gomes (1995) mengatakan performansi pekerjaan adalah catatan hasil atau keluaran (outcome) yang dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Sedangkan pengukuran performansi menurut Faustino Gomes (1995) merupakan cara untuk mengukur tingkat kontribusi individu kepada organisasinya. Kinerja karyawan umumnya diposisikan sebagai variabel dependen dalan penelitian-penelitian empiris karena dipandang sebagai akibat atau dampak dari perilaku organisasi atau praktek-praktek sumber daya manusia bukan sebagai penyebab atau determinan.

Menurut Marihot Tua Efendy (2002:194) mengatakan bahwa kinerja adalah unjuk kerja yang merupakan hasil kerja dihasilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi.

Faustino Gomes (1995) lebih lanjut menjelaskan terdapat dua kriteria pengukuran performansi atau kinerja karyawan, yaitu (1) pengukuran berdasarkan hasil akhir (result-based performance evaluation); dan (2) pengukuran berdasarkan perilaku (behavior-based performance evaluation). Pengukuran berdasarkan

(39)

58 hasil, mengukur kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi atau mengukur kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi atau mengukur hasil-hasil akhir saja. Tujuan organisasi ditetapkan oleh pihak manajemen atau kelompok kerja, kemudian karyawan dipacu dan dinilai performanya berdasarkan seberapa jauh karyawan mencapai tujuan-tujuan yang sudah diterapkan.

Pengukuran kinerja berdasarkan perilaku memungkinkan pengungkapan aspek-aspek pekerjaan yang lebih luas sehingga diperoleh gambaran kinerja yang Komprehensif.

1.Tujuan dan sasaran penilaian kinerja

Tujuan Evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja SDM organisasi, dalam penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan tugasnya semuanya layak untuk dinilai.

Tujuan penilaian kinerja karyawan menurut Veithzal Rivai (2006:312) pada dasarnya meliputi : a.Untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan

(40)

59 b.Pemberian imbalan yang serasi, misalnya untuk pemberian kenaikan gaji berkala, gaji pokok, kenaikan gaji istimewa dan insentif uang.

c. Mendorong pertanggung jawaban dari karyawan. d.Untuk pembeda antar karyawan yang satu dengan

yang lainnya.

e. Pengembangan SDM yang masih dapat dibedakan lagi kedalam.

- Penugasan kembali, seperti diadakannya

mutasi atau transef, rotasi perusahaan.

- Kenaikan jabatan. - Training.

2.Faktor Penghambat Kinerja

Selain pada sumber kesalahan dalam penilaian kinerja terdapat pula faktor yang didefinisikan Veithzel Rivai (2006:317) sebagai faktor yang dapat menghambat kinerja, dalam hal ini Veithzal mendefinisikan menjadi 3 (tiga ) kelompok utama yaitu:

a.Kendala Hukum/legal

Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi tidak sah atau tidak legal. Apapun format penilaian kinerja yang digunakan oleh departemen SDM harus saling dan dapat dipercaya. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, keputusan dan penempatan mingkin ditentang

(41)

60 melanggar hukum ketenagakerjaan atau hukum lainnya. Keputusan tidak tepat mungkin dapat terjadi kasus pemecatan yang diakibatkan kepada kelalaian.

b.Bias oleh penilai (penyelia).

Setiap masalah yang didasarkan kepada ukuran sebjektif adalah peluang terjadinya bias. Bentuk-bentuk bias yang umumnya terjadi adalah:

- Hallo effect terjadi ketika pendapat pribadi

penilai mempengaruhi pengukuran kinerja baik dalam arti positif dan kinerja jelek dalam arti negatif.

- Kesalahan yang cenderung terpusat. Beberapa

penilai tidak sukanmenempatkan karyawan ke dalam posisi ekstrim dalam arti ada karyawan yang dinilai sangat positif dan dinilai sangat negatif.

- Bias terlalu lunak dan terlalu keras. Bias terlalu

lunak terjadi ketika penilai cenderung begitu mudah dalam mengevaluasi kinerja karyawan. c. Mengurangi bias penilaian.

d.Bias penilaian dapat dikurangi melalui standart penilaian dinyatakan secara jelas, pelatihan, umpan balik, dan pemilihan teknik penilaian kinerja yang sesuai.

(42)

61

3.Faktor yang mempengaruhi Kinerja Karyawan

Menurut Mahmudi (2005: 36) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan antara lain: a.Faktor personal/individu yang meliputi

pengetahuan, keterampilan, kemampuan. Kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu.

b.Faktor kepemimpinan yang meliputi kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader.

c. Faktor tim meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesame anggota tim, kekompakan, dan keeratan anggota tim.

d.Faktor sistem meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi.

e. Faktor konseptual meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

Menurut Mathis dan Jackson (2009), banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang meliputi kemampuan seorang karyawan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kinerja karyawan juga berkaitan dengan tingkat usaha yang dicurahkandan dukungan organisasi. Pada sistem

(43)

62 penilaian kinerja tradisional, kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, namun dalam kenyataanya kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain diluar faktor personal seperti sistem, situasi, kepemimpinan, atau tim.

E. Review Penelitian Terdahulu

No Nama

Peneliti Judul Alat Uji Hasil

1 Roby Sambung (2012)

Pengaruh kepuasan kerja terhadap ocb-1 dan ocb-o dengan dukungan organisasi sebagai variabel moderating(Studi pada Universitas Palangka Raya) SEM (Stuctural Equation Modeling) Kepuasan Kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB-0, dan dukungan organisasi memoderasi hubungan antara kepuasan kerja dengan OCB 2 Suryana Sumantri Fahrudin Js Pareke (2010) Studi tentang organizational citizenship behavior dan Kepuasan kerja dosen pada ptn dan PTS Provinsi

Bengkulu

Regresi

Berganda Kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap OCB 3. Ludy Kelana (2008) Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi terhadap OCB

Regresi

Berganda Kepuasan Kerja dan komitmen Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB 4 S. Pantja

Djati Variabel Anteseden Organozational Citizenchip Behavior (OCB) Dan Pengaruhnya Terhadap Service Quality Pada Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya

SEM Variabel Anteseden Organozational Citizenchip Behavior (OCB) Dan Pengaruhnya Terhadap Service Quality Pada Perguruan Tinggi Swasta di

(44)

63

No Nama

Peneliti Judul Alat Uji Hasil

Surabaya. 5. Ruddy Mahendra (2008) Pengaruh Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Lingkungan Kerja terhadap OCB Path

Analisis Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Lingkungan Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB 6. Dana, Mubasysyir Hasanbasri (2007) Hubungan

Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi dengan OCB di Politeknik Kesehatan Banjarmasin Korelasi Rank Spearman Kepuasan Kerja dan KomitmenOrganisa si berkorelasi positif dan signifikan dengan OCB

F. Hubungan antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis

1.Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap OCB

Kepuasan kerja menyebabkan karyawan ingin bekerja sama dan berkontribusi terhadap organisasi. Karyawan yang merasa puas bekerja akan memberikan balasan kepada organisasi berupa kelekatan dengan organisasi dan berperilaku sebagai anggota organisasi yang baik. Dengan adanya kepuasan kerja, karyawan akan merasa ingin melakukan tindakan yang menurutnya menyenangkan seperti membantu rekan kerja dalam mengerjakan pekerjaannya yang terlalu banyak tanpa ada rasa keterpaksaan. Hal ini diperkuat dengan penelitan dari Murpy, et al (2002) bahwa

(45)

64 kepuasan kerja berhubungan signifikan dengan OCB.

Berdasarkan Penjelasan tersebut diatas, penulis membuat Hipotesis sebagai berikut :

H1 : Kepuasan kerja berpengaruh Positif dan signifikan terhadap timbulnya perilaku OCB (Organizational Citizenship Behavior).

2.Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap OCB

Dalam mewujudkan apapun yang menjadi tujuan dari sebuah perusahaan, karyawan harus memiliki sebuah komitmen dan perilaku yang baik. Komitmen organisasi menunjuk pada pengidentifikasian dengan tujuan organisasi,, dan ketertarikan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi tempat karyawan bekerja. Dengan adanya komitmen yang dimiliki para karyawan akan memberikan kontribusi pada organisasi. Affective Commitment merupakan bentuk yang paling penting, karyawan dengan affective commitment yang tinggi akan memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi dan berperilaku OCB . hal ini diperkuat dengan penyataan dari Greenberg & Baron, (2000) semakin karyawan berkomitmen (Affective) terhadap Organisasi, semakin karyawan bersikap melebihi tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini

(46)

65 membawa karyawan akan terlibat dalam berbagai bentuk OCB.

Berdasarkan Paparan seperti tersebut diatas, penulis membuat hipotesis sebagai berikut :

H2 : Komitmen organisasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap timbulnya perilaku OCB (Organizational Citizenship Behavior).

3.Pengaruh OCB terhadap Kinerja

OCB memberikan dampak yang menyenangkan bagi sikap karyawan. Karyawan merasa organisasi sebagai tempat setiap karyawan diperlakukan dengan keramahan dan saling menghargai. Hal tersebut membuat organisasi sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk bekerja dan mendorong kesetiaan serta komitmen terhadap Organisasi. Dengan terciptanya suasana yang baik yang dipengaruhi Oleh OCB, karyawan akan merasa terpacu dan bersemangat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sehingga hasil dari pekerjaannya menjadi lebih baik dan berkualitas. Hal ini didukung oleh pernyataan Borman dan Molowidho(1993) yang mengatakan bahwa OCB dapat meningkatkan kinerja, karena OCB merupakan pelumas dalam organisasi(dalam Novliadi 2007).

(47)

66 Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka penulis membuat sebuah hipotesis sebagai berikut: H3 : OCB berpengaruh secara positif dan signifikan

Terhadap Kinerja Karyawan.

G. Kerangka Pikir Teoritis

Paparan tentang Tinjauan Pustaka ini diarahkan untuk memahami organizational citizenship behavior ditinjau dari konteks hubungannya dengan pengaruh kepuasan kerja dan komitmen organisasi dalam meningkatkan kinerja karyawan di PT. Kamaltex Karangjati Kabupaten Semarang.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan komponen yang penting dalam sebuah organisasi, karena perilaku tersebut akan mendukung gerak mesin sosial dalam organisasi. OCB memberikan fleksibilitas yang diinginkan organisasi untuk menyelesaikan pekerjaan melalui keinginan-keinginan yang tidak direncanakan terlebih dahulu. Perilaku ini memungkinkan partisipan untuk mengatasi kesulitan yang dapat ditimbulkan oleh kondisi-kondisi yang mengharuskan pekerja bergantung satu sama lain.

Komitmen organisasi merupakan refleksi dari kesediaan individu/ karyawan untuk mematuhi peraturan-peraturan organisasi, kemauan untuk memperjuangkan pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi berimplikasi pada

(48)

67 munculnya berakibat pada berbagai sikap dan perilaku positif, seperti misalnya menghindari tindakan, perilaku dan sikap yang merugikan nama baik organisasi, kesetiaan kepada pimpinan, kepada rekan setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang tinggi, kesediaan menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan sebagainya. Di antara sejumlah perilaku positif yang dimunculkan oleh karyawan tersebut, ada yang tidak mengharapkan imbalan dari perusahaan dan dapat digolongkan sebagai extra role atau perilaku pro sosial yang lazim disebut OCB. Selanjutnya perilaku OCB berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja karyawan.

Komitmen organisasi yang tinggi hanya dapat dicapai apabila karyawan merasa puas atas pekerjaannya terkait dengan aspek-aspek: kondisi lingkungan kerja, jenis pekerjaan, gaji/upah, insentif intrinsik maupun ekstrinsik, pengawasan/supervisi, dukungan organisasi dan penghargaan, serta jenjang karir. Kepuasan kerja yang tinggi akan memunculkan motivasi dan komitmen organisasi yang tinggi, sehingga memungkinkan bagi munculnya perilaku OCB positif yang berpengaruh dalam meningkatkan kinerja karyawan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pikir teoritis dalam penelitian ini dapat dirumuskan pada bagan berikut ini:

(49)

68

Gambar 2.2

Kerangka Teori Penelitian

OCB (Y1) H1 Kinerja Karyawan (Y2) Kepuasan Kerja (X1) Komitmen Organisasi (X2) H2 H3

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang

Hasan (tanpa tahun : 9) menjelaskan apabila dua huruf sejenis yang berdampingan yang terdapat dalam satu kata, sedang yang pertamanya sukun dan yang kedua berharkat, wajib di

Manfaat dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah dapat menambah pengetahuan dan keahlian soft (“softskills”) untuk menjadi pimpinan bisnis dan karyawan yang

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui dan menganalisis strategi pengelolaan berasrama yang telah digunakan oleh STT Sangkakala; (2) Menganalisis akar

Menciptakan suatu bisnis model yang bergerak dalam industri kreatif sektor permainan interaktif yaitu real escape game yang ditujukan untuk remaja dengan

3. Komite Internasional dapat mengambil prakarsa kegiatan kemanusiaan yang sesuai dengan perannya sebagai suatu lembaga penengah netral yang khusus dan independen

dilaksanakan berbagai kegiatan diantaranya: perbaikan kegiatan yang telah dilakukan pada siklus II, dengan memfokuskan pada keterampilan penyusunan Silabus dan