• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASIB WANITA DI KELUARGA TRADISIONAL DALAM NOVEL JIA KARYA BAJIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASIB WANITA DI KELUARGA TRADISIONAL DALAM NOVEL JIA KARYA BAJIN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAJIN

Belinda , Linda , Xuc Lin

Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730

maruilan13@yahoo.co.id; lindalie_10@yahoo.co.id ; xuelin@binus.ac.id

ABSTRACT

In this novel entitled ‘Jia’ which means ‘family’ in mandarin, Bajin as the author depicted destiny between women and their traditional society. Mainly, the story shows us the life of 4 women characters from Gao family. Each with their own distinctive personalities, they are: Mei, Ruijue, Mingfeng, and Qin. Mei and Ruijue who hold on firmly to the traditional beliefs find themselves stuck in such a strict and unenjoyable life. Mingfeng who is a rebel in nature, tried to fight against all those primitive customs but ended giving up and committed suicide. Aside those 3 unfortunate characters, there is Qin who stands up with her revolutionary idea and successfully break the tradition off. Her brilliant mind and her deep understanding of all the struggles which suffocate the woman actually gained her all the trust and supports she need to done it all.

Key words: Bajin, Jia, Women, Destiny, Traditional Society, Suffer

ABSTRAK

Penulis meneliti tentang Nasib Wanita di Keluarga Tradisional dalam Novel Jia (Keluarga) Karya Bajin. Novel Jia berlatar belakang keluarga Gao, yang memiliki 4 karakter wanita yang paling menonjol. Mereka adalah Mei, Ruijue, Mingfeng dan Qin. Mei dan Ruijue mendapatkan tekanan dari ideologi tradisional serta dari diri sendiri yang juga mempelajari pandangan tradisional, hal ini yang membuat mereka menjalani kehidupan yang menderita. Minfeng meskipun berusaha memberontak ideologi tradisonal, tetapi ia tidak dapat melawan kekuatan ideologi tradisional tersebut, akhirnya ia hanya memiliki pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Qin adalah wanita yang memiliki ideologi yang baru, ia dapat berhasil melawan ideologi tradisonal karena ia menyadari penderitaan mereka dikarenakan tradisi itu sendiri serta ia mendapat dukungan dari lingkungan di sekitar.

(2)

PENDAHULUAN

Dahulu wanita sangat dihargai keberadaannya, tidak hanya memiliki hak yang sama dengan pria, namun juga mendapatkan kedudukan yang lebih terhormat. Bahkan dalam masyarakat matrilineal wanita memiliki kedudukan yang penting, wanita pun disebut sebagai “Goddess of Birth” atau dewi kelahiran. Namun, ketika memasuki era masyarakat bercocok tanam, kedudukan wanita semakin lama semakin menurun, dikarenakan pada jaman tersebut tenaga pria dianggap lebih berguna, sejak saat itulah keberadaan wanita semakin tidak dihargai karena masyarakat menyadari bahwa sebenarnya pria yang lebih dibutuhkan dalam berbagai aspek dikarenakan tenaganya yang lebih unggul daripada wanita, sejak saat itu, ketika memasuki jaman feodal wanita tidak lagi dihormati bahkan dianggap tidak memiliki kedudukan apa-apa dibandingkan kaum pria.

Ketika memasuki jaman feodal, muncullah kondisi ketidaksetaraan gender. Menurut Mao Zhedong, wanita sejak dilahirkan sampai meninggal tidak memiliki hak, misalnya tidak memiliki hak atas marga, tidak dihormati dan tidak memiliki hak atas dirinya. Wanita selalu dianggap rendah, salah satu contohnya yaitu: di dalam keluarga wanita dianggap paling rendah, wanita tidak memiliki hak dalam menentukan pernikahannya, wanita dianggap sebagai alat untuk melahirkan, wanita tidak boleh mendapatkan pendidikan, dan lain-lain.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan latar belakang masyarakat feodal yang masih berpegang teguh pada ideologi tradisional, yang mengganggap perempuan lebih rendah daripada lelaki yang menjadi dasar pemikiran masyarakat tradisional.

Oleh karena itu, penulis menggunakan novel Jia karya Bajin untuk mendeskripsikan penderitaan yang dialami wanita. Novel Jia karya Bajin berlatar belakang kehidupan di jaman feodal yang menceritakan kehidupan wanita di jaman feodal. Novel Jia memiliki 4 tokoh wanita yang menonjol yaitu Mei, Ruijue dan Qin yang merupakan wanita yang dari keluarga berada dan Mingfeng yang merupakan seorang wanita dari kalangan bawah. Meskipun empat wanita ini memiiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, namun mereka semua mengalami penderitaan karena ideologi tradisional telah membatasi hak mereka.

Pada dasarnya keempat tokoh wanita ini masing-masing memiliki karakter yang baik hanya saja mereka bernasib kurang baik. Oleh karena itu, penulis meneliti kehidupan wanita pada jaman tersebut dan kesadaran mereka untuk mengejar keinginannya dalam mendapatkan haknya. Untuk mendukung penelitian ini, penulis membaca penelitian terdahulu. Salah satunya adalah thesis yang berjudul

Pembentukan Image Tokoh dalam Novel Jia karya Bajin yang ditulis oleh Gong Lingzhi. Di dalam thesis

ini digambarkan karakter dari setiap tokoh di dalam novel, baik dari tokoh pria maupun gambaran kehidupan tokoh wanita, dari karakteristik tokoh hingga kehidupan tokoh itu sendiri. Lalu Makna Tragedi

Tokoh Wanita dalam Novel Jia karya Bajin, yang ditulis oleh Zhou Jiqiong dan Tan Zhengchong, yang

menggambarkan tragedi hidup Mei, Ruijue dan Mingfeng serta menuliskan tentang penderitaan mereka dalam menjalani kehidupannya masing-masing. Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah menganalisis faktor penderitaan wanita di dalam keluarga tradisional serta bagaimana cara wanita melawan untuk mendapatkan haknya.

METODE PENELITIAN

Penulis menggunakan metode studi pustaka, yang dilaksanakan di sekitar kampus Universitas Bina Nusantara. Penulis menggunakan novel Jia (Keluarga) karya Bajin sebagai acuan batasannya nasib kehidupan pernikahan wanita di jaman ideologi tradisional. Penulis menggunakan metode analisis dengan pengelompokkan data. Pertama-tama penulis membaca novel Jia sebagai sumber utama serta mencatat hal yang penting yang berhubungan dengan penelitian, kemudian mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan gender serta ideologi tradisional, dan teori kesetaraan gender, yang dilanjutkan dengan mengelompokkan data, menganalisis secara mendalam, serta menyimpulkan dan menulisnya. Penulisan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: teori dasar yang terbagi menjadi sex dan gender, serta konsep tradisional gender di China; kehidupan pernikahan wanita dan penderitaan wanita serta perjuangan dalam mendapatkan haknya.

(3)

HASIL DAN BAHASAN

Novel Jia karya Bajin merupakan novel yang menceritakan situasi dan kondisi kehidupan jaman feodal. Novel Jia karya Bajin ini berisikan tentang kehidupan setiap anggota keluarga Gao, terutama menggambarkan penderitaan hidup wanita di keluarga Gao, penulis meneliti 4 tokoh wanita dalam novel tersebut yaitu Mingfeng, Mei, Ruijue dan Qin. Mereka memiliki hubungan percintaan dengan cucu-cucu dari keluarga Gao.

Mei yang mempunyai nama lengkap Qian Meifen merupakan wanita dari kalangan berada, ia juga merupakan adik sepupu Juexin, ia mencintai cucu tertua dari keluarga Gao yaitu Juexin, mereka saling mencintai. Namun pada akhirnya mereka harus dipisahkan oleh keluarga masing-masing dengan cara menjodohkan mereka dengan orang lain yang tidak mereka kenal sama sekali dikarenakan terjadinya perdebatan antara orangtua masing-masing pada saat bermain kartu. Mei sesungguhnya sangat mencintai Juexin, namun karena Mei pernah mempelajari ideologi tradisional, dan ia tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pernikahannya, ia terpaksa menuruti perintah orang tuanya untuk menikah dengan pria yang tidak ia kenal. Sesungguhnya dalam hati ia tidak setuju dengan pernikahan itu, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak dapat melawan kehendak orang tuanya.

Akibat dari perjodohan tersebut, Mei menderita dalam kehidupan pernikahannya. Setelah setahun menikah, suaminya meninggal dunia karena sakit. Sebagai seorang menantu, seharusnya ia tetap berada di keluarga suaminya dan melayani seluruh anggota keluarga suaminya, tetapi dikarenakan keluarga suaminya tidak menyukainya maka ia terpaksa kembali ke rumah orang tuanya. Pada jaman tersebut wanita tidak diizinkan untuk menikah lagi. Ia kemudian memikirkan kehidupan pernikahannya dan percintaannya dengan Juexin. Ia sangat menderita, serta terus menerus merasakan kekosongan hidup. Ia tidak mengerti apa gunanya hidup seperti ini dipertahankan lebih lanjut. Dalam penderitaannya, ia hanya berpikir bahwa semua yang dialaminya itu adalah suratan takdir yang harus ia terima, ia merasa hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Kesedihan yang berlarut-larut membuatnya jatuh sakit, tak lama kemudian Mei meninggal dunia.

Ruijue dan Mei memiliki status yang sama yaitu wanita dari keluarga yang berada, tetapi ia juga tidak memiliki hak dalam menentukan nasib pernikahannya, ia dijodohkan dengan Juexin, cucu tertua keluarga Gao, seorang pria yang belum ia kenal. Mereka menikah dan hidup dalam kebahagiaan. Pada suatu hari Ruijue mengetahui hubungan suaminya dan kekasihnya Mei. Hal ini membuatnya merasa sangat bersalah, karena ia berpikir ialah yang menyebabkan suaminya dan Mei berpisah. Ia pergi mencari Mei, dan mengatakan bahwa ia rela bila Mei ingin bersatu kembali dengan kekasihnya. Akan tetapi Mei menolak permintaannya dan mengatakan bahwa kisah cintanya adalah sudah merupakan suratan takdir, dan keputusan yang dibuat keluarganya, sebagai seorang anak, ia tidak berhak melawan orang tuanya.

Ruijue bukan hanya tidak memiliki kebebasan dalam menentukan kehidupan pernikahannya, ia juga dijadikan sebagai alat untuk melahirkan keturunan Gao. Pada awalnya, pernikahan mereka terjadi karena kakek Gao menginginkan cicit dari Juexin dan meminta Juexin untuk menikahi Ruijue. Sejak awal Ruijue dan Juexin tidak mengenal satu sama lainnya, maka dari itu mereka tidak memiliki perasaan apapun terhadap pasangannya. Namun, setelah kelahiran anak pertama, Juexin mulai jatuh hati pada Ruijue dan mereka dapat hidup bahagia. Sayangnya kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Pada saat Ruijue akan melahirkan anak keduanya, kakek tertua keluarga Gao meninggal dunia. Para kerabat keluarga Gao berpandangan bahwa jika ada seseorang yang meninggal dunia, maka dalam kurun waktu dekat tidak boleh ada wanita yang melahirkan di rumah tersebut, karena darah persalinan akan mengotori keluarga Gao yang sedang berduka, dan ia akan membuat keluarga mereka tertimpa kesialan, karena itulah mereka kemudian memaksa Ruijue melahirkan seorang diri di desa terpencil tanpa ditemani suaminya. Ruijue pada dasarnya tidak menyetujui pendapat para kerabat itu, namun karena suaminya tidak menunjukkan adanya perlawanan, maka Ruijue juga tidak ingin melawan suaminya, ia dengan pasrah terpaksa pindah keluar kota untuk melahirkan. Ia berpendapat hal ini sudah merupakan takdir yang harus dijalaninya, dirinyalah yang tidak beruntung, karena pada saat itu ibunya juga tidak berpihak padanya dan mendukungnya. Pada proses persalinan anak keduanya, ia merasakan kesakitan yang luar biasa, hingga ia meninggal karena kehilangan banyak darah ketika melahirkan anaknya. Ia meninggal tanpa didampingi suaminya.

(4)

Sesungguhnya Ruijue adalah seorang istri yang baik dan bijak, serta disukai oleh seluruh anggota keluarga Gao. Ia merupakan contoh istri teladan dalam masyarakat feodal, dan ia juga pernah mempelajari pandangan ideologi tradisional mengenai wanita teladan. Seharusnya wanita teladan seperti Ruijue dapat mempunyai kehidupan yang bahagia dan mendapatkan kehormatan, namun ternyata semua itu tidaklah ia dapatkan, hidupnya juga berujung pada penderitaan.

Tokoh wanita ketiga dalam novel Jia ini adalah Mingfeng. Mingfeng adalah seorang gadis berumur 16 tahun yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda dari Mei, Qin dan Ruijue. Ia adalah pembantu yang sudah mengabdi selama 8 tahun di keluarga Gao. Ia memiliki paras wajah yang cantik dan manis, serta memiliki karakter yang baik dan pandai, selain itu ia juga sangat rajin dalam melayani seluruh anggota keluarga Gao. Pada jaman itu gadis seperti Mingfeng tidak mungkin mendapatkan pendidikan, tetapi Mingfeng cukup beruntung karena ia diajarkan cara menulis dan hal lainnya oleh nona tertua keluarga Gao.

Mingfeng yang mencintai cucu terakhir keluarga Gao yang bernama Juehui, tetapi dengan status dan kedudukan yang dipunyainya, tidak berani mengharapkan adanya pernikahan atau kehidupan bahagia bersama Juehui. Ia tidak pernah berharap dengan mencintai Juehui dapat mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Sesungguhnya di dalam pikirannya terdapat keinginan untuk memberontak, namun ia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan, sehingga ia merasa percintaannya dengan Juehui tidak mungkin terwujud. Ia bersedia seumur hidup melayani Juehui hanya sebagai seorang pembantu, dengan berada disampingnya Mingfeng merasa tenang, meskipun ia sesungguhnya sangat mencintai Juehui, tetapi Juehui bagaikan bulan di langit yang tidak dapat ia jangkau.

Suatu hari Zhoushi memberitahu Mingfeng bahwa ia akan diberikan kepada Feng Leshan yang merupakan rekanan keluarga Gao untuk dijadikan selir, ia pun terpaksa dijodohkan dengan orang yang dia tidak dicintai. Pada awalnya karena statusnya yang rendah, ia menerima nasibnya bahwa seumur hidup hanya bisa menjadi pembantu. Saat mendengar berita perjodohan itu, Mingfeng membantah Zhoushi. Ia rela jika seumur hidup harus menjadi pelayan, melayani semuanya, ia rela kelaparan dan kedinginan, rela dipukul dan dimarahi, asalkan dia jangan dibawa ke keluarga Feng Leshan.

Ini adalah awal dari perlawanan Mingfeng. Menurutnya dijadikan jadi selir lebih memalukan bila dibandingkan dengan meninggal dunia, maka dari itu ia akhirnya lebih memilih bunuh diri dengan melompat ke dalam sungai. Ia teringat kata “mati” yang pernah diajari oleh nona tertua, dilahirkan dengan nasib buruk seperti ini “mati” adalah satu-satunya jalan. Pada jaman feodal, pemberontakan wanita terhadap pernikahan hanyalah dengan bunuh diri ataupun kabur.

Hari terakhir sebelum Mingfeng dibawa ke rumah keluarga Feng Leshan, nasibnya pun bergantung kepada keputusannya di hari itu, apakah ia harus selamanya terpisah dengan Juehui atau ia dapat bersama selamanya. Sebenarnya harapannya ini sangatlah tidak pasti, dia sesungguhnya menyadari, bahwa ia sangat ingin ditolong, ia ingin selamanya dapat bersama dengan Juehui. Namun diantara mereka ada dinding pembatas yang tidak dapat ditembus, yang membuat mereka tidak dapat mendekat satu sama lain, pembatas itu adalah strata sosial yang tidak sejajar. Nasibnya tampaknya sudah pasti di depan mata, nasibnya hanyalah meninggal, namun ia masih tidak ingin menyerah, ia tidak ingin berjalan di jalan yang menghancurkannya itu, ia ingin berjuang, ia ingin menggenggam semua harapan yang masih ada. Kelihatannya ia hanya membohongi dirinya sendiri, karena sesungguhnya sudah tidak ada harapan lagi untuknya. Lalu muncul niatnya untuk memberontak atas nasibnya yang dijodohkan seperti itu. Ia mencoba menceritakannya kepada orang yang ia cintai yaitu Juehui dengan harapan Juehui akan menyelamatkannya dari perjodohan itu, tetapi kenyataannya sebelum ia menceritakannya, Juehui sibuk dengan pekerjaannya yang akhirnya meminta waktu kepada Mingfeng untuk menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu sesudah itu dia akan membantunya dalam hal apapun. Tetapi menurut Mingfeng jika menunggu sampai pekerjaan Juehui selesai itu sudah terlambat, waktu sudah sangat dekat dengan hari perjodohannya itu, akhirnya Mingfeng mengurungkan niatnya untuk menceritakannya kepada Juemin dan membiarkan Juehui sibuk dengan pekerjaannya. Lalu dengan hati yang sedih dan pasrah ia berjalan ke tepi sungai, pada saat itu ia merasa percuma saja ia melakukan pemberontakan karena ia hanyalah seorang pembantu dan tidak berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan pada akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan meloncat ke dalam sungai.

Ketika ia ingin melompat ke dalam sungai ia pertama kalinya ia memanggil Juehui dan ia bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya ke dalam sungai. Ini adalah satu-satunya cara Mingfeng untuk

(5)

membuktikan kesetiaan dan ketulusan cintanya. Dikarenakan adanya anggapan bahwa pria lebih tinggi dan dihormati dari pada wanita, merasa dirinya tak berdaya, ia hanya bergantung kepada Juehui, saat itu Juehui sibuk sehingga tidak dapat membantunya, sehingga Mingfeng memutuskan untuk bunuh diri daripada ia harus selamanya menjadi budak dari tradisi yang ada.

Ruijue dan Mei dapat hidup menderita seperti itu dan hidup mereka juga berakhir karena ideologi tradisional tersebut. Hal itu disebabkan karena mereka tidak mengikuti pemikiran mereka sendiri, mereka sesunguhnya juga tidak rela, namun mereka tidak berani untuk memberontak dan hanya menurut perkataan orang tua, hingga pada akhirnya hidup mereka harus berakhir dengan penderitaan.

Meskipun Mingfeng harus meninggal karena ingin menunjukkan pemberontakan terhadap tradisi, namun harapannya tidaklah tinggi. Ia berpendapat menjadi seorang pembantu susah merupakan suratan takdirnya. Ia berharap dapat menjadi pembantu selamanya, seumur hidup melayani Juehui sudahlah cukup baginya.

Ketiga tokoh wanita ini benar-benar menjadi korban yang sia-sia dari kehidupan jaman feodal, kehidupan yang menjunjung tinggi tradisi ideologi tradisional dan menganggap wanita harus tunduk terhadap pria serta status kedudukannya tidak lebih tinggi dari pria yang akhirnya wanita seperti diinjak-injak hak dan martabatnya dan tidak layak dihormati oleh orang lain.

Meskipun ketiga tokoh dalam novel Jia menderita dalam pernikahannya tetapi ada satu tokoh yang tidak ingin memiliki nasib seperti ketiga tokoh tersebut, ia adalah Qin. Qin adalah kerabat keluarga Gao, ia memiliki hubungan percintaan dengan cucu kedua keluarga Gao yaitu Juemin, sebenarnya ia dan Juemin lahir pada tahun yang sama, namun karena terdapat perbedaan beberapa bulan, Qin memanggil Juemin kakak sepupu. Qin memiliki karakter yang baik dan periang, seluruh keluarga Gao juga sangat menyukainya.

Qin adalah satu-satunya wanita yang berani melawan untuk mendapatkan kebahagiannya. Ia memiliki pengetahuan dan keinginan menolak ideologi tradisional itu maka ia terus berjuang untuk mendapatkan perubahan dalam hidup yang ia inginkan dan ia tidak menyerah terhadap aturan dan perintah orang yang mengatur nasibnya. Ia dengan berani memilih jalannya sendiri. Tidak seperti orang lain, ia merasa pria dan wanita adalah sama dan sejajar. Ia menginginkan hak yang sama seperti pria. Ia mulai melawan tradisi yang ada, ia memilih untuk bersekolah di sekolah pria, karena di masa 4 Mei sekolah dibagi menjadi universitas nasional dan sekolah umum yang semuanya tidak menerim keberadaan wanita. Karena disaat itu pemikiran ideologi yang masih tradisisonal belum dipecahkan, tidak boleh ada kontak antara pria dan wanita. Ketika wanita menginjak SMP ia harus memasuki sekolah khusus wanita dan saat itu sekolah seperti ini sangat ketat dan memiliki banyak peraturan, diantaranya tidak boleh bepergian dengan bebas, tidak boleh berkomunikasi, dari rumah hingga ke sekolah mereka harus dikawal oleh kepala keluarga dan yang menjadi pengajar haruslah seorang wanita. Saat itu batasan antara pria dan wanita sangatlah ketat.

Terhadap idenya untuk bersekolah ini, ia mengetahui bahwa ibunya tidak menjadi suatu permasalahan, ibunya akan menyetujuinya, hanya takut nenek dan sanak keluarga lain akan menentangnya. Sesungguhnya saat ia pertama memasuki sekolah wanita ia sudah medapatkan banyak cemoohan. Ia dikatakan telah kehilangan norma seorang wanita, namun ia sama sekali tidak mempedulikan perkataan dari sanak keluarganya, karena Qin percaya bahwa bersekolah tidaklah salah. Banyak yang berpendapat bahwa bisa belajar di sekolah saja sudahlah cukup, masih ingin sekolah di sekolah pria, pria dan wanita bersekolah bersama. Akhirnya ia memutuskan dan ia tahu bahwa keberhasilan membutuhkan pengorbanan sebagai bayarannya, saat ini biarkan saja ia menjadi korban, berhasil atau tidak berhasil bukanlah permasalahan. Ia merasa pria dan wanita adalah sama, mengapa ia tidak boleh bersekolah di sekolah yang sama dengan pria? Ia tidak peduli ibunya akan menyetujuinya atau tidak, ia merasa ia merupakan manusia juga.

Saat ini Qin mulai menunjukkan ketidakpuasannya terhadap tradisi yang ada, mengapa hak pria dan wanita tidaklah sama, mengapa ia tidak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan pria, ia menginginkan kesetaraan gender. Potensi tersembunyi dari seseorang dapat berkembang, pemikiran wanita merupakan fondasi dasar dari potensi tersembunyi yang berproses. Setiap wanita harus memiliki pemahaman yang mendalam bahwa setiap individu memiliki potensi tersembunyi. Seiring dengan perkembangan jaman munculah paham baru pada wanita, yang harus menigkatkan kesadaran diri sendiri

(6)

yang diiringi dengan perkembangan jaman atas pandangan dari tugas setiap individu.Wanita harus memahami bahwa dirinya juga memiliki kemampuan, kecerdasan serta ambisi. Hanya dengan menyadari nya wanita dapat mulai berjuang untuk memecahkan pemikiran tradisional yang ada.

Qin merasa dirinya mampu untuk melawan tradisi yang ada. Namun ketika terjadi perang, ia berserta wanita lainnya pergi bersembunyi. Dalam peperangan yang mengerikan, ia melihat rasa dipermalukan itu berdiri di hadapannya. Ia merasa dirinya mempunyai harga diri dan kebanggaan , ia tidak ingin hidup seperti itu, ia melihat Mei, Ruijue dan ibunya begitu pasrah pada nasib mereka, mereka hanya tertunduk sedih. Disekitarnya ia tidak menemukan orang yang dapat menolongnya, namun disisi lain mereka adalah orang-orang yang sangat berharga baginya, yang mencintainya, sehingga ia tidak dapat meninggalkan mereka begitu saja. Ia merasa lelah, ia merasa ingin menyerah dan melepaskan semuanya. Saat itu ia merasa bahwa dirinya dengan Mei dan Ruijue tidak ada bedanya, ia sama seperti mereka, tidak memiliki kekuatan apapun. Setelah beberapa tahun ia berusaha menggapai harapannya kembali, ia berjuang, ia melawan, dan dengan penderitaan yang ia terima akhirnya ia mendapatkan sedikit hasil, namun ia khawatir keberhasilan kecilnya ini sangatlah lemah. Masyarakat lama akan menekan dia dari segi lainnya, dengan sekejap waktu dapat merusak semua yang telah ia perjuangan dengan susah payah. Henrik Ibsen berkata: ”orang yang rajin yang hanya menyuarakan kata-kata yang berandai-andai adalah tidak berguna”. Ia pun sedih karena layaknya melihat gambaran dirinya,dahulu ia merasa ia adalah seseorang yang berani, namun setelah mendengar semua hal itu dari orang lain, ia merasa diri sendiri sangatlah lemah. Ia tak ingin menjadi hewan ternak yang hanya menunggu untuk disembelih oleh orang lain, namun sedikitpun kekuatan untuk melawan ia juga tidak memilikinya.

Qin juga merupakan pelopor dari gerakan memotong rambut, namun dalam hatinya masih muncul kekhawatiran apakah nanti penampilannya akan berubah menjadi jelek dengan potongan rambut pendek. Namun setelah ia melihat Qingru yang telah memotong rambutnya, Qin menjadi sedikit lega. Namun ia juga merasa sangat kecil di depan Qingru. Karena ia masih memikirkan perasaan Ibunya, dia tidak berani memotong rambutnya, karena ia khawatir ibunya akan menderita karena tindakannya ini. Ia tidak ingin ibunya menjadi bahan cemoohan banyak orang karena dianggap tidak dapat mendidik anak dengan baik. Karena memikirkan perasaan ibunya, hatinya menjadi melemah dan tidak berani untuk melawan tradisi, oleh karena itu ia membatalkan niatnya untuk memotong rambutnya.

Setelah Qin melihat penderitaan yang dialami Ruijue dan Mei, ia mempertimbangkan banyak hal di dalam benaknya, ia tidak ingin menjadi seperti mereka. Ia ingin mendapatkan kebahagiaan juga, terlebih ketika Mei meninggal dunia. Qin memutuskan bahwa ia tidak akan menjadi korban selanjutnya dari ideologi tradisional ini.

Ketika Juemin diberitahu bahwa ia akan dinikahkan dengan wanita lain, Qin dan Juemin yang saling mencintai tidak dapat menerima begitu saja perjodohan ini, hingga akhirnya Juemin melarikan diri, mereka berdua dengan berani melawan tradisi yang ada. Hingga pada akhirnya, sebelum kakek Gao meninggal, ia menyetujui hubungan percintaan Qin dan Juemin.

Qin yang memiliki pandangan ideologi baru, telah mendobrak ideologi lama yang telah ada. Meskipun demikian ia masih tetap memikirkan perasaan ibunya. Di sisi lain ia tidak ingin menjadi korban dari tradisi ini, sehingga ia dengan berani melawan ini semua. Dengan bantuan dari Juemin dan dukungan dari ibunya, serta kematian kakek Gao, ini merupakan alasan-alasan pendukung keberhasilan Qin dalam memecahkan ideologi pada saat itu.

SIMPULAN DAN SARAN

Pada jaman feodal ideologi tradisional sangatlah ketat, yang menyebabkan wanita tidak memiliki hak untuk memutuskan sendiri kehidupannya dan juga tidak memiliki kebebasan. Karena itu sebelum masa gerakan 4 Mei, wanita tidak berhak mendapatkan pendidikan, tidak mendapatkan hak untuk menentukan pernikahannya, dijadikan alat untuk melahirkan dan dianggap memiliki status yang rendah. Tetapi setelah memasuki jaman gerakan 4 Mei, wanita mulai mendapatkan sedikit kebebasan, mereka juga sudah boleh mendapatkan pendidikan dan istilah kesetaraan pria dan wanita mulai muncul pada saat itu. Tetapi dasar pemikiran modern itu tetap belum bisa diterima oleh masyarakat banyak pada jaman itu, mereka belum bisa menerima perubahan yang seperti itu. Dalam novel Jia karya Bajin ini

(7)

menggambarkan kehidupan keluarga besar yang masih menganut ideologi tradisional untuk mengatur kehidupan anggota keluarganya.

Ducong menjelaskan ideologi hak pria, ia mengatakan: “ Mei dan Ruijue merupakan wanita yang menjadi korban yang disebabkan karena ideologi tradisional yang ada, mereka sama-sama dijodohkan dengan pria yang tidak mereka kenal dan juga dikarenakan masih dalam keluarga yang menganut ideologi tradisional tersebut maka mereka tidak berani memberontak. Meifen setelah ditinggal mati oleh suaminya, ia juga tidak berani menikah lagi dan tidak berani memperjuangkan hak dan kebebasannya dalam kehidupan percintaannya. Ia merasa kecewa terhadap kehidupan dan masa depannya pada akhirnya ia meninggal karena penyakit yang disebabkan kesepian dan kesedihan yang berlarut-larut. Ruijue juga memiliki nasib yang sama, saat kakek Gao meninggal ia sedang menunggu kelahiran anak kedua. Namun dikarenakan tidak boleh melahirkan di dalam rumah apabila ada sanak saudara yang baru meninggal maka dengan terpaksa ia pindah ke tempat terpencil untuk melahirkan anak keduanya, ia kesusahan dalam proses melahirkan lalu meninggal dunia. Mingfeng adalah seorang pembantu, pada awalnya ia hanya ingin seumur hidup melayani Juehui dan tidak pernah berharap untuk menjadi istri Juehui, tetapi ketika ia dijodohkan pada Feng Leshan untuk dijadikan selir, ia tidak setuju dan memberontak, ia beranggapan nasibnyalah yang tidak baik, maka pada akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke dalam sungai.

Satu-satunya wanita dalam novel Jia yang mempunyai nasib yang berbeda adalah Qin, ia memiliki pemikiran yang modern yang membuatnya juga memiliki nasib yang berbeda. Pada awalnya ia ingin bersekolah di sekolah umum karena ia beranggapan wanita dan pria adalah sama, wanita juga “manusia” dan sudah sepantasnya mendapatkan hak yang sama. Lalu, ia berpikiran memotong rambutnya yang merupakan wujud pemberontakan dari ideologi tradisional itu. Dan yang terakhir sewaktu pria yang dicintainya akan dijodohkan dengan orang lain, mereka menolak hal tersebut. Ia ingin lepas dari ideologi tersebut dan akhirnya memilih kabur dengan Juemin sebagai wujud pemberontakan dari ideologi tradisional itu dan pada akhirnya sebelum kakek Gao pun meninggal, ia menyetujui hubungan percintaan mereka. Ini merupakan faktor keberhasilannya dalam memecahkan ideologi tradisional itu.

Dari sosok Qin kita dapat mengetahui bahwa dengan belajar kita dapat mengembangkan potensi tersembunyi yang ada di dalam diri kita. Setiap wanita perlu mengetahui bahwa dirinya juga memiliki potensi tersembunyi. Karena adanya pengaruh dari ideologi tradisional, membuat wanita mendapatkan kesan seseorang yang lemah, jarang ada yang menyadari bahwa terdapat kekuatan di dalam kelembutan seorang wanita. Tetapi seiring berjalannya waktu, wanita juga bertambah pengetahuannya serta memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya, perlahan-lahan wanita juga mulai mendapatkan peran dalam masyarakat. Pria dan wanita pun menjalankan kewajiban yang sama, hal ini menunjukkan perkembangan kesetaraan hidup manusia, wanita tidaklah lemah, wanita harus memahami dirinya mempunyai keunggulan, kecerdasan, kemampuan, sikap tanggung jawab dan tingkah laku saat bekerja yang tidak kalah dengan pria dan bahkan dapat melebihi pria. Hal tersebutlah yang membuat wanita tidak lagi merasa takut dan berhasil menghilangkan beban dalam pikirannya dan tidak akan lagi mau dianggap rendah oleh pria.

REFERENSI

巴金. (2006).家[M].北京:人民文学出版社. 杜聪. (2006).浅析巴金《家》中的男权主义思想[J].山东:山东教育学院学报,114(2):89-91. 范溶. (2006).《知识水坝论文》[D]. 陕西西师大学. 龚灵芝.(2010).巴金《家》人物形象塑造[D].汉语言文学. 郭爱妹. (2006).女性主义心理学[M].上海:上海教育出版社. 李娟.(2008).男性思维与女权意识的交融体——试论哈代笔下的女性形象为例[J].社会科学家. 林花灵. (2006).浅谈中国古代封建社会婚姻制度[J].法学院. 刘海玲. (2006).从蔡楚生的《新女性》看“五四”以来“新女性观”的衍变[D]. 广东:广东外语外贸大学.

(8)

罗慧兰.(2003).女性学[M].北京:中国国际广播出版社. 沙吉才. (1998).中国妇女地位研究[M]. 北京:中国人口出版社. 望昉. (2009).重返伊甸园-- 基督教婚姻观与世俗婚姻观的比较[Z]. 山东省临沂基督福音网. 薛 产华 , 张翠 芳, 张 静. (2001). 传 统女 性文 化 的表 现 及其 在 当代 的 演 变[J].石 家庄 学 院学 报,13(1):20-23. 张海钟&许凌燕. (2010).社会性别歧视与女性成功的心理障碍及其对策.[D]. 邯郸学院学报. 周惠. (2009).家庭围迫中的女性困境---以巴金的《家》和《寒夜》为例. [J]. 洛阳:洛阳理工学院学 报,24(5):29-32. 周吉琼,谭正冲. (2008).巴金的《家》中女性的悲剧意义[J].天俯新论,(2):174-175.

West C.&Zimmerman D.H.(1987).Doing Gender.Gender and society,1(2):125-151.

RIWAYAT PENULIS

Belinda lahir di kota Jakarta pada 13 April 1991. Penulis menamatkan pendidikan SMA di Bhinneka

Tunggal Ika pada tahun 2009. Menamatkan pendidikan SMP di Bhinneka Tunggal Ika pada tahun 2006. Menamatkan pendidikan SD di Bhinneka Tunggal Ika pada tahun 2003.

Linda lahir di kota Jakarta pada 10 Mei 1989. Penulis menamatkan SMA Katolik Diakonia pada tahun

2009. Menamatkan pendidikan SMA di Katolik Diakonia pada tahun 2006. Menamatkan pendidikan SD di Duta Ursula pada tahun 2003.

Xuc Lin lahir di kota Jakarta pada 19 Januari 1979. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas

Darma Persada jurusan Sastra China pada tahun 2001. Menamatkan pendidikan S2 di Huaqiao University Chinese Modern and Contemporer Literature pada tahun 2010. Bekerja sebagai subject content specialist bidang Chinese Literature di Binus University.

Referensi

Dokumen terkait

Produk Bolmut Ikan adalah kombinasi dari berbagai macam sumber daya alam yang merupakan produk diversifikasi dari hasil perikanan untuk di olah menjadi

Berdasarkan pengertian tentang strategi belajar aktif menurut beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa strategi belajar aktif merupakan suatu cara mengajar

Rian Ningsih Pramunita, 2017. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Peta Pikiran Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Benda Dan Sifatnya Kelas V MI Islamiyah

Dengan demikian perlu dilakukan evaluasi kinerja ruas jalan akibat aktivitas samping jalan di sekitar pasar untuk mengetahui kinerja jalan akibat adanya hambatan samping

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel pasar kompetitif terhadap Kinerja Usaha kelompok wanita tani berpengaruh positif tidak signifikan dengan nilai

3. Pemeriksaan karya ilmiah yang telah terkumpul oleh panitia yang ditunjuk. Pendokumentasian hasil-hasil seminar. Pembentukan panitia penyelenggara seminar. Untuk

Uraian mengenai latar belakang kehidupan ekonomi, pendidikan dan politik akan bisa menjelaskan mengenai lahirnya jiwa nasionalisme dari Mohammad Hatta, sehingga ia akan

Dumasar SKKD Mata Pelajaran Basa jeung Sastra Sunda di tingkat SMA/SMK/MA kelas X, aya sababaraha matéri dina pangajaran nulis anu kudu ditepikeun ka siswa, di antarana nya éta