1 1.1 Latar Belakang Masalah
Pemberdayaan ekonomi daerah sangat penting sekali untuk ditingkatkan guna menunjang peningkatan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, peran kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien sangatlah penting diperlukan baik kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah pusat.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakan otonomi penuh, luas, dan bertanggung jawab pada daerah. Penyelenggaraan untuk Pemerintah daerah dengan berdasarkan undang-undang tersebut juga telah melahirkan nuansa baru, yaitu pergeseran kewenangan pemerintah yang sentralis birokratik ke pemerintah yang desentralistik partisipatoris (Mardiasmo,2006 : 2).
Pemerintah daerah adalah suatu lembaga yang menjalankan roda pemerintahan dimana sumber kepercayaan berasal dari masyarakat. Kepercayaan yang diberikan masyarakat ke pemerintah harus diimbangi dengan kinerja yang baik. Sebagai salah satu bagian dari organisasi sektor publik, pemerintah daerah dituntut agar memiliki kinerja yang baik serta berorientasi pada kepentingan masyarakat. Penilaian dari kinerja ini menjadi sorotan dari berbagai pihak yang dan berlebih lagi adanya otonomi daerah di Indonesia yang memberikan
2
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan yang ada di daerahnya.
Menurut Mahoney et al, 1963, dalam Rizka, dkk, 2014, menyatakan bahwa
Kinerja manajerial adalah kinerja para individu anggota organisasi dalam kegiatan manajerial, meliputi : perencanaan, investigasi, pengaturan staf, negosiasi, perwakilan. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis, (Indra, 2006). Dengan kata lain kinerja ini adalah sejauhmana tingkat pencapaian dari kegiatan/program yang dilakukan memberikan hasil ataupun mencapai tujuan. Seorang pemimpin dituntut untuk untuk mengukur kinerja organisasi yang dipimpinnya.
Ada beberapa faktor yang diduga penyebab kinerja pemerintah daerah rendah diantarannya karena sistem pengelolaan keuangan daerah yang masih lemah dimulai dalam proses perencanaan dan penganggaran APBD, pelaksanaan/penatausahaan APBD, pertanggungjawaban yang berupa pelaporan hasil pelaksanaan APBD dan pengawasan. Keterlambatan ini menyebabkan banyak program dan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan untuk tahun anggaran berjalan sehingga terjadi keterlambatan pembangunan daerah tersebut, (Gede Herry, dkk 2014).
Akuntabilitas merupakan prinsip pertanggungjawaban yang berarti bahwa proses penganggaran dimulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan
masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut (Mardiasmo, 2002).
Akuntabilitas publik dapat meningkatkan kinerja aparatur pemerintah daerah dalam pengelolaan dana publik, dengan adanya akuntabilitas publik, masyarakat akan mengetahui penggunaan anggaran sehingga pemerintah daerah berusaha untuk melakasanakan seluruh perencanaan dengan sebaik mungkin.
Hal ini menegaskan pentingnya akuntabilitas publik dalam peningkatan kinerja manejerial, karena dengan adanya akuntabilitas kepada masyarakat, masyarakat tidak hanya untuk mengetahui anggaran tersebut tetapi juga mengetahui pelaksanaan kegiatan yang dianggarkan sehingga pemerintah daerah berusaha dengan baik dalam melaksanakan seluruh perencanaan yang ada karena akan dinilai dan diawasi oleh masyarakat.
Penganggaran sektor publik merupakan suatu proses politik. Dalam hal ini, anggaran merupakan instrumen akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik (Mardiasmo, 2004:61). Secara singkat dapat dikatakan bahwa anggaran publik menggambarkan kondisi keuangan organisasi publik yang meliputi informasi anggaran belanja, pendapatan, dan aktivitas yang dilakukan.
Partisipasi dalam penyusunan anggaran yang melibatkan keikutsertaan seseorang dalam menyusun dan memutuskan anggaran secara bersama akan mempunyai dampak masa depan bagi pembuat dan penerima keputusan. Sukses atau gagalnya para staf dalam suatu SKPD dalam melaksanakan anggaran adalah
4
merupakan suatu refleksi langsung tentang keberhasilan ataupun kegagalan manajerial SKPD dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Menurut Brownell 1982 dalam Ernawaty, Selmita (2013) menyatakan bahwa Anggaran partisipatif adalah suatu proses dimana individu-individu terlibat didalamnya dan mempunyai pengaruh pada penyusunan target anggaran yang kinerjanya akan dievaluasi dan kemungkinan akan dihargai atas pencapaian anggaran mereka. Penganggaran partisipatif adalah suatu inovasi-kreatif dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan. Dalam hal ini, masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Partisipasi anggaran adalah suatu proses dalam organisasi yang melibatkan semua pihak dalam penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Partisipasi anggaran dinilai mempunyai konsekuensi terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi. Anggaran memiliki fungsi sebagai penilaian kinerja (Mardiasmo,2004:65), tercapainya target anggaran yang telah ditetapkan mengindikasikan adanya kinerja yang baik, demikian pula sebaliknya.
Untuk mencapai kinerja yang baik perlu dilakukan suatu pengawasan intern agar kegiatan/tindakan setiap individu/organisasi terawasi dan dipantau secara baik. Pengawasan intern menurut Mulyadi (2001), terdiri dari atas struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi, dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen.
Pengawasan merupakan tahap intergal dengan keseluruhan dan pelaporan APBD. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap evaluasi saja (Mardiasmo, 2001) pengawasan yang dilakukan oleh pelaksanaan APBD. Dengan adanya pengawasan di setiap tahapan pengelolaan keuangan daerah, maka diharapkan proses pengelolaan keuangan daerah terutama dalam proses penyusunan anggaran akan memperbesar pengaruhnya terhadap kinerja manajerial SKPD. Maka dari itu pengawasan intern diharapkan dapat membantu para anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawab secara efektif dan mecapai kinerja yang lebih baik.
Tabel 1.1 Research Gap Peneliti Variabel Dependen Variabel Independen Akuntabilitas Publik (X1) Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran (X2) Pengawasan Internal (X3)
Gede Herry Merta Primadana, Gede AdiYuniarta, dkk (2014) Kinerja Manajerial SKPD (Y)
Tidak diteliti Signifikan Signifikan
Yusri Hazmi, Ali Imran, dkk (2012)
Signifikan Tidak diteliti Tidak diteliti
Novita Lerly
Djiloy (2016) Tidak diteliti Tidak diteliti Signifikan
Luh Putu Pitesa, Ni Kadek Sinarwati, Anantawikarma Tungga (2014)
Tidak diteliti Signifikan Signifikan
Rizka Wahyuni, M.Rasuli,dkk (2014)
Tidak
Signifikan Tidak diteliti Tidak diteliti
6
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan ada beberapa penelitian sebelumnya yang telah mengetahui faktor-faktor yang berpengaruhterhadap kinerja manajerial SKPD yang dilakukan oleh Gede Herry Merta dan Gede Adi Yuniarta ,dkk (2014), Yuzri Hazmi dan Ali Imran (2012), Novita Lerly Djiloy (2016), Luh Putu Pitesa dan Kadek Sinarwati, dkk (2014), serta Riska Wahyuni dan M. Rasuli, dkk (2014).
Dalam penelitian Yuzri Hazmi dan Ali Imran (2012) menemukan hasil uji yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh akuntabilitas publik terhadap kinerja manajerial SKPD. Hal tersebut menegaskan akan pentingnya akuntabilitas publik dalam peningkatan kinerja manajerial. Dengan adanya akuntabilitas publik, masyarakat dapat mengetahui pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dan sehingga berusaha untuk melaksanakan anggaran sebaik mungkin. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizka Wahyuni, dkk (2014), tidak menemukan adanya pengaruhakuntabilitas publik terhadap kinerja manajerial SKPD dari hasil uji yang dilakukannya. Menurut Rizka Wahyuni, dkk (2014) menyatakan bahwa akuntabilitas publik belum tentu dapat meningkatkan kinerja manajerial SKPD. Hal tersebut terbukti karena masih adanya kinerja dari SKPD yang belum memenuhi ataupun memuaskan. Walaupun prinsip akuntabilitas itu sendiri sudah diterapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pihak internal maupun eksternal.
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Gede Herry Merta Primadana, dkk (2014) dan Luh Putu Pitesa (2014) menemukan hasil uji yang konsisten tentang pengaruh partisipasi dalam penyusunan anggaran terhadap kinerja
manajerial SKPD. Hasil penelitian tersebut didukung oleh pernyataan brownel dalam Arifin (2012) yang mengemukakan bahwa partisipasi penyusunan anggaran merupakan pendekatan yang secara umum dapat meningkatkan kinerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efektivitas organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Gede Herry Merta Primadana, dkk (2014) memperoleh hasil penelitian bahwa pengawasan internal berpengaruh terhadap kinerja manajerial SKPD, namun terdapat pula hasil uji yang menyatakan bahwa pengawasan internal mampu memoderasi hubungan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial SKPD. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Luh Putu Pitesa (2014) serta Novita Lely Djiloy (2016) memperoleh hasil yang konsisten dengan Gede Herry Merta Primadana, dkk (2014) tentang adanya pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja manajerial SKPD.
Dengan adanya beberapa ulasan dari penelitian terdahulu, menarik untuk
meneliti kembali tentang “ Pengaruh Akuntabilitas Publik Dan Partisipasi
Dalam Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial SKPD Dengan Pengawasan Internal Sebagai Variabel Moderasi “.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah Akuntabilitas Publik berpengaruh terhadap Kinerja Manajerial
8
2. Apakah Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran berpengaruh terhadap
Kinerja Manajerial SKPD ?
3. Apakah Pengawasan Internal berpengaruh terhadap Kinerja Manajerial
SKPD?
4. Apakah Pengawasan internal memoderasi pengaruh Partisipasi dalam
Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Manajerial SKPD ?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengaruh Akuntabilitas Publik terhadap Kinerja
Manajerial SKPD.
2. Untuk mengetahui pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran
terhadap Kinerja Manajerial SKPD.
3. Untuk mengetahui pengaruh Akuntabilitas Publik terhadap Kinerja
Manajerial SKPD yang dimoderasi oleh Pengawasan Internal.
4. Untuk mengetahui pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran
terhadap Kinerja Manajerial SKPD yang dimoderasi oleh Pengawasan Internal.
1.3.2 Kegunaan Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan literatur-literatur
yang berhubungan dengan pengaruh akuntabilitas publik dan partisipasi dalam penyusunan anggaran terhadap Kinerja manajerial SKPD.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang bagaimana
Kinerja Manajerial SKPD dalam membangun daerah pemerintahaannya dengan mengaolaksikan setiap anggaran untuk kepentingan daerah.
1.3.2.2 Manfaat Praktisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan terhadap Kinerja Manajerial SKPD pada pelaksanaan penyusunan anggaran, sehingga anggaran teralokasikan dengan benar dan rasional.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh infomasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dilihat dari hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain, maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi variabel Endogen, variabel Eksogen, variabel moderator, variabel intervening, dan variabel kontrol. (Sugiyono, 2010).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Endogen, variabel Eksogen, dan variabel moderator.
3.1.1. Variabel Penelitian
a. Variabel Endogen
Menurut Mankiw (2006) Variabel endogen adalah variabel-variabel yang akan dijelaskan oleh sebuah model. Variabel endogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja manajerial SKPD.
b. Variabel Eksogen
Menurut Mankiw (2006) Variabel Eksogen adalah variabel-variabel yang nilainya ditentukan diluar model. Variabel eksogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuntabilitas publik dan partisipasi dalam penyusunan anggaran, pengawasan internal.
c. Variabel Moderating
Moderating variable adalah variabel yang mempunyai dampak kontinjensi (contingent effect) yang kuat pada hubungan variabel eksogen dan variabel endogen (Kuncoro, 2003). Variabel moderating tersebut dapat memperkuat atau memperlemah hubungan langsung antara variabel eksogen dengan variabel endogen. Variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengawasan internal.
3.1.2. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel merupakan penentuan konstruk sehingga menjadi variabel yang dapat diukur cara tertentu yang digunakan peneliti dalam mengoperasikan konstruk (Indrianto dan Supomo, 1999). Sedangkan konstruk (construct) merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat berupa kejadian, proses, atribut, subyek atau obyek tertentu. Dalam pengukurannya, suatu konstruk dapat diukur dengan angka atau atribut yang menggunakan skala tertentu.
3.1.2.1. Kinerja Manajerial SKPD (Y)
Kinerja pemerintah daerah merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu program/kegiatan/kebijaksanaan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tertuang dalam perumusan
skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. (Rohman, 2007 dalam
Novita, 2016). Variabel kinerja manajerial SKPD diukur dengan indikator yang merupakan sebagai hasil dari proses aktivitas manajerial yang efektif mulai dari
proses perencanaan dan penganggaran, penatausahaan, pelaporan,
28
Variabel kinerja manajerial SKPD diukur dengan menggunakan skala likert dimana terdapat beberapa item pertanyaan dengan rentang nilai 1 sampai 5, yaitu : 1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Netral, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju .
3.1.2.2. Akuntabilitas Publik (X1)
Menurut Mardiasmo (2009) akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak
pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak
dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Variabel akuntabilitas publik diukur dengan indikator yaitu akuntabilitas kejujuran, akuntabilitas program, akuntabilitas proses, dan akuntabilitas kebijakan.
Variabel akuntabilitas publik ini diukur dengan menggunakan beberapa item pertanyaan. Variabel ini diukur dengan Skala Likert dengan rentang nilai 1 sampai 5, yaitu : 1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Netral, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju .
3.1.2.3. Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran (X2)
Partisipasi dalam penyusunan anggaran adalah partisipasi manajerial satuan kerja dalam proses anggaran, seperti program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, keikutsertaaan seseorang dalam menyusun dan memutuskan anggaran secara bersama. Sukses atau tidaknya para staf pada suatu SKPD dalam melaksanakan anggaran adalah merupakan suatu refleksi lanngsung tentang
keberhasilan ataupun kegagalan manajerial SKPD dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang diembannya. (Gede Herry, dkk, 2014).
Pengukuran variabel ini menggunakan skala likert dengan rentang nilai 1 sampai 5, yaitu : 1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Netral, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju .
3.1.2.4. Pengawasan Internal (X3)
Menurut Sabeni dan Gozali, (1997) dalam Novita (2016) menyatakan pengawasan intern merupakan suatu alat pengawasan dari pimpinan organisasi yang bersangkutan untuk mengawasi apakah kegiatan-kegiatan bawahannya telah sesuai dengan rencana dan kebijakan yang telah ditentukan.
Variabel ini diukur menggunakan skala likert dengan rentang nilai 1 sampai 5, yaitu : 1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Netral, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju .
Berdasarkan definisi operasional variaabel diatas maka dapat disajikan secara ringkas sebagai berikut :
Tabel 3.1 Definisi Operasional N
No
Nama
Variabel Definisi Variabel Indikator Sumber
1. Kinerja
Manajer SKPD
(Y)
Hasil dari proses aktivitas manajerial yang efektif mulai dari proses perencanaan dan penganggaran,
penatausahaan, pelaporan, pengawasan, dan staffing
1. Efektivitas hasil perencanaan 2. Efektifitas hasil penganggaran 3. Efektifitas hasil penatausahaan 4. Efektifitas hasil pelaporan 5. Efektifitas hasil Mahoney (1963) yang diadaptasi oleh Andrias Bangun (2009)
30 Pengawasan 6. Efektifitas hasil staffing 2. Akuntabilitas Publik (X1) Akuntabilitas publik merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik atas kinerja yang telah dilakukan. 1. Kejujuran dan Hukum 2. Proses 3. Program 4. Kebijakan Deki Putra, (2013) 3. Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran (X2) Partisipasi manajerial SKPD dalam proses penganggaran daerah seperti program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, keikut sertaan dalam
menentukan target dan anggaran. 1. Melibatkan Bawahan 2. Memberi kesempatan bawahan 3. Informasi dari bawahan 4. Kontribusi bawahan dalam anggaran SKPD Milani (1975) yang diadaptasi oleh An drias Bangun (2009) 4. Pengawasan Internal (X3)
Proses kegiatan yang ditujkan untuk menjamin agar pemerintah daerag menjalankan rencana yang telah tertuang dalam APBD secara efisien dan efektif, juga untuk menjamin agar penyusunan anggaran telah dipertimbangkan unsur efisiensi, efektivitas dan ekonomis. 1. Monitoring penyusunan anggaran 2. Monitoring pelaksanaan anggaran 3. Monitoring barang milik daerah 4. Review atas laporan keuangan Permendagri Nomor 23 tahun 2007
Sumber : Berbagai Artikel
3.2. Obyek Penelitian, Unit Sampel, Populasi, dan Penentuan Sampel 3.2.1. Obyek Penelitian dan Unit Sampel
Obyek penelitian adalah suatu atribut atau sifat dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Objek penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pemerintah daerah di Kota Semarang. SKPD adalah pelaksana fungsi eksekutif yang harus berkoordinasi agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik. Dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah tersebut memiliki tugas untuk melaporkan sumber daya ekonomi sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Unit sampel dalam penelitian ini yaitu di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Semarang, dimana Pegawai Negeri Sipil akan dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini.
3.2.2. Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Semarang yang dimana setiap SKPD menjadi responden adalah Kepala SKPD dan Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD dan Pegawai Negeri Sipil. Berikut rincian dari sampel antara lain;
Tabel 3.2
Daftar Satuan Kerja Perangkat Daerah
NO SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH
1 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
2 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
3 Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral
4 Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah
5 Dinas Perindustrian dan Perdagangan
6 Dinas Pertanian
32
8 Dinas Pemadam Kebakaran
9 Dinas Pasar
10 Badan Pelayanan Perijinan Terpadu
11 Inspektorat
12 Kantor Perpustakaan dan Arsip
13 Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah
14 Dinas Kebersihan dan Pertamanan
15 Dinas Penerangan Jalan dan Pengelolaan Reklame
3.3. Jenis dan Sumber Data
Menurut Indriantoro dan Supomo (1999), data merupakan sekumpulan fakta yang diperoleh melalui pengamatan (observasi) langsung atau survei. Penelitian ini menggunakan data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan secara deskriptif atau yang berbentuk uraian yang diperoleh dari respon secara tertulis melaui kuesioner. Dimana data tersebut terkumpul melalui jawaban responden dari kuesioner yang telah dibagikan.
Data dalam penelitian ini merupakan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung (tanpa perantara). Data primer tersebut berupa jawaban dari kuesioner yang diberikan kepada responden.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data dikumpulkan melalui survei kuesioner yang diberikan kepada responden yang merupakan pegawai dari Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Semarang. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperaangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2010).
Kuesioner dibagikan kepada responden secara langsung dan meminta bantuan kepada seorang pegawai dari masing-masing SKPD yang dijadikan sebagai populasi dalam penelitian untuk mengkoordinasikan kepada pegawai lainnya. Kuesioner dibuat dengan menggunakan skala likert. Skala likert adalah metode yang mengukur sikap dengan menyatakan setuju atau ketidaksetujuan terhadap suatu subyek, obyek atau kejadian tertentu (Indriantoro dan Supomo, 1999). Menurut Ghozali (2012), skala likert merupakan skala yang berisikan lima tingkat jawaban dengan pilihan jawaban, yaitu 1 = Sangat Tidak Setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Netral, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju.
3.5. Metode Analisis
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
statistik dengan menggunakan metode Partial Least Square (PLS). Penelitian ini
menggunakan teknik analisis inner model dan outer model yang bertujuan untuk
menguji pengaruh dua atau lebih variabel eksogen (exogenous variable) terhadap
satu variabel endogen (endogenous variable). Pengujian dengan menggunakan
metode Partial Least Square (PLS), pada dasarnya terdiri atas 2 macam
pengujian, yaitu model pengukuran (outer model) dan struktural model (inner
model).
3.6. Pengujian Validitas dan Reliabilitas 3.6.1. Uji Validitas
Pengujian ini dilakukan untuk menunjukan seberapa nyata suatu pengujian mengukur apa yang seharusnya diukur (Cooper dan Schindler, 2006) dalam (Nazar dan Syahran, 2008).
34
3.6.1.1. Validitas Konvergen
Berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest variable)
dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Uji validitas konvergen indikator refleksif dengan program WarpPLS 2.0 dapat dilihat dari loading faktor untuk tiap indikator konstruk. (Latan dan Ghozali, 2012).
3.6.1.2. Validitas Diskriminan
Berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkolerasi dengan tinggi. Cara mengukur validitas diskriminan dengan indikator refleksi yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel. Cara lain yang dapat digunakan untuk menguji validitas diskriminan adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk dalam model. (Ghozali, 2012).
3.6.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi, konsistensi dan ketepatan instrument dalam mengukur konstruk. Dalam PLS-SEM dengan menggunakan program WarpPLS 2.0, untuk mengukur reliabilitas suatu konstruk dengan indikator refleksif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability sering disebut Dillon-Goldstein’s
(Ghozali, 2012).
3.7. Model Pengukuran (Outer Model)
Validitas konvergen dari model pengukuran dengan refleksi indikator yang dinilai berdasarkan korelasi antar item score dengan konstruk skor yang dihitung
menilai validitas konvergen yaitu nilai Loading factor harus lebih dari 0,7 untuk
penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai Loading factor antara 0.6 – 0.7
untuk penelitian yang bersifat exploratory masih dapat diterima serta nilai
average variance extracted (AVE) harus lebih besar dari 0.5. Namun demikian
untuk penelitian ditahap awal dari pengembangan skala pengukutan nilai Loading
factor 0.5-0.6 masih dianggap cukup. (Chin, 1998) dalam (Latan dan Ghozali, 2012).
Validitas diskriminan dari model pengukuran dengan refleksi indikator
dinilai berdasarkan cross loading untuk setiap variabel harus > 0.70. cara lain
membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai kolerasi antar konstruk dalam model. Validitas diskriminan yang baik ditunjukkan dari akar kuadrat AVE untuk setiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model (Fornell dan Larcker, 1981) dalam (Ghozali, 2012).
3.8. Model Struktural (Inner Model)
Dalam menilai model struktural dengan PLS, dapat dilihat dari R-Squares untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi dari model struktural. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi. Perubahan nilai R—Squares dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel laten eksogen tertentu terhadap variabel endogen apakah mempunyai pengaruh yang substantif.
3.9. Model Spesifikasi dengan Metode Partial Least Square (PLS)
Model analisis jalur semua variabel laten dalam metode Partial Least
36
1. Inner Model
Inner model yang menggambarkan hubungan antar variabel berdasarkan
pada substantive theory . model persamaannya dapat ditulis
η= β0 + βη+Γξ +ς
keterangan :
η = vektor konstruk endogen
ξ = vektor konstruk eksogen
ς = vektor variabel residual
Karena pada dasarnya PLS didesain untuk model recursive, maka hubungan
antara variabel laten eksogen terhadap setiap variabel laten endogen sering disebut
dengan causal chain system.
2. Outer Model
Outer Model didefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok dengan indikator reflektif dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut
x = Λ x ξ + εx y = Λ y η + εy
Di mana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen (ξ) dan
endogen (η). Sedangkan Λx dan Λy merupakan matriks loading yang
menggambarkan seperti koefisien regresi sederhana yang menghubungkan
variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan δ dan ε dapat
3. Weight Relation
Inner model dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam
estimasi alogaritma PLS, makam diperlukan definisi weight relation. Nilai kasus
untuk variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut :
ξb = Σkb Wkb Xkb ηi = Σki Wki Yki
Dimana wkb dan wki adalah k weight yang digunakan untuk membentuk
estimasi variabel laten ξb dan ηi. Estimasi variabel laten adalah linear agregat
dari indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti
dispesifikasi oleh inner dan outer model η adalah vektor variabel laten endogen
(dependen) dan ξ adalah vektor variabel eksogen (independen), ς adalah vektor
variabel residual dan β serta Γ adalah matrik koefisien jalur (path coeficient).
3.10. Evaluasi Model
PLS tidak mengasumsilan adanya distribusi tertentu untuk diestimasi parameter, maka cara parametrik untuk menguji signifikansi parameter tidak diperlukan (Chin, 1998) yang dikutip (Latan dan Ghozali, 2012). Evalusai model pengukutan atau outer model dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas model. Indikator refleksif dievaluasi melalui validitas konvergen dan diskriminan
dari indikator pembentuk konstruk laten dan composite reliability serta cronbach
alpha untuk blok indikatornya, sedangkan indikator formatif dievaluasi melalui
substantive content-nya yaitu dengan membandingkan besarnya relative weight
dan melihat signifikasi dari indikator konstruk tersebut. (Chin, 1998) yang dikutip (Latan dan Ghozali, 2012).
38
Evaluasi model strukturan atau inner model bertujuan untuk memprediksi
hubungan antar variabel laten. Inner model dievaluasi dengan melihat besarnya
presentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R-Square untuk konstruk laten endogen, Stone (1975) dan Geisser (1974) menyatakan bahwa test
untuk menguji predictive relevance dan average variance extracted (Fornell dan
Larcker, 1981) dalam (Latan dan Ghozali, 2012) untuk predictivenness dengan
menggunakan prosedur resampling seperti jackniffing dan bootstrapping untuk