• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 Direktorat Analisa Peraturan Perundang - Undangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 Direktorat Analisa Peraturan Perundang - Undangan"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Laporan Akhir

Koordinasi Strategis

Reformasi Regulasi Tahun 2012

(2)

Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 i

DAFTAR ISI ... ... i-iii

BAB I PENDAHULUAN ... ... ... 1

I.1. Latar Belakang ... ... 1

I.2. Tujuan ... 3

I.3. Kegiatan & Sasaran ... 3

I.4. Keluaran ... ... 3

I.5. Metodologi ... ... 3

I.6. Pelaksana Kegiatan ... ... 4

I.7. Jadual Pelaksanaan ... 4

I.8. Pembiayaan ... ... 5

BAB II REFORMASI REGULASI ... ... 6

II.1. Kondisi Umum ... 6

II.2. Kerangka Pikir Reformasi Regulasi ... 9

II.3. Kebijakan Reformasi Regulasi ... ... 10

II.4. Prinsip-prinsip Reformasi Regulasi ... 11

II.5. Tujuan dan Manfaat Reformasi Regulasi ... 12

II.5.1. Tujuan ... 12

II.5.2. Manfaat ... 12

BAB III SIMPLIFIKASI REGULASI ... 13

III.1. Pengertian MAPP ... 13

III.2. Pelaksana MAPP ... 13

III.3. Kriteria MAPP ... 14

III.4. Tahapan dan Alur Operasionalisasi MAPP ... 15

III.5. Pedoman Penggunaan MAPP ... 15

III.5.1. Inventarisasi dan Klasifikasi Regulasi ... 15

III.5.2. Identifikasi/Klasifikasi Permasalahan ... 15

III.5.3. Analisis Individual ... 18

III.5.4. Konsolidasi Analisis ...... 19

III.5.5. P e n y u s u n a n R encana Tindak ... 19

BAB IV PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS DENGAN MODEL ANALISA KERANGKA REGULASI (MAKARA) ... 20

(3)

Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 ii

IV.3. Prinsip-prinsip MAKARA ... 22

IV.4. Kriteria MAKARA ... 22

IV.5. Mekanisme Pengusulan Kerangka Regulasi Dalam Dokumen Perencanaan (RKP/RKPD) ... 24

IV.5.1. Pusat ... ... 24

IV.5.2. Daerah ... 25

IV.6. Kriteria MAKARA RKP/RKPD ... 26

IV.6.1. Umum ... 26

IV.6.2. Proses ... 26

BAB V SOSIALISASI DAN FASILITASI REFORMASI REGULASI DI DAERAH 28 V.1. Permasalahan Umum Regulasi di Daerah ... 28

V.2. Upaya yang telah dilakukan di Daerah ... 31

V.3. Kendala dan Tantangan Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah ... 34

V.4. Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah ... 36

V.4.1. Provinsi Sumatera Selatan ... 36

V.4.2. Provinsi Kalimantan Selatan ... 38

V.5. Pelaksanaan Fasilitasi Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah ... 40

V.5.1. Kabupaten Sampang ... 40 V.5.2. Kota Makassar ... 42 V.5.3. Kabupaten Jember ... 46 V.5.4. Kota Kendari ... 46 V.5.5. Kabupaten Tuban ... 47 V.5.6. Kota Palu ... 49 BAB VI PENUTUP ... 51 VI.1. Kesimpulan ... 51 VI.2. Rekomendasi ... 52 DAFTAR LAMPIRAN

 SK Kegiatan Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi

 Paparan Sosialisasi Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas  Paparan Fasilitasi Direktur Analisa Peraturan Perundang- undangan, Bappenas  Paparan Sosialisasi Kepala Biro Hukum Provinsi Sumatera Selatan

 Paparan Sosialisasi Kepala Biro Hukum Provinsi Kalimantan Selatan

 Paparan Sosialisasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Selatan

 Paparan Sosialisasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan

(4)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Konsekuensi dari pernyataan sebagai Negara hukum adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas kenegaraan/pemerintahan harus berdasarkan hukum dan memberikan kepastian hukum. Penyelenggaraan tugas kenegaraan/pemerintahan berawal dari konsep para penyelenggara Negara dalam menentukan kebijakan pembangunan. Kebijakan yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau dengan bentuk lain di luar peraturan perundang-undangan. Kebijakan dalam hal ini pembentukan hukum oleh penyelenggara Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan agar mencapai tujuan dan cita-cita masyarakat. Kesesuaian antara kebijakan dengan peraturan perundang-undangan merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian para penyelenggara Negara dalam mencapai tujuan dan cita-cita masyarakat, agar terwujudnya kepastian hukum.

Kepastian hukum dapat tercapai melalui peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, dan konsisten, yakni melalui tertib peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu upaya pemerintah melalui reformasi regulasi demi mewujudkan kepastian hukum merupakan suatu langkah yang terbaik guna mengatasi permasalahan terkait peraturan perundang-undangan.

Kondisi yang terjadi pada saat ini terdapat kecenderungan pembentukan peraturan perundang-undangan secara berlebihan tanpa melihat dan disesuaikan dengan arah prioritas pembangunan nasional. Hal ini mengakibatkan jumlah peraturan perundang-undangan tersebut menjadi semakin banyak (hyper regulations). Gejala hyper regulations ini masih ditambah dengan rendahnya kualitas sebagian besar peraturan perundang-undangan yang ditunjukkan antara lain melalui ketidaksesuaian antara pilihan jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya, tumpang tindih, inkonsisten, pertentangan dan multitafsir antar peraturan undangan baik yang sejenis maupun dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 2

Untuk mendorong kinerja pembangunan yang lebih baik dibutuhkan langkah-langkah luar biasa (extra ordinary action) untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan belum terwujudnya kepastian hukum yang disebabkan oleh tiadanya tertib peraturan perundang-undangan. Dalam rangka mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan diperlukan reformasi regulasi yang didefinisikan sebagai suatu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas peraturan undangan agar terwujud tertib peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan para pencari keadilan.

Mengingat kompleksnya permasalahan peraturan perundang-undangan yang dihadapi, khususnya banyaknya peraturan perundang-undangan dimiliki (hyper regulations), maka dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut dilakukan upaya pengembangan tools yang diharapkan dapat membantu memetakan, mengkaji peraturan yang diindikasikan atau berpotensi menghambat laju dalam berbagai bidang pembangunan yaitu Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP) dan tools untuk mengkaji draft rancangan peraturan perundang-undangan yang diusulkan dalam dokumen perencanaan (RKP dan RKPD) yaitu Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA).

Untuk memberikan pemahaman sekaligus memasyarakatkan mengenai pentingnya reformasi regulasi serta tools yang digunakan maka perlu dilakukan kegiatan koordinasi strategis reformasi regulasi berupa kegiatan sosialisasi dan fasilitasi penerapan reformasi regulasi di beberapa daerah. Melalui sosialisasi diharapkan upaya reformasi regulasi pada tingkat pusat maupun daerah dapat berjalan secara berkesinambungan dengan berpegang pada konsep sederhana, mudah digunakan dan akuntabel (simple, user friendly and accountable). Melalui sosialisasi maka analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang diindikasikan/berpotensi bermasalah yang dilakukan diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Dan secara umum hal tersebut dapat mewujudkan tertib regulasi, penyederhanaan regulasi, dan kepastian hukum yang merupakan tujuan dari reformasi regulasi.

Sedangkan fasilitasi penerapan reformasi regulasi diperlukan sebagai tindak lanjut kegiatan sosialisasi reformasi regulasi yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 yang lalu khususnya di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Melalui fasilitasi diharapkan beberapa pemerintah daerah akan dapat segera mengimplementasikan konsep reformasi regulasi sekaligus dapat segera memperbaiki kualitas regulasi yang dimiliki.

Pada tahun 2012, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah melakukan kegiatan koordinasi strategis reformasi

(6)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 3

regulasi yaitu berupa sosialisasi dan fasilitasi. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di dua provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan kegiatan fasilitasi dalam rangka memberikan pendampingan penerapan konsep reformasi regulasi sekaligus sebagai tindak lanjut kegiatan sosialisasi tahun 2011, telah dilakukan di Kabupaten Jember, Kabupaten Sampang, Kabupaten Tuban, Kota Kendari, Kota Makassar dan Kota Palu.

I.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) memberikan pemahaman mengenai pentingnya tertib peraturan perundang-undangan; (2) memberikan pembelajaran mengenai konsep reformasi regulasi serta tools yang menyertainya; dan (3) memberikan pendampingan terhadap beberapa daerah dalam rangka penerapan konsep reformasi regulasi.

I.3. Kegiatan dan Sasaran

Koordinasi strategis reformasi regulasi diselenggarakan melalui kegiatan: (1) Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi.

Sasaran yang akan dicapai melalui kegiatan ini adalah (1) Terselenggaranya sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Terselenggaranya fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi.

I.4. Keluaran

Keluaran yang dihasilkan dari kegiatan Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi adalah dipahaminya konsep reformasi regulasi sekaligus tools yang menyertainya dan diimplemantasikannya konsep tersebut pada beberapa daerah. Semua informasi tersebut dikemas dalam bentuk laporan kegiatan yang mencakup 2 (dua) kegiatan utama yaitu (1) Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi.

(7)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 4

Metodologi pelaksanaan kegiatan ini disesuaikan dengan dua sub-kegiatan yang ditetapkan, sebagai berikut:

1. Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi.

Sosialisasi reformasi regulasi diawali dengan memberikan penjelasan mengenai kondisi regulasi Indonesia serta pentingnya tertib regulasi dan memberikan informasi manfaat bekerja berdasarkan regulasi yang tertib. Tahap berikutnya adalah memberikan penjelasan mengenai tata cara bagaimana reformasi regulasi diselenggarakan yaitu untuk future regulations melalui pengelolaan kerangka regulasi menggunakan tools Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) dan untuk existing regulations melalui simplifikasi regulasi menggunakan tools Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP).

2. Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi.

Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi akan difokuskan pada penerapan konsep simplifikasi regulasi. Daerah didampingi untuk memahami dan menerapkan konsep reformasi regulasi. Mengingat ruang lingkup regulasi daerah yang sangat banyak maka sebagai langkah awal daerah didorong untuk menginventarisir, mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun rencana tindak terhadap peraturan perundang-undangan yang ada di daerah masing-masing.

I.6. Pelaksana kegiatan

Secara institusional, pelaksana utama kegiatan ini adalah Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas. Pelaksana kegiatan terdiri dari Tim Pengarah, dan Tim Teknis. Tim pengarah diketuai oleh Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas. Wakil Ketua Tim Pengarah yang akan merangkap sebagai Penanggung Jawab adalah Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas, dan beranggotakan Pejabat Eselon I pada Kementerian dan Lembaga terkait. Tim Teknis diketuai oleh Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas dibantu oleh seorang sekretaris dan beranggotakan pejabat eselon II dan staf yang mewakili kementerian/lembaga terkait sebanyak 8 orang.

I.7. Jadual pelaksanaan

Jadual pelaksanaan kegiatan adalah dari Januari 2012 – Desember 2012 dan direncanakan berlangsung sebagaimana dimaksud pada tabel berikut.

(8)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 5

JADUAL PELAKSANAAN KEGIATAN

KOORDINASI STRATEGIS REFORMASI REGULASI TAHUN 2012

KEGIATAN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DEC

Rapat Tim Koordinasi Strategis

Koordinasi Pemantapan Konsep Reformasi Regulasi dan tools nya: Model Analisa

Peraturan Perundang-undangan (MAPP) dan Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) Konsinyiring Sosialisasi Konsep Reformasi Regulasi 27-29 Juni 4-6 Juli Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi 1. Kab. Sampang, tgl. 14-16 Maret; 2. Kota Makassar, tgl. 20-22 Maret; 3. Kab. Jember, tgl. 28-30 Maret; 4. Kota Kendari, tgl. 2-4 Mei; 5. Kab. Tuban, tgl. 14-16 Mei; 6. Kota Palu, tgl 30 Mei-1 Juni. Penyusunan Laporan Pelaksanaan Kegiatan I.8. Pembiayaan

Biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kegiatan ini adalah sebesar Rp. 831.232.000,- (Delapan ratus tiga puluh satu juta dua ratus tiga puluh dua ribu rupiah)

(9)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 6

BAB II

REFORMASI REGULASI

II.1 Kondisi Umum

Gambaran umum mengenai keadaan perundang-undangan di Indonesia pada saat ini adalah ‘mengkhawatirkan tetapi bukan tidak ada harapan’. Keadaan tersebut antara lain tercermin dari banyaknya perselisihan baik yang bersifat institusional, individual maupun antar individu dan institusi. Situasi yang sama juga dapat terlihat dari banyaknya permohonan judicial review yang diajukan baik ke Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Di samping itu juga banyak keluhan yang diajukan berbagai kalangan termasuk kalangan pelaku ekonomi mengenai betapa sulitnya memahami regulasi yang ada. Regulasi pula yang dipandang sebagai salah satu kendala bagi masuknya investasi ke Indonesia.

Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang dapat menjelaskan gambaran tersebut. Ketiga alasan tersebut adalah:

Pertama, rendahnya appresiasi terhadap regulasi, termasuk terhadap proses pembentukannya. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya pemahaman mengenai hakekat regulasi, baik dari para pembentuk regulasi itu sendiri maupun dari masyarakat luas. Dalam kaitan ini, regulasi seringkali dipahami sebagai sesuatu yang lain dan seolah-olah tidak berkaitan dengan policy (kebijakan). Beberapa pejabat bahkan memandang regulasi sebagai sesuatu yang datang begitu saja dan tinggal mematuhi dan melaksanakannya. Mereka lupa bahwa substansi dari regulasi adalah suatu kebijakan yang sangat mungkin mereka buat sendiri. Kebijakan tersebut dikonversi menjadi regulasi, karena regulasi mempunyai kekuatan memaksa agar setiap orang mematuhinya. Regulasi juga dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Kedua, kualitas regulasi. Sebagai akibat dari rendahnya pemahaman dan apresiasi terhadap regulasi, terutama dari para pihak yang bertanggungjawab terhadap perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi, maka kualitas regulasi tidak lagi menjadi perhatian utama selama proses pembentukan regulasi. Secara umum, regulasi dikatakan tidak berkualitas adalah apabila di dalam regulasi terdapat permasalahan yang indikasinya adalah konflik atau tumpang tindih (baik antar pasal di dalam satu regulasi maupun dengan regulasi lain yang setingkat maupun yang lebih tinggi), inkonsisten, duplikasi, multi-tafsir, dan tidak operasional. Permasalahan tersebut berimplikasi pada operasionalisasi di lapangan sehingga mengakibatkan kinerja yang tidak optimal.

(10)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 7 Ketiga, kuantitas regulasi. Kuantitas regulasi yang proporsional merupakan hal penting di dalam suatu sistem regulasi nasional yang utuh, efektif dan efisien.Yang dimaksud dengan proporsional adalah sesuai dengan kebutuhan, atau dengan kata lain, regulasi yang dibutuhkan tidak boleh terlalu banyak dan juga tidak boleh kurang. Regulasi yang terlalu banyak, apalagi dengan kualitas yang buruk, hanya mengakibatkan kebingungan bagi semua pihak, baik pelaksananya, penegak hukumnya maupun pihak yang diatur. Regulasi yang berlebihan juga berkaitan erat dengan inefisiensi anggaran karena pada dasarnya operasionalisasi regulasi memerlukan anggaran.

Regulasi yang kurang mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum. Dalam hal demikian maka masyarakat, termasuk para birokrat serta pelaku ekonomi kehilangan panduan perilaku. Sementara warga masyarakat berperilaku terlalu bebas dan serba boleh kecuali yang secara jelas dilarang, para birokrat yang kekurangan dasar hukum untuk bertindak mengandalkan kebijakan karena memang harus bertindak, sehingga yang terjadi adalah ketidakpastian hukum, dan ini adalah awal dari terjadinya kekacauan sosial.

Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari penjelasan tersebut di atas adalah apresiasi terhadap regulasi, kualitas yang rendah, serta kuantitas regulasi yang tidak terkelola dengan baik, merupakan kata kunci bagi tertib penyelenggaraan Negara dan dinamika sosial yang tertib. Ketiga hal tersebut di atas juga merupakan alasan mendasar perlunya diselenggarakan reformasi regulasi untuk mewujudkan sistem regulasi yang berkualitas, sederhana dan tertib.

Sistem regulasi dengan kuantitas yang tidak terkendali dan kualitas yang buruk disamping mengakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan juga membawa konsekuensi sosial ekonomi yang relatif tinggi. Adapun konsekuensi-konsekuensi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Kinerja penyelenggaraan negara kurang optimal

Regulasi merupakan faktor determinan terhadap baik buruknya kinerja penyelenggaraan negara. Sistem regulasi yang baik merupakan modal awal bagi terwujudnya kinerja penyelenggaraan negara, sebaliknya sistem regulasi yang buruk juga menjadi sebab rendahnya kinerja penyelenggaraan negara. Ini sesuai dengan pendapat bahwa ‘negara gagal adalah negara yang tidak mampu mengelola sistem regulasinya dengan baik’.

Apresiasi yang rendah terhadap regulasi, termasuk terhadap proses pembentukannya, adalah penyebab utama buruknya kinerja penyelenggaraan Negara dan pembangunan. Apresiasi yang rendah terhadap regulasi terjadi sejak awal pembentukannya, maka hasil yang diperoleh adalah regulasi yang tidak berkualitas. Oleh karena regulasi adalah dasar dari setiap

(11)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 8

tindakan, terutama dalam penyelenggaraan negara, maka kualitas regulasi yang tidak berkualitas, apalagi dengan kuantitas yang tidak proporsional, berpengaruh besar terhadap kinerja penyelenggaraan negara. Regulasi yang demikian menimbulkan ketidakpastian dan menjadi beban bagi birokrat yang berkewajiban mengimplementasikan atau mengoperasionalkannya. Dalam menghadapi regulasi yang konflik, seorang birokrat hanya dapat mematuhi salah satu diantaranya, dan pada saat yang sama ia tidak mematuhi atau melanggar regulasi yang lain.

Dalam hal regulasi yang dihadapi tidak jelas, maka birokrat harus mengintepretasikan sendiri agar dapat mematuhi atau mengimplementasikannya. Akan tetapi sangat mungkin pihak lain, termasuk penegak hukum mengintepretasikannya secara berbeda dan menempatkannya pada posisi yang salah dan ia harus memikul resiko tersebut. Kualitas regulasi yang buruk dan kuantitas regulasi yang tidak proporsional hanya mengakibatkan ketidakpastian. Bagi para birokrat, keadaan tersebut mengakibatkan ketidakpastian tindakan, dan dampaknya adalah menurunnya kinerja dalam penyelenggaraan negara.

b. Rasa aman dalam bekerja

Disamping menurunnya kinerja dalam penyelenggaraan negara, kualitas regulasi yang buruk dan kuantitas regulasi yang tidak proporsional, meningkatkan risiko serta mengganggu atau mengurangi rasa aman bagi setiap birokrat dalam melakukan tindakan apapun dalam rangka penyelenggaraan negara. Dalam sistem regulasi yang diwarnai konflik, inkonsisten dan multitafsir, mematuhi regulasi regulasi yang satu dapat berarti melanggar regulasi yang lain. Semakin banyak regulasi bermasalah yang dihadapi berarti semakin banyak kemungkinan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dan semakin tinggi risiko yang dihadapi. Meningkatnya risiko seperti ini tidak memberikan rasa aman dalam bekerja.

c. Masyarakat membayar lebih dari pada yang seharusnya

Dalam berbagai bidang, regulasi menjadi dasar hukum dari berbagai jenis pungutan resmi yang dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah. Namun demikian, banyak dari regulasi terkait pungutan tersebut yang secara sosiologis tidak lagi memiliki landasan kuat atau sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi, akan tetapi masih efektif dan belum dicabut sehingga masyarakat membayar pungutan secara berlebihan tanpa ada manfaat yang dapat diambil. Regulasi yang demikian hanya memberikan beban yang berlebihan kepada masyarakat.

(12)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 9

Kuantitas regulasi regulasi yang berlebihan merupakan beban bagi APBN/APBD, baik pada saat pembentukannya maupun pada saat implementasi maupun penegakannya. Inefisiensi terjadi ketika regulasi yang dioperasionalkan ternyata tidak memberi manfaat bagi masyarakat luas karena alasan tertentu, misalnya bertentangan dengan regulasi regulasi yang lebih tinggi, duplikasi, atau tidak operasional.

e. Menurunnya minat investasi, terutama Foreign Direct Investment (FDI)

Kuantitas regulasi yang terlalu banyak dan kualitas regulasi yang kurang baik mengakibatkan tiadanya kepastian hukum. Bagi investor, tiadanya kepastian hukum merupakan hambatan besar karena investor tidak memperoleh jaminan atas investasi yang dilakukannya. Akibatnya investor lebih menahan diri untuk melakukan investasi atau mengalihkan investasinya di negara lain yang lebih mampu memberikan kepastian hukum dan jaminan atas investasinya.

f. Hilangnya kesempatan dan lapangan kerja

Investasi pada dasarnya adalah penggerak aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, menurunnya minat investasi berdampak besar terhadap berbagai sektor lain, yang salah satunya adalah sektor ketenagakerjaan. Dengan demikian, ketidakpastian hukum sebagai akibat dari buruknya kualitas regulasi berdampak langsung terhadap berbagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

II.2 Kerangka Pikir Reformasi Regulasi

Sistem Regulasi yang berkualitas memudahkan setiap orang untuk memahami, mematuhi dan melaksanakannya. Sistem Regulasi yang berkualitas paling tidak ditandai dengan 2 (dua) ciri utama, yaitu ‘sederhana’ dan ‘tertib’. Kedua ciri tersebut merupakan determinan pengukur bagi derajat kepatuhan (compliance rate) masyarakat terhadap sebuah sistem regulasi.

Sistem Regulasi yang sederhana adalah sistem regulasi yang terdiri dari seperangkat regulasi dalam jumlah yang proporsional. Dari perspektif kuantitas, regulasi yang proporsional diartikan sebagai jumlah regulasi yang tidak terlalu sedikit, tetapi juga tidak terlalu banyak. Di dalam praktek penyelenggaraan negara, regulasi yang terlalu sedikit maupun regulasi yang terlalu banyak (over regulation) menimbulkan akibat yang sama, yaitu ‘ketidakpastian’. Dalam hal demikian, maka penyelenggaraan negara hanya bertumpu kepada ‘diskresi’. Apabila penggunaan diskresi di dalam penyelenggaraan negara tersebut berlebihan, maka dapat dikatakan bahwa ‘sistem regulasi tersebut telah tidak berfungsi’.

(13)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 10

REFORMASI REGULASI

FUTURE REGULATION EXISTING REGULATION SIMPLIFIKASI REGULASI PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS

Dari perspektif kualitas, regulasi yang sederhana adalah regulasi yang perumusannya dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak membuka kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda. Perumusan regulasi tersebut juga harus konsisten, bahkan antara regulasi yang satu dengan regulasi yang lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya konflik antar regulasi.

Dari perspektif legalitas, sistem regulasi yang tertib adalah sistem regulasi yang mampu menjaga tata urutan (hirarki) regulasi sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Sistem regulasi yang tertib juga tercermin dari dipatuhinya asas-asas pembentukan regulasi yang berlaku secara internasional.

II.3 Kebijakan Reformasi Regulasi

Untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi nasional, pilihan kebijakan yang secara umum dilakukan oleh kebanyakan negara maju, yaitu ‘Reformasi Regulasi’ atau yang di lingkungan international dikenal sebagai ‘Regulatory Reform’. Salah satu lembaga internasional yang memberi perhatian besar terhadap regulasi, Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), mendefinisikan ‘Regulatory Reform’ sebagai ‘perubahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas regulasi’. Reform dalam hal ini dapat berarti memperbaiki regulasi, mencabut regulasi, dan membangun kembali sistem regulasi dan kelembagaan yang berkaitan dengan kewenangan pembentukan regulasi, atau pengembangan proses pembentukan regulasi, serta pengelolaan reformasi regulasi.

Untuk mewujudkan sistem regulasi yang berkualitas, penyelenggaraan reformasi regulasi dilakukan melalui 2 (dua) kebijakan, yaitu: (1) Simplifikasi Regulasi, dan (2) Pembentukan Regulasi yang Berkualitas. Simplifikasi

regulasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi dengan cara melihat atau meneliti kembali regulasi yang ada dan masih berlaku, dan kemudian menyederhanakannya dengan cara mencabut regulasi yang tidak diperlukan, merevisi dan memperbaiki regulasi yang diperlukan tetapi bermasalah, dan mempertahankan regulasi yang berkualitas baik dan diperlukan. Dengan kata lain, simplifikasi Regulasi merupakan

(14)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 11

kualitas. Dari perspektif kuantitas, sistem regulasi yang sederhana meliputi serangkaian regulasi dalam jumlah yang proporsional, dalam arti tidak terlalu sedikit tetapi juga tidak terlalu banyak. Sistem regulasi yang dioperasionalkan seharusnya hanya meliputi serangkaian regulasi yang dibutuhkan.

Dari perspektif kualitas sistem regulasi yang sederhana bermaterikan regulasi yang tidak mengandung norma yang berpotensi konflik dengan norma lain dalam satu regulasi ataupun norma dalam regulasi yang lain. Regulasi tersebut juga harus dirumuskan dengan cara yang tidak rumit sehingga tidak membuka peluang terjadinya multi-tafsir dan meudahkan setiap orang untuk memahami dan mematuhinya.

Pembentukan Regulasi yang Berkualitas merupakan kebijakan peningkatan kualitas regulasi dengan fokus pada upaya pembenahan kelembagaan yang berkaitan dengan kewenangan pembentukan regulasi, atau pengembangan proses pembentukan regulasi, serta pengelolaan reformasi regulasi. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis terhadap kerangka regulasi yang diusulkan di dalam proses perencanaan pembangunan.

II.4 Prinsip-prinsip Reformasi Regulasi

Penyelenggaraan Reformasi Regulasi mengadopsi prinsip-prinsip sederhana (simple), mudah diaplikasikan (user friendly), dan akuntabel (accountable).

1. Sederhana (simple), artinya mudah dipahami dan dioperasionalkan, tidak hanya oleh K/L/Pemda. Sebagai suatu instrument simplifikasi regulasi, MAPP juga dapat dioperasionalkan oleh para pemangku kepentingan (pengusaha, organisasi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat), maupun masyarakat umum walaupun keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat publik.

2. Mudah diaplikasikan (User friendly), artinya mudah diaplikasikan khususnya oleh aparatur pemerintah baik dipusat maupun di daerah yang akan terlibat dalam analisis/review regulasi. Ciri mudah diaplikasikan juga terlihat dari kriteria yang tidak terlalu banyak dan lebih mudah dipahami

3. Akuntabel (accountable), artinya meskipun model ini memiliki ciri sederhana dan mudah diaplikasikan, namun hal itu bukan berarti tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Model Analisa Peraturan Perundang-undangan yang dibangun tetap dapat dipertanggung-jawabkan, baik dalam hal manfaat dan efektivitasnya, maupun proses dan prosedur (tata caranya). Model ini juga dibangun dengan landasan akademik maupun praktis yang dapat dipertanggung-jawabkan.

(15)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 12

II.5 Tujuan dan Manfaat Reformasi Regulasi II.5.1 Tujuan

Tujuan reformasi regulasi adalah mewujudkan regulasi yang berkualitas, sederhana dan tertib. Upaya itu dilakukan melalui pembenahan regulasi yang sudah ada dan pembentukan regulasi yang berkualitas sesuai dengan asas-asas pembentukan regulasi yang patut, keberadaannya memang benar-benar dibutuhkan, dan implementasinya dapat mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional.

II.5.2 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dengan diterapkannya reformasi regulasi antara lain adalah terwujudnya Sistem Regulasi Nasional yang tertib dan lebih mampu menghadirkan kepastian hukum. Manfaat lain yang bersifat tidak langsung, antara lain adalah:

a. Terwujudnya iklim kerja yang lebih baik bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

b. Tercapainya kinerja penyelenggaraan dan pembangunan negara yang didukung oleh regulasi yang lebih tertib dan sederhana;

c. Efisiensi anggaran negara; d. Meningkatnya investasi;

e. Meningkatnya lapangan kerja; dan f. Meningkatnya tingkat kesejahteraan.

(16)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 13

BAB III

SIMPLIFIKASI REGULASI

Simplifikasi regulasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi dengan cara melihat atau meneliti kembali regulasi yang ada dan masih berlaku, dan kemudian menyederhanakannya dengan cara mencabut regulasi yang tidak diperlukan, merevisi dan memperbaiki regulasi yang diperlukan tetapi bermasalah, dan mempertahankan regulasi yang berkualitas baik dan diperlukan. Untuk melakukan simplifikasi regulasi, instrumen yang digunakan adalah Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP), suatu model yang dikembangkan dan dirancang dengan menggunakan kriteria tertentu untuk menetapkan apakah suatu regulasi harus dipertahankan, direvisi atau dicabut.

III.1 Pengertian MAPP

MAPP adalah suatu instrumen yang dibuat untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang berlaku atau sedang menjadi hukum positif. Model ini dikembangkan dari teori keberlakuan peraturan perundang-undangan yang mendasarkan pada aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis. Agar lebih operasional, ketiga aspek tersebut kemudian dirumuskan kembali ke dalam bentuk kriteria MAPP, yaitu legalitas, kebutuhan dan keramahan. Tujuan utama dari dikembangkannya MAPP adalah untuk melakukan simplifikasi regulasi sehingga regulasi yang ada menjadi lebih proporsional dan dengan kualitas yang lebih baik. Untuk itu, rekomendasi dari MAPP meliputi 3 (tiga) pilihan tindakan, yaitu: (1) regulasi dipertahankan; (2) regulasi direvisi; dan (3) regulasi dicabut.

III.2 Pelaksana MAPP

Pada dasarnya pelaksana utama kegiatan reviu/evaluasi regulasi adalah institusi pembentuk regulasi itu sendiri. Namun demikian karena besarnya potensi lintas sektor atau lintas institusi pada regulasi, maka operasionalisasi MAPP memerlukan keterlibatan institusi lain yang teridentifikasi sebagai pemangku kepentingan.

Secara umum, MAPP dioperasionalkan oleh 2 (dua) kelompok kerja, yaitu, Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK) dan Kelompok Kerja Analis (KKA). KKSK terdiri dari staf pada biro/bagian hukum pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan dipimpin oleh Kepala Biro/Bagian Hukum. KKSK mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut: (1) menyelenggarakan administrasi umum kegiatan, dan (2) menyelenggarakan administrasi substansi regulasi yang antara lain meliputi: a. Menginventarisasi regulasi; b. Mengklasifikasi regulasi; c. Mengidentifikasi masalah dan potensi masalah, serta institusi yang terkait dengan

(17)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 14

regulasi yang dianalisis; d. Menyusun resume putusan analis; e. Menyusun rancangan penetapan putusan akhir hasil analisis; dan f. Menyusun rencana tindak.

Selanjutnya, KKA yang bermaterikan para analis, yaitu pejabat yang berwenang untuk mengambil putusan dan mewakili kementerian yang terkait dengan regulasi yang dianalisis. Hirarki pejabat yang menjadi analis disesuaikan dengan jenis regulasi yang dianalisis. Semakin tinggi regulasi yang dianalisis, semakin tinggi jabatan pejabat yang duduk sebagai analis. Keanggotaan analis harus berjumlah ganjil untuk memudahkan pengambilan putusan akhir. Dalam hal jumlah analist yang teridentifikasi berjumlah genap, maka jumlah analis harus ditambah satu orang yang mempunyai posisi netral. Para analis dapat melakukan analisis dan membuat keputusan secara individual dan tidak perlu duduk bersama dengan para analis lainnya untuk membuat keputusan apakah sebuah regulasi dipertahankan, direvisi atau dicabut. Dengan demikian, analisis dan keputusan dapat dibuat dengan cara yang cepat dan efisien.

Dalam melakukan pekerjaannya, setiap analis menerima bahan dari sekretariat kegiatan. Bahan yang disampaikan tersebut berupa suatu regulasi dan informasi mengenai permasalahan regulasi yang telah teridentifikasi, kaitannya dengan regulasi lain yang ditemukan, dan analisis awal yang telah dibuat oleh KKSK. Para analis tinggal membaca dan membuat keputusan apakah regulasi yang bermasalah tersebut dipertahankan, direvisi atau dicabut. Masing-2 analis kemudian menuliskan keputusan yang dibuatnya dan menandatanganinya di dalam satu format yang telah disediakan. Keputusan individual ini kemudian dikembalikan kepada KKSK untuk digabung dengan keputusan analis lainnya dan dibuatkan keputusan akhir melalui mekanisme voting. Ini adalah alasan kenapa jumlah analis harus senantiasa ganjil.

III.3 Kriteria MAPP

Untuk menilai kualitas regulasi, MAPP menggunakan 3 (tiga) kriteria utama yang dikembangkan dari teori keberlakuan hukum, yaitu philosophis, yuridis dan sosiologis. Kriteria tersebut adalah Legalitas (legal basis), Kebutuhan (needs) danRamah (friendly).

1 Legalitas(legal basis) artinya Regulasi tersebut yang dalam pengaturannya tidak ditemui adanya potensi permasalahan dalam perumusan norma (misalnya multi-tafsir) maupun dalam kaitannya dengan regulasi lain (misalnya konflik, inkonsisten, duplikasi atau tidak operasional karena belum ada peraturan pelaksanaannya).

2 Kebutuhan (needs) artinya regulasi tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan dibutuhkan/diperlukan oleh masyarakat dan penyelenggara negara dalam aktifitas sehari-hari.

3 Ramah (friendly) artinya regulasi tersebut mudah dipahami dan dipatuhi serta tidak memberikan beban yang berlebihan (berupa biaya, waktu dan proses) kepada

(18)

pihak-Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 15

pihak yang terkena dampak langsung regulasi atau dengan kata lain tujuan regulasi dapat dicapai tanpa memberikan beban yang tidak perlu bagi kelompok yang terkena dampak pengaturan oleh regulasi. Misalnya: regulasi mengatur secara proporsional mengenai biaya, waktu dan proses bagi pihak-pihak yang akan mengajukan suatu izin tertentu.

III.4 Tahapan dan Alur Operasionalisasi MAPP

STAKEHOLDER ALUR KEGIATAN MAPP

KELOMPOK KERJA SEKRETARIAT KEGIATAN

(KKSK)

Biro/Bagian Hukum Pada Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah

KELOMPOK KERJA ANALISIS (KKA)

Analis (Pejabat yang mewakili Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah)

Gambar 3. Alur Operasionalisasi MAPP

III.5 Pedoman Penggunaan MAPP

III.5.1 Inventarisasi dan Klasifikasi Regulasi

Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi/kewenangan satu institusi tertentu atau regulasi-regulasi yang berkaitan dengan sektor tertentu. Kegiatan ini dilakukan oleh Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK) yang melekat pada Biro/Bagian Hukum pada K/L/Pemerintah Daerah. Regulasi yang ditemukan kemudian diklasifikasi sebagaimana tata urutan regulasi yang berlaku. (Lihat Form 2.1).

Hasil inventarisasi berupa kumpulan regulasi yang berada pada kendali satu institusi tertentu atau sektor tertentu yang kemudian disusun atau diklasifikasi berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan.

III.5.2 Identifikasi/Klasifikasi Permasalahan

Sebagaimana kegiatan inventarisasi regulasi, kegiatan identifikasi/klasifikasi regulasi juga dilakukan oleh Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK).Kegiatan yang dilakukan adalah menemukenali potensi masalah dan Stakeholders yang berkaitan dengan permasalahan

PERUMUSAN RENCANA TINDAK INVENTARISASI/ KLASIFIKASI REGULASI IDENTIFIKASI/KLASIFIKASI  Identifikasi Masalah  Klasifikasi Masalah  Identifikasi Stakeholder Bahan Analisis KONSOLIDASI HASIL ANALISIS (KOLEGIAL)  Kompilasi Keputusan Individual  Penyusunan Keputusan Kolegial Rekomendasi Individual  Dipertahankan  Direvisi  Dicabut RENCANA TINDAK ANALISIS REGULASI (INDIVIDUAL)

(19)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 16

dalam regulasi tersebut (Lihat Form 2.2). Potensi masalah yang ditemukenali, selanjutnya diklasifikasikan menjadi:

Konflik.

Regulasi dikatakan sebagai konfli apabila terdapat ketentuan atau norma yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan atau norma lain baik pada regulasi yang sama maupun regulasi lainnya.

o Contoh 1:

Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Regulasi Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun, dan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 50 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang Undang Penanaman Modal yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 tahun;

o Contoh 2:

Undang-undang nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2004: “RPJM Daerah ditetapkan dengan Regulasi Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Sedangkan Pasal 150 ayat (3e) UU Nomor 32 Tahun 2004 “RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Regulasi Pemerintah”.

Inkonsisten.

Regulasi dinyatakan inkonsisten apabila terdapat pengaturan yang berbeda, antara regulasi yang satu dengan yang lain terhadap satu hal yang sama walaupun tidak saling bertentangan. Kualitas regulasi yang buruk juga dapat tercermin dari adanya inkonsistensi dalam perumusan pasal-pasalnya.

o Contoh:

Perumusan definisi ‘penanaman modal’ pada Pasal 1 angka 1 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal ternyata berbeda dengan Pasal 1 angka 1 PP

(20)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 17

No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.

Pasal 1 angka 1 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyatakan: Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Sedangkan Pasal 1 angka 1 PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, menyatakan:

Penanaman modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. Definisi ‘Penanaman Modal’ pada kedua regulasi tersebut di atas tidak hanya menunjukkan adanya inkonsistensi dalam perumusan kebijakan mengenai penanaman modal, tetapi juga mengisyaratkan adanya masalah dalam hal kualitas regulasi yang ada.

Duplikasi.

Duplikasi regulasi adalah pengulangan suatu pernyataan satu pasal pada regulasi tertentu pada satu atau lebih regulasi yang lain. Beberapa duplikasi pengaturan tetap diperlukan misalnya ketentuan mengenai ‘aturan peralihan’ tetapi ada duplikasi pengaturan yang tidak diperlukan.Duplikasi pengaturan yang tidak diperlukan hanya berakibat inefisiensi regulasi.

Multitafsir.

Multi-tafsir adalah permusan norma yang tidak jelas di dalam suatu regulasi, baik berupa ketidakjelasan obyek maupun subyek yang diatur sehingga berpotensi mengakibatkan kesalahan pemahaman. Rumusan norma yang tidak jelas tersebut menimbulkan ketidakpastian baik bagi pihak pelaksana maupun pihak yang terkena aturan tersebut.

o Contoh 1:

Pasal 54 UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, sebagai berikut: Kegiatan penyelenggaraan Informasi Geospasial oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang.

Perumusan pasal 54 UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tersebut sesungguhnya hanya mengatur subyek yang boleh bertindak sebagai penyelenggara

(21)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 18

kegiatan, akan tetapi perumusan di dalam pasal dilakukan dengan cara yang membingungkan sehingga tidak mudah untuk memahami dan menemukan siapa atau institusi apa yang sesungguhnya berwenang melakukan kegiatan tersebut. o Contoh 2:

Pasal 14 UU 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menyatakan :‘Setiap penanam modal berhak mendapat: a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. dst ...’. Penjelasan psl.14 huruf (a) menyatakan bahwa ’Yang dimaksud dengan

“kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yangditentukan.Perumusan pasal dan penjelasannya tidak menjawab ‘hak apa saja’

sehingga potensi terjadinya multi tafsir sangat besar’

Tidak Operasional.

Sebuah regulasi dikatakan sebagai tidak operasional apabila regulasi tersebut tidak dapat diimplementasikan ke dalam situasi konkrit, sehingga regulasi tersebut hanya menjadi aturan kosong. Regulasi yang dianggap sebagai tidak operasional antara lain disebabkan oleh (1) tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan walaupun Undang-undangnya memerintahkannya; dan (2) tidak ada institusi pelaksananya. Langkah selanjutnya adalah identifikasi pemangku kepentingan yang berkaitan dengan regulasi yang teridentifikasi bermasalah. Identifikasi pemangku kepentingan dimaksudkan untuk memastikan institusi apa saja yang harus dilibatkan di dalam melakukan analisis regulasi. Pejabat dari institusi yang teridentifikasi akan menjadi anggota KKA dan pada saatnya harus mengambil keputusan apakah suatu regulasi harus dipertahankan, direvisi atau dicabut.

Hasil kegiatan identifikasi/klasifikasi permasalahan regulasi merupakan suatu analisis awal yang paling tidak memberikan informasi mengenai suatu regulasi tertentu, permasalahan yang teridentifikasi dan pemangku kepentingan atas permasalahan yang teridentifikasi.

III.5.3 Analisis Individual

Tidak sebagaimana tahap 1 dan tahap 2, pada tahap ini kegiatan analisis regulasi dilakukan oleh Kelompok Kerja Analis (KKA). Kelompok ini menindaklanjuti hasil analisis awal yang telah dibuat oleh KKSK dalam format 2.3. Hal terpenting di dalam tahapan ini adalah bahwa masing-masing anggota KKA harus membuat keputusan individual mengenai permasalahan yang teridentifikasi beserta hasil analisis awal yang dilakukan oleh KKSK.Keputusan tersebut adalah apakah regulasi tersebut dipertahankan, direvisi atau

(22)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 19

dicabut.Inilah alasannya mengapa anggota KKA harus seorang pejabat yang mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan.

III.5.4 Konsolidasi Analisis

Hasil analisis individual tersebut, selanjutnya oleh KKSK dikumpulkan dalam suatu format konsolidasi analisis (Lihat Form 2.4). Format Konsolidasi Analisis ini berisikan hasil keputusan akhir dari masing-masing analis serta informasi yang menjadi pertimbangannya.Format ini merupakan mekanisme voting untuk menentukan keputusan akhir, dan melalui Form 2.4 inilah KKA memutuskan secara kolektif mengenai tindakan terhadap regulasi tersebut apakah dipertahankan, direvisi, atau dicabut.

III.5.5. Penyusunan Rencana Tindak

Rencana tindak merupakan tindaklanjut dari keputusan kolektif yang telah dibuat. Rencana tindak berisi langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan, kecuali dalam hal konsolidasi analisis memutuskan regulasi dipertahankan (Lihat Form 2.5):

a. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi dipertahankan, maka tidak diperlukan rencana tindak;

b. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi direvisi, maka rencana tindaknya adalah perubahan regulasi melalui proses sebagaimana pembentukan regulasi baru oleh K/L/SKPD dengan melibatkan Biro/Bagian Hukum, mulai dari penelitian, naskah akademik, naskah rancangan regulasi, pencantuman rancangan regulasi dalam prolegnas/prolegda, pengusulan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan dengan menggunakan alat analisis Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA), pembahasan rancangan regulasi di Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) hingga pengundangan;

c. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi dicabut, maka rencana tindaknya adalah pencabutan regulasi dengan penyusunan rencana regulasi pencabutan tanpa didahului dengan penyusunan naskah akademik (Pasal 43 Ayat (4) dan (5) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(23)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 20

BAB IV

PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS

DENGAN

MODEL ANALISA KERANGKA REGULASI (MAKARA

)

IV.1. Pembentukan Regulasi

Tidak seperti reviu/evaluasi regulasi yang mempunyai fokus kepada peraturan perundang-undangan yang pada saat ini ada dan berlaku (hukum positif), pada arah pembenahan regulasi ini peningkatan kualitas regulasi difokuskan kepada rencana pembentukan peraturan perundang-undangan (future regulation). Peningkatan kualitas regulasi dapat dilakukan dengan berbagai tindakan, 2 (dua) diantaranya adalah (i) melakukan analisis terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan pendekatan perencanaan (baca: pengelolaan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan), yakni setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (dimintakan alokasi pendanaannya) atau Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diusulkan masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) harus dianalisis terlebih dahulu dengan MAKARA agar sesuai dengan prioritas pembangunan dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan; (ii) melakukan analisis terhadap usulan pembentukan UU yang diusulkan oleh K/L untuk masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) Pemerintah atau usulan pembentukan Perda yang diusulkan oleh SKPD untuk masuk dalam Progam Legislasi Daerah (Prolegda) Pemerintah Daerah dengan menggunakan MAKARA Prolegnas/Prolegda agar suatu usulan pembentukan UU/Perda benar-benar dibutuhkan untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional/daerah dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan karenanya layak masuk Prolegnas/Prolegda.

Untuk dapat lebih memahami alur Perencanaan dan Penganggaran Pembentukan Regulasi, kita dapat melihat pada gambar berikut:

(24)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 21

Gambar 4. Perencanaan dan Penganggaran Pembentukkan Regulasi

Na sk ah A ka d e m ik

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

PEMBENTUKAN REGULASI

PencantumanRUU dalam Prolegn asRAPERD A dalam Prolegd a P en e lit ia n Na sk ah R U U / Na sk ah R A P ER D A M ak ar a R U U d al am R K P / R A P ER D A d al am R K P D

Perencanaan, Penyusunan

Pembahasan,

Pengesahan,

Pengundangan

(25)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 22 22

IV.2. Pengertian

MAKARA RKP/RKPD adalah alat untuk melakukan analisis terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah memiliki Naskah Akademik dan Naskah Rancangan Undang-undang untuk diusulkan masuk ke dalam RKP atau terhadap usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang telah memiliki penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Naskah Rancangan Peraturan Daerah ke dalam RKPD untuk mendapatkan alokasi pendanaan.

MAKARA Prolegnas/Prolegda adalah alat untuk melakukan analisis terhadap usulan pembentukan UU yang diusulkan oleh K/L untuk masuk dalam Prolegnas Pemerintah atau usulan pembentukan Perda yang diusulkan oleh SKPD untuk masuk dalam Prolegda Pemerintah Daerah.

IV.3. Prinsip-Prinsip MAKARA

MAKARA mengadopsi prinsip-prinsip Sederhana (Simple), Mudah diaplikasikan (User Friendly), dan Akuntabel (Accountable).

1. Sederhana, artinya mudah dipahami dan dioperasionalkan, tidak hanya oleh K/L/Pemda, tetapi juga bagi para pemangku kepentingan (pengusaha, organisasi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat), maupun masyarakat umum yang terkena dampak peraturan perundang-undangan.

2. User friendly, artinya mudah diaplikasikan khususnya oleh aparatur pemerintah baik dipusat maupun di daerah yang akan terlibat dalam analisis/review regulasi. Ciri mudah diaplikasikan juga terlihat dari kriteria yang lebih mudah dipahami.

3. Akuntabel artinya meskipun model ini memiliki ciri sederhana dan mudah diaplikasikan, namun hal itu bukan berarti tidak dapat dipertanggung-jawabkan. ModelAnalisa Kerangka Regulasi yang dibangun tetap dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam hal manfaat dan efektivitasnya, maupun proses dan prosedur (tata caranya). Model ini juga dibangun dengan landasan akademik maupun praktis yang dapat dipertanggungjawabkan.

IV.4. Kriteria MAKARA

MAKARA RKP/RKPD secara garis besar berisi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Landasan Hukum (Legal Basis): yaitu apakah rancanganperaturan perundang-undangan (RUU maupun Raperda) yang diajukan memiliki landasan hukum kuat yang berkaitan dengan substansiatau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturanperundang-undangan yang baru.

(26)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 23 23

2. Kebutuhan (Needs): yaitu apakah peraturan perundang-undangan yang diajukan (RUU maupun Raperda) sesuai dengan dokumen perencanaan pembangunan (RPJMN untuk RUU, dan RPJMD untuk Raperda) dan sesuai dengan prioritas pembangunan. Selain itu apakah rancangan peraturan perundang-undangan dibentuk dengan argumentasi/tujuan pembentukan yang jelas. Aspek ini juga melihat kesesuaian rancangan peraturan perundang-undangan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.

3. Potensi Beban Keuangan Negara dan Manfaat bagi Masyarakat artinya apakah rancangan peraturan perundang-undangan tersebut membebani keuangan negara akibat dari pembentukan kelembagaan baru, penyediaan sarana prasarana baru, pembentukan peraturan pelaksanaan baru, penambahan beban bagi pengeluaran rutin Pemerintah. Dan potensi RUU tersebut untuk memberikan manfaat ekonomi maupun sosial terhadap masyarakat.

MAKARA Prolegnas/Prolegda secara garis besar berisi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Landasan Hukum (Legal Basis): yaitu apakah RUU/Raperda yang diusulkan memiliki landasan hukum kuat yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk.

2. Kebutuhan (Needs): yaitu apakah usulan RUU/Raperda telah didasarkan pada perencanaan pembangunan (RPJMN/RPJMD dan RKP/RKPD), selain itu apakah Raperda dibentuk dalam rangka mengatasi suatu permasalahan dan pembentukan Raperda merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi permasalahan tersebut.

3. Potensi Beban dan Manfaat: yaitu apakah RUU/Raperda yang diusulkan berpotensi memberikan manfaat bagi penyelenggaraan negara/pemerintahan (pemerintah/ pemerintah daerah dan masyarakat) serta tidak memberikan beban/dampak negatif terhadap penyelenggaraan negara/pemerintahan (pemerintah/pemerintah daerah dan masyarakat).

(27)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 24 24

IV.5. Mekanisme Pengusulan Kerangka Regulasi Dalam Dokumen Perencanaan (RKP/RKPD)

IV.5.1. Pusat

Gambar 5. Diagram Proses Analisa Kerangka Regulasi Pusat

Mekanisme proses pengusulan kerangka regulasi pusat, adalah sebagai berikut:

a. Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan Permintaan Naskah Akademik dan Naskah RUU terhadap RUU yang terdapat dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah (lima tahunan) dilampiri Form 3.1 kepada K/L mitra kerja;

b. K/L mitra kerja menyampaikan Naskah Akademik dan Naskah RUU kepada Kementerian PPN/Bappenas dengan tembusan Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Kementerian PPN/Bappenas;

c. Kementerian PPN/Bappenas mereviu dan menganalisis awal Naskah RUU tersebut menggunakan Form 3.1 Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) RKP;

d. Kementerian PPN/Bappenas (c.q. DAPP, Direktorat sektor terkait) bersama-sama dengan K/L membahas analisis awal dalam forum trilateral meeting dan membuat kesepakatan mengenai kerangka regulasi yang direkomendasikan untuk masuk dalam RKP (bilateral meeting kerangka regulasi). Kerangka regulasi yang telah disepakati ditetapkan dalam Form 3.2 Berita Acara Kerangka Regulasi RKP, yang ditandatangani oleh Kementerian PPN/Bappenas (DAPP, Direktorat Sektor) dan K/L;

STAKEHOLDERS JANUARI – APRIL KEMENTERIAN/LEMBAGA PENGUSUL KERANGKA REGULASI B A P P E N A S DIREKTORAT SEKTOR DIREKTORAT ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIREKTORAT ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN NASKAH AKADEMIK & RUU TRILATERAL MEETING NASKAH AKADEMIK & RUU ANALISIS AWAL RPJMN BERITA ACARA TRILATERAL MEETING PENCANTUMAN RUU KEDALAM RKP PENGALOKASIAN ANGGARAN RUU KEDALAM RKP

(28)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 25 25

e. DAPP menyampaikan Form 3.2 Berita Acara Kerangka Regulasi RKP kepada Direktorat Alokasi Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas sebagai bahan untuk pengalokasian anggaran kerangka regulasi dalam RKP;

f. Alokasi anggaran kerangka regulasi dalam RKP menjadi acuan pendanaan proses pembahasan, pengesahan, dan pengundangan RUU oleh K/L.

IV.5.2. Daerah

Gambar 6. Diagram Proses Analisa Kerangka Regulasi Daerah

Mekanisme proses pengusulan kerangka regulasi daerah, adalah sebagai berikut:

a. Sekretariat Daerah (melalui Biro/Bagian Hukum) Provinsi/Kabupaten/ Kota menyampaikan Permintaan penjelasanatau keterangan dan/atau Naskah Akademikdan Naskah Raperda dilampiri Form 3.3 kepada SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota;

b. SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota menyampaikan penjelasanatau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Naskah Raperda Sekretariat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan tembusan Biro/Bagian Hukum Provinsi/Kabupaten/Kota;

c. Biro/Bagian Hukum me-review dan menganalisis awal Naskah Raperda tersebut menggunakan Form 3.3 Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) RKPD;

d. Sekretariat Daerah (melalui Biro/Bagian Hukum) Provinsi/Kabupaten/ Kota bersama-sama dengan SKPD dan Bappeda membahas analisis awal dalam forum trilateral meeting dan membuat kesepakatan mengenai kerangka regulasi yang direkomendasikan untuk masuk dalam RKPD (bilateral meeting kerangka regulasi). Kerangka regulasi yang

STAKEHOLDERS JANUARI – APRIL

P EM ERI NTA H D A ER A H SKPD PENGUSUL KERANGKA REGULASI BIRO/BAGIAN HUKUM PEMDA BAPPEDA NASKAH AKADEMIK & RAPERDA ANALISIS AWAL BERITA ACARA TRILATERAL MEETING PENCANTUMAN RAPERDA KEDALAM RKPD PENGALOKASIAN ANGGARAN RAPERDA KEDALAM RKPD TRILATERAL MEETING

(29)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 26 26

telah disepakati ditetapkan dalam Form 3.4 Berita Acara Kerangka Regulasi RKPD, yang ditandatangani oleh Biro/Bagian Hukum, SKPD dan Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota; e. Biro/Bagian Hukum Provinsi/Kabupaten/Kota menyampaikan Form 3.4 Berita Acara

Kerangka Regulasi RKPD kepada Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai bahan untuk pengalokasian anggaran kerangka regulasi dalam RKPD;

f. Alokasi anggaran kerangka regulasi dalam RKPD menjadi acuan pendanaan proses pembahasan, pengesahan, dan pengundangan Raperda oleh SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota.

IV.6. Kriteria MAKARA RKP/RKPD

IV.6.1. Umum

a. Form 3.1 adalah lembar analisis awal yang dibuat berdasarkan Naskah Akademik (NA) dan Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan untuk dicantumkan dalam RKP.

b. Form 3.2 adalah lembar berita acara hasil trilateral meeting yang ditandatangani oleh Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan, Direktur Sektor Kementerian PPN/Bappenas dan Kepala Biro Hukum K/L.

c. Form 3.3 adalah lembar analisis awal yang dibuat berdasarkan penjelasanatau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Naskah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diusulkan untuk dicantumkan dalam RKPD.

d. Form 3.4 adalah lembar berita acara hasil trilateral meeting yang ditandatangani oleh Kepala Dinas pengusul Raperda, Kepala Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota dan Kepala Biro/Bagian Hukum Provinsi/ Kabupaten/Kota.

IV.6.2. Proses

a. Pengisian Form 3.1

1) Cantumkan informasi Unit Kerja Bappenas mitra kerja K/L pengusul, Judul RUU dan K/L Pengusul.

2) Cantumkan informasi ketersediaan NA dan Naskah RUU pada baris kelengkapan dokumen.

3) Berikan informasi awal sesuai dengan kriteria dan pertanyaan yang disebutkan pada kolom analisis awal.

4) Berikan informasi pada kolom trilateral meeting berupa catatan-catatan tentang pendapat/komentar pada saat dilaksanakannya trilateral meeting terhadap informasi yang terdapat pada kolom analisis awal.

(30)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 27 27

5) Cantumkan Tempat, Tanggal, Nama dan Tanda Tangan Penanggung Jawab analisis awal.

b. Pengisian Form 3.2

1) Cantumkan Judul RUU yang diusulkan.

2) Cantumkan rumusan kesepakatan yang diperoleh dari hasil Trilateral Meeting pada baris kriteria Legalitas (Legal Basis), Kebutuhan (Needs), dan Potensi Beban dan Manfaat.

3) Cantumkan rumusan kesimpulan akhir pada lembar berita acara dan ditandatangani bersama oleh ketiga pihak dalam TrilateralMeeting.

c. Pengisian Form 3.3

1) Cantumkan informasi Judul Raperda yang diusulkan dan SKPD pengusul.

2) Cantumkan informasi ketersediaan penjelasanatau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Naskah Raperda pada baris kelengkapan dokumen.

3) Berikan informasi awal sesuai dengan kriteria dan pertanyaan yang disebutkan pada kolom analisis awal.

4) Berikan informasi pada kolom trilateral meeting berupa catatan-catatan tentang pendapat/komentar pada saat dilaksanakannya trilateral meeting terhadap informasi yang terdapat pada kolom analisis awal.

5) Cantumkan Tempat, Tanggal, Nama dan Tanda Tangan Penanggung Jawab analisis awal.

d. Pengisian Form 3.4

1) Cantumkan Judul Raperda yang diusulkan.

2) Cantumkan rumusan kesepakatan yang diperoleh dari hasil Trilateral Meeting pada baris kriteria Legalitas (Legal Basis), Kebutuhan (Needs), dan Potensi Beban dan Manfaat.

3) Cantumkan rumusan kesimpulan akhir pada lembar berita acara dan ditandatangani bersama oleh ketiga pihak dalam Trilateral Meeting.

(31)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 28 28

BAB V

SOSIALISASI DAN FASILITASI

REFORMASI REGULASI DI DAERAH

Secara umum, penyelenggaraan sosialisasi dan fasilitasi reformasi regulasi di daerah terlaksana dengan baik. Kerjasama antara Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan dengan Biro Hukum di propinsi mitra penyelenggara terbangun dengan baik. Masing-masing dapat memahami berbagai persoalan yang berkaitan dengan keadaan regulasi yang dihadapi, termasuk konsekuensi yang diakibatkannya. Masing-masing juga menyepakati perlunya membangun sistem regulasi nasional yang sederhana dan tertib. Untuk itu penyelenggaraan reformasi regulasi harus dilakukan agar lebih mampu mendorong terselenggaranya dinamika sosial dan penyelenggaraan negara secara lebih baik.

V.1. Permasalahan Umum Regulasi di Daerah

Secara umum, permasalahan regulasi di daerah kunjungan tidak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Diantara berbagai permasalahan regulasi yang terungkap, antara lain adalah:

a. Tidak ada kesatuan regulasi di tingkat pusat.

Kesatuan regulasi merupakan elemen fundamental di dalam suatu negara kesatuan. Kesatuan regulasi tersebut terintegrasi ke dalam ‘Sistem Regulasi Nasional’. Sistem Regulasi Nasional tersebut tersusun secara tertib menurut hirarki regulasi sebagamana diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari perspektif hirarki regulasi di dalam negara kesatuan, regulasi di daerah adalah bagian dari sistem regulasi nasional dan merupakan derivasi dari regulasi yang lebih tinggi, baik dari aspek kewenangan pembentukannya maupun dari aspek substansi yang diatur. Oleh karena regulasi yang lebih rendah tidak diperkenankan untuk bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, maka regulasi yang lebih tinggi harus sederhana dan tertib sehingga tidak membingungkan para pembentuk hukum pada tingkat yang lebih rendah (peraturan daerah).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, keluhan yang pada umumnya diajukan oleh daerah adalah tiadanya kesatuan regulasi di tingkat pusat sehingga menyulitkan daerah dalam hal menemukan referensi dalam rangka pembentukan regulasi daerah. Tiadanya kesatuan regulasi tersebut antara lain tercermin dari banyaknya regulasi yang tumpang tindah dan inkonsisten antara yang satu dengan yang lain, baik secara vertikal maupun secara horizontal, disamping itu terdapat regulasi yang perumusannya dilakukan dengan kurang hati-hati sehingga mengakibatkan terjadinya penafsiran berbeda atau multi tafsir. Keadaan regulasi sebagaimana

(32)

Laporan AkhirKoordinasiStrategisReformasiRegulasiTahun2012 29 29

tersebut di atas dan di tingkat pusat merupakan hambatan utama bagi daerah, baik dalam hal pembentukan regulasi daerah maupun dalam hal melakukan tindakan konkrit lain dalam rangka pelayanan publik.

b. Ketidakjelasan Pemegang Otoritas Manajemen Regulasi.

Ketidakjelasan pemegang otoritas manajemen regulasi merupakan salah satu masalah utama yang harus diselesaikan. Dalam kaitan ini, penyelesaian regulasi tingkat pusat perlu diutamakan karena pada dasarnya sebagian besar regulasi daerah adalah derivasi dari regulasi tingkat pusat. Oleh karena itu, satu otoritas tunggal untuk mengelola regulasi diperlukan di tingkat pusat. Otoritas tunggal tersebut seharusnya diberikan wewenang untuk menjaga kualitas regulasi, baik di tingkat pusat maupun regulasi daerah.

Di dalam struktur pemerintah, sesungguhnya terdapat Kementerian Hukum dan HAM yang berdasarkan Pasal 23 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, diklasifikasikan sebagai kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa khusus regulasi tidak dinyatakan secara khusus dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut, sehingga ketidakjelasan institusi yang mengelola regulasi berlangsung terus sampai sekarang.

c. Pemahaman akan Sistem Regulasi Nasional dam Komunikasi Regulasi antara pusat dan Daerah.

Integrasi regulasi merupakan kunci penting bagi eksistensi suatu negara kesatuan, terutama dengan wilayah yang sangat luas. Oleh karena itu, komunikasi antara pusat dan daerah, dalam konteks regulasi, adalah faktor determinan bagi terpeliharanya eksistensi sebuah negara. Untuk itu akses regulasi dari daerah ke pusat dan sebaliknya harus senantiasa terpelihara dengan baik. Hanya dengan komunikasi regulasi yang baik, maka struktur sistem regulasi nasional di dalam suatu negara kesatuan dapat terpelihara secara tertib, baik secara substantif maupun secara hirarkis.

Komunikasi regulasi dalam praktek penyelenggaraan negara selama ini berjalan tidak maksimal, seolah-olah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah terjebak pada dunianya sendiri. Masing-masing melupakan bahwa sejatinya mereka berada dalam satu bingkai yang sama, yang disebut sebagai sistem regulasi nasional. Pesan penting dari hal ini adalah perlunya peningkatan kesadaran dari para pembentuk regulasi, baik di tingkat pusat

Gambar

Gambar 3. Alur Operasionalisasi MAPP
Gambar 4. Perencanaan dan Penganggaran Pembentukkan Regulasi
Gambar 5. Diagram Proses Analisa Kerangka Regulasi Pusat
Gambar 6. Diagram Proses Analisa Kerangka Regulasi Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian menggunakan 2 skenario, yaitu full connected dan partial connected memberikan bukti bahwa konsep Ad Hoc sudah bekerja dengan baik dan memberikan nilai untuk

 bagian atau atau komponenyang komponenyang berkaitan berkaitan antara antara satu satu dengan dengan lainnya lainnya secara secara teratur teratur dan dan

[r]

(Sutadi, detikhealth). Dengan keterbatasan yang sedemikian itu seharusnya masih bisa dibantu oleh orangtua murid dalam penanganan ABK Autis, namun kenyataanya.. Khoiriyah dan

Agar kebijakan tersebut sesuai dengan permasalahan dan situasi aktual maka dilaksanakan pertemuan pengembangan kebijakan dan pedoman pelak- sanaan kegiatan program

pendidikan agama Islam dalam membentuk sikap religius siswa, dengan mendeskripsikan nilai-nilai religius yang ditanamkan guru pendidikan. agama Islam kepada siswa, dengan

Gerakan Attack, gerakan attack adalah gerakkan aba-aba untuk memulai lagu Gerakkan attack untuk intro orkestra lagu Hymne UNY ini dibuat dengan gerakkan keluar

Keuntungan atau kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar diakui pada Laporan Laba Rugi Komprehensif dan Ekuitas, kecuali untuk kerugian penurunan nilai,