BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang
melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai
Pasal 30 ayat 1(d) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, kejaksaan diberi wewenang melakukan penyidikan tindak
pidana korupsi, sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi landasan hukum
materiilnya di mana nilai kerugian negaranya tidak dibatasi.
Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi
dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, tidak menutup kemungkinan
melanggar hak-hak asasi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, oleh
karena itu negara melalui pengaturan dalam KUHAP memberikan sarana kepada
setiap orang yang ditangkap, ditahan dan merasa hak-hak asasinya dilanggar oleh
aparat penegak hukum dapat mengajukan perlawanan melalui Praperadilan di
Pengadilan Negeri di mana kedudukan hukum instansi itu berada. Bahkan
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28
yang terdapat dalam Pasal 77 KUHAP. Penegakan hukum tindak pidana korupsi
di Indonesia menunjukkan kemajuan pesat, hal itu terlihat dari banyaknya kasus
yang berhasil diungkap oleh aparat penegak hukum dari waktu ke waktu.
Berikut ini merupakan data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yang menyajikan tentang penanganan korupsi berdasarkan jenis
perkara. Jenis perkara yang ditangani oleh KPK di antaranya adalah korupsi
Pengadaan Barang/Jasa, Perijinan, Penyuapan, Pungutan, Penyalahgunaan
Anggaran, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan Merintasi Proses KPK.
Data yang diperoleh tersebut disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabulasi Data Penanganan Korupsi oleh KPK
Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2010-2016(per 30 April 2016)
Jenis Tindak
Pidana 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Jumlah
Pengadaan
Barang/Jasa 16 10 8 9 15 14 6 78
Perijinan 0 0 0 3 5 1 0 9
Penyuapan 19 25 34 50 20 38 25 211
Pungutan 0 0 0 1 6 1 1 9
Penyalahgunaan
Anggaran 5 4 3 0 4 2 0 13
TPPU 0 0 2 7 5 1 0 15
Merintasi
Proses KPK 0 0 2 0 3 0 0 5
Jumlah 40 39 49 70 58 57 32 340
Sumber: http://acch.kpk.go.id/statistik
Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui bahwa jenis korupsi yang
banyak dilakukan oleh para koruptor adalah jenis korupsi penyuapan. Tercatat
terakhir. Hal ini menyebabkan jumlah keseluruhan kasus korupsi yang ditangani
oleh lembaga KPK mencapai 340 kasus sampai dengan bulan April 2016.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan
tindak pidana yang lain, di antaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang
untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana
telah disebutkan dalam alinea pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi
logis dari predikat yang diletakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra
ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang
luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara dan bangsa.
Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana
alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya
mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat
merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia (Nyoman Sarekat Putra Jaya, 2008:
69).
Masing-masing daerah dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain. Penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi memiliki tingkat kesulitan tersendiri, resiko
tersendiri hingga strategi tersendiri yang perlu dipahami, dicermati dan
dilaksanakan secara profesional. Apabila penegakan hukum dijalankan secara
korupsi seperti KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian akan dapat berakibat lepas
atau bebasnya pelaku tindak pidana korupsi dari jeratan hukum.
Secara konseptual, Satjipto Rahardjo merumuskan pengertian penegakan
hukum sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24). Oleh karena itu bukan saja
keinginan hukum dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja yang akan diwujudkan, namun disisi
lain ada hak-hak orang lain yang harus dilindungi oleh hukum.
Penegak hukum dalam menjalankan tugasnya oleh undang-undang diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan berupa upaya paksa yang pada
prinsipnya merupakan pengurangan-pengurangan hak asasi manusia. Setiap
aparat dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum tidak terlepas
dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban masyarakat
justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak
ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu untuk menjamin perlindungan
terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur suatu lembaga
Praperadilan, pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengawasan
horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak
hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan, di
samping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya
Praperadilan bukan merupakan lembaga pengadilan tersendiri, tetapi hanya
merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP
kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini (M. Yahya Harahap,
2003: 1).
Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 butir 10jo Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa, Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)dinyatakan bahwa:
1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan;
Berdasarkan pasal di atas, tercermin bahwa Praperadilan merupakan
lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri yang mempunyai
tujuan untuk melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya
paksa terhadap tersangka oleh penyidik dan penuntut umum. Pengawasan yang
dimaksud adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum
melaksanakan wewenang yang ada padanya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak
sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi tersangkaatau
keluarganya, sebagai akibat dari tindakan menyimpang yang dilakukan oleh
aparat pengak hukum dalam melaksanakan tugasnya, ia berhak mendapat ganti
kerugian dan rehabilitasi.
Beberapa ahli dan praktisi hukum Indonesia menilai apa yang diatur dalam
KUHAP tentang pranata praperadilan masih kurang luas cakupannya. Mereka
menilai bukan hanya penangkapan dan penahanan saja yang merupakan upaya
paksa dan penyanderaan, akan tetapi ada hal lain merupakan bentuk upaya paksa
dan penyanderaan yaitu Penetapan Status Tersangka. Penetapan Status Tersangka
dianggap masih kurang pengawasan dan berpotensi terjadi kesewenang-wenangan
oleh aparat penegak hukum. Penetapan Status Tersangka dinilai merupakan
penyanderaan dalam bentuk status, dimana seseorang yang ditetapkan sebagai
tersangka ruang gerak dan karier politiknya menjadi terbatas dengan kata lain
membatasi hak-hak asasi seseorang. Oleh karena antara lain hal-hal tersebut
Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 huruf a, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat(1)
jo Pasal 184 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi, kemudian melalui persidangan
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal
28 April 2015, yang amar putusannya sebagai berikut :
Mengadili :
Menyatakan :
1.Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal
dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana;
1.2Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepannjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan; 1.4Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentan
Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan.
Kasus hukum praperadilan yang terjadi pada tahun 2015 yang menjadi
sorotan publik salah satunya adalah praperadilan yang terjadi di Pengadilan
Negeri Slawi. Pemohon praperadilan Sudaryono adalah mantan Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Tegal, pemohon praperadilan Sudaryono menilai
penetapan status tersangka atas dirinya adalah tidak sah dan tidak berdasar atas
hukum. Oleh karena itu pemohon praperadilan Sudaryono melalui kuasa
hukumnya berdasar atas putusan Mahkamah Konstitusi dan apa yang sudah diatur
dalam KUHAP tentang praperadilan, mengajukan praperadilan atas penetapan
dirinya sebagai tersangka tersebut di Pengadilan Negeri Slawi dengan Kepala
Kejaksaan Negeri Slawi sebagai pihak Termohon.
Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti termotivasi untuk meneliti dan
menulis penelitian hukum yang berjudul “PERAN LEMBAGA
PRAPERADILAN DALAM MENGUJI KEABSAHAN TINDAKAN
PENYIDIK KEJAKSAAN PADA PENANGANAN TINDAK PIDANA
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diambil suatu
perumusan masalah sebagai berikut ;
1. Bagaimana peran lembaga praperadilan dalam menguji keabsahan tindakan
penyidik kejaksaan pada penanganan tindak pidana korupsi pada Putusan No.
02/Pid.Prap/2015/PN.Slw.?
2. Bagaimana pertimbangan hakim pada Putusan No. 02/Pid.Prap/2015/PN.Slw.
dalam mengabulkan permohonan pemohon praperadilan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran lembaga praperadilan dalam menguji keabsahan
tindakan penyidik kejaksaan pada penanganan tindak pidana korupsi pada
Putusan No. 02/Pid.Prap/2015/PN.Slw.
2. Untuk menganalisis pertimbangan hakim pada Putusan No.
02/Pid.Prap/2015/PN.Slw. dalam mengabulkan permohonan pemohon
praperadilan.
D. Manfaat Penelitian
A. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan pencerahan
bagi civitas akademika fakultas hukum Universitas Muhammadiyah
Purwokerto dan masyarakat pada umumnya.
B. Manfaat Praktis
a. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana S1.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi aparat