• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.43/PUU-XIII/2015 TENTANG PROSES REKRUTMEN HAKIM TINGKAT PERTAMA TANPA MELIBATKAN KOMISI YUDISIAL - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.43/PUU-XIII/2015 TENTANG PROSES REKRUTMEN HAKIM TINGKAT PERTAMA TANPA MELIBATKAN KOMISI YUDISIAL - repository perpustakaan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Profesi hukum mempunyai peranan penting dalam rangka mewujudkan pengayoman hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam masyarakat. Peranan tersebut harus sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam negara hukum). Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing harus senantiasa menyadari bahwa dalam proses pemberian pengayoman hukum, harus saling isi mengisi demi tegaknya hukum, kemudian keadilan dan kebenaran yang sesuai dengan jiwa negara yang bersifat integralistik dan kekeluargaan (Arief Sidharta, 2004:18).

(2)

Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga-lembaga yang telah ditentukan oleh undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sisi kelembagaan, perubahan UUD 1945 melahirkan dua lembaga di lingkungan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, dan Komisi Yudisial sebagai lembaga terkait dengan keberadaan Mahkamah Agung (Janedri M. Gaffar, 2012:145).

Pada dasarnya perubahan Undang-undang Dasar 1945 secara langsung telah menjamin adanya kemandirian kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat dimengerti karena lembaga peradilan bertugas mengadili dan memutus suatu perkara, dan dengan kebebasan peradilan itu diharapkan hakim dapat menangani setiap perkara secara objektif dan menentukan putusan sesuai keadilan masyarakat. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim” (Bambang Arumanadi, 1990:83).

(3)

Review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Termasuk diantaranya, putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD (Ahmad Kamil, 2012: 196).

Dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, proses dan putusan yang diambil badan peradilan ini terhadap perkara-perkara yang menjadi wewenangnya dapat dilakukan secara lebih baik karena ditangani oleh badan peradilan yang khusus menangani perkara-perkara yang telah diatur pelaksanaannnya oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (A.M Fatwa, 2009:144).

Adanya permohonan pengujian UU No.49 tahun 2009, UU No.50 tahun 2009 dan UU No. 51 tahun 2009 terhadap Undang-undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh pengurus pusat IKAHI kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Komisi Yudisial terkait keterlibatan Komisi Yudisial dalam rekrutmen hakim. Dalam gugatannya tersebut IKAHI mempersoalkan ketentuan yang mengatur kewenangan Komisi Yudisial untuk mengangkat hakim karena dianggap akan mengganggu independensi hakim. Dalam petitumnya, mereka berharap agar kata “bersama” dan frasa “dan komisi

yudisial” dalam Pasal 14 ayat (2) di masing-masing UU yang digugat diputus

(4)

tersebut dan diputus pada tanggal 26 Agustus 2015 dan dibacakan pada rapat pleno pada hari Rabu tanggal 7 Oktober 2015. Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak lagi memiliki kewenangan melakukan seleksi hakim. Pada tafsir Mahkamah Konstitusi oleh karena melihat frasa “wewenang lain” dalam Pasal

24B Ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dimaknai sebagai suatu pemberian kewenangan “lain” kepada Komisi Yudisial dalam hal ini adalah seleksi

hakim.

Di dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa yang dimaksud hakim

adalah “ hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan

tersebut”. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bisa diindikasikan

(5)

memupuskan angan-angan Komisi Yudisial untuk terlibat lebih jauh dalam proses seleksi hakim di tiga lingkungan peradilan

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56811a92f17c8/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-2015).

Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukan kewajiban menegakan hukum,

kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Jimly Asshiddiqie, 2015:159).

Hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum disuatu negara. Dalam artian, hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum disuatu negara. Oleh karena itu, apabila hakim disuatu negara memiliki moral yang rapuh maka wibawa hukum di negara tersebut akan lemah atau terperosok (Supriadi, 2006:114).

(6)

disebabkan oleh persoalan moral. Isu mafia peradilan, kolusi, suap, dan sebagainya sebenarnya lebih banyak terjadi dalam perkara-perkara yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan eksekutif, tetapi dalam perkara-perkara umum (Antonius Sudirman, 2007:96).

Hakim sebagaimana merupakan wakil Tuhan di dunia. Adagium itu sejalan dengan kemuliaan hakim untuk menegakan keadilan dan kebenaran. Profesi ini paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara di ruang sidang pengadilan apa pun tingkatannya. Karena tugas profesi ini sangat mulia, maka

predikat “Yang Mulia” juga ada pada mereka. Hakim sebagai instrumen

utama dari kontrol sosial. Moral menaruh perhatian pada kebaikan atau keburukan dari suatu sifat atau watak, atau benar dan salah yang berkiatan dengan tingkah laku manusia, sumber dan isi dari kewajiban-kewajiban moral dalam agama (Satjipto Rahardjo,1984:76).

Kedudukan hakim menjadi sangat strategis, urgen serta mulia dikarenakan hakim mengemban amanat sebagai “Penyambung Titah Allah

S.W.T dan Rasul Nya di muka bumi” dan juga menggali nilai-nilai yang hidup

di tengah-tengah masyarakat. Dalam kerangka yang demikian itu, maka peran hakim menjadi strategis, hakim tidak hanya mengerjakan pekerjaan rutinnya memutus perkara, tetapi juga senantiasa melakukan “refleksi teoritis” dan

“abstraksi empiris” secara terus menerus sehingga dapat melahirkan “ijtihad”

(7)

dalam piramida penegak hukum, melampaui profesi jaksa, polisi, advokat, dan panitera. Di Indonesia jabatan hakim sebagai suatu profesi, yang memiliki kode etik. Kode etik tersebut merupakan hasil keputusan bersama ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/1V/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dijadikan dasar perilaku dan tindakan profesi hakim. Kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim (Wildan Suyuti Mustofa, 2003:33).

Kehadiran Komisi Yudisial di dalam sistem kehakiman di indonesia

bukanlah sekedar “Assessories” demokrasi atau kegenitan proses

pembaharuan hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur kekuasaan, termasuk di dalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman (Bambang Widjojanto, 2009:111).

(8)

pemeriksaan, dan rekomendasi penjatuhan sanksi. Sepanjang tahun 2016, Komisi Yudisial telah menerima laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sejumlah 3.581 kasus. Jumlah pelanggaran tersebut mengalami peningkatan yang signifikan. Data pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1

Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Tembusan Tahun 2016

No Jenis Laporan Jumlah

1 Laporan Masyarakat Yang Dilaporkan Langsung ke Kantor Komisi Yudisial

262 2 Laporan Masyarakat Yang disampaikan via

Pos

1198

3 Informasi 36

4 Laporan yang disampaikan via Kantor Penghubung

186

Jumlah Laporan Masyarakat Yang Diterima 1682

5 Surat Tembusan 1899

Total Penerimaan Laporan dan Tembusan 3581

Sumber : Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2016

(9)

bersama rekrutmen yang kredibel. Jika memperhatikan cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035 dalam website Mahkamah Agung halaman 52 sampai 57 disebutkan bahwa Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial mempersiapkan diri untuk membentuk panitia bersama dalam merekrut hakim-hakim tingkat pertama sesuai dengan Undang-undang kekuasaan kehakiman dan UU No.49 tahun 2009, UU No.50 dan UU No.51 tahun 2009 (Gayus Lumbun,2015).

Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen jelas menyebutkan kewenangan Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Artinya di sini proses perekrutan dan seleksi hakim yang melibatkan Komisi Yudisial dapat ditranformasikan sebagai implementasi dari apa yang telah diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen, karena dasar pemikirannya adalah melihat figur-figur hakim. Perekturan hakim idealnya tetap melibatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal dan kontrol dalam sub sistem struktur hukum, karena merupakan aplikasi dari prinsip check and balances (Tony SJ,2015).

Hal ini menarik untuk dilakukan suatu kajian secara hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan menggunakan metode-metode tertentu yang diakui kebenarannya secara ilmiah dan kemudian diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademis maupun praktis.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan proses rekrutmen hakim dan melakukan

(10)

KONSTITUSI NO.43/PUU-XIII/2015 TENTANG PROSES REKRUTMEN HAKIM TINGKAT PERTAMA TANPA MELIBATKAN KOMISI

YUDISIAL”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK No 43/PUU-XIII/2015 tentang proses rekrutmen hakim tingkat pertama tanpa melibatkan Komisi Yudisial?

2. Bagaimana proses rekrutmen hakim tingkat pertama yang seharusnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam mendukung terwujudnya hakim yang berkualitas?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memperoleh ilmu pengetahuan dan pembelajaran tentang pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK No 43/PUU-XIII/2015 tentang proses rekrutmen hakim tingkat pertama tanpa melibatkan komisi yudisial.

2. Mengetahui proses rekrutmen hakim tingkat pertama yang seharusnya dilaksanakan Mahkamah Agung dalam mendukung terwujudnya hakim yang berkualitas.

D. Manfaat Penelitian

(11)

a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kalangan mahasiswa umumnya dan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum pada khususnya sebagai referensi yang tertarik terhadap kajian ini.

b. Memberikan manfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum khususnya mengenai proses rekrutmen hakim tingkat pertama pasca putusan MK.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi dan pemahaman tentang permasalahan yang diteliti.

Gambar

Tabel 1 Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Tembusan Tahun 2016

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan jasa pelayanan tambahan untuk memuaskan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Pada PT Sarigading juga melayani konsumen lewat telepon apabila ada

Bahagian pertama kajian berkenaan pengujian aktiviti antikulat ekstrak etanol sirih menggunakan kaedah resapan cakera pada empat kepekatan yang berbeza (5, 25, 50, 100

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama

Pada aplikasi 1: Gambar 1, 2 dan 3 dapat dilihat Pada aplikasi 2: Gambar 4, 5 dan 6 dapat dilihat bahwa prosentase kematian larva Aedes aegypti pada bahwa prosentase

Pembuatan perencanaan dapat dilakukan dengan cara tertulis, akan tetapi hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar (97,2 persen) responden di kota dan

mencapai ketangkasan yang besar dengan spesialisasi. 3) Karena seseorang tidak dapat menegrjakan dua hal pada saat yang sama. 4) Karena bidang pengetahuan dan keahlian

Tenaga kerja (TK) adalah orang yang bekerja pada sentra industri pengolahan makanan dan minuman (industri kecil menengah) yang ada di Kecamatan Batu yang

Berbeda dengan jumhur ulama baik dari golongan Syafi’iyah, Malikiyah maupun Hanbaliyah mereka berpendapat bahwa tambahan hukum terhadap nash yang sudah ada, tidak