BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Landasan Teori Penelitian
2.2.1 Teori Sinyal (Signaling Theory)
Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di
luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan
pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan
keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat
ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup
suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Salah satu jenis
informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat menjadi signal
bagi pihak di luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah
laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan
dapat berupa informasi akuntansi yaitu informasi yang berkaitan
dengan laporan keuangan dan informasi non-akuntansi yaitu informasi
yang tidak berkaitan dengan laporan keuangan. Laporan tahunan
hendaknya memuat informasi yang relevan dan mengungkapkan
informasi yang dianggap penting untuk diketahui oleh pengguna
laporan baik pihak dalam maupun pihak luar. Untuk mengurangi
dimiliki baik informasi keuangan maupun non keuangan
(Sharpe, 1997 dan Ivana 2005 dalam Butar, 2011).
Salah satu informasi yang wajib diuangkapkan oleh perusahaan
adalah informasi tentang non performing financing, dimana bank akan sangat memperhatikan resiko non performing financing karena mengingat sebagian besar bank memberikan kredit pada bisnis
utamanya, dengan adanya pemberian informasi Non performing Financing (NPF) pihak eksternal dapat mengetahui kondisi bank yang baik atau yang buruk, karena Non Performing Financing (NPF) dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kelangsungan hidup suatu bank.
1.2Telaah Pustaka
1.2.1 Bank Umum Syariah
Menurut UU RI nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998
tentang perbankan, yang dimaksud bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Bank Islam atau yang disebut bank syariah, adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank ini usaha
pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam (Perwataatmadja dan
Antonio 2001 dalam Mutaminah dan Chasanah 2012).
Bank Syariah adalah sistem perbankan dalam Ekonomi Islam
didasarkan pada konsep pembagian baik keuntungan maupun kerugian
artinya siapa yang ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, juga
harus bersedia mengambil risiko. Bank-bank syariah dikembangkan
berdasarkan prinsip yang tidak membolehkan pemisahan antara hal
yang temporal (keduniaan) dan keagamaan. Prinsip ini mengharuskan
kepatuhan kepada syariah sebagai dasar dari semua aspek kehidupan.
Kepatuhan ini tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi transaksi
bisnis pun harus sesuai dengan ajaran syariah. Bank Islam menolak
bunga sebagai biaya untuk penggunaan uang dan pinjaman sebagai
alat investasi (Popita, 2013).
Menurut peraturan bank Indonesia nomor 6 tahun 2004 pasal 2
tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, memberikan definisi bahwa bank umum syariah
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah perseroan
terbatas atau PT. Dalam buku yang berjudul Manajemen Bank
Syari’ah, secara garis besar hubungan ekonomi berdasarkan syariah
Islam tersebut di tentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari lima
ditemukan produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan
lembaga keuangan bukan bank syariah untuk dioperasionalkan.
Kelima konsep tersebut adalah : (1) sistem simpanan, (2) bagi hasil,
(3) margi keuntungan, (4) sewa, (5) jasa (fee). Kegiatan utama
perbankan syariah tersebut harus menggunakan prinsip dasar bank
syariah yang ditetapkan, yaitu: Mudharabah, Musyarakah, Wadi’ah,
Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Qardh, Rahn, Hiwalah/Hawalah,
dan Wakalah (Ihsan, 2011 dalam mutaminah dan chasanah, 2012)
1.2.2 Non Performing Financing (NPF) pada Bank Syariah
Risiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali
cicilan pokok atau bunga dari pinjaman yang diberikannya dan atau
investasi yang sedang dilakukannya. Suatu kredit dinyatakan
bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu menghadapi risiko
yang dtimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit didefinisikan
sebagai risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam tidak
dapat dan tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali
dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau
sesudahnya (Antonio 2001 dalam Mutaminah dan Chasanah 2012).
Sebagian besar bank melakukan pemberian kredit sebagai bisnis
utamanya. Saat ini, sejarah menunjukkan bahwa risiko kredit
merupakan kontributor utama yang menyebabkan kondisi bank
memburuk, karena nilai kerugian yang ditimbulkannya sangat besar
menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari
besarnya non performing financing (NPF). Non performing financing (NPF) adalah rasio antara pembiayan yang bermasalah dengan total
pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Dalam praktik
perbankan sehari-hari, pembiayaan bermasalah adalah
pembiayaan-pembiayaan yang kategori kolektabilitasnya masuk dalam kriteria
pembiayaan kurang lancar, pembiayaan diragukan, dan pembiayaan
macet. NPL atau NPF adalah kredit yang kategori kolektibilitasnya di
luar kolektibilitas kredit lancar dan kredit dalam perhatian khusus
(Leon dan Ericson 2007 dalam Poetry dan Sanrego 2011). Pada bank
syariah istilah Non Performing loan (NPL) diganti Non Performing Financing (NPF) karena dalam syariah menggunakan prinsip pembiayaan. NPF merupakan tingkat risiko yang dihadapi bank. NPF
adalah jumlah kredit yang bermasalah dan kemungkinan tidak dapat
ditagih. Semakin besar nilai NPF maka semakin buruk kinerja bank
tersebut. (Mutaminah dan Chasanah 2012). Perhitungan Non Performing Financing (Menurut peraturan BI), sebagai berikut :
NPF
Satuan yang digunakan pada variabel Non Performing Financing (NPF) yaitu berupa persentase %.
1.2.3 Faktor NPF Bank Syariah
pembiayaan. Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap
kondisi aset bank dang kecukupan manajemen risiko kredit. Menurut
peraturan Bank Indonesia nomor 6 tahun 2004 tentang sistem
penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Syariah, semakin
tinggi nilai NPF (di atas 5%), maka bank tersebut tidak sehat.
Non performing financing (NPF) pada dasarnya disebabkan oleh faktor Eksternal dan Internal. Kedua faktor tersebut tidak dapat
dihindari karena saling berkaitan dan mempengaruhi kegiatan usaha
bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor Eksternal
a. Gross Domestic Product
Gross Domestic Product (GDP) artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh
sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka
waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat
digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke
waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian
pada suatu saat. Ada dua tipe GDP, yaitu :
1. GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu
nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara
dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang
2. GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai
barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam
suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada
suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan
untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada
tahun-tahun lain (McEachern 2000 dalam Mutaminah
dan chasanah, 2012).
Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator dari pertumbuhan ekonomi yang merupakan ukuran
penting dalam menjelaskan kinerja ekonomi yang secara
langsung merupakan kinerja dari pelaku ekonomi yang
menyediakan barang dan jasa termasuk industri perbankan.
Dalam penelitian ini variabel GDP merupakan data
mentah yang diperoleh berupa data nominal, yaitu data
yang dihitung berdasarkan harga yang berlaku pada saat
itu dan bukan merupakan murni berasal dari peningkatan
produksi barang dan jasa, sehingga pada pengolahan harus
diubah menjadi data riil yang digunakan adalah dalam
bentuk pertumbuhan GDP. Perhitungan Variabel GDP
sebagai berikut (Popita, 2013) :
GDP
Keterangan:
GDPt-1 = GDP tahun sebelumnya
Satuan yang digunakan pada variabel Gross Domestic
Product yaitu berupa persentase (%). b. Kurs
Kurs adalah harga dalam negeri dari mata uang luar negeri atau mata uang asing. Nilai tukar mata uang asing
terhadap mata uang Indonesia menggambarkan kestabilan
ekonomi di negara Indonesia (Mutaminah dan Chasanah,
2012).
Kurs atau nilai tukar adalah harga dari mata uang luar
negeri. Kenaikan nilai tukar (kurs) mata uang dalam negeri
disebut apresiasi atas mata uang (mata uang asing lebih murah,
hal ini berarti nilai mata uang asing dalam negeri menigkat).
Penurunan nilai tukar (kurs) disebut depresiasi mata uang
dalam negeri (mata uang asing menjadi lebih mahal, berarti
mata uang dalam negeri merosot) (Dornbusch, et.al 2008 dalam
Kewal 2012). Perhitungan Variabel Kurs sebagai berikut :
KURS =
x 100%
Keterangan :
KURSt
=
Kurs pada tahun ke-tSatuan yang digunakan pada variabel Kurs yaitu
berupa persentase (%).
c. Inflasi
Inflasi secara umum merupakan naiknya harga
barang dan jasa sebagai akibat jumlah uang
(permintaan) yang lebih banyak dibandingkan jumlah
barang atau jasa yang tersedia (penawaran). Inflasi akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi baik secara makro
maupun mikro termasuk kegiatan investasi. (Mutaminah
dan Chasanah, 2012).
Inflasi merupakan peningkatan tingkat harga umum
dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus
menerus dari waktu ke waktu. Pertumbuhan jumlah uang
yang melebihi pertumbuhan sektor riil inilah yang
menyebabkan terjadinya inflasi karena mengakibatkan
daya beli uang selalu menurun, dan kecenderungan
pemberian pinjaman secara berlebihan, padahl disisi lain
keadaan seperti ini mengakibatkan pengguna dana
mengalami kesulitan dalam pengembalian dana.
Sehingga bank syariah bersikap hati-hati dalam pemberian
dana (Rahmawulan 2008 dalam Popita, 2013). Perhitungan
Variabel Inflasi sebagai berikut :
Laju Inflasi =
Keterangan :
IHKt = Inflasi pada tahun ke-t
IHKt-1 = Inflasi pada tahun sebelumnya
Satuan yang digunakan pada variabel Kurs yaitu
berupa persentase (%).
2. Faktor Internal
a. Financing Deposit Ratio (FDR)
Financing Deposit Ratio adalah rasio yang digunakan
untuk mengukur komposisi jumlah pembiayaan yang
diberikan dibandingkan jumlah dana pihak ketiga yang
digunakan (Kasmir 2008 dalam Paramita 2012).
Financing Deposito Ratio (FDR) menyatakan seberapa
jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan
dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit
yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya (Popita, 2013)..
Perhitungan variabel FDR sebagai berikut:
FDR =
x 100%
Satuan yang digunakan pada variabel Financing
Deposit Ratio yaitu berupa persentase (%). b. Profit Loss Sharing (PLS)
Profit Loss Sharing (PLS) diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil
sharing (PLS) terdiri dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah di mana pembiayaan pembiayaan profit loss sharing tergolong pembiayaan yang memiliki risiko tinggi terhadap kredit bermasalah. Mudharabah merujuk pada bentuk kerjasama usaha antara dua belah pihak. Pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh modal, dan pihak
lainnya menjadi pengelola dana (mudharib) sedangkan
musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha tertentu. Masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan
keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan (Arifin, 2000 dalam Muchlis, 2011).
Nasution dan Wiliasih (2007) dalam Mutaminah dan
Chasanah (2012) mengembangkan variabel rasio return profit loss sharing (PLS) dibanding return total pembiayaan. Variabel ini dikembangkan sebagai instrument untuk
melihat sejauh mana keseriusan bank dalam mencegah
terjadinya moral hazard dengan tingkat rasio NPF sebagai indikatornya. Variabel ini cermin kebijakan tingkat
kehati-hatian. Perhitungan variabel RR adalah sebagai berikut:
RR : Rasio return Pembiayaan Profit Loss Sharing (PLS) terhadap retun total financing (pembiayaan)
RPls : jumlah pendapatan pembiayaan PLS (mudharabah dan
musyarakah)
RF : jumlah seluruh pendapatan pembiayaan
4. Halim
Bank Umum Syariah adalah lembaga keuangan yang mempunyai
tugas memberikan pelayanan seperti pembiayaan, jasa-jasa pembayaran
prinsip syariat Islam. Pada bank umum syariah mempunyai produk-
produk perbankan syariah seperti tabungan, giro, deposito, pembiayaan
murabahah, salam, rahn, ishtina, pembiayaan mudharabah, pembiayaan
musyarakah. Adanya produk-produk dalam perbankan syariah ini, akan
menimbulkan risiko- risiko pada setiap masing-masing produk. Salah satu
risiko yang akan timbul pada pembiayaan bermasalah perbankan syariah
yaitu Non Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah. Non
Performing Financing (NPF) atau pembiayaan bermasalah merupakan
kredit bermasalah yang terdiri dari kredit berklasifikasi kurang lancar,
diragukan dan macet. Penyebab terjadinya NPF atau pembiayaan
bermasalah terjadi akibat faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
H1 (-)
H2 (-)
H3 (+)
H4(+)
H5(-)
2.5 Hubungan antara variabel Independen terhadap Variabel Dependen 2.5.1 Hubungan Gross Domestic Product (GDP) terhadap Non
Performing Financing (NPF)
Gross Domestic Product (GDP) artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang
berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya
satu tahun. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil maka Kurs
Inflasi
konsumsi masyarakat juga stabil sehingga tabungan juga akan
stabil (sesuai dengan teori Keynes). Tetapi manakala perekonomian
mengalami krisis, maka konsumsi akan meningkat dikarenakan harga
barang yang naik dan kelangkaan barang di pasar serta menurunkan
tingkat tabungan masyarakat karena adanya kekhawatiran terhadap
lembaga perbankan. Peningkatan konsumsi yang diiringi dengan
menurunnya investasi dan tingkat GDP riil maka mengindikasikan
penurunan dalam memproduksi barang dan jasa (Popita, 2013).
Gross Domestic Product (GDP) digunakan untuk mengukur semua barang dan jasa yang dihasilkan dalam
perekonomian suatu negara dalam periode tertentu. Kaitan GDP
dengan kredit bermasalah, dalam kondisi resesi (terlihat dari
penurunan GDP) dimana terjadi penurunan penjualan dan
pendapatan perusahaan, maka akan mempengaruhi kemampuan
perusahaan dalam mengembalikan pinjamannnya. Hal ini akan
menyebabkan bertambahnya outstanding kredit tidak lancar . Sementara itu ketika GDP meningkat maka NPF menurun, sebab saat
ekonomi makro meningkat kemampuan nasabah dalam memenuhi
kewajibannya (capability to pay-back) meningkat sehingga NPF
menurun (Mutaminah dan Chasanah, 2012).
Hasil penelitian Popita (2013), Mutaminah dan Chasanah
H1 : Gross domestic product (GDP) berpengaruh negatif terhadap non
performing financing (NPF).
2.5.2 Hubungan Kurs terhadap Non Performing Financing (NPF)
Kurs mata uang asing adalah harga dalam negeri dari mata uang luar negeri atau mata uang asing. Nilai tukar mata uang
asing terhadap mata uang Indonesia menggambarkan kestabilan
ekonomi di negara Indonesia. Penguatan nilai tukar rupiah, semakin
kuat rupiah semakin bagus perekonomian nasional di negara ini.
Perubahan kurs mata uang juga akan sangat berpengaruh pada kelancaran usaha nasabah (Hendri, 2011 dalam Mutaminah dan
Chasanah, 2012).
Jika terjadi kenaikan tingkat nilai tukar rupiah terhadap dollar
menjadikan produk dalam negeri menjadi lebih kompetitif karena
harga barang dan jasa dalam negeri menjadi lebih rendah daripada
harga barang pada negara lain. Harga barang dan jasa dalam negeri
relatif rendah akan meningkatkan permintaan permintaan luar negeri
akan barang dan jasa dalam negeri. Penjualan dalam negeri meningkat
dan kondisi keuangan masyarakatpun membaik. Dengan demikian,
kenaikan nilai tukar akan membantu nasabah dalam mengembalikan
kredit atau pembiayaannya (Poetry dan sanrego, 2011).
Hasil penelitian Poetry dan Sanrego (2011), menunjukan
H2 : Kurs berpengaruh negatif terhadap non performing financing (NPF).
2.5.3 Hubungan Inflasi terhadap Non Performing Financing (NPF) Inflasi merupakan peningkatan tingkat harga umum
dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus
dari waktu ke waktu. Pertumbuhan jumlah uang yang melebihi
pertumbuhan sektor riil inilah yang menyebabkan terjadinya
inflasi karena mengakibatkan daya beli uang selalu menurun, dan
kecenderungan pemberian pinjaman secara berlebihan, padahal
disisi lain keadaan seperti ini mengakibatkan pengguna dana
mengalami kesulitan dalam pengembalian dana. Sehingga bank
syariah bersikap hati-hati dalam pemberian dana.(Popita, 2013).
Inflasi secara umum didefinisikan naiknya harga barang
dan jasa sebagai akibat jumlah uang (permintaan) yang lebih
banyak dibandingkan jumlah barang atau jasa yang tersedia
(penawaran).Inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi baik
secara makro maupun mikro termasuk kegiatan investasi. Inflasi
juga menyebabkan penurunan daya beli masyarakat yang
berakibat pada penurunan penjualan. Penurunan penjualan yang
terjadi dapat menurunkan return perusahaan. Penurunan return yang terjadi akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam
membayar angsuran kredit. Pembayaran angsuran yang semakin
terjadi kredit macet sehingga meningkatkan angka non performing financing (Taswan, 2006 dalam Mutaminah dan Chasanah, 2012).
Hasil penelitian Mutaminah dan Chasanah (2012), Linda et
al (2015), menunjukan bahwa Inflasi berpengaruh positif terhadap
NPF.
H3 : Inflasi berpengaruh positif terhadap non performing financing (NPF)
2.5.4 Hubungan Financing Deposit Ratio (FDR) terhadap Non Performing Financing (NPF)
Financing Deposit Ratio (FDR) menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana
yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang
diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi FDR
menunjukan semakin besar pula dana pihak ketiga yang
dipergunakan untuk penyaluran kredit, yang berarti bank telah
mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Di sisi
lain FDR yang terlampau tinggi dapat menimbulkan resiko
likuiditas bagi bank, menerangkan bahwa FDR mempengaruhi
penawaran kredit yang dilakukan oleh pihak bank. Semakin
tinggi nilai FDR suatu bank, maka pihak bank akan
menurunkan jumlah penawaran kredit yang dilakukan. Sehingga
dari Popita (2013), menunjukkan bahwa FDR secara parsial
berpengaruh positif terhadap NPF.
H4 : Financing Deposit Ratio berpengaruh positif terhadap non performing financing (NPF)
2.5.5 Hubungan Profit Loss Sharing (PLS) terhadap Non Performing Financing.
Profit Loss Sharing (PLS) dibanding return total pembiayaan (RR) merupakan gambaran perbandingan antar
pendapatan yang dihasilkan oleh pembiayaan profit loss sharing dengan return total pembiayaan. Tingkat risiko model–model pembiayaan dalam bank syariah berdasarkan persepsi bank,
menempatkan model pembiayaan profit loss sharing pada posisi pembiayaan paling berisiko dibanding model pembiayaan lainnya.
Pembiayaan profit loss sharing (PLS) tergolong pembiayaan yang memiliki risiko tinggi terhadap kredit bermasalah. Jadi jika
return pembiayaan profit loss sharing meningkat maka akan menurunkan kredit bermasalah atau non performing financing. Adanya komitmen dan keprofesionalisan dari pihak bank untuk
Hasil Penelitan dari Mutaminah dan Chasanah (2012),
Popita (2013), menunjukkan bahwa variabel PLS berpengaruh
negatif terhadap NPF.