• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah transplantasi secara tersurat pun tidak terdapat dalam nash al-quran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masalah transplantasi secara tersurat pun tidak terdapat dalam nash al-quran"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

P

ENDAHULUAN

M

asalah transplantasi secara tersurat pun tidak terdapat dalam nash al-Quran

tentang hukum melakukan praktek ini. Transplantasi yaitu pencangkokan organ tubuh atau pengalihan organ tubuh yang sehat kepada organ tubuh yang sakit atau tidak berfungsi. Berkaitan dengan transplantasi berkaitan dengan organ penting seperti jantung dan ginjal hukumnya adalah tidak dibolehkan, karena organ tersebut pun sangat penting untuk kelangsungan hidup orang yang mendonorkan. Eutahanasia pada hakikatnya adalah tindakan pembunuhan terhadap diri sendiri. Sehingga praktek euthanasia adalah haram dalam pandangan Islam. Adapun tindakan untuk tidak berusaha melakukan penyembuhan terhadap penyakit yang dikenal dengan istilah euthanasia pasif para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan masalah ini. Ada ulama yang membolehkan dan ada juga yang mengharamkannya.

Sedangkan musik dan nyanyian menjadi suatu yang selalu terdengar di telinga kita, bagaimana Islam memandang hukum mendengarkan musik dan nyanyian ini. Terlebih musik dan nyanyian ini sering membawa halusinasi kita kepada perbuatan maksiat. Para ulama pun telah bersepakat bahwa musik atau nyanyian yang mengantarkan kepada perbuatan maksiat itu hukumnya adalah haram.

Dalam Modul VII ini terdiri dari tiga kegiatan belajar: Kegiatan Belajar I : Masalah Transplantasi Organ Tubuh Kegiatan Belajar II : Masalah Euthanasia

Kegiatan Belajar III : Masalah Hukum Musik dan Nyanyian

MASALAH TRANSPLANTASI, EUTHANASIA

DAN MUSIK DAN NYANYIAN

/

/

/

/

/

7

/

(2)

MASALAH TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

I

NDIKATOR

K

OMPETENSI

D

ASAR

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mengetahui pengertian transplantasi

2. Mengetahui hukum transpalantasi organ tubuh

3. Mengetahui hukum Islam tentang jual-beli organ vital manusia 4. Menjelaskan transpalantasi yang dibolehkan dan diharamkan 5. Menjelaskan kebolehan mendonorkan darah untuk kemanusiaan 6. Menjelaskan pencangkokan organ binatang najis ke tubuh manusia

P

ETUNJUK

B

ELAJAR

Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini: 1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik

dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.

2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain yang berkaitan dengan isi modul.

3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.

4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul. 5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan

belajar.

6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci jawaban yang sudah disediakan.

7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat menjawab pertanyaan dengan benar.

M

anusia merupakan makhluk yang paling sempurna, namun kesempurnaan tersebut

tidak harus manusia selalu sehat, terkadang manusia harus sakit, pada saat manusia sakit, ada organ manusia yang tidak berfungsi atau disebabkan kelelahan. Oleh karena itu pada saat sakit, manusia diharuskan beristirahat untuk memulihkan organ tubuhnya. Jika penyakit tersebut tergolong mudah, maka dengan beristirahat akan sembuh. Tetapi jika penyakit tersebut tergolong penyakit yang parah karena salah satu organ tubuhnya tidak berfungsi seperti matanya tidak dapat lagi melihat, dengan beristirahat berapa lama pun tidak akan dapat melihat, jalan penyembuhannya adalah dengan menggantikan matanya dengan mata orang lain yang masih bagus. Inilah yang disebut dengan transplantasi (pencangkokan)

(3)

Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir memuat uraian mengenai eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli bedah Itali, pada tahun 1597 M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.

Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil mentransplantasikan jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun 1897 yang berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan, barulah terbuka pintu percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke manusia lain. Percobaan yang telah dilakukan terhadap binatang akhirnya berhasil, meskipun ia menghabiskan waktu cukup lama yaitu satu setengah abad. Pada tahun 1954 M Dr. J.E. Murray berhasil mentransplantasikan ginjal kepada seorang anak yang berasal dari saudara kembarnya yang membawa perkembangan pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi.

Tatkala Islam muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua negara adi daya Romawi dan Persia. Namun pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya. Selama ribuan tahun setelah melewati bantak eksperimen barulah berhasil pada akhir abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Nabi saw. negara Islam telah memperhatikan masalah kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berupaya menjamin kesehatan dan pengobatan bagi seluruh rakyatnya secara cuma-cuma. Ada beberapa dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita. Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) “bahwa kakeknya

‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai membau (membusuk), maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas”. Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah meriwayatkan

dari Waqid bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman (bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).

Pada periode Islam selanjutnya berkat doktrin Islam tentang urgensi kedokteran mulai bertebaran karya-karya monumental kedokteran yang banyak memuat berbagai praktek kedokteran termasuk transplantasi dan sekaligus mencuatkan banyak nama besar dari ilmuwan muslim dalam bidang kesehatan dan ilmu kedokteran, diantaranya adalah; Al-Rozy (Th.251-311 H.) yang telah menemukan dan membedakan pembuluh vena dan arteri disamping banyak membahas masalah kedokteran yang lain seperti, bedah tulang dan gips dalam bukunya Al-Athibba.

(4)

Lebih jauh dari itu, mereka bahkan telah merintis proses spesialisasi berbagai kajian dari suatu bidang dan disiplin. Az-Zahrawi ahli kedokteran muslim yang meninggal di Andalusia sesudah tahun 400-an Hijriyah telah berhasil dan menjadi orang pertama yang memisahkan ilmu bedah dan menjadikannya subjek tersendiri dari bidang Ilmu Kedokteran. Beliau telah menulis sebuah buku besar yang monumental dalam bidang kedokteran khususnya ilmu bedah dan diberi judul “At-tashrif”.

Buku ini telah menjadi referensi utama di Eropa dalam bidang kedokteran selama kurang-lebih lima abad dan sempat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk bahasa latin pada tahun 1497 M. Dan pada tahun 1778 M. dicetak dan diterbitkan di London dalam versi arab dan latin sekaligus. Dan masih banyak lagi nama-nama populer lainnya seperti Ibnu Sina (Lihat, Dr.Mahmud Alhajj Qasim, Atthibb ‘indal ‘arab wal muslimin hal: 105, Al-Ward, Mu’jam ‘Ulama al-A’rab I / 144). Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Seperti donor mata, ginjal dan jantung. Donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keindahan alam ciptaan Allah ini, ataupun orang yang buta karena penyakit. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Robert Woworuntu dalam bukunya Kamus Kedokteran dan Kesehatan (1993:327) berarti : Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari transplantation (trans-+.plantare: menanam] berarti : penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun transplant berarti : 1. mentransfer jaringan dari satu bagian ke bagian lain. 2. organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain. Jadi, menurut terminologi kedokteran “transplantasi” berarti; “suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain”. Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang dipindah disebut graft atau transplant; pemberi transplant disebut donor; penerima transplant disebut kost atau resipien.

Ada tiga tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahan sendiri, yaitu:

1. Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap) baik terhadap pendonor maupun terhadap si penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan karena penolakan resipien dan sekaligus untuk mencegah resiko bagi pendonor.

2. Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan segera meninggal. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus.

3. Donor dalam keadaan mati, tipe ini merupakan tipe ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.

(5)

H

UKUM

T

RANSPLANTASI

Hukum masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu: Pertama: Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua: Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yang dirinci lagi menjadi dua persoalan yaitu: A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain baik yang masih hidup maupun sudah mati, dan B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang najis/haram.

Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha : 126 ).

Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.

Kasus Pertama: Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:

1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/ organ. Karena kaidah hukum Islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh

dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.

2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjualbelikan.

3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.

(Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)

Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa alasan diantaranya: dapat merusak fisik luar manusia, mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup dan transplantasi ini tidak dinilai darurat, serta dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menurunkan sifat genetis. (Ensiklopedi Kedokteran Modern, edisi bahasa Arab III/ 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)

(6)

Adapun masalah penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati yang kondisinya benar-benar telah mati secara devinif dan medis. Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi:9-12 dan berdasarkan kaedah fiqih diantaranya: “Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin “, “Dasar pengambilan hukum adalah tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya.”

Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam internasional yang berkomperten membolehkan praktek transplantasi jenis ini diantaranya konperensi OKI (Malaysia, April 1969 M ) dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan, Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (Mekkah, Januari 1985 M.), Majlis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan Panitia Tetap Fatwa Ulama dari negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan;

1. Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit 2. Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat.

3. Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ). Demikian pula negara Kuwait (menurut SK Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam no.97 tahun 1405 H. ), Mesir. (SK. Panitia Tetap Fatwa Al-Azhar no. 491), dan Al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972)

Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek tersebut diantaranya: Abdurrahman bin Sa’di ( 1307-1367H.), Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa Alqobarih ), Jadal Haq (Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh II/530 ), DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR. Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Alasan mereka membolehkannya berdasarkan pada; (1) ayat al-Qur’an yang membolehkan mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. (QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3, Al-An’am:119,145, (2) anjuran al-Qur’an untuk merawat dan meningkatkan kehidupan (QS. Al-Maidah: 32.), (3) ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam (QS.2:185, 4:28, 5:6, 22:78), (4) hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan. (5) Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku ‘itsaar’ tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya.(QS. 95:9) (6) Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.

Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat kita lihat dua kasus yaitu;

Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak

(7)

termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.

Kasus Kedua: Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai

binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu surat Al Maidah: 3. “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173 (Majma’ Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : III/138 ).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Donor Orang yang masih hidup

Terkadang dan tidak banyak orang yang hidup sehat ingin menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang yang memerlukan, umpamanya karena hubungan keluarga. Ada juga karena motif ekonomi, seseorang menjual organ vital tubuhnya seperti ginjal kepada orang yang membutuhkan dengan harga yang sangat tinggi. Seperti subur di negara kita ini yang menjual organ tubuhnya kepada pihak asing dengan biaya yang sangat tinggi.

Dalam kasus tersebut, Islam memandang bahwa manusia harus menjaga dan menghormati organ vital dalam tubuhnya dengan tidak menyerahkan kepada orang lain apalagi ditukar dengan sejumlah uang. Karena hal itu merupakan organ yang sangat penting dan tidak ada seorang manusiapun mampu menciptakan organ tersebut. Jika manusia menyerahkan organ tersebut, berarti membuat kecelakaan bagi dirinya sendiri sebagaimana firman Allah Swt:







...





“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah:195)

Apapun bentuk organ tubuh yang akan didonorkan baik mata, ginjal dan jantung tidak dibenarkan melakukannya walaupun demi kemanusiaan, karena organ mata, ginjal dan jantung sampai saat ini manusia tidak mampu membuatnya. Karena bila ginjal si pendonor tidak berfungsi lagi, maka dia sukar untuk ditolong, jadi sama halnya, menghilangkan suatu penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si pendonor, sesuai denan kaidah.

“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang lain”

Begitu juga kaidah lain:

(8)

Dengan demikian hukum transplantasi dari orang yang hidup tidak dibolehkan, karena seolah-olah pendonor ingin mempercepat kematiannya, dan berarti pula mendahului kehendak Allah, jika para dokter yang melakukan proses transplantasi seolah-olah mereka menyuntik mati para pendonor.

2. Hukum Donor orang yang koma

Adapun hukum pencangkokan mata, ginjal, atau jantung dari donor dalam keadaan koma atau hampir meninggal dalam Islam tidak dibolehkan, dengan alasan:

a. Hadit Nabi riwayat Malik dari Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim:

“Tidak boleh membuat kerusakan pada dirinya dan tidak boleh pula membuat kerusakan pada orang lain.”

b. Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya. Karena itu, mansia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk mengurangi/ menghentikan penderitaan si pasien.

3. Hukum Donor orang yang sudah mati

Hukum donor (mata, ginjal dan jantung) dari orang yang sudah meninggal tidak menyalahi ketentuan agama Islam, dengan syarat ahli warisnya mengizinkan dan membolehkannya atau terlebih dahulu ada wasiat untuk diambil organ tubuhnya dan diberikan kepada orang yang membutuhkannya. Hal ini didasarkan kepada alasan sebagai berikut:

a. Memberikan organ tubuh kepada orang yang lebih membutuhkan untuk kehidupannya adalah perbuatan yang terpuji, daripada organ tubuh tersebut rusak dikan cacing-cacing tanah dalam kubur.

b. Merupakan tindakan kemanusiaan yang sangat dihargai oleh Islam sebagaimana firman Allah Swt:

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS.

Al-Maidah:32).

c. Menghilangkan penderitaan orang lain, baik sakit jantung, ginjal maupun buta, diperintahkan oleh Islam, apakah dengan cara pengobatan atau dengan cara pencangkokan organ tubuh, sesuai dengan kaidah hukum Islam:

“Bahaya (kemudharatan) dapat dihilangkan”

Menurut akal sehat pun, sebenarnya mengakui dan mendukung alasan-alasan di atas, sebab penyembuhan orang yang sakit itu ditempuh dengan cara mengambil organ tubuh dari orang (mayit) yang tidak memerlukan lagi organ tersebut.

Tetapi ada sebagian ulama yang menolak kebolehan transplantasi sekalipun dari orang yang sudah mati. Mereka menganggap bahwa hal itu merusak dan

(9)

menyakiti mayat. Mereka berargumen dengan firman Allah Swt:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam...” (QS. Al-Israa:70).

Juga didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya memecahkan tulang mayat, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu hidup. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Menurut ulama yang membolehkan mendonorkan organ tubuh dari mayit bahwa hadits di atas adalah larangan mematahkan tulang mayit, memotong-motong tubuh mayit dan merusaknya sedangkan mengambil organ yang dibutuhkan itu dilakukan dengan mengoperasi dengan penuh perhatian dan penghormatan seperti yang dilakukan pada orang yang hidup.

Hal ini didukung oleh perkataan Sayidina Umar ra kepada sebagian sahabat berkaitan dengan masalah ini “itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudaraat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya.”

Berkaitan dengan perselisihan tersebut di atas, M. Ali Hasan berpendapat bahwa transplantasi itu tidak ada unsur merusak atau menyakiti mayat, tetapi semata-mata kemaslahatan, membantu orang lain dan tidak ada sedikit pun unsur penghinaan. Sehingga hukum transplantasi dari orang yang sudah mati adalah dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu seperti ada izin dari ahli warisnya atau ada izin dari pendonor sewaktu hidupnya.

J

UAL

B

ELI

O

RGAN

T

UBUH

Jual beli organ tubuh dengan alasan apapun tidak dibenarkan dalam Islam, karena organ tubuh adalah pemberian Allah yang sangat berharga yang jika dijual kepada orang lain, maka sulit untuk diperoleh lagi. Semua organ yang ada pada manusia, tidak ada seorang pun yang mampu menciptakan serupa dengannya. Oleh karena itu, organ tersebut harus dipelihara dan dijaga agar tetap utuh berfungsi sebagaimana biasanya.

Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan transplantasi bukan berarti mereka juga membolehkan memperjualbelikan organ tubuh, karena jual beli itu adalah tukar menukar harta secara sukarela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli.

Sebenarnya, telah ada UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang mengatur pelarangan komersialisasi organ tubuh manusia. Dalam Pasal 33 Ayat (2) disebutkan, transplantasi organ tubuh dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp300 juta.

(10)

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan pengertian transplantasi?

2. Jelaskan hukum Islam tentang transplantasi?

3. Jelaskan hukum Islam tentang jual-beli organ tubuh manusia?

4. Jelaskan hukum Islam tentang transplantasi dari tubuh hewan yang najis seperti babi?

5. Jelaskan dalil naqli tetang diharamkannya transplantasi organ tubuh yang vital?

1. Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Seperti donor mata, ginjal dan jantung. 2. Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian

donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.

3. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratan seperti Tidak membahayakan kelangsungan hidup pendonor, harus dilakukan oleh pendonor den gan suk arela ta npa paksaan dan tidak boleh diperjualbelikan. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. Dan Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.

4. Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati yang kondisinya benar-benar telah mati dan organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi:9-12.

5. Jual beli organ tubuh dengan alasan apapun tidak dibenarkan dalam Islam, karena organ tubuh adalah pemberian Allah yang sangat berharga yang jika dijual kepada orang lain, maka sulit untuk diperoleh lagi. Semua

(11)

Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat!

1. Pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup dan sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik, disebut:

A. Euthanasia C. Inseminasi

B. Tranplantasi D. Kloning

2. Hukum tranplantasi dari organ yang mengakibatkan kematian pendonornya adalah:

A. Mubah C. Makruh

B. Haram D. Sunah

3. Hukum tranplantasi dari organ yang tidak mengakibatkan kematian pendonornya adalah:

A. Mubah C. Makruh

B. Haram D. Sunah

4. Hukum tranplantasi dari hewan yang diharamkan adalah:

A. Mubah C. Makruh

B. Haram D. Sunah

5. Syarat dibolehkan tranplantasi dari organ yang tidak mengakibatkan kematian pendonornya adalah: kecuali

A. Tidak membahayakan diri pendonor B. Dilakukan dengan sukarela

C. Tidak dikomersialkan D. Dilakukan dengan terpaksa

6. Syarat dibolehkan tranplantasi dari orang yang sudah meninggal adalah: A. Tidak membahayakan diri pendonor

B. Dilakukan dengan sukarela C. Ada izin dari ahli warisnya D. Dilakukan dengan terpaksa

7. Dalil diharamkannya tranplantasi dari organ yang menyebabkan kematian pendonornya adalah:

A. QS. al-Baqarah: 190 C. QS. Ali Imran:190

B. QS. al-Baqarah: 195 D. QS. Ali Imran:195

organ yang ada pada manusia, tidak ada seorang pun yang mampu menciptakan serupa dengannya. Oleh karena itu, organ tersebut harus dipelihara dan dijaga agar tetap utuh berfungsi sebagaimana biasanya.

(12)

8. Kaidah yang menyatakan bahwa menolak kemafsadatan harus didahulukan daripada mengambil manfaat:

9. Undang-undang kesehatan yang melarang komersialisasi organ tubuh terdapat pada:

A. UU No. 22/1992 C. UU No. 22/1993

B. UU No. 23/1992 D. UU No. 23/1993

10. Kaidah yang menyatakan bahwa kemudharatan dapat dihilangkan adalah:

Cocokkan jawaban Anda dengan menggunakan kunci jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir bahan belajar mandiri ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Rumus :

Jumlah jawaban Anda yang benar

Tingkat penguasaan = ______________________________ X 100 % 10

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai : 90 % - 100% = Baik sekali

80 % - 89% = Baik 70% - 79 % = Cukup

< 70% = Kurang

Apabila tingkat penguasaan Anda telah mencapai 80 % atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar selanjutnya. Bagus ! Tetapi apabila nilai tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80 %, Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai.

(13)

MASALAH EUTHANASIA

I

NDIKATOR

K

OMPETENSI

D

ASAR

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mengetahui hukum Islam tentang euthanasia

2. Mengetahui perbedaan euthanasia aktif dan pasif 3. Mengetahui dalil keharaman euthanasia

4. Mengetahui pandangan ulama Islam tentang euthanasia

P

ETUNJUK

B

ELAJAR

Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini: 1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik

dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.

2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain yang berkaitan dengan isi modul.

3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.

4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul. 5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan

belajar.

6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci jawaban yang sudah disediakan.

7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat menjawab pertanyaan dengan benar.

K

ehidupan dan kematian adalah hak perogatif Allah Swt, manusia tidak ada hak

untuk menentukan kematian dirinya sendiri, karena jiwa ini milik Allah dan manusia berkewajiban menjaga dan melindungi dari segala kerusakan dan kebinasaan. Oleh karena itu, Allah mengharamkan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt:





















































(14)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. al-Nisa: 29-30)

P

ENGERTIAN

E

UTHANASIA

Menurut ensiklopedia Indonesia, bahwah euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian (Utomo, 2003:177). Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan, 1995:145).

Pembagian Euthanasi

Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan pasif.

1. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).

2. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).

Sementara itu, secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama,

(15)

itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary euthanasia yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga, involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga pasien)

Hukum Euthanasi

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT







….



“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am:

151)



….



“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa: 92)









“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa: 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 177)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

(16)

Firman Allah SWT :  “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 177)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa‘i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Dengan demikian euthanasia tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keharaman eutahanasia aktif telah diperkuat oleh sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

“Tidak ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, “Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.”

(HR. Bukhari dan Muslim).

Keterangan hadits di atas menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk melakukan segala usaha penyembuhan dari segala penyakit yang dideritanya. Karena Allah menciptakan penyakit, Dia pula yang menciptakan obatnya. Maka berobatlah kalian” (HR. Ahmad dari Anas R.A).

Sedangkan hukum euthanasia pasif, yang dalam kasusnya adalah menghentikan pengobatan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.

Berkaitan dengan kasus tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan

(17)

berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) bahwa hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”

(An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya.

Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan

(18)

sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.

Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetapi tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak— hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Sebagaimana juga termuat dalam pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP tersebut, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya dan dikualifikasi sebagai tindak pidana yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan tindak pidana. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang pernah muncul di Indonesia (kasus Hasan Kusumua yang mengajukan suntik mati untuk isterinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan suntik mati untuk isterinya, Siti Zulaeha perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP.

Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas menyatakan: “Barangsiapa

sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP

menyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

(19)

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya pasal 304 dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) dinyatakan “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.” Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebbagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia. (http:// tittoarema.blogspot.com/2006.)

E

UTHANASIA DALAM

K

ODE

E

TIK

K

EDOKTERAN

I

NDONESIA

Kode etik kedokteran dalam pasal 2 dijelaskan bahwa “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan profesinya harus sesuai dengan ilmu kedokteran, hukum dan agama. Dalam pasal 7 juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan, mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),

Untuk memantapkan pemahaman Anda terhadap materi ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Jelaskan pengertian euthanasia?

2. Jelaskan hukum Islam tentang euthanasia pasif? 3. Jelaskan hukum Islam tentang euthanasia aktif? 4. Jelaskan euthanasia dalam kode etik kedokteran? 5. Jelaskan pendapat ulama tentang hukum berobat?

(20)

1. Euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti kematian. Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga yaitu tindakan mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

2. Dalam praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Dan Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. 3. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama, voluntary

euthanasia yaitu euthanasia yang yang dilakukan atas permintaan pasien

itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary

euthanasia yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang

tidak tega melihat keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga,

involuntary euthanasia yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa

persetujuan pasien atau keluarga pasien)

4. Haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Sedangkan hukum euthanasia pasif berkaitan dengan hukum berobat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika hukum berobat

(21)

Petunjuk: Pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling tepat!

1. Kata ‘eu’ dalam euthanasia memiliki arti:

A. Baik C. Pengobatan

B. Kematian D. Penyembuhan

2. Menghentikan pengobatan disebut dengan:

A. Euthanasia aktif C. Voluntary euthanasia

B. Euthanasia pasif D. Non voluntary euthanasi

3. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa hukum berobat adalah:

A. Sunnah C. Makruh

B. Wajib D. Haram

4. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri karena penderitaan yang sangat menyakitkan disebut dengan:

A. Voluntary euthanasia C. Involuntary euthanasia

B. Non voluntary euthanasia D. Euthanasia pasif

5. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan keluarga pasien, disebut:

A. Voluntary euthanasia C. Involuntary euthanasia

B. Non voluntary euthanasia D. Eunthanasia pasif

6. Orang yang melakukan euthanasia atas permintaan pasien diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun tercantum KUHP Pasal:

A. Pasal 340 C. Pasal 345

B. Pasal 344 D. Pasal 346

7. Berikut ini dalil diharamkan euthanasia aktif: kecuali:

A. QS. al-An’am:151 C. QS. al-Nisa:29

B. Qs. al-An’am 115 D. QS. al-Nisa:92

wajib, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) adalah haram. Tetapi jika hukum berobat sunnat, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) mubah atau boleh.

5. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan bahwa Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(22)

8. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani tercantum dalam kode etik dokter pasal:

A. Pasal 4 C. Pasal 6

B. Pasal 5 D. Pasal 7

9. Kaedah yang menyatakan pada dasarnya perintah itu menunjukkan adanya tuntutan.

10. Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum tercantum dalam KUHP pasal:

A. Pasal 354 C. pasal 356

B. Pasal 355 D. Pasal 357

Cocokkan jawaban Anda dengan menggunakan kunci jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir bahan belajar mandiri ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Rumus :

Jumlah jawaban Anda yang benar

Tingkat penguasaan = ______________________________ X 100 % 10

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai : 90 % - 100% = Baik sekali

80 % - 89% = Baik 70% - 79 % = Cukup

< 70% = Kurang

Apabila tingkat penguasaan Anda telah mencapai 80 % atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar selanjutnya. Bagus ! Tetapi apabila nilai tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80 %, Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum Anda kuasai.

(23)

HUKUM MUSIK DAN NYANYIAN

I

NDIKATOR

K

OMPETENSI

D

ASAR

Setelah mempelajari materi ini, diharapkan mahasiswa dapat:

1. Mengetahui pendapat ulama tentang hukum musik dan nyanyian 2. Mengetahui dalil naqli tentang musik dan nyanyian.

3. Mengetahui syarat-syarat keharaman musik.

P

ETUNJUK

B

ELAJAR

Untuk mempelajari modul ini hendaknya diterapkan bebarapa langkah berikut ini: 1. Mahasiswa mendengarkan serta menyimak sebagian isi modul ini dengan baik

dan dapat juga membaca secara keseluruhan isi modul.

2. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain yang berkaitan dengan isi modul.

3. Mahasiswa dapat memperbandingkan dan mendiskusikan isi modul dengan dosen dan dengan sesama mahasiswa lainnya.

4. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi modul. 5. Mahasiswa menjawab beberapa pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan

belajar.

6. Mahasiswa mengevaluasi pemahamannya pada isi modul dengan melihat kunci jawaban yang sudah disediakan.

7. Jika hasil evaluasi kurang dari yang semestinya, maka mahasiswa wajib mempelajari kembali isi modul sampai benar-benar mengerti dan dapat menjawab pertanyaan dengan benar.

Disebutkan dalam At Tarikh Al Kabir, Imam Bukhori bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka.”

Salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena kami (kaum muslimin) ketika

itu sedikit?”

Rasulullah menjawab: “Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak

(24)

terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian wahn.”

Seorang sahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan

wahn tersebut?”

Dijawab oleh Rasulullah: “Cinta kepada dunia dan takut (benci) kepada mati.” Keterangan hadits di atas menggambarkan bahwa kondisi hari ini, umat Islam semakin cinta terhadap dunia, terutama saat ini kita saksikan, banyak orang yang semakin cinta terhadap musik dan nyanyian, yang dengannya mereka terlena dan mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Tuhannya.

Musik dan nyanyian merupakan unsur seni yang banyak digemari orang, karena menghasilkan suatu keindahan dan menjadikan hati seseorang menjadi terhibur dan senang. Akhir-akhir ini musik dan nyanyian juga menjadi acara favorit media-media televisi baik disiarkan secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ironisnya, anak kecil pun bercita-cita menjadi penyanyi terbukti antusias anak-anak kecil Indonesia yang mengikuti kontes idola cilik yang disiarkan di stasiun tv swasta di Indonesia.

Musik dimata kebanyakan orang hanyalah sebagian dari seni dan budaya. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah sepi dari dan tak pernah hampa dari musik. Alhasil musik semakin lekat di tengah masyarakat dan kehidupan umat. Di banyak tempat, termasuk fasilitas umum, musik malah jadi konsumsi wajib tempat

cangkruknya kawula muda. Tak heran bila kemudian istilah full musik menjadi daya

tarik jualan tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan tempat ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, Pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ramai dengan lantunan musik Islami dalam anggapan mereka. Demikian fenomena musik di tengah kehidupan umat ini. dan telah membelenggu kehidupan mereka.

Musik dan nyanyian merupakan suatu masalah yang menimpa mayoritas umat manusia termasuk umat Islam. Mayoritas umat manusia dan juga umat Islam menyukai sesuatu yang indah dan merdu didengar. Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang semua itu diciptakan untuk manusia. Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur‘an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram

itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram‘ (HR Bukhari dan

Muslim).

Musik dan nyanyian terus berkembang seiring perkembangan zaman, lagu dan musik pada saat ini di adakan dalam berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio.

(25)

Mayoritas lagu-lagunya berbicara tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada problematika biologis, sehingga membangkitkan nafsu birahi terutama bagi kawula muda dan remaja. Pada tingkat selanjutnya membuat mereka lupa segala-galanya sehingga terjadilah kemaksiatan, zina dan dekadensi moral lainnya.

Lagu dan musik pada saat ini tak sekedar sebagai hiburan tetapi sudah merupakan profesi dan salah satu lahan untuk mencari rizki. Dari hasil menyanyi, para biduan dan biduanita bisa mem-bangun rumah megah, membeli mobil mewah atau berwisata keliling dunia, baik sekedar pelesir atau untuk pentas dalam sebuah acara pesta musik.

Tak diragukan lagi hura-hura musik sangat merusak dan banyak menimbul-kan bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta kolosal musik,selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil yang hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga korban meninggal dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski dengan harga tiket yang tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa mencari akal apapun yang penting bisa masuk stadion, akhirnya merusak pagar, memanjat dinding atau merusak barang lainnya demi bisa menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut. Jika pentas dimulai, seketika para penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak, menjerit histeris bahkan pingsan karena mabuk musik.

H

UKUM

M

USIK DAN

N

YANYIAN DALAM

I

SLAM

Sebelum membahas pendapat para ulama tentang musik dan nyanyian. Perlu dipahami sebelumnya, apakah musik dan nyanyian dalam Fiqh Islam termasuk kategori muamalah atau urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:

Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah).

Hal ini sesuai firman Allah SWT. :

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS

Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan sharih. Rasulullah saw. bersabda:

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya).

(HR Ad-Daruqutni).

Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim).

(26)

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik. Adapun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:

1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.

2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.

3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.

Madzhab Maliki, asy-Syafi’i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Adapun menurut asy-Syafi’i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya: “Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati”.

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Ada pandangan ulama lain bahwa musik dan nyanyian adalah haram dalam segala bentuknya. Karena musik dan nyanyian merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah SWT. Tak heran bila Allah SWT. Mengingatkan para hambanya dari fitnah ini, Sebagaimana dalam firman-Nya:















“Dan diantara manusia (ada) orang yang memepergunakan kata-kata untuk

menyesatkan (manusia) dari jalan Allahtanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”

(Luqman:6)

Ikrimah Syu’aib bin Yasar berkata: Aku berkata kepada Ikrimah tentang makna (lahwul hadist) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab Nyanyian (diriwayatkan Al- Bukhari dalam tarikhnya (2/2/217), Ibnu jarir dalam tafsirnya dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal 143)

(27)

Dalam Tafsir Al-Qur-anil ‘Azhim Al-Hafidz Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al-Qur’an. Kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.

Dalam firman Allah yang lain:





















Firman Allah SWT. : “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? dan kalian menertawakan dan tidak menangis? sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)

Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi”. termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah : Ibnu Abbas. Beliau berkata: “maknanya adalah nyanyian”. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur’an, maka mereka bernyanyi-nyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk yaman (dalam riwayat lain; bahas penduduk Himyar) (Diriwayatkan oleh ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata “Diriwayatlkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya Shahih.” (Majma’ Az-Zawa’id. 7/116)

Rasulullah SAW. Juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik Di antara sabda beliau SAW. Adalah :

“Benar - benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang pengembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kembali’ maka di malam harinya Allah SWT. Adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung ersebut kepada mereka tau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi sehingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam shahih-nya,

no.5590 dari sahabat Abu Amir (Abu MAlik) Al-Asy’ari)

Hadist ini Sahih. Pada yang al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadist tersebut: Hisyam bin Ammar berkata : “Tidaklah memudharatkan keshahihan hadist tersebut. Sebab al-Imam Al-Bukhari tidak dikenal sebagai seorang yang mudallis(yang menggelapkan hadist), sehingga hadist ini dihukumi bersambung sanadnya”.

Al-Albani berkata: Setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadist ini dan membantah pendapat yang berusaha membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa setelah penjelasan ini melemahkan hadist ini, maka dia adalah orang-orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi SAW: “Tidak masuk ke dalam Syurga, orang yang dalam hatinya ad

kesombongan walaupaun seberat semut.” (HR-Muslim)(At-tahrim, hal 39)

Hadist Anas Bin Malik, Bahwa Rasulullah bersabda : “Dua suara yang terlaknat

di dunia dan akhirat: Seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika mendapat musibah” (HR. Al-Bazzar adlam musnad-nya, Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam

Referensi

Dokumen terkait

Maka bisa dikemukakan tujuan dari adanya penelitian ini yakni untuk meningkatkan hasil belajar pada ranah kognitif dan pada ranah psikomotorik siswa menggunakan

Pada sistem pendingin refrigeran methanol selisih temperatur ruangan terbaik terjadi pada laju aliran massa 0.68 L/m dengan nilai yang lebih kecil yaitu 0.36°C. Selisih

Bentuk Pelarungan Sesaji dalam upacara Baritan di Desa Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang meliputi: pembuatan ancak/jolen yaitu sebuah kapal yang

Pola Angin Dari analisa pola angin tanggal 19 Februari 2018 jam 00 UTC terlihat adanya Badai Tropis KELVIN (990hPa) di Australia atau di sebelah selatan Rote, hal ini

Secara umum pengembangan masyarakat (community development) dalam bahasa Arab disebut tathwirul mujtama’ il-islamy adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara

Untuk mempermudah langkah-langkah yang harus diperlukan dalam suatu penelitian, diperlukannya suatu alur yang dijadikan acuan agar peneliti tidak keluar dari ketentuan