A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Seseorang dikatakan dalam keadaan sehat apabila orang tersebut mampu menjalani perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, sehingga memungkinkan orang tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Namun kenyataannya selama ini sehat selalu diidentikkan dengan keadaan seseorang secara fisik saja bukan secara keseluruhan.
memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan
kestabilan emosional (Videbeck, 2008).
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia dengan sifat
serangan penyakit bisa bersifat akut dan bisa juga bersifat kronis atau
menahun. Maramis (2004) menyebutkan penderita gangguan jiwa dengan
usia dibawah 20 tahun sekitar 10%, terjadi pada rentang usia 20-40 tahun
sekitar 65%, dan terjadi pada usia diatas 40 tahun sekitar 25%.
Gangguan jiwa memang tidak menyebabkan penderita mengalami
kematian secara langsung, namun akan menimbulkan beban bagi penderita,
keluarga penderita maupun masyarakat. Selain mengenai biaya perawatan
dan hilangnya waktu produktif, penderita dan keluarga cenderung
dikucilkan oleh orang lain. Oleh karena itu, penanganan yang paling tepat
bagi penderita gangguan jiwa dilakukan secara holistic atau menyeluruh,
tidak sekedar penderita gangguan jiwa meminum obat saja namun meliputi
pengobatan yang lain seperti terapi psikologis, terapi psikoreligius, dan
terapi psikososial yang melibatkan berbagai pihak sehingga tidak terjadi
peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa (Hawari, 2007).
Hasil studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
menyebutkan dalam kurun waktu tiga tahun, sejak 2005 hingga 2007
diketahui sedikitnya ada 50.000 orang Indonesia yang melakukan bunuh
terdapat sebanyak 12-16% atau sekitar 26 juta dari 260 juta penduduk
Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Data tersebut menggambarkan
tingginya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia oleh karena itu
diperlukan adanya peran serta dari berbagai pihak khususnya rumah sakit
dalam menangani masalah gangguan jiwa ini (Ardani, 2007).
Di Indonesia berdasarkan Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk terdapat 185 penduduk yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2007, prevalensi masalah mental emosional yakni depresi dan ansietas ada sebanyak 11,60 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24.708.000 jiwa. Kemudian prevalensi gangguan jiwa berat yakni psikosis ada sekitar 0,46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 1.065.000 juta jiwa, dan diperkiraan saat ini jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan ditiap tahunnya (Teguh, 2011).
1.540.000 angka penderita 277.200 (Admin, 2011). Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa di Desa Kedondong sendiri dari jumlah total masyarakat desa sebanyak 3077 orang terdapat 15 orang menderita gangguan cacat fisik, dan 12 orang yang mengalami gangguan jiwa dan cacat mental (Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa, 2009). Dan menurut Ny. S dan Tn. D (komunikasi personal, 11 Desember 2012) penderita gangguan jiwa tersebut sebagian besar dikurung diruangan tertentu bahkan terkadang diikat tangannya jika penderita tersebut sedang mengamuk. Masyarakat beranggapan bahwa mengurung atau mengikat merupakan cara termudah dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.
Tingginya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang bervariasi tergantung pada jenis-jenis gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan baik dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu itu sendiri. Beberapa hal lain yang menjadi penyebab adalah keterbatasan fasilitas yang ada, rendahnya kesadaran masyarakat, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa itu sendiri, dan adanya beberapa stigma atau pandangan mengenai gangguan jiwa ini (Hawari, 2001).
hingga abad ke-19 gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena pelanggaran sosial atau agama, kurang minat atau semangat dan pelanggaran norma sosial. Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dikucilkan dari masyarakat “normal” (American Psychiatric Association dalam Videbeck, 2008). Karena hal tersebut, penanganan klien gangguan jiwa di masyarakat menjadi salah. Sebagai contoh, di masyarakat terdapat keluarga yang melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi.
B. Rumusan Masalah
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Seseorang dikatakan dalam keadaan sehat apabila orang tersebut mampu menjalani perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, sehingga memungkinkan orang tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Kesehatan meliputi berbagai aspek bukan hanya secara fisik melainkan secara spiritual, sosial, dan mental. Kesehatan secara mental ini salah satunya adalah bebas dari gangguan jiwa.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat Desa Kedondong terhadap penderita gangguan jiwa di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan.
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan, persepsi, dan sikap
masyarakat Desa Kedondong tentang gangguan jiwa.
c. Menganalisis faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat
Desa Kedondong terhadap penderita gangguan jiwa.
d. Menganalisis pengaruh tingkat pengetahuan, persepsi, dan sikap
masyarakat mengenai gangguan jiwa dengan penerimaan masyarakat
terhadap gangguan jiwa di Desa Kedondong.
e. Menganalisis faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan
penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa di Desa Kedondong.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
peneliti tentang sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan sebagai pengalaman bagi peneliti dalam menghadapi penderita pasien
jiwa dilingkungan masyarakat. 3. Bagi Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini di
bidang keperawatan jiwa tentang penderita gangguan jiwa dan sebagai upaya untuk menambah kelengkapan kepustakaan.
E. Penelitian Terkait
Berdasarkan hasil penelusuran jurnal yang telah dilakukan peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu tentang “Analisis Faktor-Faktor Penerimaan
Masyarakat Terhadap Penderita Gangguan Jiwa di Desa Kedondong Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas”. Namun demikian, peneliti
menemukan beberapa penelitian yang hampir serupa, antara lain:
1. Kurihara, dkk. (2000) meneliti tentang “Public Attitudes Towards the Mentally Ill: a Cross-cultural Study Between Bali and Tokyo”, dimana
perbandingan) dengan responden sebanyak 77 orang responden di Bali dan 66 orang sebagai responden di Tokyo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Bali memiliki sikap yang lebih positif terhadap gangguan jiwa apabila dibandingkan dengan sikap masyarakat Tokyo dengan skor rata-rata 20,8 dengan standar deviasi 2,96. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada analisa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.
2. Angermeyer dan Matschinger H. (2003) melakukan penelitian tentang “The Stigma of Mental Illness: Effect of Labelling on Public Attitudes Towards People with Mental Disorder” dengan tujuan untuk mengetahui
3. Kermode, dkk. (2009) melakukan penelitian dengan judul “Community Beliefs About Causes and Risks for Mental Disorder: a Mental Health
Literacy Survey in a Rural Area of Maharashtra, India”. Tujuan
dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menilai pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penyebab dan resiko gangguan jiwa di daerah pedesaan di Maharashtra, dan untuk menilai prevalensi terhadap kemungkinan terkena gangguan mental secara umum. Metode yang digunakan adalah cross-sectional dengan membagikan kuesioner kepada 240 orang masyarakat dan 60 orang petugas kesehatan desa, dan didapatkan hasil bahwa menurut masyarakat penyebab paling umum dari gangguan jiwa adalah faktor sosial-ekonomi, sedangkan untuk resiko gangguan jiwa menurut masyarakat lebih besar kepada perempuan usia sedang, pengangguran, dan masyarakat miskin.
4. Adilamarta (2011) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat dengan Penerimaan
Masyarakat Terhadap Individu Yang Menderita Gangguan Jiwa di
Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo
Padang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat dengan penerimaan masyarakat
terhadap individu yang menderita gangguan jiwa di Kelurahan Surau
Gadang wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang tinggi
mengenai gangguan jiwa, namun lebih dari sebagian masyarakat memiliki
menerima keberadaan penderita gangguan jiwa tersebut. Untuk hubungan
antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan penerimaan masyarakat
terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa tidak bermakna,
sedangkan untuk hubungan sikap masyarakat dengan penerimaan penderita