• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut French, Rogers dan Cobb (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan stres kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut French, Rogers dan Cobb (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan stres kerja"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Stres Kerja

2.1.1.Pengertian Stres Kerja

Menurut French, Rogers dan Cobb (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan stres kerja sebagai berikut :

“a misfit between a person’s skill and abilities and demands of the job misfit in term of person’s needs supplied by the job environment “. Kemudian bersama Van Harrison dan Pinneau (1975) mereka mengubah definisi itu menjadi “any characteristic of the job environment which process a threat to the individual.”

Dalam suatu kesempatan berbeda, Smith (dalam Wijono, 2010) mengemukakan bahwa konsep stres kerja dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu : pertama, stres kerja merupakan hasil dari keadaan tempat kerja. Contoh keadaan tempat bising dan ventilasi udara yang kurang baik. Hal ini akan mengurangi motivasi karyawan. Kedua, stres kerja merupakan hasil dari 2 faktor organisasi yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan organisasi. Ketiga, stres terjadi karena faktor “workload” juga faktor kemampuan melakukan tugas. Keempat, akibat dari waktu kerja yang berlebihan. Kelima, adalah faktor tanggung jawab kerja. Terakhir, tantangan yang muncul dari tugas. Kesimpulan stres kerja merupakan hasil yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas.

Dalam suatu kesempatan, Heilriegel dan Slocum (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa stress kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor utama, yaitu konflik, ketidakpastian, tekanan dari tugas serta hubungan dengan pihak manajemen. Jadi, stres kerja merupakan umpan balik atas diri karyawan secara fisiologis maupun psikologis terhadap keinginan atau permintaan

(2)

organisasi. Kemuadian, dikatakan pula bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor yang dapat memberi tekanan terhadap produktivitas dan lingkungan kerja serta dapat mengganggu individu tersebut. Stres kerja yang dapat meningkatkan motivasi karyawan dianggap sebagai stres yang positif (eustress). Sebaliknya, “Stressor” yang dapat mengakibatkan hancurnya produktivitas kerja karyawan dapat disebut sebagai stres negatif (distress).

Sementara itu, McGee, Goodson, dan Cashman (dalam Wijono, 2010) mendapati bahwa beberapa faktor yang menyebabkan pegawai mengalami stres kerja tetapi masih merasa puas terhadap pekerjaannya. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tugas yang mereka kerjakan penuh dengan tantangan dan menyenangkan hati mereka. Selain itu, terjadi komunikasi yang efektif diantara para anggota dalam organisasi tersebut. Mereka menunjukan bahwa ada kerja sama yang kondusif antara atasan dan karyawan. Selain itu, karyawan memandang para manajemen memberi keleluasaan yang besar terhadap diri mereka. Selanjutnya, McGee juga menemukan bahwa faktor internal individu yaitu kepribadian dan sifat yang dimiliki individu dapat memengaruhi kepuasan kerja dan stres kerja karyawan. Namun, hal tersebut ditentukan dari cara mengelola dan ditambah dengan adanya spesifikasi tugas yang jelas dapat memberi pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan.

Stres kerja yang dapat memengaruhi motivasi kerja mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan sosial. Individu mempunyai kecenderungan bertingkah laku dan bertindak menurut keinginan lingkungan sosial dan dipengaruhi oleh para anggota masyarakat di lingkungan sosial lainnya. Apabila masyarakat mengkehendaki keberhasilan para anggota yang ada dalam lingkungan sosial, maka mereka akan berusaha untuk bermotivasi dalam mencapai keberhasilan tersebut. Jadi, stres lingkungan sosial dan bukan stres kerja yang dapat memengaruhi individu untuk bermotivasi dalam mencapai keberhasilan (Wijono, 2010).

(3)

Selanjutnya, Caplan et al. (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa stres kerja mengacu pada semua karakteristik pekerjaan yang mungkin memberi ancaman kepada individu tersebut. Dua jenis stres kerja mungkin mengancam individu yaitu baik berupa tuntutan dimana individu mungkin tidak berusaha mencapai kebutuhannya atau persediaan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan individu tersebut.

Namun, Beehr dan Newman (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan bahwa stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi diantara manusia dengan pekerjan. Secara umum, stres didefinisikan sebagai rangsangan eksternal yang mengganggu fungsi mental, fisik dan kimiawi dalam tubuh seseorang. Sebaliknya, Selye (dalam Wijono, 2010) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu konsep yang terus-menerus bertambah. Ini terjadi jika semakin banyak permintaan, maka semakin bertamabah munculnya potensi stres kerja dan peluang untuk menghadapi ketegangan akan ikut bertambah pula.

Seorang individu mungkin mengalami gejala stres kerja positif seandainya mendapat kesempatan untuk naik jabatan atau menerima ganjaran (reward). Tetapi sebaliknya, jika dia merasa dihambat oleh berbagai sebab di luar control dalam mencapai tujuannya, maka dia akan mengalami gejala stres yang negative. Kemudian, Kahn dan Quin (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan bahwa stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan kerja yang negatif seperti konflik peran, kekaburan peran, dan beban kerja yang berlebihan dalam pekerjaan. Selanjutnya, Rubin dan McNeil (dalam Wijono, 2010) berpendapat bahwa rangsangan negatif dari lingkungan kerja dianggap sebagai penyebab stres eksternal dan tindakan secara emosional dan fisik sebagai penyebab stres internal.

Sementara itu, Keenan dan Newton (dalam Wijono, 2010) juga berpendapat stres kerja perwujudan dari kekaburan peran, konflik peran, dan beban kerja yang berlebihan. Kondisi ini

(4)

selanjutnya akan dapat mengganggu prestasi dan kemampuan individu untuk bekerja. Ivanceviech et al, (dalam Wijono, 2010) mengatakan bahwa pengalaman individu mengalami stres kerja dapat digambarkan melalui perbedaan antara faktor-faktor stres dari lingkungan eksternal yang disebabkan faktor internal, yaitu tingkah laku tipe A. Menurut Kavaganh, Hust dan Rose (dalam Wijono, 2010) stres kerja juga merupakan suatu ketidakseimbangan persepsi individu tersebut terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan.

Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis dan sikap individu (Wijono, 2010).

2.1.2.Stressor Psikologis

Pekerjaan sendiri tidak selalu sebagai satu-satunya sumber penyebab gangguan psikologis, tetapi dapat memengaruhi status kerentanan individu terhadap kegagalan tertentu di lingkungan pekerjaan yang penuh dengan stressor fisik, emosional, dan mental. Stessor fisik di tempat kerja, seperti bising, penerangan yang kurang memadai, temperatur ruangan yang terlalu tinggi, serta bahaya-bahaya kerja fisik lainnya. Bahaya kerja kimiawi, misalnya debu kerja yang berlebihan, atau bahaya kerja ergonomis, seperti meja kerja yang berlebihan, atau bahaya kerja ergonomis, seperti meja kerja yang terlalu tinggi/rendah, jangkauan yang jauh, bekerja dengan posisi janggal, dan lain- lain. Stressor emosional atau mental, dapat berupa kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan kondisi yang menyenangkan, misalnya suatu promosi dapat mengakibatkan timbulnya stres akibat perubahan posisi. Masalah-masalah dalam pekerjaan lainnya, seperti pindah bagian, menganggur, dan pension, sering kali juga menimbulkan kerentanan untuk timbulnya gangguan-gangguan psikologis. Kondisi-kondisi lainnya, seperti

(5)

terlalu banyak tugas, atau sebaliknya tidak diberi tugas, tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan tugas, atau atasan yang tidak menyokong dalam pelaksanakan tugas juga menjadi sumber konflik di tempat kerja.

Stressor bersifat progresif. Respons individu dlam menghadapi stressor pun bergantung pada potensi pemahaman tentang nilai-nilai pemecahan masalah, pengalaman, dan daya penyesuaian dirinya. Suatu stressor tunggal dapat menjadi majemuk jika terjadi kegagalan elemen-elemen dari sistem menyokong emosi, misalnya jika mobil mogok di jalan pada saat menuju tempat rapat.

2.1.3.Tahapan Reaksi Tubuh Terhadap Stressor

Dalam menghadapi stressor, manusia mengalami 3 tahap reaksi tubuh, yaitu : 1. Reaksi Alarm (Tanda Bahaya)

Reaksi merupakan respons yang datang dengan cepat ketika manusia menghadapi suatu tantangan atau ancaman. Pada tahap ini, tubuh belum dapat beradaptasi terhadap pajanan ancaman bahaya. Terjadi mobilisasi dari sistem saraf otonom yang mencetuskan respons stres dalam bentuk respons perlawanan (fight) atau respons menghindar (flight). Bermacam-macam sistem tubuh menurut mengoordinasi kesiapsiagaan untuk bereaksi, memengaruhi kejiwaan (sistem limbik), pengaturan sistem kardiovaskular, pernapasan, ketegangan otot, dan aktivitas motorik yang halus.

2. Tahap Kebal (Resisten)

Reaksi alarm tidak dapat dijaga untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Pajanan yang berkepanjangan terhadap stressor akan menyebabkan individu menjadi kebal. Pada tahap ini sesungguhnya tubuh sudah beradaptasi, ketika individu mengembangkan suatu strategi perjuangan untuk bertahan hidup dan membina daya perlawanan justru untuk meredam

(6)

respon stressor yang telah dimulai pada tahap sebelumnya. Mekanisme penanggulangan ini ternyata dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan bagi perkembangan mental individu. Kenyataannya, individu cenderung untuk lebih baik dalam melaksanakan penanggulangan dengan cara yang cepat daripada cara yang lebih lama dan mencoba melarikan diri dari kondisi yang kurang menyenangkan. Sayangnya, cara penanggulangan yang cepat, walaupun paling mudah, biasanya tidak memadai karena dengan cara ini biasanya akan timbul masalah-masalah sekunder pada jangka panjang dalam bentuk menurunnya penampilan diri. Pada tahap ini, individu sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan untuk mengidentifikasi cara-cara penanggulangan yang dapat menolong dirinya untuk memahami keuntungan dari cara penanggulangan yang lebih lama.

3. Tahap Kelelahan

Respons terhadap stres pada dasarnya sehat dan penting untuk menimbulkan daya motivasi dan adaptasi seseorang. Bila beban mental terlalu berat atau tidak dapat menemukan solusi yang memadai, individu tersebut akan menanggung banyak kesukaran. Stres yang lama dan berkelanjutan dapat menimbulkan masalah-masalah yang menahun, sehingga individu akan menderita suatu kelelahan yang berat seakan-akan semua cadangan energi menghilang dan menimbulkan depresi.

Gejala fisik dari tahap awal kelelahan tampak sebagai perasaan lelah yang berlebihan, lemah, dan tidak memiliki daya. Tanda-tanda non spesifik lainnya biasanya dalam bentuk penglihatan yang kabur, rasa pusing, vertigo, tangan tremor, nyeri otot, palpitasi, napas terasa berat, nyeri dada, sesak napas atau gangguan pernapasan yang lain, gejala gangguan saluran pencernaan seperti rasa kering di mulut, rasa leher tercekik, mual atau muntah, konstipasi yang menahun, diare atau sakit perut yang melilit. Berat badan bertambah atau

(7)

bahkan menjadi kurus, perubahan pola makan dalam bentuk berkurangnya nafsu makan atau nafsu makan malah menjadi lebih besar, atau menurutkan hati untuk makan cokelat secara berlebihan, dan lain-lain. Individu yang berada dalam tahap kelelahan biasanya dapat menyembunyikan gejalanya jika berada di tempat kerja, kecuali kalau terasa sangat lelah maka individu tersebut cenderung untuk bolos kerja. Namun, sayangnya gejala ini tidak hanya timbul di tempat kerja, dapat juga muncul saat individu berada di rumah atau dimana saja, sehingga individu menjadi sangat menderita.

Gejala emosi saat stres pada tahap kelelahan berhubungan dengan sindrom depresi dan frustasi, manifestasinya dalam bentuk tangisan yang tak terkontrol, perasaan takut mati, tidak berani bicara di depan publik, mudah terkejut, tidak suka berteman atau bertemu keluarga atau menyalurkan hobinya, kurang perhatian pada hal-hal personal seperti olahraga, pakaian dan makan. Pada kasus-kasus yang ekstrem, individu dapat merusak diri atau percobaan bunuh diri, mudah marah, dingin dan kaku pada orang lain, serta diiringi perasaan bersalah yang berlebihan. Serangan panik dan gelisah dapat mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan sehingga akan menambah stres di tempat kerja karena gejala tersebut terlihat oleh temen-temen kerjanya.

Disfungsi mental pada tahap kelelahan tampak sebagai gangguan tidur, seperti sulit bangun tidur, bangun tidur terlalu dini yang disertai dengan mimpi buruk, hilangnya daya konsentrasi dan koordunasi. Hal ini mendorong timbulnya gangguan penampilan di tempat kerja dan kemampuan untuk mempertimbangkan suatu masalah, sehingga tidak jarang timbul perilaku negatif dalam melaksanakan pekerjaan atau sering kali timbul keraguan-raguan dalam memutuskan suatu masalah. Di tempat kerja, tanda-tanda disfungsi mental biasanya lebih mudah tampak daripada tanda-tanda gangguan fisik karena gejala tersebut berhubungan

(8)

langsung dengan penampilan kerja dan dapat dirasakan dengan jelas oleh teman sekerja. Hal ini mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri dan gangguan kontrol individu sehingga makin mendorong penurunan penampilan dirinya. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obat penenang serta obat-obat yang lain, merokok berlebihan sering kali menjadi solusi yang diambil oleh individu tersebut.

2.2.Stressor Dan Hubungannya Dengan Spesifikasi Pekerjaan 2.2.1.Sistem Tugas

Terdapat beberapa macam sistem tugas yang menjadi stressor, yaitu : 1. Kerja Lembur

Menurut beberapa penelitian, kerja lembur yang terlalu sering, apalagi bila jumlah jam kerja menjadi berlebihan, ternyata tidak hanya mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja, tetapi juga sering meningkatkan jumlah absensi dengan alasan sakit atau kecelakan kerja. Hal ini biasanya terjadi pada pekerja di industri pengalengan buah yang biasanya banyak berhubungan dengan musim buah.

2. Tugas Kerja Malam

Kerja malam merupakan tugas yang berat bagi pekerja, dan sering mengakibatkan timbulnya gangguan fisik akibat kurang tidur serta perubahan tingkah laku yang dapat mendorong individu untuk penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang serta perubahan kebiasaan makan. Pekerjaan yang dimiliki stressor tersebut misalnya polisi, perawat, satpam, anggota pemadam kebakaran, dan pekerja di industri jasa (hotel, transportasi, dan lain-lain).

Penelitian yang dilaksanakan oleh Esrtyn-Behar pada tahun 1990 (dalam Harianto, 2008) menemukan bahwa cuti sakit perawat wanita dan pekerja rumah sakit lainnya mencapai 3080

(9)

hari kerja dari total 25.433 hari kerja akibat jadwal kerja malam yang terlalu sering di rumah sakit.

3. Kecepatan Mesin

Kecepatan kerja yang hanya berdasarkan pada kapasitas kecepatan mesin, sangat menguras energi fisik dan psikologis pekerja karena harus terpaku untuk menyesuaikan kecepatan mesin, ban berjalan, atau proses produksi sehingga pekerja tidak mungkin meninggalkan tempatnya sedetik pun tanpa digantikan atau ditolong temannya. Hal ini terjadi pada pekerja di tempat yang produknya dikontrol oleh mesin-mesin yang berkecepatan tinggi, atau produksi produk berdasarkan jadwal yang ketat.

4. Gerakan Tangan yang Berulang secara Monoton

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan menggerakan anggota badan secara berulang dan monoton, terkadang juga disertai posisi kerja yang janggal, atau sambil membawa atau menahan beban sering kali sangat memberatkan pekerja. Hal ini biasanya terjadi pada pekerjaan di industri penggergajian kayu, pengemasan, pemilihan, dan perakitan yang menggunakan ban berjalan.

Johansson (dalam Harianto, 2008) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pekerjaan yang banyak menggerakkan tangan secara berulang dan membosankan, seperti pada para pekerja penggergajian kayu, menimbulkan lebih banyak penyakit psikosomatik dan gejala stres mental lainnya sehingga meningkatkan frekuensi cuti sakit.

5. Kekangan

Kekangan menyebabkan tidak adanya kebebasan bekerja, misalnya tahapan pekerjaaan yang mempunyai jadwal tugas yang ketat dan mendetail. Pekerjaan yang memiliki stressor tersebut misalnya pemeliharaan atau perawatan atau pengujian kapal terbang yang harus

(10)

bekerja berdasarkan “checklist” yang ketat, pekerjaan mencocokkan atau memasang atau merakit elemen-elemen jadi bangunan rumah atau mesin, dan pekerjaan akunting.

6. Komunikasi yang Menjemukan atau Membebankan

Pekerjaan yang memerlukan kontak yang memberatkan karena harus bernegosiasi untuk perihal yang sulit diterima atau tidak selaras dengan kehendak lawan bicara. Pekerjaan yang memiliki stressor tersebut misalnya manajer pemasaran, personil promosi obat-obatan. 2.2.2.Volume Pekerjaan

Volume pekerjaan juga dapat menjadi stressor, yaitu : 1. Volume Pekerjaan yang Berlebihan

Volume pekerjaan yang terlalu banyak dan dibatasi oleh waktu, antara lain :

a. Pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa karena waktu yang terbatas. Misalnya petugas customer service yang harus melayani pelanggan dengan antrian yang panjang untuk menunggu pelayanan, sekretaris dengan tugas yang menumpuk.

b. Permintaan untuk pengambilan keputusan yang rumit. Misalnya petugas kendali mutu atau pekerjaan yang membutuhkan banyak masukan informasi.

2. Volume Pekerjaaan Yang Sangat Kurang

Volume pekerjaan yang sangat kurang menyebabkan kurangnya rangsangan untuk bekerja, kurangnya variasi, tidak ada kreativitas atau tuntunan untuk mengatasi masalah. Termasuk jenis pekerjaan misalnya :

a. Tuntutan pekerjaan yang memerlukan perhatian penuh tetapi kurang rangsangan untuk bekerja. Pekerja harus tetap waspada dan harus selalu siap untuk bereaksi bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, walaupun keadaan tersebut sangat jarang sekali terjadi,

(11)

seperti tugas pengawasan mesin dan peralatan yang digunakan secara regular, tugas menjaga pintu kereta api, dan lain-lain.

b. Pekerjaan yang menuntut kejelian biasanya membutuhkan konsentrasi, perasaan, dan penglihatan yang intens.

c. Tidak diberi tugas karena atasan pilih kasih atau kemampuan pekerja kalah bersaing dengan yang lain.

2.2.3.Kondisi Fisik atau Lingkungan Kerja

Adanya ancaman terpajan kondisi fisik tempat kerja yang kurang menyenangkan atau kontak dengan bahan-bahan beracun, misalnya :

1. Bekerja pada Tempat yang Sunyi atau Terpencil, seperti pekerjaan yang membutuhkan kesendirian dan tak memiliki kesempatan berkomunikasi dengan orang lain atau pekerjaan pada situasi yang sulit atau terancam bahaya sehingga tidak memungkinkan pekerja untuk mencari pertolongan dari teman kerja atau siapapun, misalnya tugas pengawasan atau penjagaan yaitu penjaga mercu suar, tugas jaga malam, operator telegraf, pekerjaan yang tidak mengharuskan untuk kontak langsung dengan langganan.

2. Tempat Kerja yang Jauh atau Sulit Dijangkau. 3. Pajanan di Tempat Kerja

Pajanan di tempat kerja umumnya dalam bentuk pajanan fisik dan kimiawi, seperti suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tempat kerja yang sempit atau berdesakan, ventilasi buruk, penerangan yang kurang baik, vibrasi, masalah-masalah ergonomic,tempat kerja yang bising, bau yang tidak enak, debu kerja, dan substansi kimia yang berbahaya (Harianto, 2008).

(12)

2.3.Sumber Stres

Sumber stres (stressors) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Dalam hal Newstrom dan Davis (dalam Wijono, 2010) mengatakan “conditions that tend to cause stress are called stressors”.

Ada berbagai sumber stress yang dapat menyebabkan stres di perusahan diantaranya adalah faktor pekerjaan itu sendiri dan di luar pekerjaan itu. Pendapat ini sejalan dengan Tosi (dalam Wijono, 2010) yang menyebutkan bahwa ada 5 macam faktor yang menyebabkan stres dan berhubungan dengan pekerjaan individu, tekanan peran, kesempatan pelibatan diri dalam tugas, tanggung jawab individu, dan faktor organisasi.

Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Dalam pembahasan ini lingkungan individu tersebut dalam digolongkan menjadi 2 faktor sebagai sumber stress, yaitu faktor pekerjaan dan faktor-faktor di luar pekerjaan itu sendiri (Wijono, 2010).

2.4.Faktor-faktor Pekerjaan

Dalam suatu kesempatan berbeda, Cooper (dalam Munandar, 2001) secara perinci menemukan bahwa ada 5 macam faktor pekerjaan yang menyebabkan stres, yaitu :

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan a. Tuntutan Fisik

Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Di samping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seseorang tenaga kerja.

(13)

kondisi kerja fisik seperti bising, vibrasi (getaran) dan hygiene, dapat merupakan pembangkit stres (stressor).

b. Tuntunan Tugas

Kerja Shift/Kerja Malam : Penelitian menunjukan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan ritme circadian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. Beban Kerja : beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban Kerja dapat dibedakan lebih lanjut kedalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit “kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/ sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/ terlalu sedikit “kualitatif “, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja.

Dalam rangka ini teknologi baru dapat menimbulkan baik beban kerja berlebih maupun beban kerja terlalu sedikit. Di samping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak yang merupakan sumber tambahan dari stres.

Everly & Girdano (dalam Munandar, 2010) menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan

(14)

kemungkinan sumber stres kerja. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu, dalam hal tertentu seperti waktu akhir (deadline) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.

Beban kerja terlalu sedikit kuatitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan karena pekerjaan yang monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan tekhnikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban kerja berlebih kualitatif.

(15)

Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia “tidak maju-maju”, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Munandar, 2001).

2. Pengembangan Karier (Career Development)

Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2010) menganggap bahwa untuk menghasilkan kepuasaan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para tenaga kerja (yang merupakam bentuk reaksi terhadap stres), perlu diperhatikan 3 unsur yang penting dalam pengembangan karier, yaitu :

1. Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya 2. Peluang mengembangkan keterampilan yang baru

3. Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karier. Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

a. Job Insecurity

Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaannya dianggap tidak diperlukan lagi merupakan hal-hal biasa yang dapat terjadi dalam kehidupan kerja. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi hasil-hasil teknologi yang canggih kedalam perusahaan juga memberikan dampak pada jumlah dan macam

(16)

pekerjaan yang ada. Dapat terjadi bahwa pekerjaan-pekerjaan yang baru memerlukan keterampilan yang baru. Setiap reorganisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial.

b. Over dan Under Promotion

Stres yang timbul karena over promotion memberikan kondisi yang sama seperti beban kerja berlebihan, harga diri yang rendah dihayati oleh seseorang tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan ke jabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

Brook (dalam Munandar, 2001) mengajukan kajian-kajian kasus tenaga kerja yang menunjukkan gangguan perilaku yang merentang dari gejala-gejala psikologikal minor dan keluhan-keluhan psikosomatik sampai ke gangguan-gangguan mental yang lebih parah sebagai hasil dari over dan under promotion.

Promosi sendiri dapat merupakan sumber stres, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan drastis yang mendadak, misalnya jika tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk promosi. Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) mengajukan 3 faktor yang menyebabkan promosi dirasakan sebagai stress, yaitu :

 Perubahan-perubahan nyata dari fungsi pekerjaan, misalnya menjadi fungsi pemantau, penyelia

 Penambahan tanggung jawab terhadap manusia, produksi dan uang

 Perubahan dalam peran sosial yang „menemani‟ promosinya, misalnya menjadi ketua dari berbagai macam panitia,mewakili atau menjadi anggota dari delegasi organisasi dalam negosiasi dengan pihak-pihak lain.

(17)

3. Hubungan dalam Pekerjaan

Menurut Selye (dalam Munandar , 2001), merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang penuh stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi.

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara para tenaga kerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya (Munandar, 2001).

4. Sruktur

Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi (Munandar, 2001).

5. Iklim Organisasi

Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support sosial.

Penelitian menunjukan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk-kerja, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik (Munandar,2001).

(18)

Mengikuti Tosi (dalam Wijono, 2010) yang mengatakan bahwa ada 5 faktor yang dapat menjadi sumber stres dalam organisasi, yaitu :

1. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Pekerjaan Seseorang Individu

Ada beberapa tugas yang cenderung menunjukkan lebih banyak berhubungan dengan stres daripada tugas-tugas lain. Hal ini terbukti dari beberapa contoh hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, yaitu :

Karyawan-karyawan yang berkolaret biru lebih memungkinkan menghadapi resiko pekerjaan yang mengancam kesehatan, tugas-tugas yang dilakukan berhubungan dengan bahan-bahan yang beracun. Peneliti-peneliti yang lain menunjukkan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan rutin mengalami tingkat keengganan, kebosanan dan bekerja dengan kecepatan gerakan mempunyai hubungan signifikan dengan ketegangan, kecemasan, kemarahan, dan tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut.

2. Stres Peran

Dalam suatu kesempatan, Kahn (dalam Wijono, 2010) telah melakukan penelitian tentang konflik peran dan ketidakjelasan peran dalam suatu organisasi. Tujuan mereka melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat ketegangan peran dan penyesuaian diri. Penelitian ini didasarkan pada premis bahwa individu-individu lebih efektif dalam memainkan peranya ketika ia memahami tentang peran yang dimainkannya, sehingga mereka tidak stress atau tekanan-tekanan peran yang menimbulkan konflik peran yang tinggi.

3. Peluang Partisipasi

Ada beberapa manajer dilaporkan bahwa apabila tingkat partisipasi mereka dalam mengambil keputusan dirasakan lebih banyak akan mengalami stres yang lebih rendah.

(19)

Sebaliknya, tingkat kecemasan terhadap tugas dan ancaman terhadap tugas dirasakan rendah oleh manajer yang partisipasinya terhadap tugasnya rendah. Partisipasi adalah penting untuk 2 alasan, yaitu :

1. Partisipasi dihubungkan dengan konflik peran yang rendah dan ketidakjelasan peran yang rendah

2. Partipasi yang tinggi (keputusan-keputusannya lebih berpengaruh) dapat membuat seseorang merasa dapat mengendalikan lingkungan sekitarnya.

Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan menunjukkan bahwa pengendalian individu terhadap tekanan-tekanan lingkungannya tidak akan lebih berpengaruh terhadap dirinya untuk memperoleh peluang partisipasi ketika tidak ada pengendalian yang secara nyata atau dapat dilihat hasilnya (Wijono, 2010).

4. Tanggung Jawab

Tanggung jawab yang lain mungkin dapat mempengaruhi stres yang sedang bekerja. Sebagai seorang manajer keefektifannya tergantung pada siapa yang bekerja untuknya, seandainya manajer mempunyai alasan bahwa dirinya tidak mempunyai kepercayan terhadap mereka, atau kemampuannya kurang dapat mengendalikan mereka, maka manajer akan mengalami stres karena dirinya tidak dapat mengendalikan situasi tersebut (Wijono, 2010).

5. Faktor-faktor Organisasi

Organisasi itu sendiri dapat menyebabkan stres. Contohnya, banyak yang percaya bahwa birokrasi (mekanis) merupakan bentuk organisasi yang mengarah dan tidak memaksimalkan potensi individu, sedangkan struktur organisasi lebih memungkinkan

(20)

untuk mewujudkan potensi & produktivitas individu (Wijono, 2010). Di bawah ini ada 4 ciri-ciri organisasi yang dapat menyebabkan stres, yaitu :

1. Tingkat organisasi

2. Keadaan yang sulit dalam organisasi 3. Taraf perubahan organisasi

4. Batas Peran

2.5.Faktor-faktor Di Luar Pekerjaan

Menurut Tosi (dalam Wijono, 2010) ada beberapa faktor di luar pekerjaan yang dapat menjadi sumber stres, terutama yang berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan di luar pekerjaan, seperti:

1. Perubahan Struktur Kehidupan

Ada 3 dimensi struktur kehidupan yang dapat menyebabkan stres, yaitu :

a. Dimensi budaya sosial yang dilakukan bersama keluarga, religius, keturunan, struktur pekerjaan, dan faktor-faktor sosial yang luas lainnya.

b. Hubungan dengan orang-orang lain dalam dunia budaya sosial, seperti seorang pribadi berperan sebagai suami/istri, rekan kerja, orang tua, rakyat sebuah Negara, dan sebagainya.

c. Aspek dari individu sendiri. Individu mempunyai kecenderungan ciri-ciri yang tidak tahan terhadap tekanan, ancaman, mudah dan cemas.

2. Dukungan Sosial

Kehilangan suatu pekerjaaan akan menyebabkan individu mengalami stres sehingga menunjukkan kecenderungan munculnya gejala-gejala seperti radang sendi, kenaikan kadar kolesterol, dan kepala terasa nyeri. Walaupun demikian, situasi seperti ini perlu

(21)

dinetralisir melalui salah satu cara yaitu menggunakan sistem dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan salah satu cara komunikasi yang positif karena berisi tentang perasaan suka, keyakinan, penghargaan, penerimaan diri dan kepercayaan diri seseorang terhadap kepentingan orang lain.

3. Locus of Control

Beberapa individu mempunyai keyakinan bahwa mereka dapat memengaruhi lingkungan kerja sekitar melalui apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Bagaimana mereka memperoleh atau menetapkannya karena mempunyai locus of control terhadap lingkungan kerja sekitarnya. Mereka menganggap bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitarnya merupakan hal yang relatif kecil. Walaupun peristiwa-peristiwa tersebut berkaitan dengan nasib, namun tidak begitu tampak perubahan dalam kehidupan mereka karena individu mempunyai kepribadian yang bercirikan locus of control internal sehingga individu dapat mengatasi stres kerja. Ketika individu yang ber-locus of control internal menghadapi stres potensial, mereka sebelumnya akan mempelajari terlebih dahulu peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancam dirinya, kemudian ia bersikap tertentu secara rasional dalam menghadapi stres kerja tersebut. Sebaliknya, individu yang ber-locus of control eksternal menganggap bahwa segala peristiwa yang ada dalam lingkungan kerja di sekitarnya amat memengaruhi dirinya. Dengan kata lain, sikap hidupnya amat dikendalikan oleh faktor lingkungan. Individu yang mempunyai perasaan cemas, mudah stress, depresi, neurosis, pekerjaan dan hidupnya selalu ditentukan oleh nasib yang mengendalikan dirinya.

(22)

4. Tipe A & Tipe B

Setiap individu mempunyai ciri-ciri kepribadian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Secara umum, kepribadian individu digolongkan kedalam 2 sifat, yaitu : Introvert dan Ekstrovert. Individu yang mempunyai sifat introvert akan cenderung mengalami stres bila dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membuat dirinya terancam atau tertekan dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia dibandingkan dengan individu yang mempunyai sifat ekstrovert. Sementara itu, Friedman dan Rosenman (dalam Wijono, 2010) yang telah mengelompokkan kepribadian kedalam 2 tipe yang berbeda yaitu Tipe A dan Tipe B. Kedua tipe kepribadian tersebut akan berbeda, dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan mereka.

Tabel Ciri-ciri Kepribadian Tipe A dan Kepribadian Tipe B

Tipe A Tipe B

Kompetitif Rileks

Berorientasi pada prestasi Tidak menyukai kesulitan

Agresif Jarang marah

Cepat/tangkas Menggunakan banyak waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang disenangi

Mudah stres Tidak mudah stres

Tidak sabar Tidak mudah iri

Mudah gelisah Bekerja terus menerus Selalu siap siaga Jarang kekurangan waktu Berbicara dengan semangat

(Explosive)

(23)

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tipe A mengalami stres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan sakit jamtung koroner dibandingkan dengan individu yang mempunyai kepribadian tipe B. Meskipun demikian tipe A mempunyai perbedaan dalam mengatasi stres kerja dibandingkan dengan tipe B, terutama jika harga diri tipe A terancam, cenderung akan menunjukan sikap melawan karena tekanan darahnya naik. 5. Harga Diri

Harga diri setiap individu berbeda, terutama dalam menghadapi stres di lingkungannya. Ada orang yang merasa mempunyai kemampuan untuk mengatasi stres kerja tetapi ada juga orang yang tidak mempunyai kemampuan mengatasi stres kerjanya. Hal tersebut sangat tergantung dari konsep dirinya terhadap harga diri yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda. Harga diri merupakan cara penerimaan seseorang dan usaha untuk melakukan evaluasi terhadap diri sendiri atau disebut sebagai konsep diri. Jika seseorang mempunyai konsep diri positif, maka ia mempunyai harga diri yang tinggi sehingga ia dapat mengembangkan diri dalam menghadapi kondisi, situasi atau peristiwa yang mengganggu, menekan atau mengancam dirinya, akibatnya ia akan mengalami stres kerja yang rendah. Sebaliknya, jika ia mempunyai haraga diri yang rendah dalam menghadapi kondisi, situasi atau peristiwa yang mengganggu, menekan atau mengancam dalam pekerjaannya, maka ia akan mengalami stres kerja yang tinggi karena rasa percaya dirinya rendah.

6. Fleksibilitas atau Kaku

Orang yang mempunyai kecenderungan fleksibel adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan atau tekanan-tekanan karena lebih baik dalam melakukan kerja sama dengan orang lain dibandingkan dengan orang yang kaku. Orang yang mudah

(24)

menyesuaikan diri secara fleksibel terhadap tuntutan–tuntutan dalam situasi tertentu dan menunjukkan prestasi yang baik, maka ia dapat mengurangi tekanan-tekanan karena dirinya dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Sebaliknya, orang yang kaku adalah orang yang menunjukkan sikap tertutup, berorientasi pada dogma-dogma yang sifatnya umum, cenderung ingin kelihatan rapi, tidak toleran dan senang mengkritik orang lain dan mudah mengalami tekanan-tekanan atau stres dalam pekerjaannya. Orang yang kaku dalam menghadapi stres kerja akan mempunyai kecenderungan respons :

a. Menyangkal atau menolak tekanan atau dapat juga tidak memiliki reaksi apapun terhadap tekanan peran bahkan memedulikannya.

b. Menolak orang yang menekan dirinya

c. Menjadi semakin tergantung kepada atasannya bila mendapat tekanan yang berkaitan dengan beban peran, konflik, ataupun ketidakjelasan peran dalam pekerjaannya. d. Bila mendapat tekanan ia akan keras bekerja melebihi orang lain pada umumnya, ia

memedulikannya pandangan orang lain dengan terus memyempurnakan tugas/menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga mempunyai nilai yang lebih dalam organisasi.

7. Kemampuan

Kemampuannya merupakan salah satu aspek yang dapat memengaruhi respons-respons individu terhadap kondisi, situasi, atau peristiwa yang menimbulkan stres. Individu yang mempunyai kemampuan tinggi cenderung mempunyai pengendalian lebih terhadap kondisi, situasi, atau peristiwa yang menimbulkan stres daripada individu yang mempunyai kemampuan rendah dalam menghadapi stres. Ada 3 alasan yang dikemukan

(25)

bahwa individu yang mempunyai kemampuan tinggi mungkin akan lebih baik caranya dalam menghadapi stres.

1. Dengan kemampuanya yang lebih tinggi dari orang lain, memungkinkan ia dapat mengerjakan tugas-tugasnya yang sarat dengan peran secara kuantitatif maupun kualitatif.

2. Orang yang mempunyai kemampuan yang tinggi ada kecenderungan mengetahui batas akhir kemampuannya untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Ia akan lebih mampu menilai keberhasilannya dalam menghadapi situasi-situasi yang menyebabkan stres dibandingkan orang yang mempunyai kemampuan rendah.

3. Orang yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam pekerjaannya cenderung mempunyai pengendalian diri yang lebih terhadap kondisi, situasi, atau peristiwa yang menimbulkan stres kerja dibandingkan dengan orang yang mempunyai kemampuan rendah dalam memberi respons terhadap stres kerja.

2.6.Tanda-tanda Distress

Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) mengajukan daftar „tanda-tanda adanya distress‟. Menurut mereka, stres mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (musculoskeletal) dan organ-organ dalam badan (visceral).

Tanda-tanda distress-nya sebagai berikut : 1. Tanda-tanda Suasana hati (Mood)

 Menjadi overexcited

 Cemas

 Merasa tidak pasti

(26)

 Menjadi mudah bingung dan lupa

 Menjadi sangat tidak-enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)

 Menjadi gugup (nervous)

2. Tanda-tanda Otot Kerangka (Musculoskeletal)

 Jari-jari dan tangan gemetar

 Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat

 Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)

 Kepala mulai sakit

 Merasa otot menjadi tegang atau kaku

 Menganggap jika berbicara

 Leher menjadi kaku

3. Tanda-tanda Organ-organ Dalam Badan (Visceral)

 Perut terganggu

 Merasa jantung berdebar

 Banyak berkeringat

 Tangan berkeringat

 Merasa kepala ringan atau akan pingsan

 Mengalami kedinginan (cold chills)

 Wajah menjadi „panas‟

 Mulut menjadi kering

 Mendengar bunyi berdering dalam kuping

(27)

2.7.Service Adviser (SA)

Service Adviser (SA) merupakan karyawan yang bertugas menerima customer yang datang ke bengkel, mendiagnosa kerusakan awal mobil yang akan di servis, mengestimasi biaya dan waktu pekerjaan dan selanjutnya membuat PKB (Perintah Kerja Bengkel) . Service Adviser (SA) juga dihimbau dan diharuskan menawarkan jasa dan produk bengkel kepada customer tentang perawatan mobil yang digunakan customer. Service Adviser (SA) mengestimasikan juga tentang biaya jasa perbaikan dan jasa produk yang akan digunakan baik yang SBE (Service Berkala Eksternal ), SBI (Service Berkala Internal) maupun biaya penggantian suku cadang yang rusak. Service Adviser (SA) menjanjikan waktu proses penyerahan kendaraan yang diperbaiki dan bisa juga menunda waktu perbaikan kendaraan. Kemudian Service Adviser (SA) menghubungi customer, lalu Service Adviser (SA) menanyakan tentang kepuasan customer.

PT Perintis Perkasa memiliki target kerja untuk seluruh karyawan Service Adviser (SA) untuk menangani customer setiap harinya sebanyak 60 orang customer per hari. Maka dari itu, setiap karyawan Service Adviser (SA) harus menangani 8 sampai dengan 10 orang customer per hari. Hal ini sesuai dengan Visi dan Misi PT Perintis Perkasa yaitu menjadi dealer utama otomatif kendaraan pada roda empat nomor 1 di Indonesia yang berkompeten dan mampu bersaing secara sehat dan memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada customer dan memberikan fasilitas yang bertaraf internasional.

(28)

2.8.Kerangka Pikir

Beban Kerja

 Tuntutan Tugas

Tanggung Jawab Kerja

Hubungan Interpersonal

 Antar Karyawan Service Adviser (SA)

 Karyawan Service Adviser (SA) dengan manajer

 Karyawan Service Adviser (SA) dengan Customer

Gambar

Tabel Ciri-ciri Kepribadian Tipe A dan Kepribadian Tipe B

Referensi

Dokumen terkait

Suatu  perusahaan  baru  yaitu  perusahaan  lemari  membutuhkan  SDA  berupa  kayu  jati.  Untuk  mendapatkan  kualitas  lemari  yang  bagus,  tentunya 

Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kelimpahan rahmat dan karunia Nya sehingga dapat menyelesaukan tesis tentang “ Pengaruh Kompensasi dan

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Hasilnya didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi yang digunakan maka polutan asap yang menyebar juga semakin banyak, demikian juga pengaruh bahan bakar yang digunakan,

Contoh tanah yang diambil untuk kondisi tanpa aliran merupakan contoh tanah dari hasil uji tumbuk manual dengan asumsi bahwa nilai RC pada uji tumbuk sama

Peneliti akan meneliti yang berkaitan dengan pelaksanaan pembinaan akhlak pemuda dan kendala apa saja yang mempengaruhi pembinaan akhlak pemuda di lembaga pemasyarakatan kelas

Selanjutnya siswa dengan tingkat kecemasan sedang melakukan jenis kesalahan menurut Lerner kecuali kesalahan tipe I, dan untuk siswa dengan tingkat kecemasan ringan hanya