• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RASIO ALOKASI BELANJA ANTARA DAERAH INCUMBENT DAN DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN PADA SAAT PEMILUKADA (Studi Kasus di Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RASIO ALOKASI BELANJA ANTARA DAERAH INCUMBENT DAN DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN PADA SAAT PEMILUKADA (Studi Kasus di Indonesia)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RASIO ALOKASI BELANJA

ANTARA DAERAH INCUMBENT DAN

DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN

PADA SAAT PEMILUKADA

(Studi Kasus di Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)

pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

INDRATI ISTI YUWANI NIM. C2C607071

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2011

(2)

PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama Penyusun : Indrati Isti Yuwani Nomor Induk Mahasiswa : C2C607071

Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Akuntansi

Judul Skripsi : ANALISIS RASIO ALOKASI

BELANJA ANTARA DAERAH

INCUMBENT DAN DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN

PADA SAAT PEMILUKADA

Dosen Pembimbing : Rr. Sri Handayani, SE, Msi, Akt

Semarang, 20 Maret 2011

Dosen Pembimbing,

(Rr. Sri Handayani, SE, Msi, Akt.)

(3)

iii 

PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN

Nama Penyusun : Indrati Isti Yuwani Nomor Induk Mahasiswa : C2C607071

Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Akuntansi

Judul Skripsi : ANALISIS RASIO ALOKASI

BELANJA ANTARA DAERAH

INCUMBENT DAN DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN

PADA SAAT PEMILUKADA

Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 31 Maret 2011

Tim Penguji :

1. Rr. Sri Handayani, SE, M.Si, Akt. (...)

2. Drs. H. Idjang Soetikno, MM, Akt. (...)

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Indrati Isti Yuwani, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Analisis Rasio Alokasi Belanja Antara Daerah Incumbent dan Daerah Non Incumbent Sebelum dan Pada Saat Pemilukada, adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan/atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.

Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri. Bila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan oleh universitas batal saya terima.

Semarang, Maret 2011

Yang membuat pernyataan,

(Indrati Isti Yuwani) NIM : C2C607071

(5)

MOTTO

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar

akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya

Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

(QS. Al-Ankabut (29): 69)

Dengan hati yang tulus, Skripsi ini saya persembahkan kepada:

• Orang tuaku tercinta

Ayah Sugiman

Bunda Marsiyem

• Kakandaku tersayang

Dwi Susanto & Rita Hartati Tri Harjanto & Nurul Pujianto & Sri Rejeki Budiarto • Paman dan Bibiku

Sriyono & Nunuk Dewi. • Sanak Keluargaku

(6)

ABSTRACT

This study is aimed at investigating (1) whether differences exist in allocating the grant, society support, and financial support budgets within the incumbent local government budget before and during the process of regional election; (2) whether differences exist in allocating the grant, society support, and financial support budget during the regional election process between the incumbent and non incumbent candidates.

This study applied the census method to analyze the local government practicing the regional election process involving the incumbent and non incumbent candidates in Indonesia. The objects investigated are grant, society support, and financial support budgets within the local government budget of 2009-2010 periods. The data were analyzed using descriptive statistic.

The result of the study are (1) allocation of grant expenditure budget in incumbent regions during the process of the regional election was higher than the grant expenditure budget allocation before the process of the regional election process. (2) allocation of society support expenditure budget in incumbent regions during the process of the regional election was higher than the society support expenditure budget allocation before the process of the regional election process. (3) allocation of financial support expenditure budget in incumbent regions during the process of the regional election was higher than the financial support expenditure budget allocation before the process of the regional election process.(4) grant expenditure budget allocation in incumbent regions during the regional election process was higher than the budget allocation for the non incumbent regions. (5) society support expenditure budget allocation in incumbent regions during the regional election process was higher than the budget allocation for the non incumbent regions. (6) financial support expenditure budget allocation in incumbent regions during the regional election process was higher than the budget allocation for the non incumbent regions. Keyword: Regional election, Local Government Budget, Grant Expenditure Budget, Society Support Expenditure Budget, Financial Support Expenditure Budget.

(7)

vii 

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui (1) apakah terdapat perbedaan alokasi anggaran belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan dalam APBD daerah incumbent sebelum dan pada saat pemilukada; (2) apakah terdapat perbedaan alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan pada saat pemilukada antara daerah incumbent dan daerah non incumbent.

Penelitian ini menggunakan metode sensus untuk menganalisis pemerintah daerah yang melaksanakan pemilukada termasuk calon incumbent dan non incumbent di Indonesia. Obyek yang dicermati adalah belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan dalam APBD tahun anggaran 2009-2010. Analisa data menggunakan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini adalah (1) alokasi belanja hibah pada daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelum pemilukada. (2) alokasi belanja bantuan sosial pada daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelum pemilukada. (3) alokasi belanja bantuan keuangan pada daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelum pemilukada. (4) alokasi belanja hibah daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent. (5) alokasi belanja bantuan sosial daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent. (6) alokasi belanja bantuan keuangan daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada daerah non incumbent.

Kata kunci: Pemilukada, Anggaran Pemerintahan Daerah, Belanja Hibah,

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga setelah melalui proses yang panjang, penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul: ANALISIS RASIO ALOKASI BELANJA ANTARA DAERAH INCUMBENT DAN DAERAH NON INCUMBENT SEBELUM DAN PADA SAAT PEMILUKADA, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.

Dalam menyusun Skripsi ini, penulis memperoleh banyak pengarahan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan ketulusaan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. HM. Nasir, M.Si, Akt. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang

2. Ibu Rr. Sri Handayani, SE., M.Si, Akt. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan pengarahan dengan baik dan berbagai masukan dalam proses penyusunan Skripsi ini.

3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.

4. Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penyusunan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan referensi, ataupun pemanfaatan lainnya.

Semarang, Maret 2011 Indrati Isti Yuwani

(9)

ix 

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN...ii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ...iii

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ...iv

MOTTO... ...v

ABSTRACT ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...7

1.4 Sistematika Penulisan...8

BAB II TELAAH PUSTAKA ...10

2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu...10

2.2 Kerangka Pemikiran ...25

2.3 Hipotesis...26

BAB III METODE PENELITIAN...33

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel...33

3.2 Populasi dan Sampel...35

3.3 Jenis dan Sumber Data...36

3.4 Metode Analisis ...36

BAB IV HASIL DAN ANALISIS...37

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian...37

4.2 Statistik Deskriptif...37 4.3 Pengujian Hipotesis...48 4.4 Interpretasi Hasil ...56 BAB V PENUTUP...58 5.1 Simpulan...58 5.2 Keterbatasan ...58 5.3 Saran...59 DAFTAR PUSTAKA ...60 LAMPIRAN-LAMPIRAN...62

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Frekuensi Daerah 37

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Total Belanja di Seluruh Kabupaten/Kota ...38

Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Total Belanja 75 Daerah Non Incumbent ...39

Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Total Belanja 127 Daerah Incumbent ...39

Tabel 4.5 Statistik Deskriptif Belanja Hibah 75 Daerah Non Incumbent ...40

Tabel 4.6 Statistik Deskriptif Proporsi Belanja Hibah 75 Daerah Non Incumbent ...41

Tabel 4.7 Statistik Deskriptif atas Belanja Hibah dari 127 Daerah Incumbent... ...41

Tabel 4.8 Statistik Deskriptif atas Proporsi Belanja Hibah dari 127 Daerah Incumbent ...42

Tabel 4.9 Statistik Deskriptif atas Belanja Bantuan Sosial dari 75 Daerah NonIncumbent...43

Tabel 4.10 Statistik Deskriptif atas Proporsi Belanja Bantuan Sosial dari 75 Daerah Non Incumbent ...44

Tabel 4.11 Statistik Deskriptif atas Belanja Bantuan Sosial dari 127 Daerah Incumbent ...44

Tabel 4.12 Statistik Deskriptif atas Proporsi Belanja Bantuan Sosial dari 127 Daerah Incumbent...45

Tabel 4.13 Statistik Deskriptif atas Belanja Bantuan Keuangan dari 75 Daerah Non Incumbent ...46

Tabel 4.14 Statistik Deskriptif atas Proporsi Belanja Bantuan Keuangan dari 75 Daerah Non Incumbent ...47

Tabel 4.15 Statistik Deskriptif atas Belanja Bantuan Keuangan dari 127 Daerah Incumbent ...47

Tabel 4.16 Statistik Deskriptif atas Proporsi Belanja Bantuan Keuangan dari 127 Daerah Incumbent....48

Tabel 4.17 Perbandingan Rata-Rata Proporsi Belanja Hibah Daerah Incumbent Sebelum dan Pada Saat Pemilukada ...49

Tabel 4.18 Perbandingan Rata-Rata Proporsi Belanja Bantuan Sosial Daerah Incumbent Sebelum dan Pada Saat Pemilukada ...50

Tabel 4.19 Perbandingan Rata-Rata Proporsi Belanja Bantuan Keuangan Daerah Incumbent Sebelum dan Pada Saat Pemilukada ...52

Tabel 4.20 Perbandingan Proporsi Belanja Hibah antara Daerah Incumbent dan Daerah Non Incumbent Pada Saat Pemilukada ...53

Tabel 4.21 Perbandingan Proporsi Belanja Bantuan Sosial antara Daerah Incumbent dan Daerah Non Incumbent Pada Saat Pemilukada...54

Tabel 4.22 Perbandingan Proporsi Belanja Bantuan Keuangan antara Daerah Incumbent dan Daerah Non Incumbent Pada Saat Pemilukada ...55

(11)

xi 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Rata-rata Proporsi Belanja Hibah Daerah Incumbent ...49

Gambar 4.2 Rata-rata Proporsi Belanja Bantuan Sosial Daerah Incumbent ...51

Gambar 4.3 Rata-rata Proporsi Belanja Bantuan Keuangan Daerah Incumbent ...52

Gambar 4.4 Perubahan Rata-rata Proporsi Belanja Hibah ...53

Gambar 4.5 Perubahan Rata-rata Proporsi Belanja Bantuan Sosial...54

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Alokasi Belanja Hibah dalam APBD Tahun Anggaran

2009-2010 Pada Daerah Pemilukada Calon Incumbent dan Non Incumbent ...62 Lampiran B Alokasi Belanja Bantuan Sosial dalam APBD Tahun Anggaran

2009-2010 Pada Daerah Pemilukada Calon Incumbent dan Non Incumbent ...67 Lampiran C Alokasi Belanja Bantuan Keuangan dalam APBD Tahun Anggaran

2009-2010 Pada Daerah Pemilukada Calon Incumbent dan Non Incumbent ...72

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa banyak perubahan yang sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau legislatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU No. 22 Tahun 1999, kepala daerah (eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat tanpa perantara legislatif. Hubungan antara eksekutif dan legislatif mengalami perubahan, yaitu tidak lagi sebagai agen (eksekutif) dan prinsipal (legislatif), melainkan keduanya bertindak sebagai agen dari masyarakat pemilih. Masyarakat memberikan suaranya langsung untuk memilih kepala daerah melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

Dalam proses pelaksanaan pemilukada, dibutuhkan dana yang sangat besar, hal serupa juga disampaikan oleh Prasojo, E. (2009), yang mengatakan bahwa mahalnya pemilukada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan, serta kampanye yang dilakukan partai politik dan calon kepala daerah. Dengan kata lain, pemilukada adalah proyek besar yang harus dibiayai dengan anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pemilukada.

(14)

  2

Logika berpikir proyek dalam pemilukada ini tidak saja mempengaruhi pemikiran penyelenggara pemilukada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, birokrasi di pusat dan daerah, serta masyarakat pemilih. Proyek ini berlanjut sampai esensi dan tujuan kemenangan pemilukada. Tidak heran jika partai politik dan aktor politik rela mengeluarkan miliaran rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi pemilukada.

Menurut The Indonesian Power for Democrasy & Konrad Adenauer Stiftung (dalam Ritonga & Alam, 2010), Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) telah diselenggarakan sejak tahun 2005, yang secara langsung dilaksanakan di 314 daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Indonesia. Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilukada belum pernah dievaluasi secara serius baik Pemerintah Pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga beberapa kalangan berpendapat bahwa pemilukada langsung di beberapa daerah di Indonesia mengakibatkan pembengkakan beban keuangan bagi daerah (Ritonga & Alam, 2010).

Menurut Ritonga & Alam (2010), dugaan potensi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan meningkat ketika kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya, mencalonkan diri dalam pemilukada yang akan datang. Saat berada pada posisi ini,

incumbent harus berkompetisi lagi untuk mempertahankan kekuasaannya dan terpilih kembali pada periode selanjutnya.

(15)

 

3

Keunggulan kekuasaan yang dimiliki incumbent memberikan keuntungan bagi incumbent dalam pengalokasian sumber daya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menyatakan bahwa kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan, salah satunya adalah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, incumbent berpeluang besar untuk memanfaatkan pos-pos belanja pada APBD untuk keuntungan pribadinya.

Ritonga & Alam (2010) mengatakan bahwa belanja hibah dan belanja bantuan sosial merupakan salah satu pos belanja yang dapat dimanfaatkan oleh incumbent untuk memikat hati masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan. Alasan ini cukup mendasar karena dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 yang merupakan revisi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, kedua jenis belanja ini merupakan bagian dari komponen belanja tidak langsung, yang penyalurannya tidak melalui program dan kegiatan, kedua jenis ini bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.

Sementara itu, Handayani (2010) berpendapat bahwa alokasi belanja untuk belanja hibah dan belanja bantuan keuangan kabupaten/ kota yang

incumbent-nya mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/ kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti

(16)

  4

kembali pemilukada di Provinsi Jawa Tengah. Namun, kabupaten/ kota yang tergolong daerah miskin dan menengah tidak memiliki diskresi yang cukup besar dalam mengalokasikan belanja daerahnya

Alokasi sumber daya dalam anggaran mengalami distorsi ketika politisi berperilaku oportunistik. Perilaku oportunistik ini terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian akan lebih banyak untuk proyek-proyek yang mudah dikorupsi (Mauro, 1998a; 1998b dalam Abdullah & Asmara, 2006) dan memberikan keuntungan politis bagi politisi (Keefer & Khemani, 2003 dalam Abdullah & Asmara, 2006).

Penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi oportunisme agen (Eisenhardt, 1989 dalam Abdullah & Asmara, 2006), kenyataannya dalam proses pengalokasian sumber daya selalu muncul konflik kepentingan diantara beberapa pihak (Jackson, 1982 dalam Abdullah & Asmara, 2006). Untuk menjelaskan fenomena self-interest dalam penganggaran publik tersebut, teori keagenan dapat digunakan sebagai landasan teori (Christensen, 1992; Johnson, 1994; Smith & Bertozzi, 1998 dalam Abdullah & Asmara, 2006).

Motivasi yang melandasi penelitian ini adalah: Pertama, adanya temuan bahwa perilaku oportunistik incumbent dalam pengalokasian belanja hibah dan belanja bantuan sosial dalam APBD cenderung pada self-interest saat pelakasanaan pemilukada (Ritonga & Alam, 2010). Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2010) di Provinsi Jawa Tengah,

(17)

 

5

menyimpulkan bahwa kabupaten/ kota yang tergolong daerah miskin dan menengah tidak memiliki diskresi yang cukup besar dalam mengalokasikan belanja daerahnya.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ritonga & Alam (2010), untuk mengetahui adanya perbedaan alokasi belanja sebelum dan pada saat pemilukada, besarnya alokasi belanja dinyatakan dengan nilai nominal, sehingga tidak obyektif. Jika alokasi belanja hanya dilihat dari besaran rupiahnya mungkin mengalami kenaikan, namun jika alokasi belanja tersebut diproporsikan dengan total belanja masing , alokasi belanja dari tahun pertama ke tahun kedua mungkin justru mengalami penurunan. Untuk itu dipandang perlu untuk mengalisis perbedaan alokasi belanja dengan cara memproporsikan alokasi belanja terhadap total belanja.

Selain itu, untuk mengetahui adanya perbedaan antara daerah

incumbent dan daerah non incumbent, Ritonga & Alam (2010) hanya memperbandingkan rata-rata alokasi belanja kedua kelompok daerah tersebut pada saat pemilukada, sehingga tidak bisa diperoleh jawaban yang akurat, karena antara daerah incumbent dan non incumbent, keduanya mengalami kenaikan dari tahun sebelum ke tahun pada saat pelaksanaan pemilukada. Maka dari itu perlu melakukan penelitian ini untuk mengetahui adanya perbedaan antara daerah incumbent dan daerah non incumbent dengan memperbandingkan perubahan rata-rata proporsi belanja dari tahun sebelum ke tahun pada saat pemilukada.

(18)

  6

1.2 Rumusan Masalah

Dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004, kepala daerah (eksekutif) dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilukada, yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2005 dan membuka ruang besar bagi kepala daerah untuk mencalonkan kembali pada Pemilukada tahun 2010. Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan, salah satunya adalah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. Dengan kekuasaan yang dimilikinya,

incumbent berpeluang besar untuk memanfaatkan pos-pos belanja pada APBD untuk keuntungan pribadinya. Pos-pos belanja yang bisa dimanfaatkan oleh incumbent dintaranya adalah belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan yang merupakan komponen belanja tidak langsung yang bersifat tidak mengikat pada tolok ukur atau target kinerja, dan ditetapkan berdasarkan keputusan kepala daerah, sehingga penentuan besaran anggaran tersebut cenderung subyektif.

Dengan melihat perbedaan alokasi belanja pada daerah incumbent yang lebih besar daripada daerah non incumbent, terdapat dugaan bahwa incumbent memanfaatkan APBD guna pencalonan dirinya. Disamping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) bekerjasama dengan Universitas Murdoch (Kompas 14/4 2009) mengemukakan bahwa adanya peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat pelaksanaan pemilukada Tahun 2008

(19)

 

7

di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat).

Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, belanja belanja sosial dan belanja bantuan keuangan untuk daerah

incumbent sebelum dan pada saat pemilukada?

2. Apakah terdapat perbedaan rasio alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan antara daerah

incumbent dan daerah non incumbent pada saat pemilukada?

1.3 Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mendapatkan bukti empiris perbedaan rasio alokasi belanja

hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan untuk daerah incumbent sebelum dan pada saat pemilukada.

2. Untuk mendapatkan bukti empiris perbedaan rasio alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan antara daerah incumbent dan daerah non incumbent pada saat pemilukada. Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi:

1. Bagi Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam pengembangan penelitian dibidang anggaran dan akuntansi.

(20)

  8

2. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang aplikasi teori keagenan dalam penganggaran sektor publik.

1.4 Sistematika Penulisan

Bab pertama dari penelitian adalah pendahuluan. Pada bagian ini dijelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua adalah telaah pustaka, yang berisi landasan teori dan bahasan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejenis. Apabila dimungkinkan dapat pula dikemukakan kerangka pemikiran dan hipotesis. Bab ketiga yaitu metode penelitian, yang berisi deskripsi tentang bagaimana penelitian akan dilaksanakan secara operasional. Oleh karena itu, pada bagian ini perlu diuraikan tentang variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, dan metode analisis. Bab keempat adalah hasil dan pembahasan. Dalam bab ini diuraikan deskripsi obyek penelitian, analisis kualitatifdan/atau kuantitatif, interpretasi hasil dan argumentasi terhadap hasil penelitian. Bab kelima dari penelitian ini adalah penutup, yang merupakan bab terakhir penulisan skripsi yang harus memuat simpulan, keterbatasan dan saran.

(21)

 

9

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu

2.1.1 Teori Keagenan

Menurut Halim & Abdullah (2006), teori keagenan merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen yang berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agen) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang).

Lupia & McCubbins (2000) dalam Halim & Abdullah (2006) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agen) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Menurut Ross (1973) dalam Halim & Abdullah (2006), contoh-contoh hubungan prinsipal-agen sangat universal.

Pendelegasian terjadi ketika seseorang atau salah satu kelompok orang (pinsipal) memilih orang atau kelompok lain

(22)

  10

(agen) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal (Lupia & McCubbins, 2000 dalam Halim & Abdullah, 2006). Ross (1973) dalam Halim & Abdullah (2006) mengemukakan bahwa contoh-contoh hubungan prinsipal-agen sangat universal. Salah satu contoh-contoh hubungan prinsipal-agen dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan daerah, yaitu hubungan antara eksekutif, legislatif, dan publik. Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987; Pratt & Zeckhauser, 1985; Gilardi, 2001 dalam Halim & Abdullah, 2006).

2.1.2 Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Daerah

Menurut Ritonga & Alam (2010), penganggaran dapat dilihat sebagai transaksi berupa kontrak mandat yang diberikan kepada agen (eksekutif) dalam kerangka struktur institusional dengan berbagai tingkatan yang berbeda. Sesuai dengan apa yang dinyatakan pada teori keagenan, bahwa pihak principal dan agen memiliki kepentingan masing-masing, sehingga benturan atas kepentingan ini memiliki potensi terjadi setiap saat. Pihak agen berkemampuan untuk lebih menonjolkan kepentingannya karena memiliki informasi yang lebih dibandingkan pihak principal, hal ini disebabkan karena pihak agenlah yang memegang kendali

(23)

 

11 

11

operasional di lapangan. Sehingga pihak agen lebih memilih alternatif yang menguntungkannya, dengan mengelabui dan membebankan kerugian pada pihak principal (Fozard, S., 2001 dalam Ritonga & Alam, 2010).

Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik (Halim & Abdullah, 2006). Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Beberapa aturan yang secara eksplisit merupakan manifestasi dari teori keagenan (Halim & Abdullah, 2006) adalah:

1. UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang diantaranya mengatur bagaimana hubungan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang dipilih dan diberhentikan oleh legislatif (UU 22/1999) atau diusulkan untuk diberhentikan (UU 32/2004) merupakan bentuk pengimplementasian prinsip-prinsip hubungan keagenan di pemerintahan. Eksekutif akan membuat pertanggungjawaban kepada legislatif pada setiap tahun atas anggaran yang dilaksanakannya dan setiap lima tahun ketika masa jabatan kepala daerah berakhir.

2. PP 109/2000 menjelaskan tentang penghasilan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(24)

  12

3. PP 110/2000, PP 24/2004, dan PP 37/2005 mengatur mengenai kedudukan keuangan anggota legislatif.

4. UU 17/2003, UU 1/2004, dan UU 15/2004 merupakan aturan yang secara tegas mengatur bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan pemerikasaan keuangan publik (negara dan daerah) dilaksanakan oleh pemerintah.

Menurut Moe (1984) dan Strom (2000) dalam Abdullah & Asmara (2006), hubungan keagenan dalam penganggaran publik adalah antara (1) pemilih-legislatur, (2) legislatur-pemerintah, (3) menteri keuangan-pengguna anggaran, (4) perdana menteri-birokrat, dan (5) pejabat-pemberi pelayanan. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Gilardi (2001) dalam Abdullah & Asmara (2006), yang melihat hubungan keagenan sebagai hubungan pendelegasian (chains of delegation).

Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, hubungan keagenan dapat dibagi ke dalam 5 kategori (Abdullah, 2009), yakni: (a) DPRD – Kepala Daerah, (b) Kepala Daerah – Rakyat, (c) DPRD – Rakyat, dan (d) Kepala Daerah – Kepala SKPD, dan (e) Kepala SKPD – Staf SKPD. Hubungan keagenan ini dapat diminimalisir melalui mekanisme transparansi dan akuntabilitas, pengendalian, dan pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah.

(25)

 

13 

13

2.1.3 Teori Pilihan Publik

Menurut Jane S. Shaw (dalam wordpres.com), Teori Pilihan Publik menggunakan prinsip yang sama seperti yang digunakan para ekonom untuk menganalisa kegiatan masyarakat di pasar dan menerapkannya pada kegiatan masyarakat dalam pembuatan keputusan publik. Ekonom-ekonom yang mengkaji perilaku dalam pasar swasta mengasumsikan bahwa orang digerakkan terutama oleh kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang dipasar, baik mereka merupakan pengusaha, pekerja, maupun konsumen, adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri. Ahli ekonomi pilihan publik membuat asumsi yang sama, bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, motif utama mereka adalah kepentingan pribadi.

Ketika kepentingan ini didasari oleh pelaku yang membuat keputusan (yaitu ketika pelaku itu secara sadar berusaha mengejar kepentingan mereka) maka dapat disebut sebagai kebutuhan (wants), pilihan (preference), atau tujuan (goal). Dengan demikian, teori pilihan publik memandang bahwa inti dari analisis adalah pelaku-pelaku individu, baik yang bertindak sebagai anggota dari partai politik, kelompok kepentingan atau birokrasi, baik ketika

(26)

  14

individu itu bertindak sebagai pejabat yang diangkat lewat pemilu atau sebagai warga biasa atau sebagai pemimpin perusahaan. Di arena politik para politisi dan birokrat bertindak semata-mata untuk memperbesar kekuasaan yang dimiliki. Perspektif ini bagi teori pilihan publik adalah hasil interaksi diantara para pelaku rasional (diaplikasikan dalam konsep, seperti: keyakinan, preferensi, tindakan, pola perilaku serta kumpulan dan kelembagaan) yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri (Caparasso & levine, 2008 dalam Ritonga & Alam, 2010).

2.1.4 Proses Penyusunan APBD di Indonesia

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menyatakan bahwa dalam proses penyusunan APBD, kepala daerah menyusun rancangan kebijakan umum APBD (RKUA) berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Penyusunan RKUA berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Kepala daerah menyampaikan RKUA tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan. RKUA yang telah dibahas kepala daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD, selanjutnya disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA).

(27)

 

15 

15

Berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) yang disampaikan oleh kepala daerah. Pembahasan PPAS dilakukan paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran sebelumnya, dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilihan; (b) menentukan urutan program dalam masing-masing urusan; (c) menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.

KUA dan PPAS yang telah dibahas dan disepakati kepala daerah bersama DPRD dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD. Kepala daerah berdasarkan nota kesepakatan menerbitkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai pedoman kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.

Berdasarkan pedoman penyusunan RKA-SKPD, Kepala SKPD menyusun RKA-SKPD menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja. RKA-SKPD yang telah disusun oleh kepala SKP disampaikan kepada PPKD, selanjutnya dibahas oleh tim anggaran pemerintah daerah. Pembahasan oleh tim anggaran pemerintah daerah, dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA dan PPAS, prakiraan

(28)

  16

maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Selanjutnya PPKD menyusun rancangan peraturan daerah tentang APBD berikut dokumen pendukung berdasarkan RKA-SKPD yang telah ditelaah oleh tim anggaran pemerintah daerah. Dokumen pendukung terdiri atas nota keuangan, dan rancangan APBD.

2.1.5 Belanja Hibah

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk barang atau jasa dapat diberikan kepada pemerintah daerah tertentu sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Hibah kepada pemerintah bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah.

(29)

 

17 

17

Hibah kepada perusahaan daerah bertujuan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hibah kepada pemerintah daerah Iainnya bertujuan untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan layanan dasar umum. Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Belanja hibah kepada Pemerintah dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap akhir Tahun anggaran.

Belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus-menerus dan tidak wajib serta harus digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah. Hibah yang diberikan secara tidak mengikat/tidak secara terus menerus diartikan bahwa pemberian hibah tersebut ada batas akhirnya tergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kebutuhan atas kegiatan tersebut dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Naskah perjanjian hibah daerah sekurang-kurangnya memuat identitas penerima hibah, tujuan pemberian hibah, jumlah uang yang dihibahkan.

2.1.6 Belanja Bantuan Sosial

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, Belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan

(30)

  18

pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat, dan partai politik.

Bantuan sosial diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Bantuan sosial yang diberikan secara tidak terus-menerus/tidak mengikat diartikan bahwa pemberian bantuan tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap Tahun anggaran. Khusus kepada partai politik, bantuan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dianggarkan dalam bantuan sosial.

2.1.7 Belanja Bantuan Keuangan

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan.

Bantuan keuangan yang bersifat umum, peruntukan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah

(31)

 

19 

19

daerah/pemerintah desa penerima bantuan. Bantuan keuangan yang bersifat khusus, peruntukan dan pengelolaannya diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan. Pemberi bantuan bersifat khusus dapat mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau anggaran pendapatan dan belanja desa penerima bantuan.

2.1.8 Politik Penganggaran Sektor Publik

Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut (Abdullah & Asmara, 2006; Dobell & Ulrich, 2002).

Penetapan suatu anggaran dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif (Abdullah & Asmara, 2006; Freeman & Shoulders, 2003:94). Bagi Rubin (2000:4) penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumberdaya. Menurut Mardiasmo (2009:62),

(32)

  20

penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung unsur politik yang tinggi. Dalam organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.

Proses paling rumit dalam konteks politik yang berhubungan dengan produk politik adalah upaya untuk membuat keputusan guna menyelesaikan suatu fenomena atau gejala sosial ekonomi yang muncul. Pengambilan keputusan tentu saja berproses panjang. Dalam proses inipun, pengambilan keputusan menyertakan mekanisme lobi, negosiasi, adu-argumen, hingga konflik yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang harus diakomodasi dalam produk politik yang dihasilkan.

Secara hati-hati Anderson, J.E. (1984:13-15) dalam Abdullah & Asmara (2010) mengutarakan pendapatnya bahwa terdapat lima kategori yang dapat dijadikan kriteria dalam menunjukkan faktor-faktor yang melatarbelakangi pihak terkait untuk membuat dan mengambil keputusan:

1. Political Values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai politis dapat

(33)

 

21 

21

merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam konteks ini keputusan diambil berdasarkan pada kalkulasi keuntungan politik di mana kebijakan dipandang sebagai alat yang menguntungkan atau alat untuk mencapai tujuan partai politik atau kelompok kepentingannya.

2. Organization Values yaitu nilai-nilai atau standar-standar organisasional. Hal yang paling menonjol adalah,misalnya, bagaimana organisasi yang berorientasi konservatif berhadapan dengan organisasi yang berpandangan revolusioner akan menghasilkan argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan. Pembuat keputusan, birokrat atau politisi, dapat juga dipengaruhi oleh nilai organisasional. Keputusan individu diarahkan melalui pertimbangan seperti keinginan untuk melihat organisasinya tetap hidup, untuk meningkatkan atau memperluas program dan aktivitasnya, atau untuk menjaga kekuasaan serta hak-hak istimewanya.

3. Personal Values, atau nilai-nilai personal (individu). Dalam konteks ini maka personal values menjadi logika berpikir yang perlu juga diperhatikan dalam memahami penetapan atau pengambilan keputusan.

4. Policy Values adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai

(34)

  22

kepentingan publik atau kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas.

5. Ideological Values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologi adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.

2.1.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Manor & Crook (1998)

dalam Prasojo, E. (2009: 186) menyatakan bahwa dalam banyak

hal, pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan fungsi yang tegas antara mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah:

a. Karakteristik elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan bagi pihak lain untuk berkompetisi dalam politik. b. Pengetahuan dan kesadaran politik rakyat yang rendah.

c. Kurangnya pengawasan secara terus-menerus dari DPRD terhadap kepala daerah.

Sementara itu, Halim & Abdullah (2006) menyimpulkan

bahwa hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan

(35)

 

23 

23

dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representative) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selection dan moral hazard sekaligus)

Penelititan yang dilakukan oleh Prasojo, E (2009) yang

merupakan pengembangan dari penelitan Manor & Crook (1998),

mempertegaskan bahwa di beberapa daerah di Indonesia, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh calon incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi yang dimilikinya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption

Watch (ICW) bekerjasama dengan Universitas Murdoch

(Kompas 14/4 2009) mengemukakan bahwa adanya peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat pelaksanaan pemilukada Tahun 2008 di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat).

Penelitian yang dilakukan oleh Ritonga & Alam (2010)

(36)

  24

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pencalonannya kembali sebagai kepala daerah. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan bahwa Proporsi Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial daerah pemilukada incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada non incumbent. Untuk daerah incumbent, proporsi belanja hibah dan belanja bantuan sosial pada saat pemilukada lebih besar dibanding dengan sebelum pemilukada.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2010)

menyatakan bahwa terdapat perbedaan alokasi belanja antara kabupaten/ kota yang incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada dengan kabupaten/ kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada. Alokasi belanja untuk belanja hibah dan belanja bantuan keuangan kabupaten/ kota yang incumbent-nya mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/ kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada. Namun karena keterbatasan kemampuan keuangan perbedaan tersebut relative tidak begitu besar. Seluruh kabupaten/ kota di Jawa Tengah belum mampu melakukan pelayan publik karena anggaran belanja daerah sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai. Kabupaten/ kota yang tergolong daerah miskin dan menengah tidak memiliki diskresi yang cukup besar dalam mengalokasikan belanja daerahnya.

(37)

 

25 

25

2.2 Kerangka Pemikiran

Teori keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumber daya dalam anggaran yang ditetapkan (Magner & Johnson, 1995 dalam Abdullah & Asmara, 2006). Eksekutif atau agen yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna anggaran tersebut berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran (Smith & Bertozzi, 1998 dalam Abdullah & Asmara, 2006). Di sisi lain, publik memilih politisi untuk membuat keputusan tentang penggunaan sumber daya bagi mereka di pemerintahan sehingga belanja publik sesungguhnya adalah “cerita” tentang beberapa politisi yang menghabiskan uang orang lain (Von Hagen, 2002 dalam Abdullah & Asmara, 2006).

Dalam proses penyusunan anggaran daerah, eksekutif (kepala daerah) bertindak sebagai pengusul anggaran sekaligus pemegang kekuasan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, kepala daerah yang mencalonkan kembali sebagai calon incumbent dalam pemilukada, memiliki keunggulan kekuasaan dibandingkan calon kandidat lain juga, sehingga dapat memanfaatkan posisinya untuk memperoleh keuntungan. Manipulasi politis atas kebijakan publik menyebabkan pengalokasian sumber daya dalam anggaran tidak efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan politiknya, seorang politisi berpotensi memanfaatkan anggaran belanja daerah yang bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.

(38)

  26

Beberapa pos belanja tersebut antara lain: belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan.

2.3 Hipotesis

Penelitian ini menguji secara empiris perbedaan rasio alokasi belanja dalam APBD untuk daerah dengan calon incumbent sebelum dan pada saat pelaksanaan pemilukada, serta menguji secara empiris perbedaan rasio alokasi belanja antara daerah dengan calon incumbent dengan daerah dengan calon non incumbent pada saat pelaksanaan pemilukada.

a. Perbandingan Alokasi Belanja Daerah Incumbent Sebelum dan

Pada Saat Pemilukada

Pelaksanaan pemilukada tahun 2010, mengakibatkan perubahan besaran anggaran belanja, terutama bagi daerah yang kepala daerahnya maju sebagai calon incumbent dalam pemilukada. Menurut Lingkaran Survei Indonesia, Kepala daerah yang tengah memerintah (incumbent) mempunyai peluang besar untuk memenangkan pemilukada. Besarnya peluang kepala daerah terpilih kembali ini tidak terlepas dari keuntungan yang diperoleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung.

Keuntungan langsung yang diperoleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung diperoleh kepala daerah

(39)

 

27 

27

incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, penyerahan bantuan masyarakat hingga peresmian sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Sehingga kemungkinan APBD dimanfaatkan untuk sosialisasi diri incumbent sangat terbuka lebar, karena dia masih berkuasa.

Pada saat pemilukada 2010, terjadi perubahan agenda dari tahun sebelumnya. Antara tahun 2009 dan 2010, terjadi perbedaan perlakuan, yaitu anggaran belanja sebelum pemilukada (2009) tidak mengandung unsur kegiatan pemilukada, sedangkan anggaran belanja pada saat pemilukada (2010) di dalamnya sudah termasuk anggaran kegiatan penyelenggaraan pemilukada, yang cukup besar.

Menurut Halim & Abdullah (2006), oportunistik calon

incumbent dalam proses penyusunan APBD menjelang pelaksanaan pemilukada terindikasi sangat kuat. Sebagai calon incumbent, kepala daerah yang maju dalam pemilukada memiliki peluang besar untuk memanfaatkan pos-pos belanja pada APBD untuk kepentingannya. Proses penyusunan APBD diawali dari usulan yang diajukan oleh eksekutif (Pemerintah Daerah) yang diindikasi bermuatan mengutamakan kepentingan eksekutif. Dengan keunggulan kekuasaan yang dimilikinya, incumbent akan cenderung mengusulkan anggaran belanja yang dapat memperbesar agencynya, baik dari segi finansial maupun nonfinansial.

(40)

  28

Belanja hibah dan belanja bantuan sosial, merupakan pos-pos belanja yang dapat dipakai bagi calon incumbent untuk memikat hati masyarakat pemilih untuk mendapatkan dukungan suara (Ritonga & Alam, 2010). Alasan ini cukup mendasar karena dalam Permendagri 59 Tahun 2007 yang merupakan revisi Permendagri 13 Tahun 2006, kedua jenis belanja ini merupakan bagian dari komponen belanja tidak langsung yang penyalurannya tidak melalui program dan kegiatan serta tidak memiliki target kinerja tertentu, sehingga pengalokasiannya cenderung subyektif (adanya political interest) dan realisasi belanjanya didasarkan atas inisiatif dari Bupati/Walikota dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritonga & Alam (2010) diketahui bahwa alokasi belanja hibah dan belanja bantuan sosial untuk daerah dengan calon incumbent pada saat

pelaksanaan pemilukada lebih besar daripada sebelum pelaksanaan

pemilukada. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh

Indonesian Corruption Watch (ICW) bekerjasama dengan Universitas Murdoch (Kompas 14/4 2009) juga mengemukakan bahwa adanya peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat pelaksanaan pemilukada Tahun 2008 di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat) diikuti dengan kemengangan calon incumbent.Adanya peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD

(41)

 

29 

29

pada saat pelaksanaan pemilukada Tahun 2008 di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat) diikuti dengan kemengangan calon incumbent.

Berdasarkan landasan teori dan temuan empiris di atas, maka hipotesis yang akan diuji dinyatakan sebagai berikut:

Ha1 : Rata-rata proporsi belanja hibah daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada rata-rata proporsi belanja hibah daerah incumbent sebelum pemilukada

Ha2 : Rata-rata proporsi belanja bantuan sosial daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada rata-rata proporsi belanja bantuan sosial daerah incumbent sebelum pemilukada

Ha3 : Rata-rata proporsi belanja bantuan keuangan daerah incumbent pada saat pemilukada lebih besar daripada rata-rata proporsi belanja bantuan keuangan daerah incumbent sebelum pemilukada

b. Perbandingan Alokasi Belanja antara Daerah Incumbent dan

Daerah Non Incumbent Pada Saat Pemilukada

Besarnya kewenangan kepala daerah dalam proses penyusunan anggaran (UU 32/2004) membuka ruang bagi kepala daerah untuk mewujudkan kepentingan pribadinya. Posisi kepala daerah sebagai perencana sekaligus pelaksana kebijakan pemerintah daerah, dapat digunakan untuk memprioritaskan preferensinya dalam penganggaran.

(42)

  30

Untuk merealisasikan kepentingan pribadinya, kepala daerah memiliki preferensi atas alokasi yang mengandung lucrative opportunistic (peluang yang menguntungkan) dan memiliki dampak politik jangka panjang. Oleh karena itu, kepala daerah yang bermaksud mengikuti kembali pemilukada akan memperbesar alokasi belanja tertentu yang mendukung kepentingannya. Menjelang pelaksanaan pemilukada, seorang kandidat membutuhkan dana besar untuk proses pencalonan dirinya, sehingga kesempatan ini dimanfaatkan oleh incumbent untuk meraih hati para pemilih melalui kampanye.

Alokasi belanja hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan pada daerah pemilukada dengan calon incumbent cenderung lebih besar daripada alokasi belanja pada daerah non incumbent. Berbeda dengan daerah incumbent , meskipun sama-sama memiliki kekuasaan, bukan berarti kepala daerah yang tidak maju kembali tidak mempunyai kepentingan politik, hanya saja kepala daerah tersebut tidak memanfaatkan belanja yang bersifat bantuan, melainkan untuk mencapai tujuan politiknya diperoleh melalui alokasi belanja yang sifatnya permanen, sehingga alokasi belanja hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan pada daerah non incumbent tidak mengandung lucrative opportunistic. Pos-pos belanja yang dapat dimanfaatkan oleh incumbent diantaranya adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial

(43)

 

31 

31

yang bersifat tidak mengikat/ tidak terus menerus dan diberikan secara selektif sesuai keputusan kepala daerah (Permen 59/2007).

Menurut hasil analisis yang dilakukan oleh Ritonga & Alam (2010) menunjukkan bahwa proporsi belanja hibah dan belanja bantuan sosial untuk daerah calon incumbent lebih besar daripada daerah non incumbent pada saat pelaksanaan pemilukada. Sementara hasil penelitian Handayani (2010) menunjukkan bahwa alokasi belanja hibah dan belanja bantuan keuangan kabupaten/ kota yang

incumbent-nya mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/ kota yang incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada.

Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian yang dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis selanjutnya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ha4 : Perubahan rata-rata proporsi belanja hibah pada daerah

incumbent lebih besar daripada perubahan rata-rata proporsi belanja hibah pada daerah non incumbent pada saat pemilukada Ha5 : Perubahan rata-rata proporsi belanja bantuan sosial pada daerah

incumbent lebih besar daripada perubahan rata-rata proporsi belanja bantuan sosial pada daerah non incumbent pada saat pemilukada

(44)

  32

Ha6 : Perubahan rata-rata proporsi belanja bantuan keuangan pada daerah incumbent lebih besar daripada perubahan rata-rata proporsi belanja bantuan keuangan pada daerah non incumbent pada saat pemilukada

(45)

  33  33

BAB III

METODE PENELITIAN

 

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan cara mengubahnya menjadi variabel, yang berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Belanja Hibah

Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Belanja Hibah dalam penelitian ini adalah alokasi belanja hibah dalam APBD Tahun anggaran 2009-2010 pada Kabupaten/Kota yang incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada dan Kabupaten/Kota yang incumbent-nya tidak berkehendak mengikuti kembali pemilukada. Proporsi Belanja Hibah (PBH) diukur menggunakan perbandingan antara Belanja Hibah (BH) dengan Total Belanja Daerah (TBD), dengan satuan prosentase (%). Rumus pengukuran Proporsi Belanja Hibah sebagai berikut:

PBH = (BH : TBD) x 100%

(46)

  34

b. Belanja Bantuan Sosial

Belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat, dan partai politik. Belanja Bantuan Sosial dalam penelitian ini adalah alokasi belanja bantuan sosial dalam APBD Tahun anggaran 2009-2010 pada Kabupaten/Kota yang incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada dan Kabupaten/Kota yang incumbent-nya tidak berkehendak mengikuti kembali pemilukada. Proporsi Belanja Bantuan Sosial (PBBS) diukur menggunakan perbandingan antara Belanja Bantuan Sosial (BBS) dengan Total Belanja Daerah (TBD), dengan satuan prosentase (%). Rumus pengukuran Proporsi Belanja Bantuan Sosial sebagai berikut:

PBBS = (BBS : TBD) x 100% c. Belanja Bantuan Keuangan

Belanja bantuan keuangan digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Belanja Bantuan Keuangan dalam penelitian ini adalah alokasi belanja bantuan keuangan dalam APBD Tahun anggaran 2009-2010 pada

(47)

 

35 

35

Kabupaten/Kota yang incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada dan Kabupaten/Kota yang incumbent-nya tidak berkehendak mengikuti kembali pemilukada. Proporsi Belanja Bantuan Keuangan (PBBK) diukur menggunakan perbandingan antara Belanja Bantuan Keuangan (BBK) dengan Total Belanja Daerah (TBD), dengan satuan persentase (%). Rumus pengukuran Proporsi Belanja Bantuan Keuangan sebagai berikut:

PBBK = (BBK : TBD) x 100%

d. Incumbent

Incumbent adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud incumbent adalah kepala daerah kabupaten/kota yang sedang menjabat pada tahun 2009 dan mencalonkan kembali sebagai kepala daerah untuk masa jabatan periode selanjutnya, yaitu dalam pemilukada Tahun 2010.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh daerah Propinsi/kabupaten/kota di Indonesia yang melaksanakan pemilukada tahun 2010 sekaligus pernah melaksanakan pemilukada tahun sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode sensus, yaitu seluruh populasi dijadikan obyek penelitian. Penelitian ini menggunakan data pengamatan selama 2 tahun yaitu tahun 2009 dan 2010.

(48)

  36

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari:

a. Data jadwal pemilukada Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2010 yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)

b. Data status kepala daerah Kabupaten/Kota yang bersumber dari Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI)

c. Data alokasi belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja bantuan keuangan dalam APBD Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun anggaran 2009-2010, yang bersumber dari Direktorat Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

3.4 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan statistik deskriptif, yang menginformasikan tentang nilai minimum, nilai maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi (standard deviation). Untuk menguji perbedaan alokasi belanja pada daerah incumbent sebelum dan pada saat pemilukada, dengan cara memperbandingkan rata-rata proporsi belanja sebelum dan pada saat pemilukada. Sedangkan perbandingan perubahan (∆) rata-rata proporsi belanja, digunakan untuk menguji perbedaan alokasi belanja antara daerah incumbent dan daerah non incumbent. Rumus:

Referensi

Dokumen terkait

Analisa pasar adalah kekuatan yang harus anda gunakan untuk menciptakan target pembeli, anda harus memahami seluruh aspek yang berkaitan dengan pasar sehingga target penjualan

Proses penelitian menggunakan penerapan model pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division) untuk meningkatkan hasil belajar mata kuliah pewaraan pada

Jenis tanaman yang cocok untuk tujuan penghijauan tersebut adalah tanaman yang mampu menyerap atau menyimpan air dengan baik dengan kondisi yang telah kami sebutkan di atas

tinggi. dan satu titik sampel dengan nilai erodibilitas tinggi.. b) Distribusi tingkat eraodibilitas pada ripper DAS Batarig Air. Dingin Kecamatan Koto Tangah Kota

Implementasi dari adanya teknologi-teknologi baru yang bermunculan, yaitu dengan membuat sebuah website Sistem Informasi Penjadwalan Meeting menggunakan SMS Gateway Berbasis Web,

Data analisa ini meliputi dari jenis dan tipe dari bantalan bola yang digunakan untuk pemodelan sinyal getaran dari cacat pada cincin luar bantalan bola, sifat mekanik

7,8,11,12,16,17 Biopsi kelenjar pada laporan kasus memberikan gambaran khas tuberkulosis kulit, namun dengan adanya riwayat penggunaan obat yang tidak jelas dalam jangka waktu

Berdasarkan latar belakang diatas diperlukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan media game yang melibatkan pemain game dalam sebuah proses komunikasi secara aktif