• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IPENDAHULUAN - PERBEDAAN FAKTOR HOST, AGENT, ENVIRONMENTANTARA PENDERITA TB PARU DENGAN TIDAK MENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IPENDAHULUAN - PERBEDAAN FAKTOR HOST, AGENT, ENVIRONMENTANTARA PENDERITA TB PARU DENGAN TIDAK MENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut teori simpul Achmadi, gangguan kesehatan terhadap seseorang atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada tubuhnya. Agen yang berasal dari sumbernya menyebarkan melalui simpul media seperti udara, air, tanah, makanan dan manusia itu sendiri. setelah agen sampai pada tubuh manusia kemudian berinteraksi dan memberikan dampak sakit mulai dari yang ringan sampai berat. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui udara adalah penyakit TB Paru, dengan mekanisme penularan adanya percikan dahak yang dikeluarkan dari penderita TB Paru terhirup atau masuk kedalam saluran pernafasan orang lain (Achmadi, 2005).

Orang yang sudah terkena kuman TB Paru maka kuman tersebut masuk dalam tubuh akan berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai timbulnya gejala penyakit dapat berbulan-bulan sampai tahunan. Selanjutnya orang yang terkena kuman TB paru secara umum akan mengalami gejala terlebih dahulu yaitu, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Penurunan nafsu makan dan berat badan. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). Perasaan tidak enak (malaise), lemah (Sudoyo, 2007).

Program pemerintah yang sudah di lakukan berbagai Pengobatan TB paru adalah melakukan pengobatan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

(2)

dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal ( intensif ) dan lanjutan. Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat (Depkes RI, 2008).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru, secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain. Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang (6 – 9 bulan) untuk mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat, sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai yang berakibat pada kegagalan dalam pengobatan TB. WHO menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course) dalam manajemen penderita TB untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Dengan strategi DOTS angka kesembuhan pasien TB menjadi >85%. Obat yang diberikan juga dalam bentuk kombinasi dosis tetap (fixed dose) karena lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk meneruskan minum obat tetap cukup tinggi (Depkes RI, 2008).

(3)

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa seseorang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 29,994 kali untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur memenuhi syarat kesehatan demikian juga dengan kelembapan rumah, dimana orang yang tinggal dalam rumah yang lembab berisiko 9,229 kali untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah yang tidak lembab.

Penderita TB di Indonesia tahun 2012 adalah sebanyak 44.377 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 33.222 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.181 jiwa (Kemenkes RI, 2013), sedangkan pada tahun 2013 adalah sebanyak 33.547 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 22.381 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.119 jiwa (Kemenkes RI, 2014), selanjutnya pada tahun 2014 adalah sebanyak 33.424 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 11.511 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.117 jiwa (Kemenkes RI, 2015).

(4)

jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 150 jiwa (Dinkes Aceh, 2014).

Jumlah penderita TB di Kabupaten Aceh Barat tahun 2012 adalah sebanyak 113 jiwa, degan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 89 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 2 jiwa (Profil Aceh, 2013). Selanjutnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 67 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 49 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 9 jiwa (Dinkes Aceh, 2014), sedangkan pada tahun 2014 adalah sebanyak 127 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 76 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 32 jiwa (Profil Aceh Barat, 2015).

(5)

dengan jumlah pasien yang melakukan pengobatan lengkap karena beberapa pasien tersebut tidak melakukan pengobatan di puskesmas akan tetapi berobat kampung (Puskesmas Meureubo, 2015).

Berdasarkan studi pendahuluan wawancara dengan 10 orang pasien TB yang datang berobat ke Puskesmas Meureubo peneliti mengidentifikasi bahwa 3 diantaranya mengalami TB Paru karena keluarga mereka ada yang mengalami TB Paru yaitu orang tua, sehingga mereka juga mengalami TB Paru. Selanjutnya 7 orang lainnya mengalami TB Paru karena kebiasaan merokok, dan 3 orang bekerja sebagai pengumpul sampah dan besi-besi tua sehingga mudah untuk terkena TB Paru.

Berdasarkan permasalahan diatas mengidikasikan bahwa TB Paru dapat menyerang siapa saja serta dapat di tularkan kepada siapa saja sehingga penulis tertarik untuk mengkaji secara ilmiah “Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melihat

(6)

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan faktor Host, Agent,

Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui Perbedaan faktor Host, antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

b. Mengetahui Perbedaan faktor Agent antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

c. Mengetahui Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.4 Hipotesis Penelitian

Ha : Ada Perbedaan faktor Host antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

(7)

Ha : Ada Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi mengenai Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

b. Bagi Universitas UTU Fakultas FKM sebagai bahan masukan dan referensi tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB

Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.5.2 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dalam melakukan penelitian khususnya tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara

penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

2. Bagi Fakultas FKM Universitas Teuku Umar sebagai salah satu bahan masukan atau informasi guna menambah bahan perpustakaan yang dapat

digunakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

(8)

teori dengan praktek yang sesungguhnya di lapangan khususnya tentang TB

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB

2.1.1 Pengertian

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Miller bahwa :”Kuman ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga di kenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Basil–basil tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang, dengan panjang bervariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3– 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti manik –manik atau bersegmen. Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun” (dalam Fatimah, 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular.

(10)

Sejak zaman purba, penyakit TB dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan, sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya. Penyakit ini masih termasuk penyakit yang mematikan. Istilah saat itu untuk penyakit yang mematikan adalah Consumption ( Djojodibroto, 2009).

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dari 2,5 juta orang meninggal setiap tahun. Mycobacterium tubercolosis menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan tubercolosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV (Human Imunno Defisiensi Virus) . Pada tahun 2005, WHO (World Health Organisation) memprediksi bahwa akan terdapat 10.2 juta kasus baru dan Afrika akan memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya. Di Inggris jumlah kasus meningkat, dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999 dan 2000 (Mandal, 2006).

TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan Indonesia termasuk kedalam kelompok dengan masalah TB terbesar (high burden countries). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).

2.1.2 Penularan TB

(11)

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2010).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB paru di tentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia di anggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 – 2 %. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB. Dimana Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 penderita TB Paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif ( Suryo, 2010).

2.1.3 Gejala TB

a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. b. Gejala lainnya :

1. batuk bercampur darah 2. sesak napas dan nyeri dada 3. badan lemah

(12)

5. berat badan turun

6. rasa kurang enak badan (lemas) 7. demam meriang berkepanjangan

8. berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan. (Kementrian Kesehatan RI, 2010)

2.1.4 Komplikasi

Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus. Menurut Kementrian Kesehatan RI, (2010) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut:

1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.

2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.

4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan

sebagainya.

6) Insufisiensi Kardio Pulmoner

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru dan Tipe Penderita

(13)

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Berdasarkan buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2011 pembagian klasifikasi penyakit TB Paru adalah :

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

1. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru. 2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru, misalnya selaput otak, selaput jantung, kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

(14)

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif

d) Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan 2. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 Ada beberapa tipe penderita yaitu: a) Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b) Kambuh

Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c) Pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.

d) Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out )

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

e) Gagal

(15)

(2) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

f) Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk pasien dengan kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif selesai pengobatan ulangan.

2.1.6 Kegagalan

Menurut Halim (1999) Kegagalan (Drop Out) adalah terjadinya kemunduran selama masa penyembuhan (saat penderita masih menerima pengobatan tuberculosis) terutama kemunduran bakteriologik. Dep kes (1993) Drop out adalah penderita yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturuturut atau lebih selama masa pengobatan selesai. Reviono (1999) mengungkapkan bahwa keadaan drop out pada masa pengobatan terjadi pada dua bulan pertama pengobatan sampai pengobatan lanjutan, kejadian berhenti berobat yang terjadi pada fase awal dua bulan pertama pengobatan (Zulkifli, 2010)

(16)

yang menyertai pemakaian obat anti tuberkolosis sebelumnya dan adanya resisten efek samping obat yang di minum.

2.1.7 Pengobatan TB Paru

Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis yang digunakan untuk TB paru sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT

Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg)

Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid 25

( 20-30 )

35 ( 30-40 )

Steptomycin ( S ) Bakterisid 15

( 12-18 )

-Etambutol ( E ) Bakteriostatik ( 15-20 )15 ( 20-35 )30 (Depkes, 2008).

(17)

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan Rifampicin Semua OAT diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pyrazinamid Beri Aspirin

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 ( piridoxin ) 100 mg per hari

Warna kemerahan pada seni ( urine )

Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi penjelasan pada pasien

(Depkes, 2008).

Tabel 4.3 Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan kemerahan

kulit Semua jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan dibawah .

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol

Purpura dan rejatan (syok )

Rifampisin Hentikan Rifampisin (Depkes, 2008).

(18)

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal – gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis (Depkes, 2008).

2.2 Determinan TB Paru

Determinan TB paru menurut teori Prof. John Gordon dalam Widoyono (2011) menjelaskan bahwa terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga hal yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

2.2.1 Host 3. Umur

(19)

dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru dan merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.

Menurut Kusharyadi (2012) dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan usia. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :

a. Masa muda (18-29 tahun) b. Masa Tua (usia ≥ 30 tahun) 4. Jenis Kelamin

Penyakit TB Paru menyerang laki-laki dan perempuan. Menurut data WHO (2004), kematian wanita akibat TB di dunia lebih banyak dari pada kematian karena proses kehamilan, persalinan dan nifas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terserang TB Paru dari pada perempuan. Hal ini disebabkan mobilitas pria yang lebih tinggi dan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang TB Paru.

5. Pendidikan

(20)

6. Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan memengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit termasuk TB Paru. Dan faktor ini merupakan salah satu faktor penting penyebaran TB Paru khususnya di negara miskin.

Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi indikator atau mengambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn LM et al., 2009). IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut: Menurut rumus metrik:

BB IMT :

TB2

Keterangan

IMT : Indek Masa Tubuh BB : Berat Badan

TB : Tinggi Badan (Meter)

(21)

Tabel 2.1 Kategori ambang IMT

IMT Kategori

< 17,0 KEK

>17,0-18,5 Kurus

18,5-25,0 Normal

25,0-27,0 gemuk

> 27,0 Obesitas

7. Merokok

Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat 45 jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru yang sakit sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya. Pada perokok banyak dijumpai gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan. Apabila dilakukan uji fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita TB Paru.

Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :

i. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per hari.

ii. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per hari.

(22)

2.2.2 Agent

TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi sakit, dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan menggandakan terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.

Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010).

Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi. Patogenitas adalah kemampuan suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Patogenitas kuman tuberkulosis paru tergolong pada tingkat yang rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di dalamnya. infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi (Roeswendi, 2009).

(23)

1. Demam

Biasanya subfebril meyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh

sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. 2. Batuk/Batuk darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

c. Sesak nafas

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

d. Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

2.2.3 Environment

Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan kumuh, rumah yang lembab dan gelap, kamar tanpa ventilasi serta lingkungan tempat kerja yang buruk dapat mempermudah penularan TB Paru.

(24)

Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2 , dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun. Suhu kamar yang ideal adalah 20 sampai dengan 250c

b. Kelembaban Rumah, kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakanmedia yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab penyakit.

(25)

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.

d. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Fungsi sinar matahari didalam rumah sangat baik bagi kesehatan dimana sinar matahri yang masuk kedalam rumah dapat menghilangkan jamur dinding, mengusir nyamuk, membunuh bakteri dn virus yang ada di udara dan sebagai sumber energi. e. Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai

kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

f. Dinding rumah. Dinding rumah berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya.Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya.Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.

(26)

pencahayaan dan suhu kamar yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko terjadinya TB Paru sebesar 96%.

Berdasarkan hasil penelitian Ernita Azis, dkk (2008) dalam berita kedokteran masyarakat menemukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan risiko terkena TB meningkat 1,354 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.

2.3 Pencegahan TB Paru

Program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier, sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

2.3.1 Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau meningitis tuberkulosis. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di suatu negara (Depkes RI, 2008)

(27)

dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal . Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik (Depkes RI, 2008): 2.2.2 Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes RI, 2008).

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2008):

(28)

merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2008).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2008). 2.2.3 Pencegahan Tersier

(29)

karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (Depes RI, 2008).

Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis), namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-kondisi tersebut seperti: meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang. Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV. Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).

(30)

berkembang untuk tantangan TBC, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian tuberkulosis di masa depan untuk tahun 2015 (tahun target Millenium Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan TB sebagai masalah kesehatan publik secara global).

2.4 Kerangka Teoritis

Mengacu pada tinjauan pustaka di atas maka kerangka teori ini disimpulkan berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011)yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Host

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Status gizi 5. Merokok

TB Paru Agent (Riwayat Penyakit)

Envirotmen

a. Kepadatan Penghunian Rumah b. Kelembaban Rumah

c. Ventilasi Jendela dan Lubang Ventilasi

d. Pencahayaan Sinar Matahari e. Lantai Rumah

(31)

2.4 Kerangka Konsep

Mengacu pada kerangka teori diatas maka kerangka konsep disimpulkan berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011) yaitu sebagai berikut

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Host

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Status gizi 5. Merokok

TB Paru Agent (Riwayat Penyakit)

Envirotmen

1. Kepadatan Penghunian Rumah 2. Ventilasi Jendela dan Lubang

Ventilasi

3. Pencahayaan Sinar Matahari 4. Lantai Rumah

(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survei yang bersifat analitik dengan pendekatan Case Control dalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan “retrospective”, (Notoatmodjo, 2012), yang bertujuan untuk mengetahui Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mereubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat pada tanggal, 10 Oktober-27

Oktober 2016.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB di wilayah kerja UPTD Puskesmas Meureubo pada tahun 2015 yaitu sebanyak 64 orang dimana 32 responden merupakan pasien TB Paru dan 32 lainnya adalah masyarakat yang bukan pasien TB Paru.

(33)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling. Menurut Notoatmodjo (2012), prosedur pengambilan sampel penelitian ini adalah pengambilan sampel secara keseluruhan dikarenakan jumlah populasi yang sedikit yaitu sebanyak 64 orang.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Adapun kriteria inklusi dan ekslusi adalah sebagai berikut : 1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012) yaitu :

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : a. Responden yang 32 adalah pasien TB Paru

b. Responden yang 32 adalah bukan pasien TB Paru tetapi karakteristik yang dilihat adalah sama dengan pasien TB Paru

c. Responden yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas Meureubo d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian

2. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah;

(34)

b. Responden yang 32 adalah bukan pasien TB Paru tetapi karakteristik yang dilihat adalah tidak sama dengan psien TB Paru

c. Responden yang berdomisili di luar wilayah kerja puskesmas Meureubo d. Tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian

3.4 Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing (memeriksa), yaitu data yang telah didapatkan diedit untuk mengecek ulang atau mengoreksi untuk mengetahui kebenaran.

2. Coding, dimana data yang telah didapat dari hasil penelitian dikumpul dan diberi kode.

3. Tabulating data, data yang telah dikoreksi kemudian dikelompokkan dalam bentuk tabel.

4. Transfering data, dimana data yang telah dibersihkan dimasukkan dalam komputer kemudian data tersebut diolah dengan program komputer.

3.5 Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer

Data yang diperoleh dari peninjauan langsung kelapangan melalui pengamatan dilapangan dan kuisioner yang telah disusun sebelumnya. 2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat seperti data jumlah desa, jumlah pasien TB Paru,

(35)

3.6 Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Independen

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 Umur Usia

Kelamin Jenis kelamin responden Observasi Cheklis 1. Laki-laki2. Perempuan Ordinal 3 Pendidikan Jenjang

4 Status Gizi Status gizi responden

Penyakit Penyakit yang dialami responden baik

Hunian Jumlah keluargayang tinggal pada satu kamar

Observasi Cheklis 1. Padat

2. Tidak Padat Ordinal 8 Ventilasi

Jendela Jumlah jendeladi rumah dalam setiap

(36)

11 Dinding

TB Paru penyakit yang menyerang paru-paru

Rekam

Medis LembarObservasi 1.Ada2.Tidak Ada

Ordinal

3.7 Aspek Pengukuran Variabel

Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah skala Guddman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi ke nilai terendah berdasarkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2012).

1. Faktor Umur

Muda: jika responden berumur ≤ 30 Tahun = 0 Tua: jika responden berumur > 30 Tahun = 1 2. Faktor Jenis Kelamin

Laki-laki: jika responden berjenis kelamin laki-laki = 0 Perempuan: jika responden berjenis kelamin perempuan = 1 3. Faktor Pendidikan

Tinggi: jika responden tamatan SMA-Perguruan Tinggi = 1 Rendah: jika responden tamatan SD-SMP = 0

4. Faktor Status Gizi

Baik : jika IMT menyatakan baik = 1

(37)

5. Faktor Merokok

Ada : jika responden seorang perokok, baik perokok ringan, sedang maupun berat = 0

Tidak Ada: jika responden bukan seorang perokok = 1 6. Faktor Riwayat Penyakit

Ada: jika responden mendapat skor nilai > 2 Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2 7. Faktor Kepadatan hunian kamar

Padat: jika jumlah penghuni kamar > 2 orang dewasa 1 bayi Tidak padat: jika jumlah penghuni kamar ≤ 2 orang dewasa 1 bayi 8. Faktor Ventilasi Jendela

Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 1 Tidak Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 0 9. Faktor Pencahayaan Sinar Matahari

Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 1 Tidak Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 0 10. Faktor Lantai Rumah

Layak: jika lantai rumah terbuat dari keramik, semen, dan kayu yang bersih = 1

Tidak Layak: jika lantai rumah tanah = 0 11. Faktor Dinding Rumah

Layak: jika dinding rumah terbuat dari beton, dan kayu = 1

(38)

12. Faktor Kejadian TB Paru

Ada: jika responden mendapat skor nilai = 0 Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai = 1

3.8 Teknik Analisis Data 3.8.1 Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan untuk mendapat data tentang distribusi frekuensi dari masing-masing variabel, kemudian data ini di sajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3.8.2 Analisis uji t

(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

UPTD Puskesmas Meureubo merupakan Puskesmas yang berada di wilayah Kecamatan Meureubo. Berdiri pada tahun 1992 terletak di sebelah Barat Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat kurang lebih berjarak 3,5 km tepatnya berada di Gampong Meureubo. Luas wilayah 112,87 km2 dengan persentase luas

Kecamatan terhadap Kabupaten adalah 3,85% jumlah wilayah kerjanya meliputi 28 Gampong dengan dua kemukiman yaitu kemukiman Meureubo dengan kemukiman Ranto Panjang dari 28 desa 20 desa kategori desa biasa dan 8 desa masuk dalam kategori desa sangat terpencil , 2 gampong yaitu Peunaga Baro dan Pasir Putih merupakan gampong Persiapan untuk defenitif dengan batasannya :

 Sebelah Utara : Kecamatan Pante Ceureumen

 Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

 Sebelah Barat : Kecamatan Johan Pahlawan

 Sebelah Timur : Kabupaten Nagan Raya 4.1.2. Keadaan Demografis

Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan, dan juga merupakan beban dalam pembangunan, karenanya pembangunan diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Puskesmas Meureubo di harapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu di wilayah kerja sebanyak 28.711 jiwa terdiri atas 14760 laki-laki dan 13.951 perempuan dengan jumlah rumah tangga 6.629 rumah tangga dan rata-rata jiwa perumah tangga.

(40)

Adapun berdasarkan tingkat sosial ekonomi penduduk di Puskesmas Meureubo sebagian besar berada dikelompok menengah kebawah. Mata pencaharian sebagian besar adalah petani dan nelayan dan penyerapan tenaga kerja juga bertambah dengan dibuka areal pertambangan batubara di Kecamatan Meureubo.

4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Analisis Univariat

Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti:

1. Umur Responden

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Umur Responden Frekuensi %

1 Tua (> 30 tahun) 50 78,1

2 Muda (≤ 30 Tahun) 14 21,9

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

(41)

2. Jenis Kelamin Responden

Hasil perhitungan frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo

Dari tabel 4.2 dapat di ketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 39 orang (60,9%), responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (39,1%).

3. Pendidikan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut dibawah ini:

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Pendidikan Frekuensi %

1 Tinggi 23 35,9

2 Rendah 41 64,1

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.3 dapat di ketahui bahwa responden yang berpendidikan tinggi sebanyak 23 orang (35,9%), responden yang berpendidikan rendah adalah sebanyak 41 orang (64,1%).

4. Status Gizi

(42)

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Status Gizi Frekuensi %

1 Baik 39 60,9

2 Tidak Baik 25 39,1

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.4 dapat di ketahui bahwa responden yang status gizi baik adalah sebanyak 39 orang (60,9%), yang status gizi tidak baik adalah sebanyak 25 orang (39,1%).

5. Merokok

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel merokok dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini:

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Merokok Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Merokok Frekuensi %

1 Ada 36 56,3

2 Tidak Ada 28 43,8

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.5 dapat di ketahui bahwa responden yang merokok ada adalah sebanyak 36 orang (56,3%), yang merokok tidak ada adalah sebanyak 28 orang (43,8%).

6. Riwayat Penyakit

(43)

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016 No Riwayat Penyakit Frekuensi %

1 Ada 27 42,2

2 Tidak Ada 37 57,8

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.6 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki riwayat penyakit ada adalah sebanyak 27 orang (42,2%) dan responden memiliki riwayat penyakit tidak ada adalah sebanyak 37 orang (57,8%).

7. Kepadatan Hunian

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut dibawah ini:

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Kepadatan Hunian Frekuensi %

1 Padat 28 43,8

2 Tidak Padat 36 56,3

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.7 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki kepadatan hunian padat sebanyak 28 orang (43,8%) dan responden memiliki kepadatan hunian tidak padat sebanyak 36 orang (56,3%)

8. Ventilasi Jendela

(44)

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan ventilasi jendela Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Ventilasi jendela Frekuensi %

1 Ada 31 48,4

2 Tidak Ada 33 51,6

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.8 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki ventilasi jendela tidak ada sebanyak 33 responden (51,6%) dan responden yang memiliki ventilasi jendela ada sebanyak 31 responden (48,4%).

9. Pencahayaan Matahari

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pencahayaan matahari dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut dibawah ini:

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan Matahari Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Pencahayaan Matahari Frekuensi %

(45)

Tabel 4.10.Distribusi Responden Berdasarkan Lantai Rumah Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No Lantai Rumah Frekuensi %

1 Layak 43 67,2

2 Tidak Layak 21 32,8

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.10 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki lantai rumah layak sebanyak 43 responden (67,2%) dan responden yang memiliki lantai rumah tidak layak sebanyak 21 responden (32,8%).

11. Dinding Rumah

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel dinding rumah dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut dibawah ini:

Tabel 4.11.Distribusi Responden Berdasarkan Dinding Rumah Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016 No Dinding Rumah Frekuensi %

1 Layak 52 81,3

2 Tidak Layak 12 18,8

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.11 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki dinding rumah layak sebanyak 52 responden (81,3%) dan responden yang memiliki dinding rumah tidak layak sebanyak 12 responden (18,8%).

12. TB Paru

(46)

Tabel 4.12.Distribusi Frekuensi Berdasarkan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

No TB Paru Frekuensi %

1 Ada 32 50,0

2 Tidak Ada 32 50,0

Total 64 100

Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.12 dapat di ketahui bahwa responden yang ada mengalami TB Paru sebanyak 32 orang (50,0%) dan responden yang tidak ada mengalami TB Paru sebanyak 32 orang (50,0%)

4.2.2 Analisis Uji t

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dimana ada hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai pvalue < 0,05.

a. Perbedaan Umur dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.13.Perbedaan Umur Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,63 0,492 0,087 0,002 32

Tidak Ada 0,94 0,246 0,043 32

Sumber : data primer 2016

(47)

b. Perbedaan Jenis Kelamin dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.14.Perbedaan Jenis Kelamin Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,22 0,420 0,074 0,004 32

Tidak Ada 0,56 0,504 0,089 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.14, diperoleh hasil rata-rata jenis kelamin responden yang menderita TB Paru rata-rata umurnya adalah 0,22 dengan standar deviasi 0,420, sedaangkan responden yang tidak menderita TB Paru adalah 0,56 dengan standar deviasi 0,504. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,004, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata jenis kelamin antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

c. Perbedaan Pendidikan dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.15.Perbedaan Pendidikan Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,16 0,369 0,065 0,000 32

Tidak Ada 0,56 0,504 0,089 32

Sumber : data primer 2016

(48)

d. Perbedaan Status Gizi dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.16.Perbedaan Status Gizi Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,38 0,492 0,087 0,000 32

Tidak Ada 0,84 0,369 0,065 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.16, diperoleh hasil rata-rata status gizi responden yang menderita TB Paru adalah 0,38 dengan standar deviasi 0,492, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata status gizi adalah 0,84 dengan standar deviasi 0,369. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata status gizi antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

e. Perbedaan Merokok dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.17.Perbedaan Merokok Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,28 0,457 0,081 0,011 32

Tidak Ada 0,59 0,499 0,088 32

Sumber : data primer 2016

(49)

f. Perbedaan Kepadatan Hunian dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.18.Perbedaan Kepadatan Hunian Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,28 0,457 0,081 0,000 32

Tidak Ada 0,84 0,369 0,065 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.18, diperoleh hasil rata-rata kepadatan hunian kamar responden yang menderit TB Paru adalah 0,28 dengan standar deviasi 0,457, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata kepadatan hunian kamar adalah 0,84 dengan standar deviasi 0,369. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata kepadatan hunian kamar antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

g. Perbedaan Riwayat Penyakit dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.19.Perbedaan Riwayat Penyakit Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,72 0,336 0,059 0,000 32

Tidak Ada 0,13 0,457 0,081 32

Sumber : data primer 2016

(50)

h. Perbedaan Ventilasi Jendela dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.20.Perbedaan Ventilasi Jendela Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,25 0,440 0,078 0,000 32

Tidak Ada 0,72 0,457 0,081 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.20, diperoleh hasil rata-rata ventilasi jendela responden yang menderit TB Paru adalah 0,25 dengan standar deviasi 0,440, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata ventilasi jendela adalah 0,72 dengan standar deviasi 0,457. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata ventilasi jendela antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

i. Perbedaan Pencahayaan Sinar Matahari dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.21.Perbedaan Pencahayaan Sinar Matahari Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,09 0,296 0,052 0,000 32

Tidak Ada 0,72 0,457 0,081 32

Sumber : data primer 2016

(51)

j. Perbedaan Lantai Rumah dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.22.Perbedaan Lantai Rumah Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,59 0,499 0,088 0,189 32

Tidak Ada 0,75 0,440 0,078 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.22, diperoleh hasil rata-rata lantai rumah responden yang menderita TB Paru adalah 0,59 dengan standar deviasi 0,499, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata lantai rumah adalah 0,75 dengan standar deviasi 0,440. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,189, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata lantai rumah antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

k. Perbedaan Dinding Rumah dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.14.Perbedaan Dinding Rumah Responden Penderita TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016

TB Paru Mean SD SE Pvalue N

Ada 0,69 0,471 0,083 0,010 32

Tidak Ada 0,94 0,246 0,043 32

Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.13, diperoleh hasil rata-rata dinding rumah responden yang menderit TB Paru adalah 0,69 dengan standar deviasi 0,471, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata dinding rumah adalah 0,94 dengan standar deviasi 0,246. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,010, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata dinding rumah antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

(52)

4.3 Pembahasan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Host, Agent, Environtment Penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru di Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, status gizi, merokok, riwayat penyakit, kepadatan hunian, ventilasi jendela, pencahayaan matahari, lantai rumah dan dinding rumah dengan variabel dependen yaitu penyakit TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti hasil penelitian dilapangan yang peneliti lakukan dan didukung oleh data dari puskesmas.

4.3.1 Perbedaan Umur penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,002, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata umur antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa umur responden yang lebih tua lebih banyak mengalami TB Paru karena pada masa muda tidak menjaga pola hidup selain itu pada masa muda bekerja dengan giat dan kurang beristirahat sehingga di masa tua responden mengalami penyakit TB Paru.

(53)

menjelang usia tua. Kelenjar timus berperan dalam pendewasaan limfosit B dan limfosit T. pada kelompok usia 20 – 50 tahun ditemukan bahwa kadar hormone timus dalam serum relatif tetap dan mengalami penurunan yang signifikan pada usia 50 tahun keatas. Hal ini membuktikan bahwa kadar imunitas orang berusia 20 – 50 tahun relatif sama (Widoyono, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa umur >45 tahun mempunyai risiko 3,816 kali (OR 3,816 ; CI 1,701-8,558) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan umur ≤45 tahun.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Sari (2014), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Tanah Kali Kedinding Surabaya, hasil p value umur (0,010) < α (0,05).

4.3.2 Perbedaan Jenis Kelamin penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,004, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata jenis kelamin antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

(54)

penyakit TB Paru. Selain itu responden laki-laki lebih jarang memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan dan jarang mengkonsumsi obat jika sakit.

Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Notoatmodjo, 2012).

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Dotulong, Sapulete dan Kandou (2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori Minahasa Utara, hasil p value jenis kelamin (0,000) < α (0,05).

4.3.3 Perbedaan Pendidikan penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata pendidikan antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak mengalami penyakit TB Paru karena mereka tidak mengetahui tentang bahaya dan pencegahan atau penyebabb dari penykit TB Paru tersebut. Hal ini membuat responden yang berpendidikan rendah tidak menjaga pola hidupnya dengan baik karena kurangnya pengetahuan yang didapat sehingga mengalami kejadian TB Paru.

(55)

mengkondisikan rumahnya agar sehat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan yang baik akan berusaha mencegah terjadinya penularan yang mungkin terjadi.

Pernyataan mengenai tingkat pendidikan sebagai faktor risiko TB Paru sesuai dengan hasil penelitian Ratnasari (2005) yang menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor risiko TB paru hasil p value pendidikan (0,006) < α (0,05).

4.3.4 Perbedaan Status Gizi penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata status gizi antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa responden yang memiliki status gizi tidak baik lebih banyak mengalami kejadian TB Paru karena status gizi merupakan kondisi kesehatan sesorang, responden yang memiliki status gizi tidak baik akan lebih mudah mengalami peyakit karena daya tahan tubuhnya yang tidak baik. Dan pada saat kekebalan tubuh menurun atau lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.

(56)

laboratorium, metode biofisik, dan pengukuran antropometri. Kelompok kedua, penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut PSG tidak langsung karena tidak menilai individu secara langsung. Kelompok ketiga, penilaian dengan melihat variabel ekologi (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa status gizi yang buruk berisiko 5,113 kali untuk terinfeksi TB Paru dibanding orang dengan status gizi baik.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Nurhanah, Amiruddin, Abdullah (2010), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian TB Paru pada masyarakat di Propinsi Sulawesi Selatan 2007, hasil p value status gizi (0,000) < α (0,05).

4.3.5 Perbedaan Merokok penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,011, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata merokok antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

(57)

tidak merokok lebih sedikit mengalami kejadian TB Paru karena rumah bersih dari asap rokok sehingga tidak merusak paru-paru dan terhindari TB Paru .

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011a).

Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita TB Paru.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Anggraeni, Raharjo, dan Nurjazuli (2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, hasil p value kebiasaan merokok (0,0001) < α (0,05).

4.3.6 Perbedaan Riwayat Penyakit penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata riwayat penyakit antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

(58)

mudah untuk mengalami penyakit TB Paru karena daya tahan tubuh yang kurang baik. sedangkan repsonden yang tidak ada mengalami riwayat penyakit lebih sedikit mengalami penyakit TB Paru karena responden memiliki daya tahan tubuh yang baik sehingga tidak rentan atau tidak mudah mengalami penyakit TB Paru.

Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetus timbulnya TB Paru, karena penyakit yang di derita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau sementara menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu (Rizki, 2014)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Widyasari, Wuryanto, dan Setyawan (2012), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara riwayat penyakit seperti DM dengan kejadian TB Paru dewasa di Wilayah Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011, hasil p value riwayat penyakit (0,038) < α (0,05).

4.3.7 Perbedaan Kepadatan Hunian penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata kepadatan hunian kamar antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

(59)

kesehatan. Sedangkan responden yang memiliki kepadatan hunian tidak padat lebih banyak yang tidak mengalami kejadian TB Paru karena udara di dalam kamar terasa nyaman dan segar, pergantian udara dapat dihirup dengan baik oleh penghuni kamar, hal ini membuat fungsi paru-paru dapat bekerja dengan baik dan terhindar dari masalah kesehatan.

Kepadatan Penghuni Rumah, ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Hal ini dikarenakan kepadatan rumah yang tinggi akan mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat. Peningkatan CO2, sangat mendukung perkembangan bakteri. Hal ini di karenakan Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana (Hera, 2013)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Mawardi, dan Indah (2014), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Dadahup Kecamatan Dadahup Kabupaten Kapuas, hasil p value kepadatan huniaan (0,006) < α (0,05).

4.3.8 Perbedaan Ventilasi Jendela penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata ventilasi jendela antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Gambar

Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT
Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian activity daily living (ADL) dengan kualitas hidup pada lansia di Kelurahan Karangasem kecamatan

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Focus Group Discussion (FGD) karena pada saat dilakukan survey dan pendekatan ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Dampak Patologis Menghisap Lem pada Remaja di Desa Mendahra Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi secara

Manajer perusahaan harus menyadari pemberian motivasi merupakan faktor yang menentukan dalam usaha peningkatan kinerja dan produktivitas karyawan

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan acuan untuk pengembangan penelitian yang lebih spesifik dan mendalam, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan obesitas

2) Hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula. 3) Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya

Tenaga kependidikan pada satuan pendidikan kedinasan terdiri atas tenaga penunjang akademik dan pengelolaan satuan pendidikan. Tenaga penunjang akademik pada pendidikan kedinasan

UI-P DI EMPAT UNGKIJNGAN PERADIIAN MAHXAMAH ACI]NG RI,PUBUK INDONESIA KOORDINATOR WIIr'lYAH KAIIMANTAN BANAT.. Dua Riba Enafi Belat sesuai