• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kotler dalam Anwar (2009) mengatakan citra adalah ide serta impresi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kotler dalam Anwar (2009) mengatakan citra adalah ide serta impresi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Citra Tubuh

2.1.1. Pengertian Citra Tubuh

Kotler dalam Anwar (2009) mengatakan citra adalah ide serta impresi seseorang, citra sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku serta tindakan yang mungkin akan diperbuat. Citra atau image berarti gambaran, kesan, serta

bayang-bayang yaitu suatu pengalaman sentral atau yang disadari.

Tubuh atau raga adalah struktural individu dilihat dari proporsi badan secara keseluruhan dan anggota badan. Tubuh adalah bagian sentral suatu organisme yang mendukung anggota-anggota badan, dan kepala.

Raga adalah salah satu determinan kepribadian yang penting karena mempengaruhi kualitas dan kuantitas tingkah laku individu dan secara tidak langsung mampengaruhi cara individu merasakan tubuhnya sebagai suatu sumber evaluasi diri. Salah satu sumber dalam pembentukan persepsi tentang diri adalah gambaran tentang tubuh atau raga, juga sering disebut sebagai citra tubuh, yaitu penampilan diri, sikap terhadap raga sendiri dan konstitusi raga dalam persepsi individu tentang raga. Hal ini menyangkut bagaimana individu melihat tubuhnya pada saat bercermin, dan juga pengalaman yang pernah dialami dan dirasakannya mengenai tubuhnya itu.

(2)

Gambaran terhadap tubuh mencakup ukuran keadaan atau kondisi dan bentuk tubuh. Gambaran tersebut berasal dari sensasi-sensasi internal, perubahan sikap, hubungan dengan objek luar dan orang lain dan pengalaman emosional dan fantasi yang berhubungan dengan norma-norma sosial dan umpan balik dari orang lain.

Citra tubuh adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya, baik tehadap bagian-bagian tubuhnya maupun mengenai seluruh tubuhnya, berdasarkan penilaian sendiri. Selanjutnya citra tubuh dapat mendatangkan perasaan senang atau tidak senang terhadap tubuhnya sendiri.

Menurut Honigman dan Castle (Anwar, 2009) citra tubuh adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.

Citra tubuh pada umumnya lebih berhubungan dengan remaja wanita daripada remaja pria. Remaja wanita cenderung memperhatikan penampilan fisik. Penampilan fisik yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan remaja, dapat menyebabkan remaja tidak puas terhadap tubuhnya sendiri. Rasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya tersebut dapat menyebabkan remaja mempertahankan persepsi diri yang menyimpang, mempertahankan gambaran diri yang palsu, dan mengakibatkan gangguan penyesuaian diri.

Rasa puas atau tidak puas terhadap tubuhnya tersebut dapat menyebabkan remaja memiliki citra tubuh yang positif ataupun negatif. Citra tubuh positif adalah

(3)

apabila remaja merasa puas akan tubuhnya baik itu mengenai ukuran tubuh, bentuk tubuh pada bagian tertentu ataupun secara keseluruhan, sehingga remaja tidak merasa tidak percaya diri ketika berhadapan dengan orang banyak, tidak merasa bersalah atas bentuk tubuhnya dan merasa puas dengan bentuk dan ukuran tubuh yang dimilikinya.

Citra tubuh negatif adalah apabila remaja merasa tidak puas akan tubuhnya sendiri. Citra tubuh negatif ini biasanya dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Sering sekali remaja merasa terlalu gemuk ataupun terlalu kurus dari ukuran yang sebenarnya, selalu ingin mengubah bentuk tubuhnya melalui diet ataupun olah raga yang berlebihan. Dikehidupan sosial remaja sering merasa tidak percaya diri, malu bila berhadapan dengan orang banyak, sering bertanya tentang tubuhnya kepada keluarga ataupun teman, bahkan tidak jarang remaja melakukan perilaku makan yang menyimpang.

2.1.2. Aspek-aspek Citra Tubuh

Bentuk tubuh adalah suatu simbol diri seseorang individu, karena dalam hal tersebut seseorang dinilai oleh orang lain dan dinilai oleh dirinya sendiri. Menurut King dalam Anwar (2009) dalam evaluasi tubuh terdapat korelasi positif yang signifikan antara nilai-nilai bagian tubuh dan nilai aspek diri, serta berhubungan dengan citra tubuh ideal tentang sesuatu yang disukai dan tidak disukai. Seseorang selalu merasa tidak puas dengan bentuk badan, rambut, gigi, berat badan, ukuran dada dan tinggi badan. Dapat terlihat bahwa perhatian individu menilai penampilan dirinya atau orang lain tertuju pada perbagian tubuh misalnya hidung pesek, mata sipit, bibir tebal, atau keseluruhan tubuhnya misalnya badan terlalu gemuk atau kurus kering.

(4)

Menurut Jersild dalam Kurniati, (2004) tingkat citra tubuh individu digambarkan oleh seberapa jauh individu merasa puas terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan. Hardy dan Hayes (1988) menambahkan tingkat penerimaan citra tubuh sebagian besar tergantung pada pengaruh sosial budaya yang terdiri dari empat aspek yaitu reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan individu dan identifikasi terhadap orang lain. Komponen citra tubuh terdiri dari komponen perseptual dan komponen sikap menjadi landasan pengukuran. Komponen perseptual menunjukkan bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat untuk mewakili komponen-komponen tersebut, komponen sikap mengarah pada perasaaan dan sikap yang muncul dari kondisi tersebut. Perasaan diwakili dengan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya, sedangkan sikap diwakili oleh harapan-harapan mengenai tubuhnya, sebagai akibat dari harapan biasanya menjadi tindakan demi mewujudkan harapan tersebut (Anwar 2009).

Citra tubuh adalah adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian asat apa yang dia fikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira pendapat orang lain tentang tubuhnya.

Menurut Suryanie dalam Anwar (2009) aspek-aspek dalam citra tubuh yaitu persepsi terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan secara keseluruhan, aspek perbandingan dengan orang lain, dan aspek reaksi terhadap orang lain. Penilaian, perasaan dan harapan yang menyertai objek citra raga menjadi aspek dasar

(5)

pengukuran terhadap citra tubuh. Pengukuran terhadap aspek-aspek tersebut menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan seseorang terhadap bentuk-bentuk khusus tubuhnya.

Ketidakpuasan terhadap ukuran tubuh didefenisikan sebagai ketidaksesuaian antara ukuran tubuh yang sebenarnya dengan taksirannya atas ukuran tubuhnya. Rasa percaya diri berbanding terbalik dengan ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya. Remaja yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan lebih puas terhadap bentuk tubuhnya, demikian juga sebaliknya remaja yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah akan semakin tidak puas terhadap bentuk tubuhnya. Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek citra tubuh yaitu status citra diri dan tingkat kepauasan remaja akan bentuk tubuhnya.

2.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Citra tubuh

Berbagai macam penampilan fisik yang dianggap menarik atau tidak, banyak ditentukan oleh kebudayaan. Suryanie dalam Anwar (2009) menyatakan faktor sosial budaya berperan penting dalam citra tubuh. Ada anggapan masyarakat dalam lingkungan sosial tertentu mengenai tubuh ideal seperti harapan tubuh ramping dan wajah menarik. Citra seperti ini banyak digambarkan melalui media massa dan tubuh ideal cenderung disukai oleh gadis-gadis.

Schonfeld dalam Suryani (2005), faktor-faktor yang memengaruhi citra tubuh antara lain :

a. Reaksi orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain, agar dapat diterima oleh orang lain. Ia akan memperhatikan pendapat

(6)

atau reaksi yang dikemukakan oleh lingkungannya termasuk pendapat mengenai fisiknya.

b. Perbandingan dengan orang lain

Wanita cenderung lebih peka terhadap penampilan dirinya dan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain atau lingkungan disekitarnya.

c. Identifikasi terhadap orang lain.

Beberapa orang merasa perlu menyulap diri agar serupa atau mendekati idola atau simbol kecantikan yang dianut agar merasa lebih baik dan lebih menerima keadaan fisiknya.

Selain ketiga hal di atas, Hurlock dalam Anwar (2009) menambahkan faktor peran individu berpengaruh terhadap citra raga. Tubuh bagi individu berkaitan dengan peranan yang dipegangnya dalam kehidupan, khususnya dalam pergaulan. Ada suatu anggapan bahwa kedudukan tertentu atau peranan tertentu dalam pergaulan lebih mudah diraih oleh mereka yang mempunyai daya tarik fisik.

Menurut Melliana dalam Anwar (2009) faktor-faktor yang memengaruhi citra tubuh adalah:

a. Harga diri. Citra tubuh mengacu pada gambaran seseorang tentang tubuhnya yang dibentuk dalam pikirannya, yang lebih banyak dipengaruhi oleh individu itu sendiri dari pada penilaian orang lain tentang kemenarikan fisik yang sesungguhnya dimiliki, serta dipengaruhi pula oleh keyakinan dan sikapnya terhadap tubuh sebagaimana gambaran ideal dalam masyarakat.

(7)

b. Perbandingan dengan orang lain. Citra tubuh ini secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang atas fisiknya sendiri dengan standar yang dikenal oleh lingkungan sosial dan budayanya. Salah satu penyebab kesenjangan antara citra tubuh ideal dengan kenyataan tubuh yang nyata sering kali dipicu oleh media massa yang banyak menampilkan fitur dengan tubuh yang dinilai sempurna, sehingga terdapat kesenjangan dan menciptakan persepsi akan penghayatan tubuhnya yang tidak atau kurang ideal. Akibatnya adalah individu sulit menerima bentuk tubuhnya.

c. Bersifat dinamis. Citra tubuh bukanlah konsep yang bersifat statis atau menetap seterusnya, melainkan mengalami perubahan terus menerus, sensitif terhadap perubahan suasana hati, lingkungan dan pengalaman fisik inidvidual dalam merespon suatu peristiwa kehidupan

d. Proses pembelajaran. Citra tubuh merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain diluar individu sendiri, yaitu keluarga dan masyarakat, yang terjadi sejak dini ketika masih kanak-kanak dalam lingkungan keluarga, khususnya cara orang tua mendidik anak dan di antara kawan-kawan pergaulannya. Tetapi proses belajar dalam keluarga dan pergaulan ini sesungguhnya hanyalah mencerminkan apa yang dipelajari dan diharapkan secara budaya. Proses sosialisasi yang dimulai sejak usia dini, bahwa bentuk tubuh yang langsing dan proporsional adalah yang diharapkan lingkungan, akan membuat individu sejak dini mengalami

(8)

ketidakpuasan apabila tubuhnya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan, terutama orang tua.

2.1.4. Penilaian citra tubuh

Penilaian citra tubuh dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang sederhana kepada kelompok sasaran tentang bagaimana mereka mempersepsikan diri mereka sendiri, apa yang mereka pikirkan dan khawatirkan tentang tubuhnya.

Status citra tubuh (Concordia Health Service,1998), ditetapkan dengan

mengajukan 10 pertanyaan kepada responden. Skor jawaban adalah 1 untuk yang menjawab tidak pernah, 2 untuk yang menjawab kadang-kadang, dan 3 untuk yang menjawab sering/selalu.

Penilaian citra tubuh a. positif (apabila skor total 10-15) b. rata-rata (apabila skor total 16-23) c. Negatif (apabila skor total 24-30)

Tingkat kepuasan bentuk tubuh/ukuran tubuh (Licavoli and Brannon Quin, 1998), diukur dengan menggunakan pendekatan Body Image Score Self Satisfaction Quetionnaire (BISSSQ) dengan mengajukan 12 pertanyaan. Adapun skor

masing-masing jawaban adalah 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = seringkali, 3 = selalu. Kriteria kepuasan bentuk dan ukuran tubuh menurut penilaian BISSSQ adalah:

a. puas atau dapat menerima kenyataan tubuhnya (apabila skor total 0-7) b. sedikit tidak puas (apabila skor total 8-14)

c. Tidak puas tingkat sedang (apabila skor total 15-21) d. Sangat tidak puas (apabila skor total 22-28) dan

(9)

e. Amat sangat tidak puas (apabila skor total 29-36)

Kepuasan tentang citra tubuh juga dapat dinilai dengan pertanyaan untuk mengetahui apakah subjek penelitian ingin bertubuh lebih berat, lebih ringan, lebih tinggi atau lebih kecil. Gambar garis bentuk tubuh seperti gambar 2.1 dibawah ini melukiskan kisaran ukuran tubuh mulai dari tubuh yang beratnya sangat kurang hingga yang beratnya sangat berlebihan bagi anak-anak dan orang dewasa dan kedua jenis kelamin sering kali dipakai untuk menilai citra tubuh yang dirasakan. Dengan bantuan pertanyaan seperti “gambar mana yang bentuk tubuhnya terlihat paling mirip denganmu?” dan “gambar mana yang bentuk tubuhnya paling ingin Anda tiru?” maka gambar garis bentuk tubuh ini dapat memberikan informasi yang berguna tentang ukuran tubuh menurut persepsi sendiri yang kemudian dibandingkan dengan beberapa ukuran bentuk tubuh yang sebenarnya. Penilaian tentang ukuran tubuh yang sebenarnya meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan serta dapat mencakup lingkar tubuh serta pengukuran tebal lipatan kulit. (Gibney, 2009).

(10)

2.2 Remaja

Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dan masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan.

WHO mendefinisikan remaja sebagai anak telah mencapai urnur 10 - 19 tahun. Menurut Undang-Undang No. 4 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Menurut UU Perburuhan anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16 - 18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menganggap remaja bila sudah berusia 18 tahun yang sesuai dengan saat lulus dari Sekolah Menengah.

Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yang masing-masing ditandai dengan isu-isu biologik, psikologik dan sosial, yaitu: Masa Remaja Awal (10 - 14 tahun), Menengah (5 - 16 tahun) dan Akhir (17 - 20 tahun). Masa Remaja Awal ditandai dengan peningkatan yang cepat dan pertumbuhan dan pematangan fisik. Jadi tidaklah mengherankan apabila sebagian besar dan energi intelektual dan emosional pada masa remaja awal ini ditargetkan pada penilaian kembali dan restrukturisasi dan jati dirinya. Pada saat yang sama, penerimaan dan kelompok sebaya sangatlah penting.

Perubahan sosial yang penting pada masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, pola perilaku sosial yang lebih matang, penggelompokan

(11)

sosial baru, dan nilai-nilai baru dalam pemilihan pemimpin, dan dalam dukungan sosial. Masa remaja menengah ditandai dengan hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, timbulnya ketrampilan-ketrampilan berpikir yang baru, peningkatan pengenalan terhadap datangnya masa dewasa dan keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis dengan orang tua. Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai seorang dewasa, termasuk klarifikasi dan tujuan pekerjaan dan internalisasi suatu sistem nilai pribadi (Hurlock, 1980).

2.2.1. Gizi pada Masa Remaja

Pada masa remaja ini tumbuh kembang berlangsung pesat baik fisik maupun psikologis. Untuk mengimbangi tumbuh kembang yang pesat ini anak harus mendapat perhatian termasuk gizi yang baik. Setelah pertumbuhan yang lambat pada masa anak, maka pada masa remaja ini ditandai dengan pertumbuhan yang sangat pesat seperti halnya pada masa bayi.

Selama masa remaja terjadi kenaikan tinggi badan sekitar 20% tinggi dewasa dan 50% berat dewasa. Pertumbuhan pada masa remaja ini berlangsung sekitar 5 - 7 tahun, dengan persentasi tertinggi terjadi selama 18 - 24 bulan yaitu pada masa pacu tumbuh. Umur saat dimulainya masa pubertas dan pencapaian puncak pacu tumbuh setiap individu berbeda, pada umumnya anak perempuan lebih cepat daripada anak laki-laki. Pertumbuhan melambat setelah maturitas seksual tercapai, dan akhirnya berhenti pada anak perempuan sekitar umur 18 tahun dan laki-laki 20 tahun.

Selama masa pertumbuhan ini, komposisi tubuh juga mengalami perubahan. Pada masa pra-remaja, komposisi lemak tubuh pada anak laki-laki dan perempuan

(12)

relatif sama, masing-masing 15% dan 19%. Tetapi pada masa remaja pertumbuhan lemak anak perempuan lebih pesat, sehingga pada waktu dewasa menjadi 22% pada perempuan 15% pada laki-laki. Untuk menilai pertumbuhan anak pada masa ini dapat dilakukan dengan mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan tebalnya lipatan kulit, kemudian dibandingkan dengan baku nasional. Kalau tidak ada baku nasional, dapat digunakan baku yang disepakati bersama, misalnya baku NCHS. Sejalan dengan pertumbuhan fisik yang pesat pada masa remaja, juga terjadi perkembangan emosional dan intelektual yang pesat. Terjadi peningkatan kemampuan berpikir abstrak dan imajinasi. Kegalauan emosi pada masa ini juga dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makan anak. Remaja sering kurang nyaman dengan pertumbuhannya yang pesat tersebut, sedangkan di sisi lain mereka ingin berpenampilan seperti pada umumnya teman sebayanya atau idolanya. Sehingga remaja sangat rentan terhadap gangguan makan, seperti remaja perempuan melakukan diet yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Sedangkan remaja laki-laki mengonsumsi makanan suplemen agar ototnya tumbuh seperti orang dewasa.

Untuk menentukan kebutuhan zat makanan pada masa remaja agak sulit, karena pola pertumbuhan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan dan ukuran remaja yang bervariasi. Kebutuhan kalori dan protein anak perempuan lebih rendah daripada anak laki-laki karena dipengaruhi pula oleh umur, tinggi badan, berat badan anak dan aktifitasnya. Kebutuhan akan energi pada remaja putra berusia 11-18 tahun adalah 13-23 kkal/cm, sementara remaja putri dengan usia yang sama yaitu

(13)

10-19 kkal/cm. Banyaknya energy yang dibutuhkan oleh remaja dapat diacu pada tabel

RDA (Recommended Daily Allowances, (Arisman,2004)

2.2.2. Masalah gizi pada remaja.

Menurut Narendra (2002) masalah makan yang sering timbul pada masa remaja, adalah:

a. Makan tidak teratur 

Pada masa remaja aktifitasnya tinggi, baik kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka sering makan dengan cepat lalu keluar rumah. Tidak jarang mereka makan di luar rumah, dengan risiko mereka makan dengan komposisi gizi yang tidak seimbang. Banyak iklan makanan dengan sasaran remaja, antara lain restoran cepat saji. Oleh karena itu sebaiknnya di rumah disediakan sayur dan buah segar, untuk menjaga agar kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pola makan remaja sering kacau. Tidak jarang mereka makan pagi dan siang dijadikan satu, remaja perempuan cenderung sering melakukan diet dibanding remaja laki-laki. Padahal untuk memenuhi kebutuhan pada puncak pacu tumbuh, mereka memerlukan makan lebih sering atau dalam jumlah yang banyak, agar pertumbuhannya optimal. Tetapi hati-hati pada saat pertumbuhan mulai melambat, karena kebiasaan makan berlebihan dapat mengakibatkan berbagai penyakit yang merugikan antara lain obesitas. Kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obat terlarang merupakan masalah remaja yang dapat mempengaruhi asupan makanan dan status gizinya. Keadaan ini tergantung pada jumlah dan lama pemakaian dan status kesehatan remaja yang bersangkutan.

(14)

b. Anoreksia nervosa

Remaja dengan gangguan anoreksia nervosa pada umumnya disebabkan

kesalahan dalam menginterprestasikan penampilannya dengan cara menurunkan berat badannya. Asupan energi berkurang tetapi pengeluaran meningkat melalui olahraga yang berlebihan, bahkan kadang-kadang melalui rangsangan sendiri agar muntah, atau menggunakan laksansia atau diuretik. Tidak jarang gangguan psikologis ini menetap dan tidak bisa diatasi sendiri.

c. Bulimia Nervosa

Bulimia nervosa lebih sering pada dewasa, jarang menyebabkan penurunan status

gizi yang sering seperti pada anoreksia nervosa. Pada umumnya penderita

bulimia mempertahankan berat badannya normal atau mendekati normal, dengan cara memuntahkan secara periodik makanan yang dimakan. Mereka cenderung mempunyai pendapat yang tidak realistis terhadap makanan yang diperlukan oleh tubuh. Keadaan ini akan menjadi masalah yang serius bila menjadi suatu obsesi, sehingga dapat mempengaruhi sekolah/pekerjaannya.

d. Obesitas

Obesitas pada masa remaja dapat disebabkan faktor psikologis, fisiologis maupun adat istiadat. Makin lama remaja mengalami obesitas, makin besar kecenderungannya menjadi obesitas sampai dewasa. Pendidikan tentang penanggulangan kegemukan dapat dibuat lebih efektif dengan melalui berbagai cara pendekatan, misalnya melalui organisasi pemuda atau kelompok olah raga.

(15)

Agar berhasil, program terapi harus meliputi diet, olah raga, dan dukungan psikologis termasuk dan keluarganya.

2.3. Perilaku Makan Remaja

Perilaku (behavior) adalah suatu tindakan yang mempunyai frekuensi, lama,

dan tujuan khusus baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar (Green, 1980).

Skiner dalam Atmodjo (2007), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa prilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan (healthy behavior) adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek

yang berkaitan dengan sehat-sakit, peñyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.

Menurut Levi dalam Purwaningrum (2008) aspek-aspek perilaku makan adalah sebagai berikut :

(16)

1. Keteraturan waktu makan.

Keteraturan waktu makan adalah konsistensi untuk mengikuti anjuran tiga waktu makan yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam. Keteraturan waktu makan bukan saja memberi cadangan energi bagi tubuh namun dapat juga menyeimbangkan metabolisme tubuh. Bagi pelajar sarapan pagi dapat meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar. Sarapan pagi juga dapat menghindarkan diri dari mengonsumsi berbagai makanan ringan pada saat sebelum makan siang atau makan malam dengan porsi yang lebih besar yang pada ahirnya dapat menyebabkan masalah gizi. 2. kebiasaan makan.

Kebiasaan makan dapat dilihat dalam beberapa hal diantaranya aktifitas yang dilakukan ketika makan. Pada saat makan dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas yang lain seperti menonton televisi, berdiskusi, ataupun aktifitas lainnya. Hal tersebut bukan saja dapat mengganggu kenikmatan pada makanan namun dapat juga menyebabkan kurangnya pengendalian diri pada banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi. 3. Alasan makan.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan remaja makan, seperti makan dilakukan karena memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu makan karena untuk memenuhi rasa lapar dan berhenti setelah merasa kenyang. Makan juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan psikologis dengan

(17)

mengikuti perasaan dan suasana hati, dan terkadang makan juga digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial agar dapat bersosialisasi dengan teman sebaya atau kelompok bahkan dapat juga untuk meningkatkan gengsi.

4. jenis makanan yang di makan.

Terkadang remaja tidak terlalu jeli dalam memilih makanan. Dalam memilih jenis makanan kadang lebih banyak hanya mempertimbangkan nilai gengsi makanan bukan pada kandungan gizi makanan tersebut. Hal tersebut menyebabkan banyak remaja menggonsumsi makanan cepat saji yang tinggi lemak namun sedikit serat.

5. perkiraan kalori yang dikandung makanan yang dimakan.

Pada sebagian orang jumlah kalori yang dikandung dalam makanan bukanlah hal yang penting, namun pada sebagian lainnya dengan tujuan tertentu jumlah kalori yang terkandung dalam makanan merupakan sesuatu yang sangat diperhitungkan.

Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku makan mencakup praktek terhadap makan, alasan makan, jenis makanan yang dimakan dan perkiraan jumlah kalori dalam makanan.

Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif, dan psikososial. Dalam masa pencarian identitas ini, remaja cepat sekali terpengaruh oleh

(18)

lingkungan. Kegemaran yang tidak lazim, seperti pilihan untuk menjadi vegetarian, atau food fadism, merupakan sebagian contoh keterpengaruhan ini. Kecemasan akan

bentuk tubuh membuat remaja sengaja tidak makan, tidak jarang berujung pada

anoreksia nervosa. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar atau

hanya menyantap kudapan. Lebih jauh, kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan media (terutamá iklan di televisi). Teman (akrab) sebaya berpengaruh besar pada remaja, dalam hal memilih jenis makanan.

Hampir 50% remaja terutama remaja yang lebih tua, tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan masih banyak remaja (89%) yang menyakini kalau sarapan memang penting, namun mereka yang sarapan secara teratur hanya 60%. Remaja putri malah melewatkan dua kali waktu makan, dan lebih memilih kudapan. Sebagian besar kudapan bukan hanya hampa kalori, tetapi juga sedikit sekali mengandung zat gizi, selain dapat mengganggu (menghilangkan) nafsu makan.

Masalah lain yang mungkin dapat memengaruhi gizi ialah anoreksia nervosa, anoreksia nervosa merupakan masalah kejiwaan, namun terkait erat dengan masalah

gizi. Masalah lain ialah bolos sekolah, neurosis vegetatif psikosomatik (misalnya sakit

kepala, dan perut), kelainan haid, penyakit jiwa, dan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia.

Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan) dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengunyah junk food (Johnson dkk,

(19)

1994). Di samping itu, kekhawatiran menjadi gemuk telah memaksa mereka untuk mengurangi jumlah pangan yang seharusnya disantap.

2.4. Status Gizi Remaja

Status gizi anak umur 6-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu umur 6-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan pada kelompok umur ini didasarkan pada pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U). Indeks masa tubuh dihitung berdasarkan rumus berikut :

BB (kg) IMT =

TB(m²)

Dimana: BB = Berat Badan dan TB = Tinggi Badan

Dengan menggunakan baku antropometri anak 5-19 tahun WHO 2000 dihitung nilai score IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score ini status gizi dikategorikan sebagai berikut (Rimbawan dan Siagian,2004) :

Tabel 2.1. klasifikasi bentuk tubuh dan risiko penyakit berdasarkan IMT Kategori IMT

(kg/m²)

(20)

Kurus (Underweight) Normal (ideal) Over Weight At Risk Obes I Obes II <18,5 18,5-22,9 ≥23 23,0-24,9 25,0-29,9 >=30 Rendah Rata-rata Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya

2.5. Citra tubuh dan perilaku makan

Citra tubuh atau gambaran remaja tentang tubuhnya memengaruhi perilaku makannya sehari-hari. Remaja yang memiliki citra tubuh positif akan memiliki harga diri yang tinggi, merasa mampu dan berfikir dengan penuh percaya diri. Dengan demikian remaja tersebut memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat untuk dirinya. Sebaliknya, remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif akan memilih harga diri yang rendah, merasa tidak seimbang, menganggap dirinya tidak mampu melaksanakan tugas, sehingga remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat bagi dirinya. Contohnya, remaja yang memiliki citra tubuh yang positif akan merasa bahwa tubuh dan penampilannya menarik. Perasaan yang menyenangkan ini muncul karena remaja memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Walaupun pada kenyataannya tubuh dan penampilannya kurang menarik, tetapi individu tersebut tidak diliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian pada diri sendiri karena tubuh dan penampilannya yang menarik bukan merupakan satu-satunya syarat agar mereka memperoleh pengakuan dari lingkungan dan teman sebayanya.

(21)

Citra tubuh ini memengaruhi remaja dalam perilaku makannya. Perilaku makan benar-benar dipandang sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup sehingga remaja selalu memperhatikan jumlah kalori dan nilai gizi pada makanan yang dikonsumsinya. Sebaliknya remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif, merasa tidak puas dengan tubuh dan penampilan dirinya sendiri.

Witari dalam Anwar (2009) menyatakan bahwa gejala-gejala tentang citra raga yang kurang baik meliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian pada diri sendiri. Gejala-gejala ini biasanya muncul akibat rasa bersalah yang dihubungkan dengan makanan. Akibatnya, makanan dianggap sebagai musuh dan makan semata-mata hanya kegiatan yang dikaitkan dengan konflik dan bukan sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Remaja yang memiliki citra tubuh yang negatif ini akan berperilaku makan negatif seperti selalu menghitung jumlah kalori yang masuk, tidak puas terhadap berat badannya, dan menyiksa tubuhnya dengan gizi yang minimum.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa citra tubuh memberikan pengaruh pada perilaku makan remaja putri. Remaja yang mempunyai citra raga positif, akan cenderung berperilaku makan yang sehat. Sebaliknya remaja yang memiliki citra diri negatif, akan cenderung berperilaku makan yang kurang sehat.

2.6. Perilaku makan dan status gizi remaja

Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Public Health Problem). Hasil Survei

(22)

hamil adalah 50,9 persen pada tahun 1995 dan turun menjadi 40 persen pada tahun 2001, sedangkan pada wanita usia subur 15-44 tahun masing-masing sebesar 39,5 persen pada tahun 1995 dan 27,9 persen pada 2001. Prevalensi anemia gizi berdasarkan SKRT 2001 menunjukkan bahwa 61,3 persen bayi < 6 bulan, 64,8 persen bayi 6-11 bulan, dan 58 persen anak 12-23 bulan menderita anemia gizi.

Penyebab utama anemia gizi di Indonesia adalah rendahnya asupan zat besi (Fe). Anemia gizi besi dapat menyebabkan penurunan kemampuan fisik, produktivitas kerja, dan kemampuan berpikir. Selain itu anemia gizi juga dapat menyebabkan penurunan anti bodi sehingga mudah sakit karena terserang infeksi. Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai generasi penerus merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah remaja putri pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan remaja putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja putra.

Remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarga sejumlah zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Dep.Kes. 1998)

(23)

Hasil penelitian di Kota Bengkulu didapatkan bahwa prevalensi gizi kurang remaja sebesar 27,8 %. Hasil uji menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara asupan total energi (p=0,015), asupan protein (p=0,034), asupan lemak (p=0,027, asupan karbohidrat (p=0,023), dan status riwayat malaria (p=0,019) dengan status gizi (Wuryani,2007).

Remaja juga potensial mengalami status gizi kurang maupun obesitas yang disebabkan kebiasaan mengonsumsi makanan olahan/ cepat saji dalam jumlah yang berlebihan. Junk food sangat sedikit mengandung kalsium, besi, asam folat, vitamin

A dan C sementara kandungan lemak jenuh, kolesterol dan natrium tinggi.

Remaja yang melakukan diet dengan mengurangi jumlah konsumsi makanan dari yang seharunya dan tidak variatif akan berdampak pada status gizi dan kesehatan remaja, seperti pertumbuhan remaja terganggu, gangguan pencernaan dan reproduksi.

Remaja juga bisa menderita anorexia nervosa dan bulimia nervosa yang bila

terjadi dalam jangka waktu lama dan tidak segera diatasi bisa bermuara pada kematian. Remaja dengan pola diet yang salah akan menyebabkan terjadinya penumpukan lemak di pembuluh darah yang bisa memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, hipertensi, serta penyakit jantung. Lemak yang menumpuk juga bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang bisa menyebabkan stroke. Sedangkan remaja yang malas makan bisa terkena penyakit gastritis atau tukak lambung.

Meski asupan kalori dan protein sudah tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium, dan beberapa vitamin ternyata masih kurang. Secara garis besar,

(24)

sebanyak 44% wanita di negara berkembang (10 negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia) mengalami anemia kekurangan besi, sementara wanita hamil lebih besar lagi, yaitu 55%, hal inisebabkan perilaku makan remaja yang tidak baik.

Ketidakimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, artritis, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit.

Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan ada pengaruh perilaku makan terhadap status gizi remaja.

2.7. Landasan teori 

Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada teori aksi beralasan/ theory of reasoned action (Fishbein dan Ajzen,1975). Teori ini menyatakan bahwa perilaku

pada umumnya mengikuti niat, seseorang berniat untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sikap (positif atau negatif) terhadap perilaku dan pengaruh lingkungan sosial (norma subyektif umum) pada perilaku.

Teori ini kemudian diadaptasi oleh Wang dalam penelitiannya yang berjudul

Social ideological influences on reported food consumption and BMI, dengan

(25)

Gambar 2.2. Theory Of Reasoned Action dalam Wang et al.

Landasan teori dalam penelitian ini dimodifikasi dari penelitian diatas sehingga didapatkan kerangka teori sebagai berikut :

Hasil/Akibat Perilaku Makan Sikap/Body Image     Ideologi makanan     Egaliter Materialisme Sikap / persepsi Kesehatan (Body Image) Perilaku Makan Pentingnya kesehatan Status Gizi Feminitas  

Gambar 2.3. Kerangka Teori pengaruh citra tubuh terhadap perilaku makan dan status gizi remaja di SMUN 1 Medan Tahun 2011.

Kerangka teori diatas menjelaskan bahwa status gizi dipengaruhi oleh perilaku makan, sedangkan perilaku makan dipengaruhi oleh pendapat tentang pentingnya kesehatan, sedangkan pendapat tersebut dipengaruhi oleh sikap atau persepsi tentang kesehatan yang dipengaruhi oleh egaliter, materialism dan feminitas.

(26)

2.8. Kerangka Konsep Penelitian 

  Citra Tubuh Perilaku Makan

Status Gizi Remaja

Gambar 2.4. Kerangka Konsep pengaruh citra tubuh terhadap perilaku makan dan status gizi remaja di SMUN 1 Medan Tahun 2011.

Keterangan gambar :

Gambar kerangka konsep diatas menjelaskan bahwa status gizi remaja putri dipengaruhi oleh perilaku makan remaja yang meliputi keteraturan waktu makan (sarapan, makan siang dan makan malam), kebiasaan pada saat makan, Alasan makan (memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan sosial), jenis makanan yang di makan, frekuensi makan, dan perkiraan jumlah kalori dalam makanan, dimana perilaku makan itu terbentuk karena citra tubuh remaja itu sendiri.

Gambar

Gambar 2.3. Kerangka Teori pengaruh  citra tubuh terhadap perilaku makan    dan status gizi remaja di SMUN 1 Medan Tahun 2011
Gambar 2.4. Kerangka Konsep pengaruh citra tubuh terhadap perilaku makan  dan status gizi remaja di SMUN 1 Medan Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun penelitian dilakukan pada responden dengan karakteristik yang berbeda dan tentunya responden dengan tahapan perkembangan usia yang berbeda didapatkan hasil

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

Luaran dari program ini adalah sebuah robot tanam benih padi yang diberi nama RTB 46, yaitu robot yang mampu melakukan penanaman benih padi secara tepat jumlah dan seragam

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa pemahaman karak- ter dasar siswa kelas VIII G di SMP Negeri 34 Semarang tahun ajaran 2015/2016 dapat diting- katkan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan prevalensi asma di Propinsi Jawa Timur tahun 2018.. Kata kunci : perilaku,

a) Pasukan Penyiasat bertanggungjawab menyediakan Laporan Hasil Siasatan atau Laporan Akhir dan kemukakan kepada Urusetia Kehilangan dan Hapuskira dalam tempoh dua

Jumlah energi yang dipancarkan dalam bentuk radiasi per sekon oleh benda hitam 16 kali energi yang dipancarkan benda tersebut sebelumnya pada suhu 2.000 KA. Besaran

Tantangan yang dihadapi dalam penelitian ini adalah tidak menggunakan masker saat ada orang yang datang di rumah, menggunakan masker scuba, mengikuti pertemuan dengan