BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Respon
Respon berasal dari kata response yang berarti jawaban, balasan, atau tanggapan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, respon adalah tanggapan, reaksi, dan jawaban (kbbi.we.id).
Scheerer (dalam Sarwono, 2006: 87) mengemukakan respon (balas) adalah proses pengorganisasian rangsang. Rangsang proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsang proksimal itu. Proses itulah yang dimaksud respon.
Orang Dewasa, menurut Hunt (1962), mempunyai sejumlah besar unit untuk memproses informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri seorang individu (internal environment). Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang oleh Hunt dinamakan respon (Sarwono, 2006: 87).
Secara keseluruhan respon individu atau kelompok terhadap suatu situasi fisik dan non fisik dapat di lihat dari tiga tingkatan yaitu persepsi, sikap dan tindakan. Konsep respon manusia lebih banyak dikemukakan oleh bidang –bidang ilmu sosial yang melihat respon pada tindakan dan perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Simon dalam Wijaya membagi respon seseorang kedalam tiga hal, yaitu:
a) Persepsi b) Sikap
c) Partisipasi (id.svhoong.com diakses pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 17.42)
2.1.1 Persepsi
Persepsi secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi. Apa yang diperoleh, ditafsirkan, dipilih, dan diatur adalah informasi indrawi dari lingkungan sosial serta yang menjadi fokusnya adalah orang lain (Sarwono & Meinarno, 2009: 24).
Scheerer (1954) menyatakan bahwa persepsi adalah representasi fenomenal tentang objek distal sebagai hasil pengorganisasian objek distal itu sendiri, medium, dan ransang proksimal (Sarwono, 2006: 88).
Empat aspek dari persepsi yang menurut Berlyne (dalam Sarwono, 2006: 88) dapat membedakan persepsi dari berpikir adalah:
a) Hal-hal yang diamati dari sebuah rangsang bervariasi, tergantung pola dari keseluruhan dimana rangsang tersebut menjadi bagiannya.
b) Persepsi bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu. c) Persepsi bervariasi tergantung dari arah (fokus) alat-alat indra.
d) Persepsi cenderung berkembang ke arah tertentu dan sekali terbentuk kecenderungan itu biasanya akan menetap.
Tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi, Krech & Crutchfield (dalam Sarwono, 2006: 88) menyatakan bahwa ada dua golongan variabel yang mempengaruhi persepsi, yaitu:
a) Variabel struktural, yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang fisik dan proses neurofisiologik;
b) Variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, seperti kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau, dan sifat-sifat individual lainnya.
Persepsi oleh Bruner (dalam Sarwono, 2006: 88) diuraikan secara lebih rinci. Bruner mengatakan bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (objek-objek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme itu merespon dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori objek-objek atau peristiwa-peristiwa. Proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian, persepsi juga bersifat inferensial (menarik kesimpulan).
2.1.2 Sikap
Menurut Allport (dalam Sarwono & Meinarno, 2009: 81), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, diatur melalui pengalaman, menggunakan pengaruh petunjuk atau dinamis atas respon individual terhadap semua objek dan situasi terkait. Dengan kata lain, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi.
Sikap adalah konsep yang dibentuk oleh tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif berisi semua pemikiran serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap. Isi pemikiran seseorang meliputi hal-hal yang diketahuinya disekitar objek sikap, dapat berupa tanggapan atau keyakinan, kesan, atribusi, dan penilaian tentang objek sikap tadi. Komponen afektif dari sikap meliputi perasaan atau emosi seseorang terhadap
objek sikap. Adanya komponen afeksi dari sikap, dapat diketahui melalui perasaan suka atau tidak suka, senamg atau tidak senang terhadap objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penialian seseorang terhadap objek sikap inilah yang mewarnai sikap menjadi suatu dorongan atau kekuatan/daya. Komponen perilaku dapat diketahui melalui respon subjek yang berkenaan dengan objek sikap. Respon yang dimaksud dapat berupa tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intensi atau niat untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap. Intensi merupakan predisposisi atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek sikap. Jika orang mengenali dan memiliki pengetahuan yang luas tentang objek sikap yang disertai dengan perasaan positif mengenai kognisinya, maka ia akan cenderung mendekati (approach) objek sikap tersebut (Sarwono & Meinarno, 2009: 83).
2.1.3 Partisipasi
Keith Davis dan W. Newstrom (1990 : 179) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan kelompok dan bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan itu. Pendapat tersebut tidak begitu berbeda dengan pendefinisian menurut Pariata Westra (1987 :17) yang menyatakan bahwa “partisipasi adalah penyertaan pikiran dan emosi dari pekerjaan ke dalam situasi kelompok yang mendorong agar mereka menyumbangkan kemampuan ke arah tujuan kelompok yang bersangkutan dan ikut serta bertanggung jawab atas kelompoknya”.
Dari pendapat di atas, ada tiga hal gagasan penting yaitu :
b) Motivasi kontribusi.
c) Tunjang terima tanggung jawab ( Bawono, 2008: 30)
2.2 Mahasiswa
Berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi, yang dimaksud mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Dengan kata lain, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut, akademi, atau sederajat.
2.2.1 Mahasiswa Sebagai Civitas Akademika
Pasal 13 Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 menyebutkan sebagai anggota sivitas akademika, mahasiswa diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi dan/atau profesional. Dalam rangka pengembangan potensi dirinya, mahasiswa secara aktif melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, penguasaan kebenaran ilmiah dan pengamalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Masih dalam rangka pengembangan potensinya, mahasiswa memiliki kebebasan akdemik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggungjawab sesuai dengan budaya akademik. Untuk mendukung pengembangan potensinya, mahasiswa berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi dan kemampuannya melalui kegiatan kurukuler dan ekstrakurikuler. Dalam posisinya sebagai sivitas akademika, mahasiswa berkewajiban untuk menjaga etika dan menghormati norma pendidikan tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik.
2.3 Kebijakan Publik
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah (Winarno, 2014: 22). Kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, misalnya kelompok-kelompok penekan dan kelompok-kelompok kepentingan.
Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administratur, penasihat, raja, dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui oleh sebagian terbesar anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan (Winarno, 2014: 23).
2.3.1 Tahap-Tahap Kebijakan
Tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut:
Bagan 2. 1
Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh umit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap imlementasi ini berbagai kepentingan akan salng bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana kebijakan, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
Pada tahap ini kebijhakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluiasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik apda dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diiinginkan.
2. 4 Uang Kuliah Tunggal
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013, Biaya Kuliah Tunggal merupakan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi, yang digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa, masyarakat dan Pemerintah. Uang Kuliah Tunggal adalah biaya yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya dan ditetapkan berdasarkan Biaya Kuliah Tunggal dikurangi biaya yang ditanggung Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, ditetapkan pula dua jenis Uang Kuliah Tunggal, yaitu Uang Kuliah Tunggal Kelompok I dan Uang Kuliah Tunggal Kelompok II. Namun, pada tahun 2014 diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2014, yang membuat beberapa perubahan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa bagian yang diubah dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 yaitu Pasal (3) dan Pasal (4).
2. 4. 1 Besaran Uang Kuliah Tunggal di Universitas Sumatera Utara
Mulai Tahun Ajaran 2013/2014, Universitas Sumatera Utara resmi mengadopsi sistem Uang Kuliah Tunggal per Tahun Ajaran 2013/2014. Dengan Uang Kuliah Tunggal ini mahasiswa membayarkan biaya pendidikan tiap 1 (satu)
semester tanpa tambahan biaya lain-lain di antaranya uang pangkal/ biaya gedung, biaya praktek/lab dll.
Uang kuliah tunggal mengelompokkan mahasiswa berdasarkan penghasilan orang tua. Prosedurnya, calon mahasiswa diharuskan mengisi form secara online ketika melakukan pendaftaran. Selanjutnya pada saat pendaftaran ulang mahasiswa harus membawa berkas tersebut surat membuat pernyataan diatas materai Rp 6.000.
Pihak universitas akan memverifikasi kebenarannya ke lapangan. Universitas Sumatera Utara akan mengambil tindakan tegas bagi mahasiswa yang memalsukan data untuk menentukan kriteria uang kuliah. Apabila mahasiswa ketahuan mengirimkan data satu tingkat lebih rendah dari seharusnya maka akan dikenakan Uang Kuliah Tunggal paling mahal. Sedangkan apabila terbukti mengirimkan data dua tingkat lebih rendah , maka mahasiwa itu akan langsung dipecat.
Uang Kuliah Tunggal Universitas Sumatera Utara dibagi Tujuh kelompok/kriteria uang kuliah. Biaya pendidikan paling rendah Rp 500.000, tertinggi untuk program regular di fakultas kedokteran mencapai Rp 6.200.000 per semester (dtm.usu.ac.id diakses pada tanggal 29 Februari 2016 Pukul 17.20 WIB).
Tabel 2. 1
2. 5 Kerangka Pemikiran
Pasal (33) ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warganegara berhak untuk memperoleh pendidikan. Artinya, tanpa memandang siapapun warganegara itu, ia berhak untuk memperoleh pendidikan, tidak boleh ada suatu apapun yang menghalangi warganegara untuk memperoleh hak pendidikan.. Namun pada kenyataannya, ada saja hambatan yang menghalangi warganegara untuk memperoleh haknya Oleh karena itu, Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan tersendiri untuk meningkatkan tanggungjawabnya terhadap warganegara.
Untuk meningkatkan tanggungjawab pada bidang pendidikan, terutama di lingkungan perguruan tinggi negeri, Pemerintah menerbitkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal yang salah satu tujuannya adalah untuk menghapus uang pangkal masuk perguruan tinggi negeri yang dirasa cukup memberatkan calon mahasiswa baru. Namun, fakta dilapangan berbicara lain. Banyak yang menilai kebijakan ini justru membuat biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri semakin mahal dan semakin memberatkan. Apalagi ditengah situasi ekonomi yang tidak menentu, harga-harga semakin naik.
.Mahasiswa sebagai sivitas akademika, dianggap memiliki kesadaran sendiri, tentunya harus peka terhadap lingkungan sekitarnya, peka terhadap isu-isu yang berkembang, termasuk terhadap kebijakan uang kuliah tunggal, ada respon tertentu terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal. Respon mahasiswa diukur dari tiga aspek, yaitu sikap, persepsi, dan partisipasi dimana dari tiga aspek itu akan menghasilkan respon positif, netral maupun negatif.
Untuk mendukung penjelasan di narasi kerangka pemikiran, maka di buatlah skematisasi kerangka pemikiran. Skematisasi kerangka pemikiran adalah proses transformasi narasi yang menerangkan hubungan atau konsep-konsep atau variabel-variabel
menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada hanyalah perubahan cara penyajian dari narasi menjadi skema (Siagian, 2011: 132).
Bagan 2. 2
Bagan Alur Pikir
Kebijakan Uang Kuliah
Tunggal
Persepsi
1. Atensi mahasiswa terhadap kebijakan uang kuliah tunggal. 2. Pemahaman mahasiswa
terhadap informasi yang didapat tentang kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Sikap
1. Setuju tidaknya mahasiswa terhadap adanya kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
2. Membantu tidaknya
kebijakan Uang Kuliah
Tunggal ini dalam
meringankan biaya kuliah.
3. Mengharapkan atau
tidaknya mahasiswa
terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Partisipasi
1. Inisiatif mahasiswa dalam
mencari informasi kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Respon Positif Respon Netral Respon Negatif
2. 6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2. 6. 1 Defenisi Konsep
Defenisi konsep merupakan proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep yang akan diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian untuk memaknai konsep sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).
Adapun batasan konsep yang dibuat peneliti yaitu:
1. Respon adalah reaksi, tanggapan, maupun jawaban atas suatu rangsangan dimana reaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah menerima rangsangan.
2. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang perguruan tinggi.
3. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah.
4. Uang Kuliah Tunggal adalah biaya yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya dan ditetapkan berdasarkan Biaya Kuliah Tunggal dikurangi biaya yang ditanggung Pemerintah.
Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Tujuannya adalah untuk memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian lapangan. Maka perlu operasionalisasi dari konsep-konsep yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009:120).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Persepsi Mahasiswa terhadap Kebijakan Uang Kuliah Tunggal dapat diukur dari:
a. Pengetahuan mahasiswa terhadap kebijakan uang kuliah tunggal b. Atensi mahasiswa terhadap kebijakan uang kuliah tunggal.
c. Pemahaman mahasiswa terhadap informasi yang didapat tentang kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
2. Sikap Mahasiswa terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal:
a. Setuju tidaknya mahasiswa terhadap adanya kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
b. Membantu tidaknya kebijakan Uang Kuliah Tunggal ini dalam meringankan biaya kuliah.
c. Mengharapkan atau tidaknya mahasiswa terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal.
3. Partisipasi Mahasiswa terhadap Kebijakan Uang Kuliah Tunggal:
a. Inisiatif mahasiswa dalam mencari informasi kebijakan Uang Kuliah Tunggal.