• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ketika mendengar kata “sunat” atau “khitan”, terbesit di pikiran bahwa pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja. Faktanya, praktik khitan juga dilakukan terhadap kaum perempuan. Praktik khitan pada perempuan sebenarnya telah lama dilakukan. Bahkan menurut Fathullah (dalam Gani, 2008) khitan pada perempuan merupakan tradisi yang dilakukan pada masa zaman Nabi Ibrahim dan hingga kini khitan pada perempuan masih tetap dilakukan. Biasanya khitan pada perempuan dilakukan terhadap anak usia 0-15 tahun dan paling sering dilakukan antara usia 4-10 tahun (Hinse-Martin, Echeozo, & Killian, 2009).

Justifikasi bagi dilakukannya khitan pada perempuan adalah pertimbangan agama dan budaya. Berdasarkan pertimbangan agama, khitan pada perempuan dilakukan sebagai indikator ketaatan dalam beragama (Amriel, 2009). Berdasarkan pertimbangan budaya, khitan dilakukan karena ada keyakinan bahwa dengan menghilangkan atau mengurangi jaringan sensitif yang berada di bagian luar kelamin, terutama klitoris, dapat menjaga kemurnian dan keperawanan perempuan sebelum menikah, dapat menekan nafsu seksual, menjaga kesetiaan dalam pernikahan, menambah kenikmatan dalam berhubungan seksual untuk pihak laki-laki, dan juga untuk mempersiapkan perempuan dalam menghadapi kegiatan hubungan intim dan hidup berumah tangga (Gani, 2008)

(2)

Khitan yang dilakukan karena mengikuti tuntutan budaya, menurut Kontoyannis dan Katsetos (2010), juga diyakini sebagai suatu kebutuhan karena sudah menjadi tradisi di masyarakat dan para perempuan meyakini praktik serupa juga dilakukan di daerah lain sehingga mereka tidak memiliki alternatif lain selain mengikuti tradisi yang sudah ada. Khitan juga dilakukan dengan alasan agar perempuan diterima oleh lingkungan atau komunitas sekitarnya. Hal ini menyebabkan para perempuan dan keluarganya mendapatkan tekanan untuk melakukan khitan tersebut. Akibat adanya tekanan masyarakat yang mengharuskan perempuan dikhitan, orang tua akan merasa khawatir jika anak perempuannya tidak diterima di masyarakat atau merasa terasingkan karena tidak dikhitan.

Hal diatas terbukti pada masyarakat Wana, Lampung Timur, yang masih melakukan praktik khitan perempuan yang dilakukan pada anak perempuan yang berusia minimal dua tahun. Dalam masyarakat Wana, orang tua merasa harus mengkhitankan anak perempuan mereka karena mereka takut anak perempuan mereka menjadi bahan pergunjingan dan dijauhi dalam pergaulannya. Bahkan para orang tua ini juga mengaitkan perilaku anak perempuannya dengan khitan tersebut. Mereka (orang tua) terutama ibu, menganggap bahwa jika anak perempuan mereka bertingkah laku nakal, mereka akan mengatakan bahwa anak perempuan mereka seperti tidak dikhitan (Musyarofah, Sari, & Pemilawati, 2003).

Fakta tersebut memperlihatkan bahwa mitos tentang khitan telah berfungsi sebagai kontrol sosial yang mendorong anak untuk meneruskan kebiasaan khitan pada anak perempuan mereka, walaupun sebenarnya

(3)

mereka tidak mengetahui akibat yang akan ditimbulkan dari khitan tersebut. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa pihak perempuan akan mendapatkan posisi yang tidak adil karena mereka harus menuruti tuntutan berupa penerimaan masyarakat (Hinse-Martin, Echeozo, & Killian, 2009).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kontoyannis & Katsetos (2010) Negara-negara yang turut melakukan khitan perempuan antara lain Afrika, Malaysia, Somalia, Sudan, Filipina, Pakistan, Arab Saudi, beberapa bagian Ethiopia, dan juga termasuk Indonesia.

Praktik khitan pada perempuan juga dilakukan di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan Schrieke, (dalam Putrianti, 2005), praktik khitan pada perempuan sebagian besar dilakukan di daerah Jawa, beberapa daerah di Sulawesi (Makassar dan Gorontalo), Kalimantan (Pontianak dan Banjarmasin), Sumatera (Lampung, Riau, Padang, Aceh), Pulau Kei di Ambon, pulau Alor, dan suku Sasak di Lombok.

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa praktik khitan pada perempuan merupakan pemotongan yang sesungguhnya pada sebagian kecil alat kelamin perempuan yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia seperti, Madura dan Lampung (Darwin, Faturochman, Putrianti, Purwatiningsih, & Octaviatie, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Uddin dkk. (2010) menunjukkan 44% praktik khitan perempuan di Indonesia melibatkan pemotongan genital.

(4)

Khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia umumnya dilakukan bukan oleh ahli medis. Yayasan LKiS Pusat Kajian dan Transformasi Sosial (2011) menyatakan bahwa khitan perempuan tidak dikenal dalam dunia medis. Menurut penelitian dari Population Council tahun 2004 menunjukkan bahwa praktik khitan perempuan di Indonesia dilakukan oleh dukun bayi, dukun sunat, dan bidan. Dari 2.215 kasus khitan perempuan di berbagai daerah yang ditemukan menunjukkan bahwa 68% kegiatan khitan perempuan dilakukan oleh pengkhitan tradisional dan 32% sisanya dilakukan oleh tenaga kesehatan, terutama bidan (Gani, 2008). Berbeda dari temuan oleh Gani (2008), penelitian yang dilakukan oleh Uddin dkk. (2010) menunjukkan bahwa tempat yang paling banyak memberikan pelayanan khitan perempuan adalah rumah sakit yakni sebesar 65%.

Medikalisasi praktik khitan pada perempuan oleh tenaga kesehatan sebenarnya telah dilarang melalui Surat Edaran tentang larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan RI Nomor HK.00.07.1.3.104.1047a yang dirilis oleh Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Tahun 2006, dan pada saat itu seluruh tenaga medis telah menolak untuk melakukan khitan pada perempuan. Dalam Surat Edaran tersebut juga tercantum bahwa khitan perempuan tidak memberikan kontribusi apapun bagi kesehatan fisik maupun psikis. Komnas Perempuan memberi kesimpulan, yang diperoleh dari beberapa literatur penelitian dan konsultasi dengan berbagai pihak, bahwa praktik khitan perempuan yang melukai bagian dari alat kelamin perempuan sekecil apapun adalah tindak kekerasan terhadap perempuan.

(5)

Kontras dengan peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya, pada tahun 2010 Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang sunat perempuan yang didalamnya berisi ketentuan, pihak yang boleh melakukan khitan perempuan serta prosedurnya. Hal tersebut menimbulkan kontroversi dan dianggap sebagai sebuah kemunduran dalam upaya penghapusan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat bahwa dalam Surat Edaran HK.00.07.1.3.104.1047a Tahun 2006 tercantum bahwa petugas medis dilarang mengambil bagian dalam praktik khitan perempuan. Tetapi pada Permenkes justru membolehkan dan mengatur secara rinci tindak khitan pada perempuan oleh petugas medis sehingga mengarah pada medikalisasi khitan perempuan (Laporan Independen Komnas Perempuan, 2011).

Sebenarnya khitan yang dilakukan pada perempuan tidak memiliki landasan medis yang jelas. Kluge (2007) menjelaskan bahwa khitan pada perempuan dilakukan hanya berdasarkan nilai budaya dan agama dan tidak memiliki pembenaran secara medis. Oleh karena itu World Medical Association melalui Deklarasi Geneva dan Deklarasi Tokyo berkomitmen bahwa tenaga medis yang berpartisipasi dalam khitan perempuan dengan alasan apapun telah melanggar etika profesi medis (Kluge, 2007).

Khitan yang dilakukan pada perempuan tidak menimbulkan manfaat apapun bagi kesehatan, sebaliknya kegiatan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan fisik maupun psikis. WHO (2006) menjabarkan dampak fisik yang dirasakan dari khitan perempuan antara lain nyeri, pendarahan, rasa

(6)

sakit amat sangat dan infeksi. Efek jangka panjang yang timbul akibat dari khitan perempuan antara lain gangguan menstruasi, abses, kista, keloid, ketidaksuburan, rasa sakit ketika berhubungan seksual, kurangnya sensasi ketika berhubungan seksual dan tingginya resiko bayi meninggal pada saat melahirkan.

Dampak psikis yang ditimbulkan dari praktik khitan perempuan ini antara lain dapat memunculkan trauma pada kegiatan seksual, ketakutan, dan rasa tidak berdaya (Hinse-Martin, Echeozo, & Killian, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stotland (2005) menunjukkan bahwa perempuan yang dikhitan memiliki perasaan tidak berdaya, ketakutan, teringat akan rasa sakit yang amat sangat pada saat trauma muncul. Dari penelitian tersebut juga membuktikan bahwa khitan perempuan dapat menimbulkan PTSD serta anxiety dan affective disorder. Penelitian yang dilakukan oleh Behrendt dan Moritz (2005) menunjukkan perempuan yang dikhitan memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap PTSD dan penyakit psikis lainnya dibanding perempuan yang tidak dikhitan.

Berbeda dari penelitian yang mengkaji efek fisik dari khitan perempuan, penelitian yang mengkaji masalah psikologis yang ditimbulkan dari khitan perempuan masih minim, termasuk di Indonesia. Dalam Amriel (2010), Walker & Parmar (1993) menduga bahwa minimnya penelitian yang mengkaji masalah psikologis dari khitan perempuan disebabkan oleh cerminan derajat pemahaman dan kesadaran publik akan kesehatan perempuan yang memiliki hubungan dengan realita sosial kemasyarakatan. Namun studi yang dilakukan oleh Black dan Debelle (1995), dalam Whitehorn (2002),

(7)

menemukan bahwa efek psikologis minimal terjadi di daerah-daerah yang secara kultural menerima dan melakukan khitan perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan oleh Musyarofah, Sari & Pemilawati (2003) juga sejalan dengan temuan oleh Black dan Debelle (1995) yakni pada masyarakat Lampung yang masih menerima dan melakukan khitan perempuan justru tidak merasakan efek psikologis dari khitan perempuan tersebut.

Dalam Rising Daughters Aware (1999) dijelaskan bahwa pengalaman akan rasa sakit dari khitan perempuan membuat anak perempuan tersadar akan ikatan persaudaraan sesame mereka. Anggapan positif akan rasa sakit khitan perempuan juga dianggap sebagai keberhasilan anak memasuki usia dewasa (Amriel, 2010).

Dengan melihat dampak yang ditimbulkan dari praktik khitan perempuan baik secara fisik maupun psikis, maka peneliti ingin mengetahui sikap yang ditunjukkan oleh dua praktisi kesehatan yakni dokter umum dan psikolog klinis mengenai praktik khitan pada perempuan.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka peneliti membuat identifikasi masalah sebagai berikut :

“Bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh dokter umum dan psikolog klinis terhadap praktik khitan perempuan? ”.

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menjabarkan fenomena praktik khitan perempuan secara umum berdasarkan sudut pandang medis dan psikis.

2. Menggambarkan sikap yang ditunjukkan oleh dokter umum dan psikolog klinis mengenai praktik khitan pada perempuan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Dapat memberikan masukan pada ilmu psikologi dan ilmu medis lainnya mengenai praktik khitan pada perempuan agar dapat diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.

2. Manfaat praktis

Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai dampak fisik dan psikis khitan perempuan dan juga memberikan gambaran mengenai sikap yang ditunjukkan oleh dua profesi kesehatan yakni dokter umum dan psikolog klinis mengenai khitan perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

(1) PSH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a digunakan dalam rangka melaksanakan pekerjaan harian non-lapangan, melaksanakan koordinasi pengamanan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Perbedaan Efektivitas Sodium Perborat (Polident ® ) Terhadap Candida albicans Pada Lempeng Resin Akrilik

Seperti yang dilakukan Torabika dalam film Filosofi Kopi, Torabika yang menjadi sponsor utama dalam film ini membantu dalam hal keuangan produksi film dan juga

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Perancangan Model Zonasi Kawasan

A.. ) Senyawa yang tidak mempunyai momen dipol adalah A. ) Kp dan Kc terdapat dalam hubungan melalui persamaan A. ) Larutan yang pH nya paling besar adalah A. ) Tentukan

PENGANGKATAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI/ TUGAS AKHIR PROGRAM SARJANA (S1) FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018 PROGRAM STUDI

b. Pengelolaan perlengkapan, urusan tata usaha, rumah tangga dan barang milik negara; d. Penyusunan perencanaan di bidang pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 POJK 42/2020, Transaksi ini merupakan Transaksi Afiliasi yang dilakukan oleh CAP2 yang merupakan perusahaan terkendali Perseroan, dan