1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologis merupakan kasus dispepsia. Definisi dispepsia fungsional menurut Roma III adalah : terdapatnya satu atau lebih gejala dispepsia (rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium) yang berasal dari regio duodenal, tanpa adanya penyakit organik, sistemik, metabolik, yang dapat menjelaskan gejala tersebut (Chang, 2006).
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30 % orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Angka insiden dispepsia diperkirakan antara 1- 8 %. Belum ada data epidemiologi di Indonesia. Prevalensi dispepsia diperkirakan sekitar 21 % di Inggris, namun hanya sekitar 2 % diantaranya yang kemudian datang ke dokter setiap tahunnya. Di daerah Asia Pasifik dispepsia juga merupakan keluhan yang cukup banyak dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 %. Insidensi pada wanita dan pria sama (Kusumobroto, 2003).
Dispepsia menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia (Depkes, 2006). Laporan rawat jalan di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta menjelaskan bahwa pasien yang datang dengan keluhan dispepsia mencapai 40% kasus per tahun (Dwijayanti, 2008).
2 Dispepsia menjadi fokus perhatian penelitian klinisi jauh sebelum penelitian penyakit gastrointestinal lainnya dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Masalah kesehatan terutama timbul akibat tingginya biaya kesehatan dan terjadi penurunan kualitas hidup (Talley et al., 1995). Sindrom dispepsia cukup mengganggu penderitanya hingga tidak dapat melakukan aktivitas secara normal. Sekitar 30 % penderita dispepsia dilaporkan tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala-gejala dispepsia menyerang. Manajemen dispepsia merupakan komponen mayor dalam praktik klinis pada level perawatan primer, dan 2-5 % konsultasi praktik keluarga merupakan dispepsia (Tepes, 2011).
Dispepsia bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa, namun gejala tersebut terjadi dalam waktu lama (Heikkinen, 2003). Dispepsia fungsional tidak meningkatkan mortalitas, namun mempunyai dampak terhadap kualitas hidup pasien dan pelayanan kesehatan (Ghoshal, 2011). Dispepsia merupakan suatu masalah penting apabila dispepsia tersebut mengakibatkan penurunan kualitas individu tersebut. Meskipun demikian, sebagian besar kasus merupakan dispepsia fungsional, dan dispepsia tersebut jarang berakibat fatal. Dispepsia memberikan dampak yang kuat terhadap kualitas hidup karena perjalanan alamiah penyakit dispepsia berjalan kronis dan sering kambuh, dan pemberian terapi kurang efektif untuk mengontrol gejala (Mahadeva, 2012).
Kualitas hidup mencerminkan kualitas aktifitas harian pasien dan perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan status kesehatan saat ini dan saat lampau. Gejala – gejala dispepsia dapat mengganggu aktifitas sehari –hari dan
3 mengakibatkan dampak yang bermakna terhadap kualitas hidup dan peningkatan biaya pengobatan (Khaldemolhosseini, 2010). Sebagian pasien masih merasakan nyeri abdomen dengan tingkat yang bermakna sehingga menghentikan aktifitas sehari –hari dan pemberian terapi masih dirasakan tidak memuaskan untuk kondisi kronis tersebut (Kumar, 2012).
Kurang lebih 50 % penderita dispepsia fungsional masih mengeluhkan simtom gastrointestinal selama follow up 5 tahun walaupun secara endoskopis normal. Penderita dispepsia fungsional untuk memperbaiki simtom gastrointestinal melakukan pembatasan diet 89 %, membeli obat sendiri 89 % ( sebagian besar jenis antasida atau antagonis reseptor histamin tipe 2 misalnya ranitidin ), membeli obat berdasarkan resep 87 % (sebagian besar mendapatkan resep metoklorpramida, sukralfat, dan proton pump inhibitor ), 25 % mencoba terapi alternatif dan 10 % mencari bantuan konselor. Pencapaian keberhasilan terapi dispepsia fungsional dengan eradikasi H.pylori sekitar 4 – 16 %. Efikasi terapi dispepsia fungsional dengan PPI 7-10 %, H2RA 8-35 %, agen prokinetik 18-45 % dan antidepresan trisiklik 64-70 %. Data pendukung terapi dispepsia fungsional dengan selective serotonin reuptake inhibitor masih inadekuat dan jarang digunakan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan intervensi diet, terapi komplementer alternatif dan terapi psikologis (Lacy et al., 2012).
Salah satu pertimbangan perlunya terapi dispepsia fungsional lebih dikembangkan adalah penggunaan PPI dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping. Beberapa laporan kasus PPI diduga menginduksi karsinoma pada lambung (Waldum, 2005). Ranitidin sendiri penggunaannya dimasyarakat masih
4 relatif luas, relatif aman dan murah ( Sabesin, 1993 ) dan efektifitas ranitidin untuk dispepsia fungsional hanya sekitar 8-35 % ( Lacy et al., 2012 ), sehingga perlu kombinasi dengan agen lain. Alasan lain karena terapi dengan agen komplementer sering digunakan pasien karena beberapa alasan seperti mudah digunakan, persepsi lebih aman dibanding agen farmakologi, persepsi adanya daya tarik yang lebih untuk menggunakan bahan alami dibanding obat ( Lacy et al., 2012 ).
Penelitian systemic review Ernst (2002) menyimpulkan terapi herbal pada penderita dispepsia non ulcer efektif dan aman untuk memperbaiki simtom dispepsia. Salah satu RCT mendapatkan hasil perbaikan simtom gastrointestinal dengan terapi kombinasi pepperment oil 180 mg/hari dan ekstrak jahe 25 mg/hari selama 4 minggu pada 46 penderita dispepsia non ulcer.
Jahe ( Zingiber officinale ) termasuk dalam daftar prioritas WHO sebagai tanaman obat yang paling banyak digunakan di dunia dan merupakan salah satu tanaman herbal yang umum digunakan sebagai suplemen, keperluan memasak dan pengobatan pada berbagai kondisi pasien. Monograf WHO tentang ekstrak jahe berdasarkan farmakopoia dan sistim tradisional dari berbagai negara digunakan sebagai terapi dispepsia, flatulen, spasme, kolik diare, muntah, dan keluhan perut lainnya. Ekstrak jahe juga dapat meningkatkan nafsu makan dan mengobati migrain.Penelitian secara klinis membuktikan aktivitas ekstrak jahe sebagai antinausea dan antiemetik serta antiinflamasi ( WHO, 1999 ).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa ekstrak jahe lebih efektif mengatasi gangguan saluran cerna dibanding obat konvensional, sehingga banyak
5 peneliti yang mulai menginvestigasi efektivitas ekstrak jahe sebagai terapi tambahan antiemetik (Pratiwi, 2011). Penelitian Hu (2011) mendapatkan hasil extrak jahe dapat menstimulasi gastric emptying dan kontraksi antrum pada dispepsia fungsional. Hanya sedikit peneitian yang dipublikasikan tentang efek extrak jahe pada pasien dengan dispepsia fungsional.
B. Pertanyaan Penelitian
Apakah kombinasi ranitidin dengan ekstrak jahe dapat memperbaiki kualitas hidup penderita dispepsia fungsional dibandingkan ranitidin.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pengaruh terapi kombinasi ranitidin dengan ekstrak jahe dapat memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan ranitidin pada penderita dispepsia fungsional.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1. Pada pasien
Pasien akan mendapatkan wawasan pengobatan herbal komplementer disamping standar pengobatan yang biasa didapatkan dalam pelayanan kesehatan sehari-hari baik di puskesmas, rumah sakit, dokter keluarga, maupun praktek dokter spesialis dalam memperbaiki kualitas hidup pada penderita dispepsia fungsional .
6 2. Pada peneliti
Apabila terbukti, ekstrak jahe dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada dispepsia fungsional yang mendapat terapi antagonis reseptor H2, sebagai terapi herbal komplementer.
3. Institusi
Apabila terbukti ekstrak jahe dapat memperbaiki kualitas hidup penderita dispepsia fungsional, dapat dikembangkan sebagai terapi herbal komplementer di rumah sakit dan dapat diaplikasikan dalam sistem pelayanan kesehatan formal ( askes ) sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien khususnya, masyarakat pada umumnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang hubungan kualitas hidup penderita dyspepsia fungsional yang menjalani endoskopi di RS Sardjito sejauh penelusuran kepustakaan yang peneliti lakukan belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai korelasi stresor psikososial dan kecenderungan neurotik dengan dispepsia di Poli Penyakit Dalam RS Dr . Sardjito Yogyakarta pernah dilakukan oleh Kristanto (2004). Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang bermakna antara stresor psikososial dengan dispepsia dan terdapat hubungan yang bermakna antara kecenderungan neurotik dengan dispepsia.
Arina (2011) meneliti level kortisol plasma pada penderita dispepsia dengan gangguan psikosomatik . Hasil penelitiannya adalah 40 orang (29,85%) penderita dispepsia mengalami gangguan psikosomatik depresi (70%) dan ansietas (10%) dan level kortisol plasma pagi hari pada penderita dispepsia
7 dengan gangguan psikosomatik (depresi) secara signifikan lebih tinggi dibanding pasien dispepsia tanpa gangguan psikosomatik.
Penelitian Mahadeva et al (2011) tentang perbedaan ansietas, depresi dan kualitas hidup penderita dispepsi fungsional dan organik di Malaysia mendapatkan hasil penderita dispepsia fungsional kualitas hidupnya lebih rendah dibandingkan dispepsia organik tetapi secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna ansietas dan depresi pada kedua kelompok. Penelitian mengenai kualitas hidup penderita dispepsia lainnya tercantum dalam tabel 1.
8 Tabel 1 Penelitian Kualitas Hidup Penderita Dispepsia
No .
Judul Penelitian Peneliti/ Tahun
Jenis Penelitian
Hasil Penelitian 1. Anxiety Personality
traits & QoL in FD suffering pts Filipovic et al., 2012 Case control Jumlah kasus 60 dengan kontrol 60 orang
Depresi dan ansietas lebih tinggi
pada FD. Level ansietas
berhubungan dengan level
neurotik. Gangguan psikologis mempengaruhi kualitas hidup pasien dispepsia sehingga terjadi
distres emosi dan nafsu
makan/minum menurun.
2. QoL in FD:
responsiveness of the
NDI and
development of a new 10-item short form Talley et al., 2001 Randomized controlled trial, jumlah kasus 477 dengan kontrol 112
NDI merupakan instrumen
spesifik dan valid dapat
diaplikasikan untuk FD dengan format pendek 10 item yang baru.
3 Translation and
validation of the NDI for FD in China Tian et al., 2009 Cross Sectional, jumlah subyek 300 0rang
Nilai alpha cronbach dan
koefisien korelasi > 0,7,index komparatif 0,94. NDI versi China dapat digunakan untuk penderita FD di China, pengukuran reliabel dan valid 4 The NDI : Translation and Validation in Indonesian Language Arinton et al., 2006 Cross Sectional, jumlah kasus 442 dengan kontrol 50 orang
Reliabilitas kuisioner NDI yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baik. Nilai alpha Cronbach dan koefisien korelasi interklas > 0,7. Nilai Kaisan Meyer-Olkin > 0,64. NDI dapat digunakan penderita dispepsia di Indonesia.
5 FD affects women
more than Men in daily life : A case-control study in Primary care Welen et al., 2008 Case Control Jumlah kasus 176 dengan control 688
Terdapat gangguan HR QoL pada penderita FD. Pasien FD wanita aktifitas cenderung terganggu dibandingkan pasien pria.
6 QoL in pts with FD :
Short and Long term Effect of H pylori Eradication with Pantoprazole, Amoxicillin, and Clarithromycin or Cisapride Tx : A prospective, Parallel Group Study Buzas,2006 Prospective, 3 grup paralel, 101 pasien dengan HP (+), 98 pasien HP (-), 123 kontrol.
Pasien FD QoL terganggu,
eradikasi H pylori pada pasien dengan infeksi (+) dan terapi Cisapride pada pasien infeksi memperbaiki skor QoL yg rendah selama 1 tahun.