• Tidak ada hasil yang ditemukan

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Putih ( Rattus norvegicus )

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989).

Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan penggunaannya telah menyebar luas di seluruh dunia (Malole dan Pramono, 1989). Menurut Robinson (1979), taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animal Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata (Craniata) Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Infrakelas : Eutharia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Superfamili : Muroidea Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus sp.

Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar

(2)

suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Gambar 1. Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman

(Kohn dan Bartold, 1984). Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague-Dawley

dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Malole dan Pramono, 1989).

Siklus hidup tikus putih (Rattus norvegicus) jarang lebih dari tiga tahun, berat badan pada umur empat minggu dapat mencapai 35-40 g dan setelah dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan kering dan dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus S prague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15-20 g untuk jantan dan 10-15 g untuk betina (National Research Council, 1978).

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada kondisi dimana pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria yang umum digunakan dalam memperkirakan

(3)

kecukupan nutrisi makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi, pola tingkah laku, kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam amino serta protein dalam jaringan (National Research Council, 1978).

Pakan yang diberikan pada tikus umumnya tersusun dari komposisi alami dan mudah diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus memenuhi kebutuhan zat makanan antara lain protein 12%, lemak 5%, dan serat kasar kira-kira 5%, harus cukup mengandung vitamin A, vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat, vitamin B12, biotin, piridoksin dan kolin serta mineral-mineral tertentu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut McDonald (1980), protein pakan yang diberikan pada tikus harus mengandung asam amino essensial yaitu : Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Methionin, Fenilalanin, Treonin, Tryptofan, dan Valine.

Selain nutrisi, hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan tikus putih sebagai hewan percobaan adalah perkandangan yang baik. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan tikus biasanya berupa kotak yang terbuat dari metal atau plastik. Tutup untuk kandang berupa kawat dengan ukuran lubang 1,6 cm2. Alas kandang terbuat dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk gergaji atau tongkol jagung yang harus bersih, tidak beracun, tidak menyebabkab alergi dan kering. Temeperatur ideal kandang yaitu 18-27oC atau rata-rata 22oC dan kelembaban realtif 40-70% (Malole dan Pramono, 1989).

Limbah Cairan Rumen

Rumen merupakan tabung besar yang menyimpan dan mencampur ingesta

bagi fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerob dengan temperature 38-42 0C dan pH dipertahankan pada kisaran 6,8 (Arora, 1989). Lingkungan di dalam rumen merupakan tempat hidup ideal untuk beberapa jenis mikroba. Mikroba dalam rumen umumnya terdapat pada tiga lokasi yaitu : menempel pada dinding rumen, menempel pada partikel pakan dan bergerak bebas dalam cairan rumen. Mikroba yang terdapat dalam cairan rumen beranekaragam dan terdapat dalam jumlah besar (Preston dan Leng, 1987).

Cairan rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada nilai 6,8 (Sutardi, 1980). Populasi mikroba terbesar dalam cairan rumen

(4)

adalah bakteri yaitu sebesar 1010- 1012 sel/ml cairan rumen, sedangkan populasi protozoa sekitar 105- 106 sel/ml cairan rumen, namun karena ukuran tubuhnya lebih besar daripada bakteri maka biomassanya mencapai kurang lebih 40% total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Protozoa rumen mengandung 55% protein kasar, sedangkan bakteri kadar protein kasarnya 59%. Kurangnya kadar protein protozoa dibandingkan dengan bakteri disebabkan protozoa banyak mengandung polisakarida (Parakkasi, 1999).

Limbah isi rumen merupakan limbah utama dari unit usaha rumah potong ternak ruminansia. Keberadaan dari limbah tersebut dapat menjadi masalah dan menimbulkan polusi bagi lingkungan. Hal ini dikarenakan limbah ini tergolong limbah organik berserat dan memakan tempat yang besar (voluminous) dan merupakan media yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme baik yang menimbulkan penyakit (patogen) maupun yang tidak menimbulkan penyakit (apatogen). Bakteri yang terdapat di dalamnya akan cepat menimbulkan bau busuk (Siagian dan Simanora, 1994). Lebih lanjut Nemerow dan Dasgupta (1991) menyatakan bahwa kandungan bahan organik limbah RPH (slaughter house waste) lebih tinggi dibandingkan sampah domestik. Abbas (1987) menyatakan bahwa isi rumen merupakan pakan ternak ruminansia yang umumnya berupa hijauan, yaitu rumput dan legum yang masih dalam proses pencernaan dan belum mengalami absorbsi sehingga masih tinggi zat nutrisinya. Menurut Aboenawan (1993), isi rumen adalah bahan berserat dan sudah sebagian dicerna dengan volume 10-12% dari berat hidup hewan sebelum dipotong.

Pengolahan limbah isi rumen sangat diperlukan untuk menurunkan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Selain itu pengolahan limbah tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan nilai guna dari ternak. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk mengolah limbah ternak yang bersifat mencemari lingkungan menjadi barang ekonomis yang potensial. Pemanfaatan limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sebagai sumber energi, sebagai sumber pakan ternak dan sebagai pupuk organik dalam budidaya pertanian (Sihombing, 2000). Pemanfaatan limbah RPH dalam percobaan ini dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak.

(5)

Kebutuhan Mineral Tikus

Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur kimia selain dari karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, jumlahnya mencapai 95% berat badan (Piliang, 2002). Mineral dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu mineral makro dan mineral mikro (trace elements). Mineral makro adalah mineral yang keberadaannya dalam tubuh lebih besar dari 0,01% berat badan, sedangkan mineral mikro (trace elements) adalah mineral-mineral yang keberadannya kurang dari 0,01% berat badan. Kebutuhan mineral makro dan mikro tikus putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Mineral Tikus Putih

Mineral Jumlah Ca (%) 0,5 Cl (%) 0,05 Mg (%) 0,04 P (%) 0,4 K (%) 0,36 Na(%) 0,05 S (%) 0,03 Cr (ppm) 0,3 Cu (ppm) 5 F (ppm) 1 I (ppm) 0,15 Fe (ppm) 35 Mn (ppm) 50 Se (ppm) 0,1 Zn (ppm) 12

Keterangan : National Research Council (1978)

Mineral, baik makro maupun mikro sangat diperlukan oleh tubuh sehubungan dengan fungsinya untuk proses pertumbuhan, reproduksi, dan untuk memelihara kesehatan. Menurut Winarno (1992), mineral makro berfungsi sebagai bagian penting dalam struktur sel dan jaringan, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan berfungsi dalam cairan tubuh baik intraseluler dan ekstraseluler, Mineral mikro

(6)

berfungsi sebagai bagian dari struktur suatu hormon yang mengatur aktifitas enzim agar dapat berfungsi secara maksimal atau sebagai kofaktor dalam aktifitas enzim-enzim. Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk proses pertumbuhan, reproduksi dan untuk memelihara kesehatan. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antar mineral, maka dapat berpengaruh terhadap penampilan ternak, ketidakseimbangan ini menurut Parakkasi (1999), dapar berkisar dari yang tidak terlihat gejalanya atau subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya atau akut.

Biomineral

Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen berbahan dasar mikroba cairan rumen limbah rumah pemotongan hewan (RPH) dan mempunyai nilai biologis yang cukup baik bila ditinjau dari segi nutrient mikroba rumen. Untuk menghasilkan biomineral dari cairan rumen limbah RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobialnya melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan , penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007).

Biomineral memiliki kandungan P, Na, S, Fe, Al, Cu, Zn dan Se yang lebih tinggi daripada mineral mix, tetapi lebih rendah pada kandungan K, Ca, Mg, Mn, Co, Ni dan Cr. Perbandingan kandungan mineral antara biomineral dan mineral mix dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Mineral Biomineral dan Mineral Mix

Mineral Biomineral Mineral mix

P (% BK) 0,29 0,00 K (% BK) 0,16 0,52 Ca (% BK) 0,31 43,37 Mg (% BK) 0,09 0,28 Na (% BK) 0,42 0,05 S (% BK) 0,25 0,01 Fe (ppm) 717 120 Al (ppm) 1343 411 Mn (ppm) 50 127 Cu (ppm) 7 3 Zn (ppm) 147 30 Co (ppm) 0,3 0,4 Ni (ppm) 1,3 2,3 Cr (ppm) 3 4,1 Se (ppm) 32,5 4,6

(7)

Kebutuhan Pakan

Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang menjadi kunci keberhasilan. Agar dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimal ternak perlu dicukupi kebutuhan pakannya. Menurut Cullison et al. (2003), fungsi makanan bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh dan mengatur berbagai fungsi, proses dan aktifitas dalam tubuh.

Kebutuhan pakan ternak dipilah berdasarkan kebutuhan untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi. Kebutuhan pakan ternak erat kaitannya dengan kebutuhan energi ternak. Sutardi (1981) menyatakan bahwa energi merupakan hasil metabolisme zat nutrisi organik yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Orskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk digunakan dalam pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh dan untuk produksi. Kandungan energi total dalam pakan sebenarnya bukan menjadi tolok ukur yang sangat penting, karena yang sangat penting adalah energi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak tersebut yang biasa disebut energi metabolis (ME). Orskov (1998) menyatakan bahwa jika ternak diberi pakan yang mengandung energi di bawah kebutuhan untuk hidup pokok, maka ternak akan menggunakan lemak tubuhnya. Oleh karena itu penting sekali untuk memberikan kecukupan energi jika ingin mendapatkan pertumbuhan yang normal (Bath et al., 1985). Tidak semua energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh , energi yang tidak terpakai dikeluarkan melalui feses dan urin (Anggorodi, 1994).

Selain energi, zat nutrisi yang biasanya sangat diperhatikan kebutuhannya dalam penyusunan pakan adalah protein. Protein adalah senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino. Menurut Anggorodi (1994), protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor. Peranan protein dalam tubuh adalah untuk perbaikan jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk menghasilkan energi serta sebagai enzim-enzim esensial bagi tubuh yang normal.

Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999).

(8)

Konsumsi pakan merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan kehidupan pokok dan produksi, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi maka akan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum guna memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Bobot badan individu, individu hewan, tipe dan tingkat produksi, jenis pakan dan faktor lingkungan merupakan hal yang mempengaruhi konsumsi pakan (Church, 1979). Selain itu palatabilitas pakan, cita rasa, tekstur, ukuran dan konsistensi pakan juga turut mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Wiseman dan Cole, 1990). Selanjutnya Sutardi (1980) menyatakan bahwa hewan akan mencapai tingkat penampilan produksi tertinggi sesuai dengan potensi genetiknya apabila memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sifat dan komposisi pakan juga akan turut mempengaruhi tingkat konsumsi. Pakan yang berkualitas baik akan memiliki tingkat konsumsi yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah. Kualitas pakan dapat dilihat dari kandungan zat makanan dan palatabilitasnya.

Kecernaan Pakan

Pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan pakan dalam alat pencernaan (Sutardi, 1980). Proses tersebut meliputi : pencernaan mekanik yang terjadi di mulut oleh gigi sehingga bahan pakan menjadi berukuran kecil, pencernaan hidrolitik di dalam perut dan usus dimana bahan makanan diuraikan menjadi molekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan serta yang terakhir adalah pencernaan fermentatif.

Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak disekresikan melalui feses (McDonald, 1980). Kecernaan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen (%). Pengukuran kecernaan dilakukan dengan pemberian pakan yang diketahui jumlahnya, lalu berat feses yang diekskresikan ditimbang.

Kecernaan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : jenis hewan, komposisi makanan, cara pengolahan makanan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan (McDonald, 1980). Peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan menyebabkan peningkatan kecepatan laju alir ingesta. Ingesta tersebut akan bereaksi dengan enzim pencernaan dalam waktu yang relatif singkat sehingga terjadi penurunan kecernaan makanan.

(9)

Ahlstrom dan Skrede (1998) melaporkan bahwa kecernaan nutrien dari tikus yang diberi pakan ad libitum adalah sebagai berikut: kecernaan bahan kering 86,20%, lemak 94,95%, karbohidrat 90,58%, protein 81,66%, abu 58,89%, pati 99,53% dan pati + gula 99,46%.

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah proses pertambahan fisik individu atau organ yang mencakup pertambahan jumlah sel, volume, jenis maupun substansi sel yang terkandung di dalamnya dan bersifat tidak kembali (Sugito, 2001). Pertumbuhan menurut definisi Hafez dan Dyer (1969), adalah gejala dari perubahan ukuran , bentuk, komposisi dan struktur yang secara normal perubahan itu akan meningkatkan ukuran dan bobot badan dari hewan.

Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran bobot badan dan tinggi badan. Menurut Anggorodi (1994), pertumbuhan murni mencakup pertumbuhan dalam bentuk bobot dan jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan organ tubuh. Dilihat dari sudut kimiawi pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang ditimbun dalam tubuh. Pertambahan bobot akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukan merupakan pertumbuhan murni.

Pertumbuhan merupakan proses yang sangat kompleks, tidak sekadar bertambahnya bobot hidup atau tubuh sehingga tidak dapat didefinisikan secara sederhana (Maynard et al., 1979). Menurut Forrest et al. (1975), potensi pertumbuhan seekor ternak sangat dipengaruhi oleh faktor bangsa, jenis kelamin, pakan, lingkungan dan manajemen pemeliharaan.

Laju dan tingkat pertumbuhan dari tiap individu ternak dapat digambarkan dengan kurva pertumbuhan. Fitzhugh (1976) mengatakan bahwa kurva pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu atau populasi untuk mengaktualisasikan diri sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan yang ada. Lingkungan tersebut dapat berupa level produksi individu, kuantitas dan kualitas pakan, lokasi dan lingkungan secara umum.

Pertumbuhan tiap-tiap individu secara umum diperlihatkan sebagai bentuk sigmoid atau “S”. Kurva “S” ini menggambarkan suatu bentuk percepatan dan

(10)

perlambatan. Lawrence dan Fowler (2002) menjelaskan bahwa pola pertumbuhan sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada kehidupan awal, kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai mencapai konstan saat ternak tua. Ketika bobot badan selama hidup diplotkan sebagai fungsi dari umur atau waktu, ternak memproduksi sebuah kurva karakteristik pertumbuhan yang berbentuk kurva pertumbuhan sigmoid karena menyerupai huruf “S”. Fase percepatan dimulai dari saat lahir hingga mencapai titik infleksi. Fase percepatan ini ditandai dengan adanya perubahan bentuk, pertambahan bobot badan serta pertumbuhan ukuran tubuh.

Pertambahan Bobot Badan

Anggorodi (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan - jaringan seperti otot, tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya. Kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan (PBB) merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Pertambahan bobot badan juga dapat digunakan untuk menilai kualitas bahan makanan ternak. Pertambahan bobot badan yang diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil dari zat-zat makanan yang dikonsumsi. Dari data PBB akan diketahui nilai suatu zat makanan dari suatu ternak (Church dan Pond, 1988).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), kecepatan tumbuh seekor tikus sebesar 5 gram per hari. Maynard dan Loosli (1979) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur, dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam ransum. Wahju (1997) juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah 45% faktor dalam dan 55% faktor luar/lingkungan. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mempengaruhi pertambahan bobot badan, terutama keseimbangan energi dan protein serta zat-zat pakan lainnya yang terkandung dalam pakan. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tikus putih salah satunya adalah kualitas pakan.

(11)

Efisiensi Penggunaan Pakan

Efisiensi penggunaan pakan dihitung berdasarkan perbandingan rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi ransum (g/ekor/hari). Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan makanan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah suhu, gerak laju makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi dan keseimbangan zat nutrisi ransum. Palatabilitas pakan juga merupakan faktor penting yang menentukan efisiensi penggunaan pakan, sehingga perlu diperhatikan untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Konversi pakan sangat baik digunakan sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Keefisienan ransum dapat dilihat dari nilai konversi pakan, semakin rendah angka konversi maka efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi (Rasyaf, 1990). Wahju (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik dan biaya ransum yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimal.

Konversi ransum ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu suhu, lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi dan penyakit (Nesheim

et al., 1979). Konversi ransum juga dipengaruhi oleh jumlah ransum yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktifitas tubuh, musim dan suhu dalam kandang. Bila kualitas ransum yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan semakin efisien penggunaan pakannya.

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan Mineral Tikus Putih
Tabel 2. Kandungan Mineral Biomineral dan Mineral Mix

Referensi

Dokumen terkait

Maka sesuai kasus posisi diatas, penulis akan membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap penyandang disabilitas yang menggunakan jasa transportasi udara dengan

Dalam membuka sebuah bisnis banyak orang yang tidak menganalisa peluang, resiko dan pemetaan usaha sehingga mereka membuka usahanya hanya dengan menggunakan keinginan mereka

Mekanisme ini untuk memberikan tenggang waktu kepada BAZ Kota Mojokerto dalam mengumpulkan besaran potensi zakat dan juga untuk mencari orang-orang yang berhak menerima zakat

Usaha / trik apa saja yang anda lakukan untuk mengembangkan usaha ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.. Apakah usaha yang sudah anda jalankan

Router merupakan perangkat keras jaringan komputer yang dapat digunakan untuk menghubungkan yang dapat digunakan untuk menghubungkan beberapa jaringan yang sama atau berbeda.

Melalui kegiatan UMN Scouting Challenge 2013, Racana ISBANDIEN pangkalan Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah mengajak anggota Pramuka di Gugusdepan yang

Bahan yang digunakan adalah salak pondoh nglumut yang merupakan salak khas Banjarnegara dengan variasi perendaman menggunakan Natrium metabisulfit, Kalsium hidroksida dan

Dengan melihat gambaran morfologi pada sediaan yang kami dapatkan pada penelitian ini kami berpendapat bahwa pewarnaan imunositokimia ini bisa meningkat- kan akurasi