• Tidak ada hasil yang ditemukan

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Memprediksi Habitat Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) pada Musim Timur di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali

Teja Arief Wibawaa, Sei-Ichi Saitohb, Takahiro Osawac

a

Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan

b

Laboratory of Marine Bioresource and Environment Sensing (LAMER), Graduate School of Fisheries Science, Hokkaido University

c

Center for Remote Sensing and Ocean Science (CRESOS),Udayana University

Abstrak : Salah satu informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur.

Data penangkapan tuna mata besar selama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali. Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature

(SST), sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE). SSC dan SST diperoleh dari sensor MODIS Aqua , sedangkan SSHA dan EKE diperoleh dari data satelit altimetri. Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive model (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksi distribusi habitat tuna mata besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.

Hasil analisis GAM menunjukkan persamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik mempunyai nilai AIC terendah, dan deviance tertinggi dibandingkan persamaan-persamaan GAM yang terbentuk. Peta prediksi yang disusun berdasarkan persamaan-persamaan GAM tersebut menunjukkan kesesuaian distribusi habitat tuna mata besar dengan distribusi habitat tuna mata besar dari data tangkapan tuna mata besar sebenarnya.

Kata kunci : Tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM

1. Latar Belakang

Perairan Indonesia memiliki sumberdaya perikanan pelagis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi. Hampir sebagian besar jenis ikan pelagis besar yang ditemukan di Perairan Indonesia memiliki nilai ekonomis tinggi dengan tingkat penangkapan pada beberapa wilayah sudah mendekati overfishing. Pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis yang berkelanjutan memerlukan informasi secara spasial dan temporal kelimpahan suatu jenis ikan pelagis sepanjang siklus hidupnya. Informasi tersebut diperlukan untuk mengurangi tekanan antropogenik terhadap habitat-habitat ikan pelagis (Valavanis et al., 2008, Robinson, 2010). Umumnya jenis ikan pelagis besar seperti tuna, memiliki fish behaviour yang berbeda antara setiap jenis tuna (Brill, 1994; Brock et al., 1997; Merta et al., 2004; Lehodey et al., 2008). Perbedaan tersebut menyebabkan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis sebaiknya mendasarkan pada pola kelimpahan setiap jenis ikan pelagis pada suatu skala ruang dan waktu.

(2)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Ikan tuna mata besar merupakan salah satu sumberdaya perikanan pelagis besar yang bernilai ekonomis tinggi di Perairan Indonesia. Hanya beberapa wilayah dalam Perairan Indonesia yang merupakan habitat tuna mata besar, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa dan sebelah Barat Sumatra (Ukolseja, 1996; Davis and Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiarti et al., 2005). Disinyalir telah terjadi overfishing penangkapan tuna pada kedua wilayah tersebut, yang ditandai dengan semakin turunnya laju tangkapan tuna dari tahun ke tahun.

Selain mempunyai keanekaragaman sumberdaya ikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia juga mempunyai karakteristik oseanografi yang unik dan dinamis (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di Perairan Indonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena Asia-Australian Monsoon (Tomczack and Godfrey, 2001; Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007), Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels et al., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)( Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnya kondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumberdaya ikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalah diperlukannya informasi yang akurat tentang kondisi oseanografi optimum bagi habitat satu jenis sumberdaya ikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia.

Prediksi sebaran habitat tuna secara spasial dan temporal telah dikembangkan dengan memanfaatkan data-data satelit oseangrafi dan pemodelan statistika non linear, diantaranya untuk ikan tuna albakora (Zainuddin et al., 2008), ikan tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004) dan ikan cakalang (Mugo et al., 2010). Satelit oseanografi yang mampu menyediakan data near real time dan terus menerus dari beberapa parameter oseanografi, dapat digunakan untuk mengetahui dinamika sebaran parameter-parameter oseanografi secara temporal maupun spasial. Salah satu parameter oseanografi tersebut adalah konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC). Data-data SSC yang diperoleh dari sensor-sensor Ocean Color, telah mendapat apresiasi dari para ahli oseanografi, setelah salah satu sensornya yaitu SeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampu menghasilkan data SSC global selama sepuluh tahun berturut-turut (McClain, 2009). Sedangkan parameter oseanografi lainnya yang dapat diperoleh dari satelit oseanografi adalah Sea Surface Height Anomaly (SSHA). Tidak seperti sensor-sensor Ocean Color, pengukuran SSHA dengan menggunakan satelit altimetri merupakan suatu terobosan baru dalam teknologi satelit oseanografi, karena kemampuannya melakukan observasi tanpa terpengaruh oleh kondisi awan (Fu and Cazenave, 2001; Robinson, 2004). Observasi dengan menggunakan data satelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbukti dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi yang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto and Marra, 2005; Susanto et al., 2006; Sartimbul et al., 2010).

Pemodelan statistika non-linear banyak digunakan dalam analisis-analisis data ekologi, karena kemampuannya mengakomodasi data-data ekologi yang cenderung tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pemodelan statistika secara linear (Zuur et al., 2009). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu pemodelan statistika non-linear yang banyak digunakan dalam analisis data-data bidang perikanan (Valavanis et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memodelkan habitat bulanan tuna mata besar di Samudra Hindia selatan Jawa-Bali pada musim timur dari data-data satelit oseanografi.

2. Bahan dan Metoda

Data harian tuna mata besar periode musim timur selama empat tahun (2004 – 2007) diperoleh dari logbook perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Data-data tersebut diolah menjadi data laju tangkapan tuna pada setiap koordinat daerah penangkapan tuna (hook rate). Data konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC) dan suhu permukaan laut (SST) harian dengan periode yang sama dengan

(3)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

periode data tangkapan tuna mata diperoleh dari sensor MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4 km. Data komposit 7 harian sea surface height anomaly (SSHA) diperoleh dari satelit altimetri dengan resolusi spasial 0.33°. Sedangkan variabel eddy kinetic energy (EKE) diperoleh dari perhitungan east component of eddy velocity field (u) dan north component of eddy velocity field (v) dari satelit altimetri dengan persamaan :

(1)...

EKE

1

/

2

   

u

2

v

2

(Fu and Cazenave, 2001; Robinson, 2004).

Untuk menyamakan resolusi spasial dan resolusi temporal dari seluruh dataset, maka data tangkapan ikan tuna mata besar, SSC dan SST diolah menjadi data komposit 7 harian dengan resolusi spasial 0.33°. Komposit 7 harian tersebut berdasarkan pada periode komposit 7 harian data satelit altimetri. Untuk lebih detilnya, pembagian komposit 7 harian tersebut ditampilkan pada tabel 1. Setiap data komposit 7 harian tuna mata besar dioverlay dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE, untuk mengekstrak nilai keempat variabel tersebut pada setiap lokasi penangkapan tuna mata besar.

Tabel 1 Periode komposit 7 harian seluruh dataset

Tahun Minggu Periode

2004 2004 2005 2005 2006 2006 2007 2007 1 31 1 31 1 31 1 30 29 April – 5 Mei 24 November – 1 Desember 28 April – 4 Mei 23 November – 30 November 27 April – 3 Mei 22 November – 29 November 3 Mei – 9 Mei 21 November – 28 November

Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yang ada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data dan evaluation data. Training data digunakan untuk pembentukan model, sedangkan evaluation data digunakan untuk memvalidasi hasil prediksi dari pemodelan tersebut (Himmerman and Guissan, 2000). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu alternatif model statistika apabila tidak ditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuur et al. , 2007; Zuur et al., 2009). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah :

(2)...

Y

i

f

(

X

i

)

i

dimana

f

(

X

i

)

merupakan smoothing curve (Zuur et al., 2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan mgcv package (Wood, 2006). Sebagai variabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR), sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah SSC, SST, SSHA dan EKE. Pembentukan model GAM dimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabel-variabel penjelas. Pemilihan model GAM yang akan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar didasarkan pada nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).

3. Hasil dan Pembahasan

Dinamika oseanografi Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada periode musim timur 2004-2007

Rata-rata tujuh harian variabel SSC, SST, SSHA, dan EKE ditampilkan pada gambar 1, 2, 3, dan 4. Rata-rata SSC tertinggi ditemukan pada minggu ke 17 (2004), 19 (2005), 30 (2006) dan 22 (2007). Nilai SSC tertinggi tersebut terjadi pada periode

(4)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Agustus – September setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2006 yang terjadi pada bulan November. Pada periode normal, intesitas upwelling di wilayah ini terjadi pada periode bulan Juni – September. Proses upwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom air di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan laut (Hendiarti et al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayah upwelling cenderung meningkat ketika terjadi periode upwelling. Proses upwelling juga mengakibatkan penurunan SST (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005) dan penurunan SSHA (Susanto et al., 2001). Seperti terlihat pada gambar 3, kenaikan SSC diikuti dengan penurunan SST dan SSHA.

Pola upwelling yang berbeda pada periode musim timur 2006, diduga kuat terkait dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Pola dan distribusi SSC pada periode musim timur 2006 hampir sama dengan periode musim timur 1997/1998. Gambar 3 menunjukkan pada periode musim timur 2006, puncak upwelling terjadi pada bulan November dan menyebar ke arah barat. Southern Oscillation Index (SOI) tahun 2006 dari NOAA National Center for Environmental Prediction (NCEP) menunjukkan adanya fenomena El Nino pada periode tersebut. Ketika terjadi El Nino, massa air yang arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari sebelah barat Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia berintensitas rendah dan suhu massa air yang relatif dingin. Akibatnya, massa air ARLINDO tersebut mempunyai pengaruh minimum terhadap proses upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Kondisi tersebut menyebabkan pergerakan angin monson dari Benua Australia menuju Benua Asia akan mempunyai pengaruh maksimal terhadap intensitas upwelling baik pada skala ruang maupun waktu (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006).

(5)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Gambar 2 Rata-rata komposit tujuh harian variabel SST periode 2004 – 2007.

(6)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Gambar 4 Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSHA periode 2004 – 2007.

Prediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada musim timur

Eksplorasi seluruh variabel penjelas (SSC, SST, SSHA dan EKE) dengan variance inflation factors (VIF) menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar setiap variabel penjelas (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai VIF setiap variabel penjelas

Variabel Penjelas VIF

SSC SST SSHA ln(EKE) 1.589 1.494 1.085 1.066

Pembentukan GAM selengkapnya ditampilkan pada tabel 4. Pembentukan GAM dimulai dengan satu variabel penjelas yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabel penjelas. Jumlah data yang digunakan dalam pembentukan GAM adalah 1689.Tingkat signifikansi setiap variabel penjelas dikelompokkan menurut Verzani (2005). Hanya variabel SST pada persamaan GAM nomor 5 dan persamaan GAM nomor 11 yang menunjukkan penggunaan smoothing factor terhadap SST dalam kedua persamaan tersebut tidak signifikan. Sedangkan deviance dan AIC menunjukkan tingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan variasi variabel respon dalam setiap persamaan GAM. Semakin besar nilai deviance dan semakin kecil nilai AIC berarti semakin tinggi tingkat keakuratan model GAM dalam menjelaskan variasi variabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Persamaan GAM nomor 15 mempunyai nilai deviance terendah, AIC tertinggi dan tingkat signifikansi setiap variabel penjelas berada dalam kelompok statistically significant dan could be significant. Persamaan tersebut dipilih dan digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar dengan input data-data SSC, SST, SSHA dan EKE bulan Mei-November 2007.

(7)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Table 4. Pembentukan GAM

No Model Variable P-values Deviance(%) AIC

1 SSC SSC < 0.01 1.72 -1516.408 2 SST SST < 0.01 1.22 -1511.048 3 SSHA SSHA 0.02 1.12 -1509.046 4 ln(EKE) ln(EKE) 0.02 0.91 -1507.839 5 SSC + SST SSC 0.02 2.42 -1519.062 SST 0.14 6 SSC + SSHA SSC < 0.01 2.85 -1525.671 SSHA 0.01 7 SSC + ln(EKE) SSC < 0.01 2.62 -1522.492 ln(EKE) 0.03 8 SST + SSHA SST < 0.01 2.53 -1521.193 SSHA 0.01 9 SST + ln(EKE) SST < 0.01 2.46 -1522.504 ln(EKE) < 0.01

10 SSHA + ln(EKE) SSHA < 0.01 2.32 -1518.895

ln(EKE) < 0.01 11 SSC + SST + SSHA SSC 0.01 3.71 -1529.136 SST 0.11 SSHA < 0.01 12 SSC + SST + ln(EKE) SSC 0.02 3.66 -1529.718 SST 0.02 ln(EKE) < 0.01 13 SSC + SSHA + ln(EKE) SSC < 0.01 3.98 -1534.189 SSHA < 0.01 ln(EKE) 0.02 14 SST + SSHA + ln(EKE) SST < 0.01 4.06 -1536.557 SSHA < 0.01 ln(EKE) < 0.01 15 SSC + SST + SSHA + ln(EKE) SSC 0.04 5.14 -1542.482 SST 0.02 SSHA < 0.01 ln(EKE) < 0.01

Persamaan GAM nomor 15 tersebut juga menunjukkan bahwa variabel EKE mempunyai pengaruh terbesar terhadap variasi data hookrate tuna mata besar, dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Sedangkan estimasi smoothing curve pada setiap variabel penjelas dari persamaan GAM nomor 15 ditampilkan pada gambar 8. Pengaruh positif SSC terhadap variasi hookrate tuna mata besar berada pada kisaran 0.05 – 0.15 mg/m3. Sedangkan untuk SST dan SSHA berada pada kisaran 26 – 27 ° C dan -5 – 5 cm. Log natural EKE menunjukkan pengaruh positif pada kisaran 5 – 6, berarti nilai EKE yang mempunyai pengaruh positif terhadap variasi tangkapan tuna mata besar berada pada kisaran 150 – 400 cm2/sec2.

(8)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Gambar 5 Estimasi smoothing curve setiap variabel penjelas

Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada periode musim timur 2007 ditampilkan pada gambar 6. Hasil prediksi bulanan antara bulan Mei – November 2007 tersebut dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan periode Mei – November 2007. Pada prediksi bulan Juni, Juli, Agustus, September dan November 2007, terlihat adanya kesesuaian daerah potensial penangkapan tuna mata besar yang diprediksikan menggunakan persamaan GAM dengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya.

Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar hanya dapat menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar sebesar 5.14% saja. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan persamaan GAM yang dibentuk oleh Mugo et al.(2010) untuk memprediksi habitat ikan cakalang, yaitu sebesar 13.3 %. Diduga rendahnya nilai deviance persamaan tersebut karena sedikitnya jumlah dataset yang digunakan untuk memodelkan GAM dan lapisan renang tuna mata besar yang berada di bawah lapisan termoklin (Holland, 1990; Liu et al., 2003), Variabel-variabel oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini semuanya berasal dari satelit oseanografi. Sehingga variabel-variabel oseanografi tersebut hanya dapat menjelaskan kondisi oseanografi pada lapisan permukaan saja.

(9)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Gambar 6. Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2007. Lingkaran-lingkaran yang ada pada gambar tersebut merupakan plot koordinat penangkapan tuna mata besar pada periode yang sama

(10)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Dengan demikian diperlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan variabel-variabel oseanografi pada lapisan renang tuna mata besar, sehingga sebaran habitat tuna mata besar dapat diidentifikasi dengan lebih akurat.. Secara umum kami menyadari bahwa dinamika dalam suatu ekosistem adalah sangat komplek dan heterogen untuk dapat dimodelkan secara akurat baik dalam skala ruang dan waktu (Himmerman and Guissan, 2000). Namun pendekatan yang kami lakukan dengan menggunakan data-data satelit oseanografi tersebut merupakan suatu langkah awal dalam memahami sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.

4. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi

hookrate tuna mata besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali, merupakan kombinasi dari variabel SSC, SST, SSHA dan EKE.

2. Variabel EKE mempunyai tingkat signifikansi tertinggi dalam persamaan GAM tersebut, dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC

3. Prediksi daerah potensial penangkapan tuna pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dan November 2007 menunjukkan kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata besar sebenarnya.

Daftar Pustaka

Brill, R.W. (1994). A Review of Temperature and Oxygen Tolerance Studies of Tunas Pertinent to Fisheries Oceanography, Movement Models and Stock Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204 – 216

Davis, T.L.O, Farley, J.H. (2001). Size Distribution of Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depth on Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381 – 386.

Fu,L.L and Cazenave, A. (2001). Satellite Altimetry and Earth Sciences: A Handbook of Techniques and Applications. International Geophysics Series . Vol 69. Academic Press.

Hendiarti, N., Siegel, H., and Ohde, T. (2004). Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97.

Hendiarti, N., Suwarso., Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, SE., and Wahyono, IB. (2005). Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123.

Holland K.N., Brill R.W., and Chang, R.K.C..(1990) . Horizontal and vertical movement of yellowfin tuna and bigeye tuna associated with fish aggregating devices. Fish Bull 88:493-507

Lehodey, P., Senina, I., Murtugudde, R..(2008). A Spatial Ecosystem and Population Dynamics Model (SEAPODYM)- Modelling of Tuna and Like Tuna Populations. Progress in Oceanography 78 : 304 – 318.

Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-Jung Kuo, Ming-Kuang Hsu,and Ruo-Shan Tseng. (2003). Application of satellite remote sensing on the tuna fishery of Eastern Tropical Pacific. International Association of Geodesy Symposia, 126:175-182

Longhurst, A.R. (2007). Ecological Geography of the Sea. Second Edition. Elsevier

McClain, C.R. (2009). A Decade of Satellite Ocean Color Observations. Annual Review of Marine Science. 1 : 19 -24.

Merta, G.S., and Iskandar, B., and Bahar, S. (2004). Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar dalam Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. BRPL – BRKP

Moore II, T .S., Marra, J., and Alkatiri, A. (2006). Response of the Banda Sea to the Southeast Monsoon. Marine Ecology Progress Series 261:41-49.

(11)

Dipresentasikan pada seminar hasil penelitian terbaik lingkup Badan Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009, di Hotel Permata Bogor, 6 Desember 2010.

Mugo, R., Saitoh, S., Nihira, A., and Kuroyama, T. (2010). Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in The Western North Pacific : A Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5) : 382 – 396.

Qu, T., Du, Y. Strachan, J., Meyers, G., and Slingo, J. (2005). Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography 18 : 50 – 61.

R Development Core Team. (2008). R : A Language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. available from: URL:http://www.R-project.org. Robinson, I. (2004). Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis.

Robinson, I. (2010). Discovering The Ocean from Space. The Unique Applications of Satellite Oceanography. Springer-Praxis.

Sartimbul, A. Nakata, H, Rohadi, E. Yusuf, B. Kadarisman, H.P. (2010). Variations in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87 : 168 -174.

Sprintal, J., Potemra, T.J., Hautala, S.L., Bray, N.A., and Pandoe, W.W.(2003). Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Research II ,50:2183-2204.

Susanto, R.D., Gordon, A.L., and Zheng, Q. (2001). Upwelling along the coast of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599 – 1602.

Susanto, R.D., and Marra, J. (2005). Effect of the 1997/98 El Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern Coast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph, 18:124-127.

Susanto, R.D, Moore II, T.S, Marra, J. (2006). Ocean Color Variabilty in The Indonesia Seas during SeaWiFS Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7 (5). doi: 10.029/2005GC001009. Susanto, R.D., Gordon, A., and Sprintall, J. (2007). Observations and Proxies of the Surface Layer Troughflow in Lombok Strait. Journal of Geophysical Research, 112:1-11

Tomczak, M., and Godfrey, M.J. (2001). Regional Oceanography : An Introduction. Available on http://www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html

Ukolseja, Y. (1996). Monthly Average Distribution of Fishing Effort and Catch per Unit Effort for Yellowfin Tuna and Bigeye Tuna in Indonesian Waters of The Indian Ocean, 1978 – 1990. Expert Consultation on Indian Ocean Tunas 6. Available on http://iotc.org.

Valavanis, D.V., Pierce, G.J., Zuur, A.F., Palialexis, A., Saveliev, A., Katara, I., Wang, J. (2008). Modelling of Essential Fish Habitat BAse on Remote Sensing , Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 -20.

Wijffels, S.E., Meyers, G., and Godfrey, J.S. (2008). A 20-Yr Avarage of the Indonesia Troughflow: Regional Currents and Interbasin Exchange. Journal of Physical Oceanography, 38:1965-1978. Wood, S.N. (2006). Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.

Zagaglia, C.R., Lorenzzetti, J.A., and Stech, J.S. (2004). Remote sensing data and longline catches of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic. Remote Sensing of Environment, 93:267-281.

Zainuddin, M., Saitoh, K., and Saitoh, S. (2008). Albacore (Thunnus alalunga) fishing ground in relation to oceanographic conditions in the western North Pacific Ocean using remotely sensed satellite data. Fisheries Oceanography, 17:61-73.

Zuur, A.F., Ieno, E.N., and Smith, G.M. (2007). Analysing Ecological Data. Springer.

Zuur, A.F., Ieno, E.N., Walker, N.J., Saveliev, A.A., and Smith, G.M. (2009). Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer.

Zuur, A.F. Ieno, E.N. Elphick, C.S. (2010). A Protocol for Data Exploration to Avoid Common Statistical Problems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1): 3 – 14.

Gambar

Tabel 1 Periode komposit 7 harian seluruh dataset
Gambar 1  Rata-rata komposit tujuh harian variabel  SSC periode 2004 – 2007.
Gambar 2  Rata-rata komposit tujuh harian variabel  SST periode 2004 – 2007.
Gambar 4  Rata-rata komposit tujuh harian variabel  SSHA  periode 2004 – 2007.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam membuka sebuah bisnis banyak orang yang tidak menganalisa peluang, resiko dan pemetaan usaha sehingga mereka membuka usahanya hanya dengan menggunakan keinginan mereka

Mekanisme ini untuk memberikan tenggang waktu kepada BAZ Kota Mojokerto dalam mengumpulkan besaran potensi zakat dan juga untuk mencari orang-orang yang berhak menerima zakat

Usaha / trik apa saja yang anda lakukan untuk mengembangkan usaha ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.. Apakah usaha yang sudah anda jalankan

Melalui kegiatan UMN Scouting Challenge 2013, Racana ISBANDIEN pangkalan Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah mengajak anggota Pramuka di Gugusdepan yang

Bahan yang digunakan adalah salak pondoh nglumut yang merupakan salak khas Banjarnegara dengan variasi perendaman menggunakan Natrium metabisulfit, Kalsium hidroksida dan

Dengan melihat gambaran morfologi pada sediaan yang kami dapatkan pada penelitian ini kami berpendapat bahwa pewarnaan imunositokimia ini bisa meningkat- kan akurasi

Maka sesuai kasus posisi diatas, penulis akan membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap penyandang disabilitas yang menggunakan jasa transportasi udara dengan

Kemudian dari wawancara terlihat guru MIN 1 dan MIN 4 sudah mempersiapkan perencanaan mengajar sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran yaitu dengan menyiapkan