• Tidak ada hasil yang ditemukan

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 6"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

format .mrf.

3.3.2 Konversi Data SPPI menjadi Data VSPPI

Konversi data yang dilakukan pada tahap ini ialah dengan mengubah format data. Format data yang dihasilkan pada tahap ini ialah format NetCDF.

Pengolahan data ke dalam format NetCDF digunakan untuk mengubah data ke dalam waktu setempat, karena data radar yang ada formatnya dalam waktu Jepang. Selain untuk mengubah ke dalam waktu setempat, pada tahap ini juga dilakukan pengelompokkan data ke dalam sistem menit, dimana data yang terekam dibagi dalam data 6 menit-an. Pengolahan data pada tahap ini juga menggunakan script yang akan dilampirkan.

Pengolahan data ke dalam format NetCDF ini juga akan menghasilkan data yang memiliki sistem ordinat 3 dimensi, x, y, z. Dimana x mewakili koordinat bujur, y mewakili koordinat lintang, dan z mewakili koordinat ketinggian dengan satuan kilometer (km).

3.3.3 Konversi Data VSPPI menjadi Data CAPPI

Data yang dihasilkan pada tahap ini telah dalam format NetCDF dengan satuan waktu WIB. Persamaan pembobotan Cressman digunakan pada pengolahan data tahap ini. Persamaan ini merupakan teknik interpolasi spasial data radar NetCDF menjadi data curah hujan (masih dalam bentuk reflektivitas). Metode ini juga digunakan untuk mengonversi data NetCDF ke dalam format data reflektivitas (satuan dbz). Dalam tahap ini, dapat dilakukan perubahan tanggal, bulan, tahun, dan juga jam sesuai dengan keperluan pengamat. Penggunaan metode ini disertakan dalam script saat melakukan pengolahan data CAPPI.

3.3.4 Membaca Data CAPPI menjadi Data Curah Hujan

Pembacaan data CAPPI menjadi data curah hujan ditujukan untuk membaca file CAPPI dan menerjemahkannya ke dalam file teks (nilai). Pada tahap ini, masing-masing file yang dihasilkan sudah dapat dibaca oleh pengguna. File ini terdiri dari titik lintang, bujur, ketinggian (km), dan curah hujan (mm/jam). Pada tahap ini, tidak digunakan script pengolahan data. Perintah pada tahapan

3.3.5 Pola Sebaran Curah Hujan Jabodetabek

Pola sebaran curah hujan untuk wilayah Jabodetabek didapatkan dengan cara memetakan nilai curah hujan berdasarkan bujur dan lintang ke dalam peta Rupa Bumi yang didapat dari Bakosurtanal tahun 1992, wilayah Jabodetabek. Pola sebaran hujan diolah menggunakan Arc View. Pada pengolahan ini, dilakukan pengonversian data dari data teks menjadi data raster. Tujuannnya adalah untuk melihat pola sebaran curah hujan di wilayah Jabodetabek, baik berdasarkan titik bujur maupun berdasarkan titik lintang.

3.3.7 Grafik Curah Hujan Jabodetabek Grafik curah hujan yang dibuat berdasrkan perbedaan kelompok waktu. Terdapat tiga (3) kelompok waktu yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: per 6 menit, per 30 menit dan per 60 menit. Grafik hujan yang dibuat juga berdasarkan perbedaan titik bujur dan lintangnya untuk masing-masing kelompok data (waktu). Kelompok bujur adalah 106.0-106.5°BT dan 106.5-107.0°BT. kelompok lintang adalah 7.0-6.5°LS dan 6.5-6.0°LS.

3.3.8 Analisis Curah Hujan

Analisis curah hujan yang dilakukan menggunakan analisis data dengan 3 kelompok amatan, 6 menit-an, 30 menit-an, dan data 60 menit-an. Analisis curah hujan yang dilakukan jga menggunakan perbandingan berdasarkan titik lbujur dan lintangnya. Analisis curah hujan yang dilakukan digunakan untuk mengetahui sebaran atau pergerakan curah hujan yang terjadi dalam daerah kajian dalam 3 pengelompokkan data tersebut. Sehingga melalui analisis ini, dapat diketahui sejauh mana data radar dapat menghasilkan analisis mengenai pergerakan curah hujan dalam kurun waktu tertentu dan dalam ruang lingkup kajian tertentu.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Radar

Data cuaca yang terekam oleh CDR dalam bentuk format data RAW IRIS. Format data RAW IRIS adalah data file yang memiliki 3 sistem data dalam satu

(2)

pengamatan, Surveillance Plan Position Indicator (SPPI), Volume Scan (VS), Range Height Indicator (RHI). Paragraf-prgraf berikut akan menjelaskan pengertian-pengertian dari SPPI dan VS. Doppler Radar CDR tidak melakukan pengamatan data dengan format RHI. Penyebab utamanya adalah spesifiksai antena yang tidak sesuai untuk dilakukannya pengamatan terhadap format data ini. Adapun, RHI adalah data dengan memanfaatkan rotasi vertikal antena radar pada arah angin tertentu (misalnya arah Barat – Utara – Timur) untuk memperoleh data cross section dengan keakuratan lebih tinggi dari data PPI(Plan Position Indicator).

Ketinggian yang dihasilkan oleh data radar ini sangat bervariasi, mulai dari 0 km dari sumber (radar cuaca Serpong) hingga mencapai titik 20 km dari sumber. Ketinggian yang dihasilkan oleh radar cuaca telah diproyeksikan terhadap keseluruhan sudut yang dihasilkan. Pada penilitian kali ini, peneliti menggunakan satu titik ketinggian, yaitu 2 km dari sumber. Hal-hal yang mendasari peneliti menggunakan ketinggian tersebut adalah hubungannya dengan struktur lapisan atmosfer. Pada lapisan atmosfer, ketinggian 2 km dari permukaan bumi merupakan lapisa troposfer. Lapisan troposfer merupakan lapisan atmosfer tempat terjadinya gejala-gejala cuaca. Lapisan troposfer dapat mencapai ketinggian 8 km dari permukaan laut di daerah kutub, sedangkan untuk daerah ekuator dapat mencapai 16 km. Ketinggian rata-rata atmosfer di seluruh dunia adaah sebesar 12 km (Handoko, 1993). Selain mengenai lapisan atmosfer, hal yang mendasari peneliti menggunakan ketinggian 2 km dari sumber adalah hubungannya dengan tipe awan. Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong udara (Handoko, 1993). Untuk ketinggian ini, tipe awan yang terbentuk adalah awan sedang atau awan pertengahan. Awan tipe ini merupakan campuran titik-titik air dan kristal es, contohnya adalah awan altocumulus dan altostratus (Handoko, 1993).

Data Raw yang terekam saat pengamatan akan dapat diolah menjadi data CAPPI. Data CAPPI yang dihasilkan kemudian diolah kembali sehingga menghasilkan data teks (ASCII Format) dan juga dalam bentuk gambar (CAPPI Image). Data CAPPI yang dihasilkan dalam satuan waktu Western Indoensian Time (WIT). Namun format data yang dapat dikonversi menjadi data ASCII ataupun Image CAPPI adalah format data

NetCDF. Dalam pengonversian data NetCDF, data yang dapat diolah adalah data dalam bentuk satuan waktu Universal Time Coordniate (UTC). Oleh karena itu data Raw yang terekam dikonversi terlebih dahulu ke dalam format UTC dan kemudian dikonversi kembali ke dalam format WIT.

Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan konversi data Raw ke dalam format UTC (Universal Time Coordinate). Tujuannya adalah untuk mengubah data ke dalam bentuk grid (NetCDF) yang satuan waktunya telah berubah menjadi UTC. Data dalam pengonversian ini disebut sebagai data Surveillance Plan Position Indicator (SPPI), yaitu data pengamatan dengan hanya menggunakan satu sudut elevasi antena dan frekuensi pengulangan pulsa (Pulse Repetition Frequency/PRF) rendah. Karena menggunakan PRF rendah, maka data ini memiliki radius amatan terluas dibandingkan dengan data lainnya (175 km untuk CDR Serpong) dan hanya digunakan untuk pengamatan langsung secara visual (surveillance). Dalam pengonversian data ini digunakan script dalam format perl, yaitu CDR_CONV.pl.

Data dalam format SPPI ini dikonversi kembali ke dalam bentuk Volume Scan Plan Position Indicator (VSPPI). Data VSPPI merupakan data yang dihasilkan melalui satu set pengamatan dengan menggunakan seluruh sudut elevasi antena yang ada pada radar. Dapat dikatakan pula, data dalam format set data ini terdiri dari data PPI dengan seluruh sudut elevasi (18 sudut elevasi). CDR Serpong merupakan radar cuaca yang dapat menghasilkan data 18 sudut elevasi. Data VSPPI telah dalam bentuk format data NetCDF yang akan digunakan untuk menghasilkan data CAPPI yang dapat dikonversi kembali menjadi data curah hujan, baik dalam bentuk ASCII ataupun Image CAPPI. Data yang dihasilkan dalam tahap ini memiliki radius 105 km. Prosessing data ini menggunakan script CDR_VOL.pl.

(3)

Gambar 3 Sudut yang terbentuk oleh rekaman data radar cuaca (Anonim, 2010)

Data dalam format VSPPI telah terkonversi ke dalam format NetCDF yang satuan waktunya adalah UTC. Dalam prosessing data format ini, digunakan persamaan pembobotan Cressman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman yang ditulis ke dalam script PPI2CAPPI2.pl. Data yang dikonversi pada tahap ini menghasilkan data dalam bentuk reflektivitas (.dbz). Teknik modifikasi ini merupakan teknik interpolasi spasial data radar NetCDF menjadi data curah hujan (masih dalam bentuk reflektivitas). Modifikasi ini dilakukan untuk menginterpolasi data dari koordinat polar ke dalam koordinat linear.

Prosessing data kemudian dilanjutkan ke dalam konversi data untuk format data CAPPI. Format data CAPPI ini yang kemudian dapat digunakan untuk pengamatan cuaca, khususnya curah hujan. Data curah hujan yang dihasilkan dalam pengonversian data tahap ini terbagi ke dalam dua jenis set data, tergantung hasil akhir yang diinginkan (ASCII Format dan Image CAPPI). Pada penelitian ini, keluaran data yang dihasilkan dibatasi hanya pada data ASCII Format. Dalam pengoversian data ini, satuan waktu yang digunakan telah diubah kembali ke dalam format WIT (Western Indonesian Time/Waktu Indonesia Barat). Dalam pengonversian data ini juga digunakan rumus Marshall-Palmer, sebagai berikut:

Z = aRb

Dimana, Z adalah reflectivity factor/faktor reflektivitas radar (dB of Z) dan R adalah rain rate/curah hujan (mm/hr).

Selang beberapa waktu, Marshall-Palmer kemudian menentukan konstanta a dan b yag terkandung dalam rumus yang diutarakannya. Penentuan konstanta ini diutarakan saat melakukan penelitian terhadap curah hujan di Kanada. Rumus ini kemudian digunakan di

diwajibkan untuk divalidasi) dan dikenal sebagai rumus Marshal-Palmer. Rumus Marshall-Palmer (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman) yang digunakan pada script rainrate.f ini digunakan untuk mengonversi data yang masih dalam bentuk raflektivitas radar (.dbz) ke dalam bentuk curah hujan (mm/hari). Dalam rumus Marshall-Palmer, konstanta yang digunakan berbeda di setiap negara, bergantung pada lokasi negara tersebut. Konstanta yang tertera pada rumus di atas, merupakan konstanta yang digunakan untuk perhitungan di Indonesia (data yang dihasilkan sudah tidak perlu untuk divalidasi kembali).

Data yang telah dihasilkan kemudian diperiksa kembali menggunakan GFortran. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membaca file binary dan juga untuk melakukan konversi data hasil pengolahan menggunakan rumus Marshall-Palmer. Pemeriksaan ini tidak menggunakan script, namun perintah untuk menjalankan programnya langsung diketik dalam jendela terminal (tempat processing dilaksanakan). Perintahnya adalah seperti berikut:

Gfortran –o (nama file output) (nama file input)

Keterangan: Gfortran merupakan nama perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data radar. –o merupakan perintah untuk menghilangkan data yang tidak perlu. (nama file output) merupakan tempat penyimpanan file hasil. (nama file input) merupakan tempat file yang menjadi masukan pemrosesan data radar.

Tabel 2 Data teks curah hujan 12 Februari 2010 (02.00)

Bujur Lintang Ketinggian

(km) CH (mm/6 menit) 107.006 -6.7799 2 0.05 107.01 -6.7799 2 0.05 107.001 -6.7754 2 0.06 107.006 -6.7754 2 0.06 107.01 -6.7754 2 0.07 107.015 -6.7754 2 0.07 107.019 -6.7754 2 0.09 107.001 -6.7709 2 0.06 107.01 -6.7709 2 0.08

(4)

Bujur Lintang Ketinggian (km) CH (mm/6 menit) 107.006 -6.7799 2 0.05 107.01 -6.7799 2 0.05 107.001 -6.7754 2 0.06 107.006 -6.7754 2 0.06 107.01 -6.7754 2 0.07 107.015 -6.7754 2 0.07 107.019 -6.7754 2 0.09 107.001 -6.7709 2 0.06 107.015 -6.7709 2 0.09

Data teks yang dihasilkan oleh processing data radar mencakup titik bujur, lintang, ketinggian (km), dan juga curah hujan (mm/jam). Data curah hujan yang didapat terlebih dahulu diolah kembali. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai satu paket data per 6 menit, menggunakan rumus :

CH = (CH awal / 60) x 6

Data teks yang telah didapat kemudian diolah kembali ke dalam bentuk peta penyebaran curah hujan di wilayah kajian dan juga grafik curah hujan yang menunjukkan

besarnya sebaran curah hujan dalam setiap posisi bujur dan lintang. Satu titik lintang dan bujur dari data radar mewakili 0.0045° atau 524 meter untuk masing-masing titiknya. Dalam setiap posisi bujur maupun lintang, dibagi kembali ke dalam dua posisi, 106.0-106.5°BT dan 106.5-107.0°BT untuk titik bujur dan 7.0-6.5°LS dan 6.5-6.0°LS untuk titik lintang. Pengolahan grafik awal dilakukan untuk data per 6 menit. Kemudian dilanjutkan dengan data per 30 menit dan data per 60 menit. Adapun pengelompokkan data ke dalam 3 kelompok data ini dilakukan secara sederhana, yaitu dengan mengakumulasi kan waktu pengamatan data awal (data per 6 menit) menjadi data per 30 menit dan per 60 menit. Untuk contoh data hasil pengelompokkan terhadap waktu, dapat dilihat dalam lampiran.

Masing-masing grafik kemudian di analisis bagaimana penyebaran curah hujan dalam wilayah kajiannya. Hasil analisis yang didapat kemudian dapat dimanfaatkan untuk pengembangan informasi mengenai curah hujan lebih lanjut, misalnya untuk mengetahui volume hujan wilayah dan prediksi banjir. Penelitian ini hanya membatasi penggunaan data radar hingga mendapatkan curah hujan wilayah kajian saja.

(5)

4.2 Analisis Curah Hujan di Wilayah Jabodetabek

(6)
(7)
(8)

Pada tiga (3) pola curah hujan dalam gambar 4, 5, dan 6, dapat dijelaskan bahwa sebaran pola hujan bila ditinjau berdasarkan posisi bujur akan lebih sering terjadi pada bagian barat wilayah Jabodetabek. Wilayah ini merupakan wilayah dengan suhu yang lebih rendah dengan ketinggian maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Salah satu adalah Bogor. Bogor merupakan dareah yang memiliki ketinggian maksimum bila dibandingkan dengan daerah lain dalam penelitian ini (300 mdpl).

Pola penyebaran curah hujan yang terjadi juga menunjukkan adanya fluktuasi waktu yang terjadi. Curah hujan terlihat meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan hari pengamatan.

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengolah data radar cuaca dalam 3 kelompok selang waktu, per 6 menit, per 30 menit, dan per 60 menit. Data yang ditampilkan adalah dalam 2 posisi bagian (dalam daerah Jabodetabek), yaitu: 106.0-106.5° Bujur Timur dan 106.5-107.0° Bujur Timur. Titik lintang pada kelompok data ini, ditampilkan mengikuti titik bujurnya. Pembagian posisi dalam tampilan hasil ini ditujukan untuk lebih

memaksimalkan analisis curah hujan wilayah dalam daerah kajian Jabodetabek.

Gambar 4 pola penyebaran hujan wilayah pada tanggal 12 Februari 2010 menunjukkan bahwa hujan yang terjadi pada tanggal tersebut merupakan curah hujan dengan intensitas minimum. Hal ini dikarenakan pada tanggal tersebut kejadian hujan tidak sebanding dengan tanggal-tanggal berikutnya, yaitu 13 Februari 2010 dan 14 Februari 2010. Pada tanggal 12 Februari 2010, curah hujan hanya terjadi di beberapa daerah dalam wilayah kajian, seperti Tangerang, beberapa daerah di Bogor, dan daerah paling selatan dalam wilayah kajian. Data radar pada tanggal 13 Februari 2010 dan 14 Februari 2010 menunjukkan kejadian hujan yang ditangkap oleh radar cuaca lebih banyak daripada tanggal 12 Februari 2010. Pada gambar 5 dan 6 terlihat bahwa kejadian hujan di Jabodetabek terjadi hampir secara merata di seluruh wilayah kajiannya. Apabila ditinjau berdasarkan titik bujur yang menjadi titik acuan penelitian ini, curah hujan pada tanggal 5 dan 6 menyebar secara merata pada titik bujur tersebut. Besarnya curah hujan yang terjadi pada masing-masing tanggal amatan didominasi pada kisaran 0-1.2 mm/6 menit.

(9)
(10)
(11)
(12)

Pola curah hujan berdasarkan gambar 7, 8, dan 9 adalah pola curah hujan per 6 menit berdasarkan posisi lintang. Posisi lintang yang digunakan untuk analisis data pada penelitian kali ini adalah 7.00 hingga 6.00°LS. Pola curah hujan pada gambar 7, 8, dan 9 menunjukkan adanya hubungan antara curah hujan dengan topografi (dalam hal ini ketinggian). Topografi suatu wilayah dapat mempengaruhi besarnya curah hujan yang diterima oleh daerah tersebut. Semakin ke selatan suatu daerah, topografinya akan semakin tinggi (studi kasus : Jabodetabek), sehingga curah hujannya akan semakin besar pula. Pada wilayah amatan, daerah yang paling selatan merupakan daerah Bogor. Seperti yang telah diketahui, Bogor memiliki ketinggian yang lebih dia antara wilayah amatan lainnya, yaitu rata-rata ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m dari

permukaan laut. Pada penelitian ini, analisis kaitan antara curah hujan dengan topografi hanya dilakukan sampai tahap ini saja.

Pola sebaran hujan yang terjadi umunya tak hanya meningkat seiring dengan peningkatan topografi saja, namun juga juga seiring dengan waktu. Pada kedua kelompok grafik di atas dapat dibuktikan bahwa curah hujan yang lebih banyak terjadi pada pagi hari. sedangakan pada dini hari, intensitas curah hujan berkurang. Namun pada sore hari, intensitas hujan tak hanya meningkat, tapi juga kejadian hujannya tersebar merata ke beberapa daerah amatan. Hujan dengan intensitas maksimum (kejadian hujan lebih sering terjadi), berlangsung terus menerus, daerah penampung hujan berkurang yang mengakibatkan pengurangan curah hujan yang dapat ditampung, sehingga terjadilah banjir.

Gambar 10 Grafik curah hujan 12 Februari 2010 terhadap satuan waktu (jam) dalam 2 posisi amatan berdasarkan letak bujur.

(13)

hujan maksimum pada tanggal 12 Februari 2010 terjadi dalam daerah dengan titik 106.0-106.5°BT. Data dalam 3 kelompok selang waktu (per 6 menit, per 30 menit, dan per 60 menit) pada tanggal 12 Februari 2010 menunjukkan bahwa curah hujan berfluktuasi terhadap waktu. Rata-rata curah hujan tertinggi yang terbaca pada data radar sangat bervariasi. Grafik per 6 menit pada posisi 1 memiliki fluktuasi curah hujan yang bervariasi. Terdapat beberapa titik maksimum dan perubahan curah hujan yang drastis. Pada daerah ini dimungkinkan terjadinya perubahan curah hujan yang ekstrim. Posisi 2 pada selang waktu yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap fluktuasi curah hujan pada posisi 1. Pada posisi 2, perubahan curah hujan yang terjadi tidak

posisi 1. Data per 30 menit pada posisi 1 pada grafik di atas menunjukkan fluktuasi curah hujan terhadap waktu berjalan stabil. Titik maksimum hujan terjadi pada dini hari dan terendah pada siang hari. Posisi 2 pada selang waktu ini menunjukkan terjadinya perubahan curah hujan yang ekstrim pada pagi hari. Titik curah hujan maksimumnya terjadi pada pagi hari.

Data per 60 menit yang terjadi pada posisi 1 menunjukkan terjadinya kenaikan curah hujan maksimum pada siang hari dan kemudian turuh kembali pada sore hari yang diikuti dengan kenaikan kembali pada malam hari. Sedangakan pada posisi 2 terjadi peningkatan curah hujan hingga mencapai titik maksimum pada sore hari kemudian turun secara drastis pada malam hari.

Gambar 11 Grafik curah hujan 12 Februari 2010 terhadap satuan waktu (jam) dalam 2 posisi amatan berdasarkan letak lintang.

(14)

Gambar 11 menunjukkan grafik curah hujan yang terjadi pada daerah amatan berdasarkan posisi lintangnya. Pembagian posisi lintang yang dilakukan pada penelitian kali ini adalah 7.00-6.50°LS dan 6.50-6.00°LS. Terlihat bahwa semakin menuju ke selatan, curah hujan akan semakin besar. Pada daerah amatan, daerah yang terletak di bagian selatan merupakan daerah Bogor. Daerah Bogor merupakan daerah yang didominasi dengan ketinggian yang melebihi daerah yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kejadian curah hujan pada suatu daerah amatan bergantung pada topografi daerah amatan tersebut.

Data tanggal 12 Februari 2010 menunjukkan variasi yang beragam antara curah hujan dengan waktu. Fluktuasi pergerakan curah hujannya mengalami perubahan yang drastis. Pada posisi 1,

beberapa titik maksimum didahului dengan titik minimum dan diakhiri dengan titik minimum kembali dengan titik maksimum pada pagi (untuk data er 6 menit dan 30 menit) dan sore hari (untuk data per 60 menit).

Posisi 2 data per 6 menit pada gambar dia atas menunjukkan bahwa pergerakan curah hujan dapat disimpulkan mengalami perubahan yang tidak terlalu drastis bila dibandingkan dengan kelompok data lainnya. Titik maksimum pada kelompok data ini berada pada pagi hari. Pada gambar kelompok data selanjutnya diperlihatkan bahwa pergerakan curah hujan berfluktuasi terhadap waktu,untuk kelompok data 30 menit, titik maksimum terjadi menjelang siang hari. Sedangkan pada kelompok data 60 menit, titik maksimum terjadi pada sore hari.

Gambar 12 Grafik curah hujan 13 Februari 2010 terhadap satuan waktu (jam) dalam 2 posisi pengamatan berdasarkan posisi bujur.

(15)

hujan pada 2 posisi pengamatan pada tanggal 13 Februari 2010. Seperti yang terlihat, untuk data per 6 menit pada posisi 1, fluktuasi hujan yang terjadi tidak mengalami perubahan yang siginifikan bila dibandingkan dengan selang waktu yang sama pada posisi 2. Titik maksimum pada posisi 1 berada pada dini hari dengan titik minimum menjelang siang hari dan malam hari. Sedangkan pada posisi 2, titik maksimum berada pada pagi hari yang sebelumnya didahului dengan titik minimum.

Selang waktu kedua (per 30 menit) menunjukkan bahwa fluktuasi curah hujan terhadap waktu yang terjadi tidak terlalu bervariasi bila dibandingkan dengan data-data sebelumnya. Pada posisi 1, terdapat perubahan curah hujan ekstrim pada pagi hari dengan titik maksimumnya terjadi pada dini

terjadi pada siang hari kemudian diikuti dengan perubahan curah hujan menuju ke titik minimum.

Pada selang waktu ke tiga, terjadi perubahan curah hujan terhadap waktu yang disertai dengan perubahan curah hujan yang ekstrim. Pada posisi 1, titik maksimumnya terjadi pada pagi hari yang disertai dengan perubahan curah hujan menuju ke titik yang rendah. Titik minimum yang terjadi pada posisi ini terjadi pada malam hari. Posisi 2 juga menunjukkan perubhaan yang ekstrim, pada titik maksimumnya didahului dan diakhiri dengan titik minimum. Titik paling rendah ada posisi ini juga terjadi pada malam hari.

Gambar 13 Grafik curah hujan 13 Februari 2010 terhadap satuan waktu (jam) dalam 2 posisi pengamatan berdasarkan posisi lintang.

(16)

Grafik pada gambar 13 merupakan grafik curah hujan pada tanggal 13 Februari 2010 berdasarkan posisi lintang. Seperti pada penjelasan grafik lintang pada tanggal 12 Februari 2010, terlihat bahwa semain ke selatan, curah hujan akan semakin meningkat yang diakibatkan oleh kondisi topografi daerah tersebut. Data per 6 menit pada posisi 1 menunjukkan fluktuasi yang bervariasi antara curah hujan dengan satuan waktu, titik maksimum dan minimumnya mendominasi kelompok data ini. Namun pada posisi 2, terdapat perubahan yang kurang bervariasi bila dibandingkan dengan kelompok data sebelumnya. Pada data ini, titik maksimum

terjadi pada malam hari dan titik minimum yang mendominasi.

Pada kelompok data berikutnya (data per 30 menit dan 60 menit) menunjukkan pola yang hampir sama pada kedua posisi, yang membedakannya adalah besarnya titik maksimum dan titik minimum yang dimiliki oleh kelompok data ini. Pada grafik 3 kelompok data di atas, membuktikan bahwa, besarnya curah hujan yang dapat mencapai titik maksimum hanya dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan untuk curah hujan yang mencapai titik minimum dapat terjadi berulang kali.

Gambar 14 Grafik curah hujan 14 Februari 2010 terhadap satuan waktu dalam 2 posisi pengamatan berdasarkan posisi bujur.

(17)

waktu per 6 menit menunjukkan bahwa perubahan curah hujan terhadap waktu yang terjadi terlihat lebih konstan bila dibandingkan dengan data-data sebelumnya, terutama pada pagi hari hingga malam hari. Titik maksimum pada posisi ini terjadi pada dini hari dengan titik maksimum terjadi pada malam hari. Posisi 2 pada selang waktu ini menunjukkan fluktuasi yang terjadi sangan besar dengan titik maksimum pada pagi hari dan perubahan ke titik minimum yang ekstrim pada siang hari.

Kelompok selang waktu per 30 menit pada posisi 1 menunjukkan perubahan curah hujan yang ekstrim terjadi pada siang hari dan malam hari dengan titik maksimum dan minimum pada malam hari. Posisi 2 pada

antara curah hujan dan waktu mulai dari dini hari hingga malam hari (pukul 20-21.00 WIB). Namun pada malam hari kembali terjadi perubahan yang signifikan hingga mencapai titik maksimumnya.

Kelompok selang waktu per 60 menit pada tanggal ini menunjukkan pola fluktuasi curah hujan terhadap waktu yang hampir sama. Posisi 1 mengalami fluktuasi mulai dari dini hari, mengalami titik minimum menjelang siang hari dan mencapai titik maksimum pada malam hari. Sedangkan pada posisi 2, fluktuasi curah hujan terhadap waktu mulai terjadi pada pagi hari. Titik minimum terjadi pada pagi hari dan mencapai titik maksimum menjelang malam hari.

Gambar 15 Grafik curah hujan 14 Februari 2010 terhadap satuan waktu dalam 2 posisi pengamatan berdasarkan posisi lintang.

(18)

Grafik hubungan antara curah hujan dengan waktu yang ditamspilkan pada gambar 15 di atas merupakan grafik tanggal 14 Februari 2010 berdasarkan posisi lintang. Pada grafik data ini terlihat bahwa fluktuasi curah hujan yang terjadi bervariasi pada posisi 1 (7.0 – 6.5 °LS) dengan curah hujan maksimum mencapai titik 4 mm/jam. Sedangkan pada data per 30 menit pada posisi 2, fluktuasi pergerakannya dapat dianggap konstan dan mencapai titik maksimum pada tengah malam hari.

Pola sebaran hujan yang ditampilkan baik dalam bentuk peta sebaran hujan maupun grafik fluktuasi curah hujan dengan waktu menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bervariasi antara curah hujan dengan waktu dan wilayah kajian.

V. KESIMPULAN

 Data curah hujan yang didapat melalui data radar cuaca menggunakan software-software terkait, seperti: C, Fortran, Perl, dan NetCDF, dapat dihasilkan dalam beberapa bentuk sesuai dengan kebutuhan (teks dan gambar). Data radar yang dihasilkan pada penelitian ini dalam bentuk teks yang terdiri dari titik bujur, lintang, ketinggian, dan curah hujan, sehingga data dapat disajikan dalam bentuk spasial

 Data curah hujan yang dihasilkan oleh Radar Doppler C-Band menunjukkan bahwa curah hujan dengan intensitas tertinggi terjadi di wilayah Bogor dan semakin berkurangnya ketinggian tempat, curah hujan semakin kecil. Kondisi ini hanya berlaku pada saat pengambilan data radar cuaca ini. Pola hujan wilayah dapat dapat dihasilkan menggunakan data dengan rentang waktu yang lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2010. Constant Altitude Plan Position Indicator. http://wikipedia.org/ 02 Desember 2010.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Bahar Y. 2007. Peranan Radar dan Satelit Cuaca dalam Mendukung Kegiatan Pengamatan Meteorologi yang dilakukan

oleh BMG. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Bakosurtanal. 1992. Peta Rupa Bumi. Bakosurtanal.

Budiati SW. 1996. Estimasi Curah Hujan berdasarkan Indeks Pantulan Radar dan Profil Kelembaban Relatif Hasil Observasi Radiosonde. Tesis. Program Studi Agroklimatologi. FMIPA. IPB. Tidak dipublikasikan.

Bouar Le E, Testud J, Lavabre J. 2002. Monitoring of Serve Events with an X-Band Polarimetric Radar. Proseding konferensi Plinius 4 EGS. Mallocra: Oktober 2002.

Chumchean S, Aungsuratana, Khommuang A, Hanchoowong R. 2009. Study of Rain-Cloud Characteristics Using Weather Radar Data. Congress 18th World IMACS/MODISM. Australia 13-17 July 2009. Autralia.

Chumchean S, Seed A, Sharma A. 2003. Effect of Radar Beam Geometry on Radar Rainfall Estimation. Simposium HS03 dalam IUGG2003. Sapporo Juli 2003. Sapporo.

Doviak dan Zrniḉ. 1993. Doppler Radar and Weather Observations. Oklahoma : Academi Press.

Frisch AS, Lenschow DH, Fairall CW, Schubert WH, Gibson JS. 1994. Doppler Radar Measurements of Turbulence in Marine Stratiform Cloud during ASTEX. Atmospheric Sciences 52: 2800-2809. Gray W, Howard L. 2004. Radar Rainfall

estimation in the New Zaeland Context. Sixth International Symposium on Hydrological Applications of Weather Radar. Australia 2-4 Ferbuari 2004. Australia.

Haryanto U. 1998. Keterkaitan Fase Indeks Osilasi Selatan (SOI) terhadap Curah Hujan di DAS Citarum. Tesis. Jurusan Geofisika dan Meterologi. FMIPA. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Iswandi. 2006. Potensi Pemanfaatan Data Radar SRTM untuk analisa Debit Puncak, Studi Kasus DAS Lipat Kain, Kampar-Riau. Tesis. Program Studi: Ilmu Pengelolaan DAS. IPB.

Kartasapoetra AG. 2004. Klimatologi, Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.

Kollias P, Albrecht BA, Lhermitte dan Savtchenko. 2000. Radar Observations of Updrafts, Downdrafts, and Turbulence in

Gambar

Tabel 2  Data  teks  curah hujan  12  Februari  2010 (02.00)
Gambar 4  Pola curah hujan (satuan mm/6 menit dan selang waktu per 6 menit) 12 Februari 2010 berdasarkan posisi bujur (106.0-107.0°BT)
Gambar 5  Pola curah hujan (satuan mm/jam dan selang waktu per 6 menit) 13 Februari 2010 berdasarkan posisi bujur (106.0-107.0°BT)
Gambar 6  Pola curah hujan (satuan mm/jam dan selang waktu per 6 menit) 14 Februari 2010 berdasarkan posisi bujur (106.0-107.0°BT)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam membuka sebuah bisnis banyak orang yang tidak menganalisa peluang, resiko dan pemetaan usaha sehingga mereka membuka usahanya hanya dengan menggunakan keinginan mereka

Mekanisme ini untuk memberikan tenggang waktu kepada BAZ Kota Mojokerto dalam mengumpulkan besaran potensi zakat dan juga untuk mencari orang-orang yang berhak menerima zakat

Maka sesuai kasus posisi diatas, penulis akan membahas mengenai perlindungan konsumen terhadap penyandang disabilitas yang menggunakan jasa transportasi udara dengan

Router merupakan perangkat keras jaringan komputer yang dapat digunakan untuk menghubungkan yang dapat digunakan untuk menghubungkan beberapa jaringan yang sama atau berbeda.

Melalui kegiatan UMN Scouting Challenge 2013, Racana ISBANDIEN pangkalan Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah mengajak anggota Pramuka di Gugusdepan yang

Bahan yang digunakan adalah salak pondoh nglumut yang merupakan salak khas Banjarnegara dengan variasi perendaman menggunakan Natrium metabisulfit, Kalsium hidroksida dan

Dengan melihat gambaran morfologi pada sediaan yang kami dapatkan pada penelitian ini kami berpendapat bahwa pewarnaan imunositokimia ini bisa meningkat- kan akurasi

Dari permasalahan yang telah diamati oleh peneliti yaitu kurangnya pengembangan emosional anak usia dini kelompok A TK Pertiwi Macanan Kebakkramat dan dengan