• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. Di Jepang, homeless umumnya diartikan sebagai furousha atau orang yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. Di Jepang, homeless umumnya diartikan sebagai furousha atau orang yang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1

Pendahuluan

1.

Latar Belakang

Negara Jepang yang dikenal sebagai negara maju dan berkembang juga pernah mengalami resesi ekonomi. Jepang mengalami resesi ekonomi sejak Perang Dunia II berlangsung. Resesi ekonomi ini menimbulkan banyak masalah sosial di Jepang seperti homeless.

Di Jepang, homeless umumnya diartikan sebagai “furousha” atau orang yang tinggal di tempat-tempat umum seperti taman, bantaran sungai, di pinggir jalan dan stasiun (Iwata, 1995:55). Homeless dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai tunawisma. Di Jepang homeless bukanlah pengemis yang pekerjaannya meminta-minta tetapi orang yang benar-benar tidak mempunyai rumah dan mereka juga biasa dikenal sebagai blue tent (tenda biru), Hal ini dikarenakan tenda yang dibangun untuk tempat tinggal sementara mereka semuannya dilapisi oleh kain terpal berwarna biru. Kemudian tenda biru ini dijadikan ikon sebagai tempat tinggal para homeless. Kebanyakan dari mereka memilih untuk tinggal di tempat-tempat umum seperti taman dan stasiun. Pertumbuhan homeless pertama kali meningkat pada tahun 1960-an setelah Per1960-ang Dunia II berakhir (Hasegawa, 2006:23) d1960-an jumlah homeless

meningkat tajam ketika resesi ekonomi melanda pada tahun 1992. Keberadaan

homeless mulai muncul dan menjadi pusat perhatian di Jepang sejak tahun 1990-an karena pada saat itu jumlah homeless di Jepang mulai meningkat (Swenson, 2008:20). Pada tahun 1990-an homeless dikenal dengan sebutan “nojoku rodosha” yang artinya

(2)

pekerja yang tidur di ruangan terbuka. Pada tahun 1995 Tokyo Metropolitan Government (TMG) menggunakan kata “rojo seikatsusha” untuk menyebut orang-orang yang tinggal di jalanan (Hasegawa, 2003:16). Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya homeless, salah satunya adalah kondisi ekonomi Jepang yang turut mempengaruhi adanya homeless di Jepang.

Setelah tahun 1960 Jepang memasuki puncak kemajuan ekonomi sehingga menjadi negara industri. Menurut Pattern of Development (1994) Pertumbuhan ekonomi riil dari tahun 1960-an hingga 1980-an sering disebut "keajaiban ekonomi Jepang", yakni rata-rata 10% pada tahun 1960-an, 5% pada tahun 1970-an, dan 4% pada tahun 1980-an. Keadaan ekonomi yang tidak stabil ini berlangsung sejak pasca Perang Dunia II, yang disebabkan oleh hancurnya rumah-rumah tempat tinggal akibat pembom-an yang dilakukan selama perang berlangsung. Di kota-kota besar hampir 50%-80% rumah hancur (Hasegawa, 2006:23). Pada saat itu pemerintah Jepang merespon masalah tersebut dengan membuat kebijakan “Bantuan Unit Perumahan” dan tindakan kesejahteraan berupa: pertolongan persiapan darurat, penetapan Undang-Undang Perlindungan Hidup pada tahun 1946, dan penempatan para homeless di fasilitas kesejahteraan, dan promosi pekerjaan. Pada saat itu sudah sewajarnya pemerintah berada di dalam masalah ekonomi yang sulit, tetapi hal tersebut juga merupakan kebijakan pekerjaan di tengah-tengah hal lain yang dapat menunda perbaikan ekonomi dan hal itu juga dapat menjadi pertolongan dalam membantu para kaum homeless. Meletusnya Perang Korea di tahun 1950 membantu perbaikan ekonomi di Jepang. Kemudian di pertengahan tahun 1950-an Jepang memasuki periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang berlangsung sampai dengan krisis minyak yang pertama di tahun 1973. Pada saat itu pekerjaan di Jepang

(3)

meningkat dan membantu meredakan masalah homeless di Jepang, akan tetapi kebijakan pemerintah untuk membuat perumahan dalam skala besar juga menjadi salah satu faktor yang membuat masalah homeless di Jepang mereda. Hal ini tidak bertahan lama sampai dengan pertengahan tahun 1960-an. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya pekerjaan di perusahaan. Kebanyakan orang bekerja di perusahaan kecil sebagai pegawai utama dan sebagian lagi bekerja di perusahaan besar sebagai pekerja tidak tetap, yang upah dan keselamatan kerjanya lebih rendah dibandingkan dengan orang yang bekerja di perusahaan besar sebagai pekerja tetap. Di waktu yang sama ketika kaum homeless berkurang, pontensi atau resiko terjadinya homeless pun tetap meningkat. Di akhir tahun 1960-an masalah homeless

mulai menjadi tidak terlihat. Hasegawa (2003:12) memberikan tiga alasan untuk hal ini, pertama, orang-orang yang tadinya tinggal di jalanan berpindah ke gubuk-gubuk. Kedua, daerah gubuk-gubuk yang besar dan terlihat dibongkar oleh pemerintah lokal dan sebagai gantinya didirikan perumahan harga rendah baru untuk orang-orang yang berpendapatan rendah. Ketiga, orang-orang yang menolak untuk pindah ke rumah baru telah berpencar ke seluruh penjuru kota. Selama akhir dari perkembangan ekonomi yang terjadi dari pertengahan tahun 1960-an, buruh harian yang merupakan salah satu bagian dari pekerja tidak tetap di Jepang mulai menjadi kelompok yang paling rentan terkena masalah homeless. Kebiasaan memakai kaum

homeless sebagai pekerja paksa sudah dilembagakan dengan diciptakannya sistem

yoseba. Kata yoseba pertama kali muncul pada tahun 1790 selama Perang Dunia II berlangsung dan dipakai untuk menyebut kemah para buruh kasar yang dibawa dari Korea, dan kemahnya dikelola oleh para yakuza (Gill, 2001:21-22). Yoseba menjadi lembaga sebagai tempat berkumpulnya para buruh harian di pagi hari untuk

(4)

dipekerjakan. Hal ini terjadi selama perkembangan ekonomi berlangsung. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh para buruh harian adalah dalam bidang konstruksi bangunan. Pada Tahun 1970-an kaum homeless menjadi fenomena sementara dan terbatas yang terjadi di tengah-tengah populasi kaum buruh harian dengan pemusatan di yoseba dan di daerah doya-gai. Doya-gai adalah losmen peristirahatan tempat para pekerja harian tinggal. Hal ini biasa terjadi di bidang konstruksi industri, selama keadaan ekonomi yang terus menurun pekerjaan yang tersisa pun semakin sedikit dan lowongan pekerjaan pun semakin menipis. Naik-turunnya keadaan ini juga dipengaruhi oleh jadwal pemerintah dalam memberikan proyek. Hal itu di sebabkan karena industri tempat mereka biasa bekerja sangat tergantung pada proyek ini. Pekerjaan mereka meningkat pada bulan Februari dan Maret, tepat sebelum dimulainya tahun fiskal baru. Kemudian, berkurang antara bulan April dan Juli, pada musim hujan, dan setelah itu meningkat kembali, kemudian menurun lagi pada masa liburan musim dingin, yaitu pada bulan Desember samapi Januari. Di Tahun 1970-an umur rata-rata dari populasi buruh harian ini masih tergolong agak rendah, dimana mereka secara fisik lebih mungkin untuk dapat bertahan sebagai homeless sementara (Hasegawa, 2006:26). Di tahun 1980-an masalah homeless dalam waktu panjang mulai meningkat di tengah-tengah kaum buruh harian tua. Konstruksi industri meningkat di akhir tahun 1980-an sesudah mengalami kemunduran di tahun 1970-an, tetapi tersedianya lapangan pekerjaan perlahan-lahan menurun. Ini disebabkan oleh sistem subkontrak. Sistem ini lebih memilih memperkerjakan pekerja-pekerja muda dan pekerja asing yang dapat di pekerjakan di lain tempat dan dianggap lebih efektif harganya. Globalisasi juga turut membantu perpindahan dari industri manufaktur ke pelayanan masyarakat. Administrasi Nakasone (1982-1987) membatasi tindakan

(5)

bantuan umum dan kebaikan asuransi bagi pengangguran untuk kaum buruh harian, yang dicatat di tempat pertukaran buruh umum. Program asuransi bagi pengangguran ini menghendaki para buruh harian untuk mengumpulkan cap sebagai bukti bahwa mereka adalah buruh harian. Cap tersebut dikumpulkan dalam buku yang disebut

shiro techo (buku putih) dari para pegawai dalam jangka waktu dua bulan agar mereka dapat menerima uang bantuan untuk para pengangguran. Program ini selanjutnya menjadi terbatas ketika pemerintah mulai menghendaki kartu yang menunjukan alamat tempat tinggal dari para pendaftar di tahun 1988.

Faktor-faktor di atas membuka jalan bagi peningkatan jumlah homeless di tahun 1990-an ketika resesi ekonomi atau gelembung ekonomi melanda Jepang. Penurunan ekonomi juga berdampak pada industri konstruksi bangunan, dan mereka tidak membutuhkan para buruh harian lagi khususnya mereka yang telah berumur dan tidak mempunyai kemampuan. Sementara itu jumlah para pekerja yang belum dipekerjakan terus meningkat karena efek dari penurunan ekonomi juga berdampak pada industri lain, dan banyak orang yang telah bekerja pada industri lainnya mencoba datang ke yoseba untuk menguji peruntungannya. Akhirnya, praktek kesejahteraan tidak berubah untuk mengatasi meningkatnya permintaan akan pekerjaan di tahun 1990-an, walaupun situasi ekonomi pada saat itu sangatlah berbeda. Kemudian orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memenuhi dasar kesejahteraan, dan mereka bahkan kehilangan lowongan pekerjaan mereka bagi yang sudah mendaftarkan diri mereka untuk mengikuti Program Asuransi untuk Pengangguran Bagi Kaum Buruh Harian. Selanjutnya, jumlah homeless mulai meningkat dengan cepat setelah resesi ekonomi yang terjadi akibat krisis mata uang Asia muncul di tahun 1997, dan jumlahnya tetap meningkat di tahun 2000-an.

(6)

Menurut survey yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang (2008) jumlah homeless pada tahun 2003 adalah sebesar 25.296 orang dan pada tahun 2007 jumlah homeless menurun menjadi 18.564 orang. Menurunnya jumlah homeless di Jepang ini bukan karena dipengaruhi oleh keadaan ekonomi yang semakin membaik, tetapi karena pada tanggal 31 Juli 2002 pemerintah mengeluarkan “Homuresu no Jiritsu no Shien na do ni kan suru Tokubetsu Sochiho” atau Undang-Undang Aturan Tindakan Khusus Untuk Homeless Agar Mereka Bisa Hidup Mandiri. Akan tetapi hasil atau pengaruh undang-undang ini tidaklah langsung dapat dilihat secara drastis karena dalam prosesnya undang-undang tersebut memakan waktu yang cukup lama, sehingga hasilnya dapat dilihat pada tahun 2007 yaitu jumlah homeless di Jepang mengalami penurunan sebesar 6.732 orang dari tahun 2003. Artinya disini program pemerintah sudah dapat direalisaikan dengan baik dan hasilnya dapat terlihat dengan jelas.

Usaha pemerintah mengembalikan pertumbuhan ekonomi hanya sedikit yang berhasil dan selanjutnya terhambat oleh kelesuan ekonomi global pada tahun 2000. Perekonomian yang lesu ini menyebabkan berjuta-juta pekerja di perusahaan-perusahaan Jepang terkena imbasnya. Banyak pegawai yang terkena Putus Hubungan Kerja (PHK), akibat dari banyaknya pegawai yang di-PHK adalah timbulnya

homeless. Pada tahun 2001 jumlah homeless di Jepang adalah sebesar 24.090 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2003 yaitu berjumlah 25.296 orang. Pada tahun 2007 jumlah homeless di Jepang menurut Departemen Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang adalah sebanyak 18.564 jiwa. Hal ini sudah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Keadaan

(7)

ekonomi dari tahun setelah masa Perang Dunia II sampai dengan tahun 2007 yang tidak stabil menimbulkan beberapa dampak yaitu: meningkatnya pengangguran, berkurangnya lapangan pekerjaan dan menimbulkan kecemasan sosial. Di sisi lain yang menarik yang akan dibahas oleh penulis adalah di tengah keadaan ekonomi yang tidak stabil jumlah homeless di Jepang malah mengalami penurunan. Para

homeless ini tersebar di kota-kota besar di Jepang seperti di Tokyo, Osaka, Hokkaido maupun di kota-kota kecil lainnya. Karena itu penulis merasa tertarik untuk mengangkat tema ini sebagai tema skripsi.

2.

Rumusan Permasalahan

Rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah analisis dampak bantuan pemerintah Jepang tahun 2003 terhadap penurunan jumlah homeless di Jepang.

3.

Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam skripsi ini penulis akan membatasi penelitian dengan menganalisis program bantuan pemerintah Jepang Berupa Homuresu no Jiritsu no Shien na do ni kan suru Tokubetsu Sochiho tahun 2003 terhadap penurunan jumlah homeless di Jepang tahun 2007.

(8)

4.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah adalah untuk menjelaskan pengaruh peranan pemerintah dalam penurunan jumlah homeless di Jepang khusunya pada tahun 2007 di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda dunia.

Manfaat penelitian ini adalah membantu pembaca agar lebih memahami pengaruh peranan pemerintah terhadap penurunan jumlah homeless di Jepang pada tahun 2007. Selain itu manfaat skipsi ini juga untuk menambah wawasan di bidang sosial agar dapat mengetahui lebih dalam dari salah satu masalah yang merupakan fenomena sosial dalam suatu masyarakat Jepang yakni masalah homeless di Jepang.

5.

Metode Penelitian

Metode yang peneliti gunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu memaparkan atau menjabarkan fakta yang sudah ada kemudian menganalisis fakta tersebut. Selain itu metode yang penulis gunakan adalah metode kajian kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data baik dari buku, internet ataupun jurnal. Data-data yang penulis dapat berasal dari buku yan berada di perpusatakaan, toko buku, buku

(9)

6.

Sistematika Penulisan

Bab 1 merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari enam sub bab yaitu: latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 berisi landasan teori yang penulis gunakan dalam menganalisis menurunnya jumlah homeless dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 di Jepang sebagai hasil program bantuan pemerintah. Beberapa teori yang penulis gunakan salah satunya adalah teori kesejahteraan sosial, konsep homeless, dan teori kemiskinan sosial .

Bab 3 merupakan bab analisis data. Pada bab ini penulis akan memaparkan peranan pemerintah Jepang dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah homeless di Jepang pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2007.

Bab 4 berisi simpulan dan saran. Simpulan berisis jawaban dari rumusan permasalahan dan saran yang berisi rumusan permasalahan yang masih dapat diteliti oleh peneliti selanjutnya.

Bab yang terakhir adalah bab 5. Ringkasan, yang membahas secara singkat isi dari skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

 Gedung Merdeka, termasuk dalam bangunan penting bagi ilmu pengetahuan, yaitu bangunan yang menjadi obyek. penelitian bidang-bidang ilmu pengetahuan lainya

Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga ketika bangun dari tidur yang

Segala puji syukur dan hormat kepada Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah, rahmat dan kemurahan hati-Nya telah menuntun dan mengijinkan peneliti untuk menyelesaikan

HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PANITIA PELAKSANA PERINGATAN SUMDAWAN TAHUN 2016 Sekretariat: Kampus FHIS Undiksha Jalan Udayana No.11 Singaraja-Bali

Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabuapten Lima Puluh Kota, sehingga dapat digunakan

Robot ini berbasis Arduino Uno, menggunakan Magnetic compass sebagai penunjuk arah robot, sensor ultrasonik sebagai pendeteksi halangan berdasarkan pantulan gelombang,

Setelah melaksanakan pembelajaran melalui Discovery Learning, peserta didik mampu menemukan kata / istilah penting tentang sumber energi, membuat kalimat dengan menggunakan kata

Substitusi media MS dengan pupuk daun penuh belum dapat menunjukkan hasil yang setara dibandingkan dengan penggunaan media MS dalam perbanyakan tunas pisang secara